Marxisme dan Supervenience
Marxisme dan Keniscayaan Kausal
Marxisme dan Matematika
Marxisme dan Alkimia
Marxisme dan Kritik Ekonomi-Politik Suara (Bagian I)
Marxisme dan Kritik Ekonomi-Politik Suara (Bagian II)
Marxisme dan Pembuktian
Marxisme dan Dua Kebudayaan Filsafat Kontemporer (Bagian I)
Marxisme dan Dua Kebudayaan Filsafat Kontemporer (Bagian II)
Marxisme dan Libertarianisme
Marxisme dan Wina Merah
Marxisme dan Kalkulasi Sosialis
Marxisme dan Masa Muda
Marxisme dan Program Analisis Konseptual
Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965
Marxisme dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Marxisme dan Debat Transisi (1)
Marxisme dan Debat Transisi (2-selesai)
Marxisme dan Dua Kebudayaan Filsafat Kontemporer (Bagian I)
BULAN Juli lalu, media sosial kita sempat diramaikan dengan berita tentang silat lidah antara Noam Chomsky dan Slavoj Zizek. Chomsky, seorang filsuf, ahli tata bahasa sekaligus anarkis, menganggap Zizek tak punya teori dan hanya bermain kata-kata, sebagaimana Derrida dan Lacan. Zizek, seorang filsuf posmo, yang konon anti-posmo, membantah anggapan itu dan mengajukan gugatan balik atas Chomsky. Komentar Chomsky adalah ekspresi tipikal dari filsuf Analitik, sementara posisi Zizek adalah ekspresi tipikal dari filsuf Kontinental. Pada kesempatan kali ini, saya akan menganalisis interaksi kedua tradisi tersebut dan melihat implikasinya bagi Marxisme. Dalam artikel pertama ini, kita akan berfokus membedah—meminjam istilah C.P. Snow—‘dua kebudayaan’ filsafat kontemporer itu. Barulah kemudian dalam bagian kedua, kita akan memeriksa keterkaitan antara cekcok dua budaya ini dengan Marxisme.
Untuk memahami akar dari silat lidah Chomsky-Zizek, kita perlu membongkar sejarah pemikiran abad ke-20. Kejadian di muka hanyalah manifestasi terbaru dari rentetan kejadian-kejadian sejenis yang terjadi sejak lama. Berikut adalah daftar parsial dari berbagai benturan serupa antara filsuf Analitik dan Kontinental yang diurutkan berdasarkan kebaruannya:
- Pada tahun 1996, seorang fisikawan dan sosialis bernama Alan Sokal menimbulkan sensasi karena ia berhasil membuktikan bahwa jurnal-jurnal beraliran posmo sejatinya tidak tahu apa yang mereka terbitkan, dan implikasinya para filsuf posmo tak tahu apa yang mereka bicarakan sendiri. Sokal mengirimkan artikel berisi uraian ngawur tentang fisika dari perspektif posmo (judulnya ‘Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity’) ke jurnal cultural studies posmo, Social Text. (Lih.
http://www.physics.nyu.edu/faculty/sokal/transgress_v2/transgress_v2_singlefile.html). Pihak redaksi jurnal menerima artikel tersebut dan menerbitkannya! Dari situ kemudian Sokal menerbitkan artikel pengakuannya di majalah intelektual Amerika Serikat, Lingua Franca, dan menceritakan bahwa semua yang ia tulis dalam artikel di Social Text adalah omong kosong belaka dan fakta bahwa artikel itu lolos dan diterbitkan mencerminkan kekacauan intelektual yang luar biasa dari para pemikir posmo di jurnal itu dan jurnal-jurnal serupa. (Lih. http://www.physics.nyu.edu/faculty/sokal/lingua_franca_v4/lingua_franca_v4.html). Selepas kejadian itu, Sokal bersama Jean Bricmont menerbitkan buku berjudul Fashionable Nonsense yang menunjukkan bagaimana para filsuf Prancis ternama, sebetulnya menulis dengan cara yang sama seperti Sokal dalam artikelnya di Social Text: mencampur-adukkan sains, filsafat, sastra, kebudayaan secara umum, tanpa mengindahkan yurisdiksi metodologis masing-masing.
- Pada tahun 1992, sejumlah filsuf Analitik ternama (termasuk W.V. Quine, David Armstrong dan Ruth Barcan Marcus) menandatangani sebuah surat penolakan yang diterbitkan di The Times, ketika Derrida hendak diberi gelar doktor honoris causa oleh Universitas Cambridge. Mereka menyatakan bahwa karya-karya Derrida tidak memenuhi standar akademik demikian rupa, sehingga menganugerahinya gelar doktor honoris causa sama saja dengan mempromosikan kekacauan pemikiran sebagai ideal akademik yang patut diupayakan (Lih. http://courses.nus.edu.sg/course/elljwp/againstdsdegree.htm).
- Pada tahun 1970-an, John Searle, seorang filsuf Analitik, terlibat tawuran tertulis dengan Derrida. Mulanya Derrida mengritik filsafat bahasa J.L. Austin, kemudian Searle membela Austin dengan mengritik bahwa Derrida tidak memahami konsep-konsep dasar yang diandaikan dalam filsafat Austin. (Lih. http://www.scribd.com/doc/29238861/Reiterating-the-Differences-A-Reply-to-Derrida-by-John-R-Searle). Lantas Derrida mengritik balik Searle sambil memparodikan nama ‘Searle’ sebagai ‘Sarl’ (yang merupakan padanan Prancis dari ‘Limited Inc.’). Dalam buku yang terbit jauh kemudian, The Social Construction of Reality, Searle mengungkit persoalannya dengan Derrida dan menyatakan bahwa Derrida sebenarnya hanya mengacung-acungkan jargon dan tidak punya argumen.
- Pada tahun 1930-an, salah seorang pendiri Lingkaran Wina, Rudolf Carnap, menggebuk Heidegger dengan menganggapnya tak paham tata bahasa. Pernyataan-pernyataan Heidegger, baginya, adalah contoh paling jelas dari malfungsi bahasa. Misalnya, pernyataan Heidegger bahwa ‘Ketiadaan meniada’ (Nothing noths), bagi Carnap, sama saja seperti pernyataan absurd ‘Caesar adalah dan’ (Caesar is and). (Silahkan unduh dan baca artikel Carnap berjudul ‘The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language:’ http://www.calstatela.edu/dept/phil/pdf/res/)
Inilah daftar tak lengkap dari perdebatan panjang di antara kedua tradisi besar filsafat kontemporer. Serentetan perdebatan ini menyentuh berbagai aspek dalam filsafat, mulai dari substansi pandangan sampai dengan metode berfilsafat itu sendiri. Walaupun tak mungkin menguraikan keseluruhan isi perdebatan itu di sini, kita setidaknya dapat memotret ciri-ciri umum dari kedua tradisi tersebut.
Pertama-tama, perbedaan antara filsafat Analitik dan Kontinental tak bisa direduksi ke perbedaan antara teh dan kopi, antara bir dan wine—artinya, perbedaan itu tak bisa diartikan sebagai perbedaan antara filsafat orang Inggris dan Amerika versus filsafat orang Prancis dan Jerman. Banyak orang Inggris dan Amerika Serikat yang khazanah filsafatnya Kontinental (misalnya Terry Eagleton dan Judith Butler), demikian pula banyak orang Eropa daratan yang wawasan filsafatnya Analitik (misalnya Carnap dan Wittgenstein). Distingsi antara keduanya bukanlah distingsi geografis.
Hal yang juga perlu dijernihkan adalah stereotipe tentang filsafat Analitik. Kita yang belajar filsafat di Indonesia, jarang sekali bersentuhan dengan filsafat Analitik. Di Indonesia, kita dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi Kontinental. Buktinya gampang saja: berapa dari kita yang tak tahu wajah Heidegger, dan berapa dari kita yang tahu wajah Willard van Orman Quine? Berapa dari kita yang tak tahu nama depan Derrida, dan berapa dari kita yang pernah dengar nama Saul Kripke? Konteks pembelajaran filsafat di negeri ini demikian bias Kontinental dan karenanya persepsi kita tentang filsafat Analitik pun cenderung karikatural, misalnya, menyamakan filsafat Analitik dengan positivisme, empirisisme, saintisme, dst. Karikaturisasi lain yang menyesatkan adalah bahwa para pemikir Analitik kerap dianggap apolitis dan konservatif, seakan-akan mengabaikan fakta bahwa Chomsky seorang anarkis, Rudolf Carnap seorang sosialis, Otto Neurath seorang Austro-Marxis, David Hillel-Ruben seorang Marxis, G.A. Cohen seorang Marxis, dsb. Bahkan seorang liberal seperti Bertrand Russell pun pernah berkata bahwa kehidupan di Uni Soviet jauh lebih baik daripada di Amerika Serikat.
Ciri-ciri umum dari kedua kebudayaan filsafat itu dapat dipilah berdasarkan empat aspek: (1) hubungannya dengan ilmu; (2) metode penelitian dan penjabarannya; (3) hubungan antara filsuf dan koleganya; serta (4) kecenderungan berpikirnya. Tentu saja, ciri-ciri berikut tidak definitif, tetapi setidaknya ini dapat berguna sebagai alat bantu untuk melihat orientasi dasarnya.
Pertama, filsafat Kontinental lebih dekat dengan kesenian dan kesusasteraan, sementara filsafat Analitik lebih dekat dengan ilmu-ilmu alam, matematika dan logika. Hal ini tercermin dalam posisi akademik jurusan filsafat di kedua tradisi tersebut: di Prancis, filsafat ditempatkan dalam fakultas sastra, sementara tidak demikian di Oxford atau Cambridge. Filsuf Analitik cenderung memahami dirinya layaknya seorang ilmuwan: mempreteli fenomena sampai ke konsep terkecilnya untuk kemudian dianalisis satu per satu dan merangkainya kembali—sebuah pekerjaan yang terkesan kering dan membosankan. Filsuf Kontinental cenderung memahami dirinya bak artiste dan écrivain: menuliskan tema-tema filsafat yang berdesir di hati, yang bergema dengan realitas faktisnya sebagai makhluk yang fana. Itulah sebabnya pada tahun 40-an, ketika Sartre sibuk menulis novel untuk menyampaikan gagasannya, Quine sibuk merumuskan filsafatnya dalam bahasa kalkulus predikat tatanan-pertama. Secara anekdotal: seorang filsuf Kontinental akan mengawali tulisannya dengan ‘Ketika musim semi tiba …,’ sementara seorang filsuf Analitik dengan ‘Untuk setiap x, ada y, demikian rupa sehingga ….’
Kedua, filsafat Kontinental cenderung mencampurkan metode pemaparan dan isi ajaran, sementara filsafat Analitik cenderung memisahkan metode pemaparan dan isi ajaran. Bagi seorang filsuf Analitik, sekalipun isi ajarannya adalah tentang kontradiksi dan paradoks yang ruwet, ia sebisa mungkin memaparkannya dengan terang dan menghindari keruwetan. Contohnya, analisis logis Graham Priest tentang kontradiksi. Bagi seorang filsuf Kontinental, oleh karena isi ajarannya adalah tentang kontradiksi dan paradoks, maka ia sebisa mungkin memaparkannya dengan cara yang lebih setia pada duduk perkara yang mau dibahasnya, yakni secara kontradiktif dan paradoksal pula. Contohnya, tulisan-tulisan Derrida.
Ketiga, hubungan antar filsuf dan koleganya dalam tradisi Analitik umumnya sepadan, sementara hubungan yang sama dalam tradisi Kontinental umumnya timpang. Hal ini nampak pada perbandingan jumlah filsuf orisinal (dalam arti, bukan sekadar komentator filsafat) antara mereka yang di tradisi Analitik dan Kontinental. Dalam ranah filsafat Analitik, nyaris sejauh mata kita memandang, kita menjumpai filsuf yang punya ajaran sendiri-sendiri. Selain itu, amat sangat langka ditemukan orang Analitik yang menghabiskan hidupnya hanya untuk memaparkan ajaran filsuf lain (misalnya, sangat jarang ditemukan spesialis Russell, komentator seumur hidup atas Quine, dst.). Tradisi ini cenderung memisahkan kerja ‘berfilsafat’ dan ‘menulis sejarah filsafat.’ Sebaliknya, dalam ranah filsafat Kontinental, jarang sekali ada seorang doktor filsafat yang membangun sistem pemikiran sendiri. Umumnya mereka berakhir menjadi spesialis: ahli Husserl, pakar Derrida, jenius dalam hal Lacan, dsb. Oleh karena itu, kemunculan seorang filsuf di tradisi Kontinental seringkali disambut dengan dirayakan dan dikanonisasi. Bagi orang yang sinis dengan tradisi Kontinental, dalam tradisi itu lebih banyak groupies daripada filsufnya.
Keempat, filsuf Analitik cenderung berpikiran naturalis, sementara filsuf Kontinental cenderung berpikiran antinaturalis. Naturalisme adalah pandangan bahwa filsafat sejatinya sinambung dengan sains, dalam arti klaim-klaim filsafat mesti dapat dikoordinasikan dengan klaim-klaim yang dihasilkan sains. Itulah sebabnya, kita dapat menemukan banyak sekali materialis dalam tradisi filsafat Analitik dan banyak sekali pemikir yang terpengaruh varian tertentu dari idealisme dalam tradisi filsafat Kontinental. Itulah juga sebabnya, kita temukan banyak sekali realis dalam tradisi Analitik dan jarang sekali kita temukan realisme yang sama di tradisi Kontinental. Tentu ada pengecualian: Nelson Goodman adalah seorang antirealis dalam tradisi Analitik, sementara Quentin Meillassoux adalah seorang realis-materialis dalam tradisi Kontinental.
Empat aspek di muka mencirikan orientasi dasar kedua kebudayaan filsafat kontemporer. Perdebatan berkepanjangan yang belakangan memuncak pada debat Chomsky-Zizek dapat dilihat sebagai gema dari keempat aspek tersebut.
Dari manakah asal-muasal munculnya pembelahan di antara kedua kebudayaan ini? Menurut penelitian Dr. Karlina Supelli yang diterbitkan dalam Jurnal Driyarkara (XXXII no. 1/2011), pembelahan itu adalah fenonema pasca-Kant. Sampai dengan Immanuel Kant, nyaris semua filsuf di Eropa adalah sekaligus juga ilmuwan. Descartes adalah juga matematikawan, ahli biologi, pelopor psikologi, sementara Leibniz adalah juga matematikawan, fisikawan, ahli logika, dan Kant sendiri juga seorang astronom. Persis setelah Kant lah, dengan terbitnya idealisme Jerman, dengan Hegel pada puncaknya, mulai terbelah dua kebudayaan filsafat. Sejak Hegel, filsafat diceraikan dari ilmu-ilmu. Maka tidak kebetulan apabila pendirian filsafat Analitik, secara resmi oleh Bertrand Russell dan G.E. Moore, ditandai dengan proyek kritik total atas idealisme Inggris (Bradley dan McTaggart) yang mengimpor filsafat spekulatif Hegel ke Inggris.
Demikianlah garis-garis besar perbedaan antara dua kebudayaan itu. Pertanyaan yang secara wajar akan muncul kemudian: mana dari antara keduanya yang baik dan perlu dijadikan teladan? Saya tidak akan menjawab pertanyaan ini di sini, selain dengan menyitir ungkapan yang sudah jadi kuno: masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Untuk menangkap kelebihan dan kekurangan itu, sekaligus menutup bagian I artikel ini, ada baiknya kita mengutip sebuah anekdot. Dalam laporannya atas perbantahan Chomsky-Zizek baru-baru ini di koran The Guardian, Peter Thompson menyampaikan anekdot menggelitik yang menggambarkan perbedaan di antara kedua kebudayaan itu: ‘the analytical philosopher will accuse the continental philosopher of being insufficiently clear, while the continental philosopher accuses the analytical philosopher of being insufficiently.’
14 Agustus 2013
The Times (London), May 9, 1992. Sumber: http://courses.nus.edu.sg/course/elljwp/cartoon.htm
Marxisme dan Dua Kebudayaan Filsafat Kontemporer (Bagian II)
PADA artikel sebelumnya, kita telah memetakan perbedaan antara kedua kebudayaan filsafat dewasa ini: filsafat Kontinental dan filsafat Analitik. Filsafat Kontinental lebih dekat dengan tradisi kesenian dan kesusasteraan, lebih mencampurkan metode pemaparan dan isi ajaran, lebih banyak komentator ketimbang filsufnya, dan cenderung berpikir secara antinaturalis. Sementara filsafat Analitik lebih dekat dengan tradisi ilmu-ilmu alam, matematika dan logika, lebih memisahkan metode pemaparan dan isi ajaran, lebih banyak filsuf ketimbang komentatornya, serta cenderung berpikir secara naturalis. Dalam artikel ini, kita akan memeriksa implikasi dari pembelahan kedua kebudayaan itu pada diskursus Marxisme. Untuk itu, kita perlu memulainya dengan memetakan posisi intelektual Marx sendiri di antara kedua tradisi tersebut.
Marx, seperti kita ketahui, adalah seorang Jerman yang lebih banyak menghabiskan hidupnya di Inggris. Cara pandangnya terpengaruh oleh Hegel, tetapi ini ia artikulasikan secara bertanggung-jawab lewat studi empiris ekonomi-politik yang dipelajarinya di Inggris. Dalam arti itu, bisa dikatakan bahwa Marx adalah anak tradisi Kontinental sekaligus Analitik. Ia memiliki imajinasi Kontinental ditambah dengan kecermatan Analitik, ambisi menggelora khas Kontinental—untuk ‘menangkap hukum gerak masyarakat,’ begitu katanya—sekaligus ketekunan bak akuntan yang mencirikan tradisi Analitik. Ia melihat segala sesuatunya secara holistik dan dialektis layaknya seorang Kontinental, tetapi ia juga siap menganalisinya per bagian secara mendetail dan lebih dari sekadar bersedia mengintegrasikan gagasannya dalam koordinasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti cara kerja tradisi Analitik. Das Kapital adalah buku yang menjadi saksi pertemuan dua kebudayaan itu. Dan materialisme historis adalah visi yang bercorak Kontinental sekaligus Analitik: holistik seperti layaknya filsafat Kontinental, tetapi juga naturalistik seperti layaknya filsafat Analitik. Karl Marx, dengan begitu, dapat dikatakan, merupakan sintesis Kontinental-Analitik pertama pasca-Kant.
Masalahnya kemudian, para pengikutnya di kemudian hari, sampai hari ini, seperti mengabaikan posisi strategis Marx terhadap dua kebudayaan tersebut. Akibatnya, Marxisme lalu cenderung diserap ke salah satu kebudayaan saja dan hasilnya tak pelak adalah Marxisme yang timpang. Seorang Marxis dari tradisi Analitik akan mencoba mengamputasi aspek-aspek pemikiran Marx yang problematis baginya: dialektika, holisme metodologis, dsb. Sebaliknya, seorang Marxis dari tradisi Kontinental akan mencoba menghalau aspek-aspek pemikiran Marx yang menjijikkan di hadapan suara hati Kontinentalnya: pengkondisian superstruktur oleh basis, kerangka baca ekonomi-politik, dsb. Lantas keduanya saling beradu mulut; yang satu menganggap yang lain tidak ilmiah, sementara yang lain menganggap yang satu tidak manusiawi atau tidak revolusioner. Kita akan lihat kekurangan dalam penyerapan Marxisme oleh kedua tradisi tersebut, mulai dari tradisi Analitik.
Problem Marxisme Analitik adalah fiksasinya pada individualisme metodologis, yakni keyakinan bahwa keseluruhan tidak lebih daripada jumlah bagian-bagiannya dan karenanya analisis atas keseluruhan dapat direduksi pada analisis atas bagian-bagian yang menyusunnya. G.A. Cohen, John Roemer dan Jon Elster sama-sama berpegang pada asas ini. Oleh karena itulah mereka menolak segala bentuk relasi internal yang mencirikan dialektika, dan akibatnya juga: menolak dialektika itu sendiri. Semua varian dari Marxisme yang masih percaya pada dialektika mereka sebut sebagai ‘Marxisme omong-kosong’ (bullshit Marxism). Mereka mengintegrasikan Marxisme ke dalam ilmu sosial pada umumnya, seperti sosiologi Max Weber dan Talcott Parsons. Menurut saya, masalahnya adalah bahwa mereka kurang radikal: semestinya tidak berhenti pada reduksi Marxisme ke ilmu sosial, tetapi reduksilah juga ilmu sosial itu pada ilmu alam. Mengapa demikian? Apakah itu tidak membuat kita jatuh pada determinisme alam? Tidak, sebab dalam kajian filsafat tentang ilmu alam dewasa ini justru berkembang pembacaan yang dapat diintegrasikan dengan konsep relasi internal yang diandaikan oleh dialektika. Kajian yang saya maksud adalah fisikalisme non-reduktif berbasis teori disposisional tentang sifat-sifat objek fisik. Fisikalisme jenis ini sanggup mempertahankan kesinambungan Marxisme dengan ilmu-ilmu, di satu sisi, dan mempertahankan daya emansipatorisnya, di sisi lain. (Mengenai ini, lihat artikel saya berjudul ‘Naturalisme Historis’ dalam buku antologi esai tentang warisan pemikiran Engels yang akan terbit nanti.)
Perlu dipahami juga, terutama bagi kita yang terbiasa dengan bias Kontinental dalam menyeragamkan ‘filsafat Analitik’ (entah sebagai positivisme, empirisisme, dsb.), bahwa Marxisme Analitik bukanlah satu-satunya cara mengintegrasikan filsafat Analitik dan Marxisme. Filsafat Analitik yang berkembang dewasa ini jauh lebih kaya daripada apa yang mengemuka dalam brand ‘Marxisme Analitik’-nya Cohen, Elster dan Roemer. ‘Marxisme Analitik’ yang kita kenal sebetulnya hanyalah pencampuran antara sebuah varian dari filsafat Analitik (yakni varian empirisis dan fungsionalis) dan Marxisme. Padahal ada banyak varian lain dari filsafat Analitik yang punya potensi dialog dengan Marxisme. Ada interaksi lain yang jarang dikenal, seperti misalnya Marxisme ‘esensialis’ yang diajukan Scott Meikle, Marxisme ‘realis’ yang dipromosikan David Hillel-Ruben, dsb.
Mengenai masalah Marxisme Kontinental, saya akan berbicara lebih banyak, sebab inilah tradisi kita di Indonesia selama ini. Problem utama Marxisme Kontinental adalah bahwa aspirasi emansipatorisnya, serta kecenderungan politisasi segala sesuatu, seringkali malah membuatnya terjungkal ke dalam obskurantisme yang kontra-emansipasi. Saya dengan senang hati akan menunjukkan beberapa contohnya.
Belakangan ini, misalnya, saya membaca buku karangan Levi Bryant (The Democracy of Objects, 2011), seorang filsuf Kontinental yang sedikit-banyak dipengaruhi, kendati secara kritis, oleh tradisi Marxisme Kontinental kontemporer. Penulis yang dipengaruhi oleh rekonstruksi filsafat Bruno Latour oleh Graham Harman ini mempromosikan suatu flat ontology, dimana semua objek (entah objek empiris, abstrak, riil, fiksional, mulai dari manusia, kursi, bilangan p, kata ‘kemarin,’ dsb.) sama-sama ada dalam posisi yang setara. Ini disebutnya sebagai ‘demokrasi objek-objek.’ Saya tak habis pikir; apa kegunaan dari spekulasi semacam ini bagi penjelasan keilmuan ataupun bagi proyek emansipasi? Penjelasan keilmuan bergerak dengan mencari hubungan kausal antar objek, dan karenanya relasi hirarkis (hirarki prakondisi kausal) antar objek (kendati relasi itu dapat berubah dalam kondisi tertentu), sehingga tidak mungkin ada ‘demokrasi objek-objek’ dimana semua objek ‘setara.’ Apa kegunaan, dari perspektif keilmuan, mempostulatkan keberadaan entitas tertentu yang tak punya status kausal sama sekali? Memasukkan objek-objek yang tak punya status kausal sama sekali ke dalam kerangka kerja penjelasan keilmuan, sama saja membebani ilmu tersebut dengan postulat-postulat ad hoc yang tak ekonomis. Apakah beban itu mesti ditempuh demi menjamin ‘demokrasi,’ dan karenanya emansipasi?
Tetapi nanti dulu: ‘demokrasi’ apa yang sedang kita bicarakan di sini? Bryant berbicara tentang ‘demokrasi’ pada level objek-objek, bukan spesifik tentang masyarakat, sehingga jangan sampai kita ikut membawa simpati kita sehari-hari, dan karenanya bias kita, atas ‘demokrasi’ dalam arti sosial ke dalam pembicaraan tentang ‘demokrasi’ pada level objek-objek ontologis. Belum tentu ciri emansipatoris dalam ‘demokrasi’ dalam arti sosialnya punya hubungan sama sekali dengan ‘demokrasi objek-objek.’ Kita mudah sekali tertipu dengan diksi ‘demokrasi’ ini karena secara tak sadar kita kerap mengasosiasikannya dengan ciri emansipatoris yang terkandung di dalamnya, sejauh dipahami dalam arti demokrasi di kalangan masyarakat manusia. Dengan menggunakan term ‘demokrasi’ dalam pembicaraan tentang objek-objek ontologis, Bryant hanya memperkeruh situasi (muddy the water) dengan fraseologi yang sugestif, tapi sejatinya tak punya hubungan apapun dengan konsep yang ditandai dengan frase tersebut. Dengan demikian, tidak ada hubungan apapun antara ‘demokrasi objek-objek’ dan cita-cita emansipatoris, kecuali hubungan asosiatif yang terbentuk dari fraseologi yang misleading. Yang seperti ini banyak sekali kita jumpai di khazanah filsafat kita. Kalau saja kita berkepala dingin dan tidak sekonyong-konyong hipster, kita sebetulnya dengan mudah dapat menghindari kesesatan macam itu.
Ilustrasi kedua berkaitan dengan ‘Sokal Hoax’ yang pernah kita singgung di artikel sebelumnya. Dalam buku Fashionable Nonsense: Postmodern Intellectuals’ Abuse of Science yang ditulisnya bersama Jean Bricmont selepas affaire tersebut, Alan Sokal berargumen bahwa obskurantisme filsafat Prancis kontemporer, yang bermain-main dengan idiom-idiom sains yang dicampur-baurkan dengan fraseologi seni dan sastra, justru berakibat buruk bagi cita-cita emansipasi mereka. Bagaimana emansipasi riil dapat dilaksanakan apabila sistematisasi rasional (meliputi pengajuan hipotesis, pembangunan kerangka penjelasan kausal dan pengujian empiris), justru terjegal oleh kecenderungan anti-sains yang terkandung dalam pikiran para filsuf itu? Sokal sendiri mengaku seorang sosialis dan karenanya kritiknya atas para filsuf itu bukanlah ‘reaksi borjuis’—seperti yang dipersepsi dalam prasangka umum Marxis Kontinental atas semua yang mengritiknya. Sokal justru prihatin terhadap para filsuf Prancis sebagai rekan-rekan sosialisnya. Dalam bukunya, ia mengutip pernyataan Vaclav Havel yang, menariknya, justru tak dapat dibedakan dari posisi para filsuf Prancis yang konon mengaku Marxis itu: ‘Kejatuhan Komunisme dapat dilihat sebagai tanda bahwa pemikiran Modern—yang dibasiskan pada premis bahwa dunia dapat diketahui secara objektif, dan bahwa pengetahuan yang didapat dari situ dapat dirampatkan secara mutlak—telah mencapai krisis penghabisannya’ (h. 192). Dengan demikian, menjadi benderang bahwa rehabilitasi Marxisme sebagai agenda politik riil (yang sama riilnya dengan Komunisme), mensyaratkan rehabilitasi, setidaknya sebagian dari premis keilmuan, bahwa dunia dapat (ingat: bukan selalu) diketahui secara objektif dan dengan teliti dapat dirampat berdasarkan kerangka kerja ilmu untuk memperoleh penjelasan umum tentang berbagai fenomena sosial untuk akhirnya mengindikasikan metode dan strategi-taktik yang mesti ditempuh untuk mengubah fenomena itu ke arah yang lebih baik.
Ilustrasi lain adalah upaya Meera Nanda, seorang Marxis dan ahli filsafat ilmu asal India, dalam melawan pengaruh Marxis-obskurantis yang tersebar di India selepas pemikiran-pemikiran Marxis Kontinental diimpor ke negeri itu. Nanda prihatin melihat bagaimana intelektual India disesaki dengan gagasan absurd bahwa Hinduisme, yang telah jadi identitas nasional India, sebenarnya merupakan sebuah sains, lengkap dengan metodenya sendiri yang incommensurable terhadap kriteria sains Barat yang imperialis. Para pendukung ‘sains Hindu’ semacam itu mengambil inspirasinya dari para penulis pasca-kolonial, science studies dan pasca-modernis. Antara lain, mereka mengadvokasi sistem kasta karena menurut mereka sistem tersebut sebetulnya memiliki ‘rasionalitas’-nya sendiri yang berbeda dari ‘rasionalitas’ Barat yang kapitalis. Nanda melawan cara pandang mengerikan semacam ini. Ia berargumen bahwa penerimaan atas fakta pasca-kolonial India, tidak mengimplikasikan bahwa India mesti membuang pola pikir ilmiah. Ia berargumen, dengan sangat tepat saya pikir, bahwa kita perlu membedakan antara fakta bahwa sains dapat digunakan untuk kepentingan imperialis-kapitalis dan kesimpulan ngawur bahwa sains adalah (tidak lain dan tidak bukan selain) manifestasi imperialisme dan kapitalisme. Nanda mengakui fakta pertama dan menolak penyimpulan kedua. Dalam karya-karyanya seperti Postmodernism And Religious Fundamentalism: A Scientific Rebuttal To Hindu Science (2000), Prophets Facing Backward: Postmodern Critiques of Science and the Hindu Nationalism in India (2003) dan The God Market: How Globalization is making India More Hindu (2011), Nanda berjuang memperbaiki aspirasi emansipatoris pasca-kolonial, yang sayangnya, salah jurusan semacam itu.
Sebagai anak tradisi Kontinental, kita perlu menimba pelajaran dari filsafat Analitik agar lebih tajam dalam memandang persoalan, sehingga lebih jernih juga dalam merancang proyek emansipasi. Saya tidak berargumen bahwa Marxisme Kontinental mesti kita buang sepenuhnya, melainkan imajinasi revolusioner yang kita peroleh darinya mesti kita artikulasikan secara tertib. Dan tertib berpikir ini dapat kita pelajari dari filsafat Analitik. Dengan kata lain, kita mesti kembali menimba ilmu dari Marx: belajar menemukan sintesis terbaik dari dua kebudayaan filsafat yang membentuknya.
Kita akan tutup artikel ini dengan pengakuan seorang Marxis Analitik, G.A. Cohen, dalam kata pengantar bukunya, Karl Marx’s Theory of History: A Defense. Cohen mengisahkan bagaimana ia, seorang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan komunis Kanada, namun memperoleh pendidikan filsafat secara Analitik di Oxford. Terlepas dari latar pendidikan ini, selulusnya dari Oxford ia lebih melihat dirinya sebagai seorang Althusserian ketimbang filsuf Analitik. Namun, sesuatu terjadi di sekitar tahun 1966-67. Kala itu, ia mempresentasikan makalah bertajuk ‘Kaum Borjuis dan Proletar’ di University of London. Cohen berargumen bahwa wanita simpanan si kapitalis ‘tidak mencintainya karena uangnya, melainkan mencintai uang itu sendiri.’ Pada saat itu, hadir seorang filsuf Analitik asal Amerika Serikat. Ia menanyakan pada Cohen: ‘apa persisnya perbedaan antara mencintai seseorang hanya karena uangnya dan mencintai uang itu sendiri?’ Ketika itu, Cohen menganggap sang filsuf itu bermaksud mempersulitnya saja. Selepas acara, si filsuf dari Amerika Serikat itu datang menghampiri Cohen dan berkata dengan ramah: ‘Begini, saya tidak mempersoalkan bahwa setiap orang punya caranya masing-masing. Saya hanya ingin tahu apa aturan dasarnya.’
Pernyataan ini membuat Cohen demikian terpukul. Sejak saat itu, seperti diakuinya sendiri, ‘saya berhenti menulis dengan gaya bak penyair yang menuliskan apapun yang kedengaran bagus baginya.’ Semenjak itu pula, Cohen selalu menginterogasi ulang apapun yang hendak ia tuliskan. ‘Anda menjadi analitis ketika Anda mempraktikkan oto-kritik yang kerapkali menyakitkan semacam ini,’ demikian akunya.***
15 Agustus 2013