Quantcast
Channel: Logika – IndoPROGRESS
Viewing all 163 articles
Browse latest View live

Marxisme dan Libertarianisme

$
0
0

LUDWIG von Mises, Friedrich von Hayek, Milton Friedman, Robert Nozick—deretan nama ini dikenal luas sebagai representasi dari libertarianisme, suatu gugus pandangan politik-ekonomi yang merupakan anathema dari Marxisme. Ketiga tokoh  pertama menghadirkan perspektif ekonomi yang berlawanan sepenuhnya dengan ekonomi-politik Marxian, sementara tokoh keempat memberikan justifikasi filsafat politik atas posisi ketiganya.

Dalam pengertian yang paling umum sekalipun, kerap dilihat bahwa tak ada dua posisi pemikiran politik-ekonomi yang lebih berlawanan secara demikian kontras ketimbang antara Marxisme dan libertarianisme. Ambil contoh mengenai cita-cita masyarakat yang hendak dicapai. Libertarianisme menggagas masyarakat dengan peran negara yang minimal, dimana distribusi sumber daya ditentukan oleh kemampuan masing-masing individu melalui mekanisme pasar. Sementara Marxisme menggagas masyarakat tanpa perbedaan distribusi sumber daya dan karenanya juga tanpa negara, tetapi kondisi ini dicapai melalui penguasaan dari mereka yang lemah secara ekonomis terhadap negara. Demikian pula dalam pengertian keduanya tentang penindasan atau eksploitasi. Bagi seorang libertarian, eksploitasi terjadi dalam sistem dimana orang kaya diwajibkan meluangkan hasil kerjanya untuk membantu orang miskin, sementara bagi seorang Marxis, eksploitasi terjadi dalam sistem dimana para pekerja tidak memperoleh hasil yang setara dengan nilai hasil kerjanya. Singkatnya, libertarianisme adalah filsafat kelas kapitalis, sementara Marxisme adalah filsafat kelas pekerja.

Albert Hahn 'Onder zwart regime' 1904

Dalam karya Nozick, Anarchy, State and Utopia, termuat secara implisit postulat paling fundamental—crème de la crème—dari libertarianisme. Berdasarkan lacakan G.A. Cohen, batu penjuru itu adalah tesis kepemilikan-diri (self-ownership). Tesis ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak penuh dan eksklusif atas dirinya sendiri. (Perlu diingat: tesis ini adalah juga pengandaian utama dari kaum libertarian-kiri alias anarkis. Tesis inilah yang berperan dalam argumen kaum anarkis melawan model sosialisme Soviet.) Dari tesis dasar inilah Nozick kemudian menyimpulkan bahwa tata politik-ekonomi libertarian dapat dibenarkan. Oleh karena semua orang mempunyai hak mutlak atas dirinya, maka negara tidak memiliki hak untuk memberlakukan kebijakan redistribusi kekayaan, entah melalui pajak progresif maupun kebijakan ekonomi lain yang menguntungkan orang miskin sambil mengorbankan orang kaya. Sehubungan dengan itu, ia mengatakan bahwa pajak tidak lain adalah ‘kerja-paksa terselubung.’ Negara, karena itu, semestinya hanya berfungsi menegakkan kepastian hukum (rule of law) agar tak ada kepemilikan-diri warganegaranya yang terlanggar. Kepemilikan-diri, bagi Nozick, merupakan fondasi terdasar dari semua tatanan sosial-politik-ekonomi-legal yang emansipatoris. Ia berpandangan bahwa semua konsepsi politik yang emansipatoris harus berangkat dari penerimaan atas tesis kepemilikan-diri—tanpa penerimaan itu, kita niscaya membenarkan perbudakan dan tata politik non-emansipatoris yang serupa. Dan karena tata masyarakat berkelas merupakan konsekuensi yang niscaya dari penerimaan atas tesis kepemilikan-diri, maka tata masyarakat berkelas merupakan satu-satunya tatanan masyarakat yang emansipatoris.

Kita sudah mengetahui postulat fundamental libertarianisme. Sekarang kita dapat bertanya hal yang serupa: apakah postulat paling fundamental dari Marxisme? Postulat itu dapat kita rekonstruksi dari masalah dasar yang mau dipecahkan oleh Marxisme, yakni masalah eksploitasi kelas pekerja dalam kapitalisme. Penindasan terjadi ketika terwujud penarikan nilai-lebih dari kelas pekerja oleh kelas kapitalis. Artinya, pertama-tama, ada selisih antara nilai kerja dan nilai produk kerja. Kemudian selisih nilai ini, yang merupakan hasil pencurahan kerja kelas pekerja, diambil oleh kelas kapitalis. Inilah yang secara umum dimengerti oleh kaum Marxis sebagai eksploitasi. Dalam karyanya, Self-Ownership, Freedom and Equality, G.A. Cohen menunjukkan bahwa kita, sebagai Marxis, perlu berpikir dua kali tepat pada titik ini. Cohen memperlihatkan bahwa argumen eksploitasi kaum Marxis sebenarnya mengandaikan pengakuan atas tesis kepemilikan-diri. Kelas pekerja dihisap atau dieksploitasi persis karena nilai-lebih yang mereka hasilkan, yang karenanya merupakan hak mereka, ternyata dicuri oleh kelas kapitalis. Mengapa argumen pengambilan nilai-lebih ini masuk akal? Persis karena diasumsikan terlebih dulu bahwa setiap orang berhak atas hasil kerjanya, yang pada gilirannya mengandaikan bahwa setiap orang berhak atas dirinya sendiri. Di sinilah setiap Marxis, seperti diakui Cohen sendiri, akan merasa kikuk persis karena sekonyong-konyong mendapati dirinya tinggal seatap dengan kaum libertarian. Seolah Lenin, Stalin, dan Mao mendapati dirinya berada dalam hubungan ‘adik-adikkan’ dengan para dedengkot Mont Pelerin Society itu. Hubungan kekerabatan yang janggal dan tak mengenakkan ini mesti diselidiki.

Semuanya bermula sejak John Locke. Dalam Two Treatises of Government, Locke menulis: ‘setiap orang mempunyai kepemilikan dalam kepribadiannya; terhadap hal ini tak seorang pun yang punya hak selain dirinya sendiri.’ Artinya, pada aras terdasar, tak ada seorang pun yang punya hak milik atas seseorang kecuali orang itu sendiri. Hak milik atas orang lain (sebagai budak), maupun atas waktu kerja seseorang (sebagai pekerja-upahan), merupakan fakta turunan dari fakta asali kepemilikan-diri tersebut. Berkaitan dengan itu, Locke mengatakan: ‘Apapun yang telah seseorang ubah dari kondisi alamiah, ia telah mencampurkan kerjanya dengan hal itu, mempersatukannya dengan [kerja] yang merupakan miliknya sendiri dan karenanya membuat hal itu menjadi miliknya.’ Dengan demikian, menjadi jelas di sini bahwa tesis kepemilikan-diri merupakan landasan bagi teori kepemilikan-kerja (labour theory of property). Oleh karena setiap orang memiliki dirinya sendiri, termasuk memiliki tenaga kerjanya sendiri, dan setiap kerja merupakan proyeksi eksternal dari ciri personal ke dunia material yang impersonal, maka barang hasil kerja secara alamiah merupakan milik orang yang mengerjakannya.

Ketika tesis kepemilikan-diri dan teori kepemilikan-kerja bertemu dengan teori nilai-kerja (labour theory of value), maka hasilnya adalah teori eksploitasi Marxian. Teori nilai-kerja—yang muncul sejak konsep past labour-nya William Petty dan dijernihkan menjadi embodied labour-nya David Ricardo—menyatakan bahwa kerja merupakan sumber, sarana pengukur sekaligus penentu nilai komoditas. Dari sini disimpulkan, antara lain oleh para Ricardian sosialis, bahwa kelas pekerja merupakan produsen sesungguhnya dari nilai komoditas. Ketika kesimpulan ini dikawinkan dengan labour theory of property, hasilnya adalah kesimpulan baru: kelas pekerja adalah pemilik sesungguhnya dari komoditas yang merupakan hasil kerjanya. Dalam rumusan teori eksploitasi Marxian, rumusan di muka sekarang berbunyi: kelas pekerja dihisap oleh kelas kapitalis karena hasil pencurahan tenaga kerjanya yang lebih besar dari nilai kerjanya diambil oleh kelas kapitalis. Dan ketika teori eksploitasi Marxian ini dimengerti sebagai arahan praktis, yakni sebagai teori emansipasi Marxian, maka tesis kepemilikan-diri yang menjadi asumsi dasarnya menyembul ke permukaan: kelas pekerja mesti mengambil-alih sarana produksi dan menghentikan penghisapan nilai-lebih karena mereka berhak atas hasil kerjanya yang merupakan aktualisasi dari daya kerja yang dimiliki oleh masing-masing pekerja.

Melalui penjabaran ini, menjadi terang bagaimana kritik Marxian atas kapitalisme dan aspirasi emansipatorisnya mengandaikan penerimaan atas tesis kaum libertarian, yakni tesis kepemilikan-diri. Jika memang demikian, tidakkah penerimaan atas tesis tersebut akan memaksa kaum Marxis untuk mengakui keniscayaan masyarakat berkelas? Ataukah justru sebaliknya, penerimaan tesis tersebut akan memaksa kaum libertarian untuk mengakui keniscayaan masyarakat tanpa kelas? Dalam bukunya, Cohen berupaya menunjukkan bahwa penyimpulan Nozick dari penerimaan atas tesis tersebut keliru, dan bahwa cita-cita masyarakat tanpa kelas merupakan konsekuensi yang lebih masuk akal dari pengakuan atas tesis kepemilikan-diri. Ia juga menyebut bahwa tesis tersebut tak dapat ditolak sepenuhnya. Namun sungguhkah demikian?

Sungguhkah kaum Marxis tidak bisa menolak tesis kepemilikan-diri tanpa menceburkan diri ke dalam model politik totalitarian yang setaraf dengan perbudakan? Menurut saya bisa. Tesis kepemilikan-diri bukanlah tesis yang benar-benar fundamental dalam arti tak bisa direduksi ke tesis yang lebih dasar lagi. Menurut saya, tesis tersebut masih mengandaikan suatu hal lain dan karenanya dapat direduksi ke hal lain itu. Hal lain yang saya maksudkan adalah tesis individualitas. Setiap orang memiliki hak penuh dan eksklusif atas dirinya sendiri karena diandaikan adanya yang disebut ‘diri sendiri’ alias individu. Inilah pengandaian yang tidak pernah dipertanyakan dalam seluruh perdebatan tentang tesis kepemilikan-diri antara kubu Cohenian dan Nozickian. Inilah juga yang menerangkan mengapa individualisme metodologis tak dipertanyakan oleh kedua kubu yang bertikai. Individu dalam perdebatan itu sudah diandaikan terberi begitu saja. Padahal individu, dalam kacamata Marxian, adalah produk sejarah perkembangan masyarakat. Orang butuh waktu dan konteks sosial untuk bisa bilang ‘aku.’

Dengan mengandaikan begitu saja keberadaan ‘aku’ berarti perdebatan ini mengandaikan begitu saja bentuk pertama dari kepemilikan-privat, yakni kepemilikan atas diri sendiri. Akan tetapi siapa bilang bahwa dirimu adalah milikmu, bahwa kedaulatanmu adalah milikmu? Orang baru bisa bilang demikian ketika kedaulatan—keseluruhan daya mental yang melandasi tindakan—telah diprivatisasi. Jauh sebelum BUMN diprivatisasi, jauh sebelum Dahlan Iskan, bahkan jauh sebelum sarana produksi berupa lahan dan perkakas diprivatisasi, pertama-tama ‘aku’-lah yang diprivatisasi. ‘Aku,’ dengan demikian, tak lain adalah hasil privatisasi sarana produksi paling elementer, yakni kedaulatan manusia untuk bertindak sesuai kehendaknya. Ketika ‘aku’ dipancangkan sebagai tonggak personalitas, lengkap dengan segala gincu keunikan dan singularitasnya, pada saat itulah metafisika individualitas dimulai. Inilah metafisika yang inheren dalam libertarianisme dan lubuk hati sebagian Marxis yang bimbang.

Inilah duduk perkara yang sebenarnya (setidaknya menurut saya): ‘aku’ tak lain adalah produk struktur kepemilikan yang tertentu, dan struktur kepemilikan tertentu itu sendiri adalah produk sistem pembagian kerja sosial. Oleh karena itu, ‘aku’ adalah produk sistem pembagian kerja sosial. Segala keunikan dan bakat yang dimiliki setiap ‘aku’ adalah produk evolusi pembagian kerja sosial, yang pada gilirannya merupakan produk evolusi alam material. Daya kausal yang dimiliki oleh setiap diri dimungkinkan adanya oleh daya kausal masyarakat terdahulu, yang pada gilirannya dimungkinkan oleh daya kausal semesta fisik. Dalam arti ini, kerangka umum eksploitasi sosial dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang terjadi ketika kolektivitas disubordinasikan pada sekumpulan ‘aku.’ Inilah yang terjadi dalam perbudakan, fasisme dan kapitalisme. Jadi dari sini terbukti bahwa penolakan total atas tesis kepemilikan-diri yang tak sekaligus menjustifikasi perbudakan itu dimungkinkan. Hal ini saja sudah cukup untuk membantah kesimpulan sementara di muka bahwa Marxisme berkerabat dengan libertarianisme. Dengan ini ditunjukkan bahwa keduanya bukan hanya tak sekerabat, tetapi juga kebenaran yang satu mengimplikasikan kekeliruan yang lain.***

 

20 Agustus 2013


Marxisme dan Wina Merah

$
0
0

POSITIVISME—sepenggal kata ini di hadapan kaum cendekiawan berbudaya, nyaris sepadan dengan kata ‘komunisme’ di mata antek-antek Orba. Kata ‘positivisme’ kerapkali dihadirkan sebagai cercaan, sebagai penghinaan terhadap hakikat multi-dimensional manusia, sebagai perlambang tentang semangat untuk mereduksi keragaman pemaknaan pada sistem verifikasi yang dingin. Semangat positivis Lingkaran Wina yang hendak menuntut bukti empiris dari setiap pernyataan ilmiah dianggap telah meringkas dan meringkus kemanusiaan. Khususnya dalam kajian-kajian kebudayaan kritis, positivisme adalah sesuatu yang membikin mual para budayawan. Namun, rasa mual para budayawan ini membikin saya mual. Seandainya saja mereka tahu dari semangat dan konteks seperti apakah positivisme itu dilahirkan. Seandainya saja mereka tahu apa yang mereka bicarakan.

Courtyard in Karl Marx Hof, 1930 | The Architecture of Red Vienna, 1919-1934

Halaman di Karl Marx Hof, 1930 | The Architecture of Red Vienna, 1919-1934

 

Untuk memahami positivisme yang sesungguhnya, kita perlu membayangkan Wina di awal abad ke-20. Wina adalah kota para aristokrat, seniman dan intelektual: mulai dari Franz Ferdinand, Gustav Mahler sampai Sigmund Freud. Kehidupan kebudayaan tumbuh-kembang dengan amat subur di dalamnya. Gustav dan Alma, istrinya, kerapkali berkunjung ke kediaman keluarga Wittgenstein untuk bercakap-cakap tentang kebudayaan. Dalam latar kultural yang kaya inilah kita mesti menempatkan kelahiran Lingkaran Wina. Kita akan memotret kemunculan puncak positivisme modern ini dari lensa Otto Neurath, seorang Austro-Marxis yang terlibat dalam Lingkaran Wina sejak mula.

Neurath adalah seorang Marxis yang tak biasa. Ia tak cocok dengan Soviet, karena terlalu banyak campur-tangan politik di segala bidang kehidupan. Tetapi ia juga tak cocok dengan Kaustky dan gengnya di SPD, karena Neurath cenderung lebih bersimpati pada teknokratisme yang agak anti-demokrasi. Singkatnya, Neurath adalah seorang Marxis yang ‘apatis’ terhadap politik, tetapi sekaligus juga seorang Marxis yang teknokratis ibarat Stalin. Kalau ada satu hal yang ia pegang teguh sampai akhir hayatnya, itu adalah sains—atau lebih tepatnya, Marxisme sebagai sains. Kendati begitu, tidak tepat juga menggolongkannya sebagai seorang Marxolog yang kontemplatif. Ia terlibat dalam berbagai proyek-proyek sosial-politik dalam rangka mewujudkan model masyarakat yang diatur berdasarkan asas-asas sosialisme ilmiah. Apatismenya terhadap politik lebih tepat dibaca sebagai penolakan untuk memelintir sains atas nama politik. Keunikan Neurath ini lebih mudah dijelaskan apabila kita melihat apa yang ia kerjakan. Karya Nancy Cartwright, Jordi Cat, Lola Fleck, dan Thomas Uebel berjudul Otto Neurath: Philosophy Between Science and Politics, akan menjadi pegangan saya di sini.

Mulanya, Neurath adalah seorang ekonom dengan fokus penelitian tentang ekonomi primitif dan ekonomi perang. Pada saat perang dunia pertama meletus, ia mendirikan dan memimpin museum ekonomi perang. Selepas Perang Dunia I, Jerman terhempas ke dalam kekacauan sosial-politik. Pada tahun 1919, diproklamasikanlah Republik Soviet Bavaria di Jerman. Di sinilah Neurath mencoba mengimplementasikan konsepsinya tentang masyarakat sosialis-ilmiah yang ia cita-citakan. Ia mengepalai Pusat Administrasi Ekonomi (Zentralwirtschaftsamt), semacam Bappenas yang kita miliki sekarang. Ia mempraktikkan gagasannya tentang sosialisasi, yakni kolektivisasi sarana produksi.  Konsep ‘sosialisasi’ ini tidak dapat dilepaskan dari studinya tentang ekonomi perang selama PD I. Bagi Neurath, dalam peperangan, ekonomi kapitalis akan runtuh secara temporer menjadi ekonomi barter. Dalam perang dengan skala raksasa seperti perang dunia, tersimpan potensi bagi peralihan dari sistem ekonomi kapitalis ke sistem ekonomi in natura atau sistem perekonomian yang berbasis pada pertukaran barang-barang konsumsi secara langsung. Dengan kemajuan sains, kalkulasi yang akurat atas jumlah barang-barang tersebut dan kebutuhan masyarakat dapat dilakukan sehingga tugas badan perencanaan adalah memastikan agar sejumlah barang tersebut terdistribusikan dalam masyarakat. Untuk itu, pemilikan kolektif atas sarana-sarana produksi diperlukan. Pemilikan kolektif inilah yang akan menjadi basis bagi perwujudan suatu ekonomi yang terencana secara sosialis dan ilmiah.

Neurath menjalankan program ‘sosialisasi’-nya dengan membentuk dewan-dewan pekerja. Ia juga sudah membuat rancangan Pusat Kalkulasi In Natura (Naturalrechnungszentrale), yang bertugas menghitung jumlah barang yang beredar di Republik Soviet Bavaria dalam proporsinya dengan kebutuhan hidup rakyat. Risau akan penerapan sosialisme seperti yang telah terjadi di Soviet dua tahun sebelumnya, para pemodal melarikan uangnya ke luar negeri. Neurath menjawab gertakan para pemodal ini dengan menasionalisasi semua bank yang ada di Bavaria. Geram karena modal dan asetnya dibekukan, para pemodal itu meminta pertolongan ke organ paramiliter anti-komunis terbesar masa itu, Freikorps (‘Korps Orang-orang Bebas’)—semacam Pemuda Pancasila-nya Eropa. Gerombolan preman bersenpi ini terbukti efektif dalam menumpas berbagai gejolak revolusioner di Eropa. Di Berlin, beberapa waktu sebelumnya, free men ini berhasil menghabisi Liga Spartakus yang dipimpin oleh Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht. Menghadapi serbuan lumpenproletariat pasca-bayar dari segala penjuru Eropa ini, pemerintahan Soviet Bavaria menurunkan Tentara Merah yang baru saja dibentuk. Peperangan jalananpun tak terhindarkan. Situasi ini barangkali dapat digambarkan lewat puisi penyair Lekra, Rivai Apin, tentang masa-masa agresi Belanda, ‘Dari Dunia Belum Sudah:’

Tapi malam itu menghentam, sepatu lars pada dinding kegelapan yang tebal.
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan, bininya
atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula
ke dalam dunia yang belum sudah.

Republik Soviet Bavaria tumbang enam hari setelah berdiri. 500 orang Kiri mati, 300 terluka dan tak terhitung yang dieksekusi tanpa catatan resmi.

Atas pembelaan Otto Bauer, Neurath berhasil dideportasi ke Wina dalam persidangan yang diadakan sesudah jatuhnya Republik Soviet Bavaria. Dengan antusias Neurath menerima hukuman deportasi itu. Pasalnya, Wina pada masa pasca-perang itu dikuasai oleh kamerad-kameradnya. Uji-coba sosialisme di Austria lebih tahan lama ketimbang di Jerman. Periode yang bertahan antara 1919-1934 ini dikenal sebagai era ‘Wina Merah’ (Red Vienna), sebelum akhirnya tumbang oleh naiknya fasisme. Pada masa itu, para intelektual Austro-Marxis menduduki jabatan penting di pemerintahan. Neurath segera diserahi tanggung jawab sebagai Sekjen Institut Penelitian Ekonomi Sosial (Forschunginstitut für Gemeinwirtschaft). Ia juga bertugas sebagai pengelola proyek pembangunan perumahan rakyat. Ia berkawan dengan Walter Gropius, arsitek Modernis terkemuka, dan bahkan sempat memberikan ceramah di Dessau Bauhaus, tempat bertemunya arsitek maupun seniman modern seperti Vassily Kandinsky dan Paul Klee. Visi Neurath tentang arsitektur adalah penghancuran ‘Wina yang gothik’ (yang bangunannya penuh dengan ornamen khas aristokrat) dan pembangunan ulangnya ke dalam suatu bentukan arsitektural yang rasional, tak berbelit-belit dan mencerminkan semangat kerakyatan. Untuk itu ia membangun sebuah proyek monumental: Karl Marx Hof (Rumah Karl Marx). Ini adalah sebuah kompleks perumahan untuk buruh dengan fasilitas lengkap yang dikelola melalui koperasi buruh. Selain itu, ia juga mendirikan Museum Ekonomi dan Masyarakat serta, bersama Olga istrinya, memperkenalkan model statistik visual (ISOTYPE) dengan gambar-gambar unyu yang hingga kini banyak kita jumpai dalam brosur atau buklet untuk anak-anak.

Dalam latar ‘zaman bergerak’ inilah Lingkaran Wina berdiri. Dalam Manifesto Lingkaran Wina yang lebih banyak ditulis oleh Neurath sendiri, tertera tanda tangan dukungan dari beragam ilmuwan Eropa mulai dari fisikawan seperti Albert Einstein sampai filsuf seperti Bertrand Russell. Manifesto tersebut mencanangkan suatu program positivis sebagai pandangan-dunia ilmiah dan mengutip nama Karl Marx sebagai salah seorang pelopornya. Semua proposisi yang diklaim ilmiah mesti dapat diverifikasi berdasarkan pengalaman yang teruji secara kolektif. Tanpa lolos uji verifikasi tersebut, proposisi apapun layak dianggap ‘tidak bermakna.’ Konteks dari penekanan pada verifikasi empiris dan keilmiahan ini, setidaknya dari sudut pandang Neurath, adalah untuk menghalau kekuatan obskurantis seperti fasisme yang pada waktu itu sedang naik daun di Eropa. Proposisi bahwa ‘Ras Arya adalah ras paling unggul yang ditakdirkan memimpin Eropa’ adalah ungkapan yang tak punya makna sebab tak teruji secara empiris. Term-term seperti ‘takdir,’ ‘suara hati,’ ‘jiwa bangsa,’ ‘kemanusiaan universal,’ dst. adalah ungkapan-ungkapan metafisis yang tak punya landasan empiris dan karenanya tidak layak digunakan untuk mengurus persoalan masyarakat. Ungkapan-ungkapan itu sama tak bermaknanya seperti ‘pqqrtyxglmsp’ atau ‘bla-bla-bla.’

Program besar yang lain dari Lingkaran Wina adalah Sains Terpadu (Unity of Science). Neurath jugalah yang membangunnya. Program ini mempromosikan fisikalisme sebagai cara pandang ilmiah yang melawan cara pandang metafisika yang penuh takhayul. Fisikalisme Lingkaran Wina adalah pandangan bahwa seluruh konsep dan proposisi ilmu-ilmu dapat diparafrase ke dalam konsep dan proposisi ilmu alam, khususnya ilmu fisika. Fasisme dan kapitalisme adalah manifestasi dari pola-pikir metafisika, sementara sosialisme adalah perwujudan dari fisikalisme. Cartwright et.al. merangkum pernyataan-pernyataan Neurath dalam soal ini:

‘Perjuangan politik tercermin dalam sains. “Dua front berhadap-muka satu sama lain: di satu sisi, ada front borjuis yang demi alasan sosiologis menjadi setengah ilmiah dan setengah tak ilmiah dalam sikapnya; di sisi lain, ada front proletariat yang sepenuhnya ilmiah.” Front borjuis “dipenuhi” oleh metafisika dan teologi; gereja siap “mendukung pertarungan melawan kelas pekerja!” “Borjuasi melawan proletariat” sama dengan “metafisika melawan sains.” Neurath yakin bahwa berjuang demi kepentingan proletariat adalah sekaligus perjuangan melawan metafisika dan perjuangan demi pendekatan ilmiah’ (Cartwright et.al. 2008: 76).

Dengan bersenjatakan fisikalisme, Neurath hendak menelanjangi ungkapan-ungkapan kosong para intelektual kardus binaan kaum fasis dan kapitalis. Dalam konsepsi fisikalisme itulah tercermin hierarki bahasa ilmu yang jika hendak diradikalkan mencerminkan hierarki domain kenyataan: kenyataan fisik mengondisikan kenyataan mental. Dengan demikian, fisikalisme itu dalam arti tertentu merupakan kelanjutan dari tradisi materialisme historis Marx sendiri. Inilah yang diperjuangkan Neurath lewat Konferensi Internasional Sains Terpadu yang diselenggarakannya di berbagai belahan Eropa, mulai dari Moskow sampai Cambridge, Massachusetts. Bahkan ia masih mengorganisir kampanye Sains Terpadu ini ketika Nazi telah meluaskan pengaruhnya. Ia baru benar-benar meninggalkan Eropa daratan selepas Konferensi Sains Terpadu di Den Haag pada tanggal 14 Mei 1940, yakni sehari sesudah Nazi membom Rotterdam.

Sekarang kita tahu bahwa kritik sehari-hari atas positivisme modern mengelirukan duduk soalnya, bahwa rasa mual para budayawan di hadapan positivisme hanyalah perasaan mereka sendiri saja. Lingkaran Wina tidak hendak mereduksi kepuspa-ragaman manusia ke dalam ‘bangunan yang kukuh dan padu,’ yang ‘meringkas dan meringkus’ makna ke dalam data. Sebaliknya, Lingkaran Wina dengan Sains Terpadunya adalah front intelektual anti-fasis yang merupakan bagian dari taktik popular front melawan fasisme. Positivisme yang diusungnya, sebaiknya dilihat sebagai peringatan kontemporer agar para budayawan masa kini tidak asal njeplak mengikuti semilir perasaannya saja, sebagaimana para budayawan fasis zaman dahulu. Akhirnya, sumbangsih Lingkaran Wina adalah kesadaran bahwa semua jawaban atas persoalan yang menyangkut rakyat banyak, mesti dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dan tidak dijustifikasi atas dasar kata hati semata.

Apabila kita melepaskan diri dari cara baca klise para budayawan terhadap positivisme modern, tentu kita tetap dapat mengritiknya. Kritik semacam itu antara lain dirumuskan oleh Roy Bhaskar dan pernah saya uraikan sekilas dalam artikel ‘Marxisme dan Keniscayaan Kausal’ beberapa waktu lalu. Utamanya, positivisme membuat kausalitas dan hukum ilmiah menjadi tak terpikirkan. Kausalitas dalam kerangka positivis hanya dapat dipikirkan sebagai suksesi peristiwa yang ajeg. Akibatnya, hubungan kausal diciutkan menjadi hubungan korelasi semata. Walau positivisme mesti dikritik, tetapi ia tak layak dihujat seperti yang dilakukan para budayawan masa kini, seperti juga layaknya para budayawan Orba menghujat komunisme. Positivisme bukanlah musuh kebudayaan. Pada masa ketika kebudayaan kian tercerabut dari akar materialnya, ketika makna mengalami inflasi demikian rupa hingga mengaburkan fakta, ketika intuisi estetis yang serba paradoksal begitu pekat seperti kabut dan menutupi keperluan rasional untuk pengorganisasian persoalan rakyat banyak, di saat-saat seperti itulah positivisme layak dipanggil kembali dari kuburnya.***

 

20 September 2013

Marxisme dan Kalkulasi Sosialis

$
0
0

Marx-Kalkulasi

KARL Marx adalah seorang teoretisi kapitalisme ketimbang sosialisme atau komunisme. Tentu banyak dari kita yang akan heran mendengar pernyataan itu. Bagaimana mungkin Marx—yang merupakan bapak sosialisme ilmiah dan menginsiprasikan banyak orang untuk mengupayakan transisi dari kapitalisme ke sosialisme dan dari sosialisme ke komunisme—bisa disebut sebagai ‘seorang teoretisi kapitalisme?’ Kita mesti jernih: ‘teoretisi kapitalisme’ atau ‘ahli ekonomi kapitalis’ tidak sama dengan ‘pembela kapitalisme;’ seseorang bisa saja menjadi ahli sesuatu tanpa memuja sesuatu itu. Derajat kepakaran Marx terhadap isu-isu perekonomian kapitalis tercermin dalam tiga jilid Das Kapital-nya. Apa yang tak kita temukan dalam ketiga jilid tersebut adalah pemaparan tentang sosialisme maupun komunisme. Model ekonomi sosialis dan komunis lebih merupakan sesuatu yang diimplikasikan secara tidak langsung dalam karya-karya Marx: misalnya, karena kapitalisme bertopang pada produksi komoditas (nilai), maka alternatif terhadapnya—entah dalam wujud sosialisme atau komunisme—mesti menghapus sistem produksi berbasis komoditas (nilai). Itulah sebabnya kaum Marxis di kemudian hari mesti bersusah-payah merekonstruksi Der Sozialismus dan Der Kommunismus dari Das Kapital. Kerja-kerja teoritis dan praktis macam itulah yang dibebankan ke pundak Lenin, Stalin, Mao dan kaum Marxis pada umumnya.

Pada kesempatan ini, kita akan berbicara tentang salah satu aspek sentral dalam proyek rekonstruksi sosialisme. Aspek tersebut adalah masalah perencanaan perekonomian sosialis yang lazimnya terpusat pada isu ‘kalkulasi sosialis.’ Ini merupakan topik utama dalam perdebatan antara kaum Marxis dan libertarian pada tahun 20-/30-an abad yang lalu. Dalam ‘Debat Kalkulasi Sosialis’ tersebut, terbelah dua posisi umum: Ludwig von Mises, Lionel Robbins dan Friedrich Hayek dari posisi libertarian, dan Oskar Lange, Fred Taylor serta Abba Lerner dari posisi sosialis. Debat ini diawali oleh artikel von Mises, ‘Kalkulasi Ekonomi dalam Persemakmuran Sosialis,’ tahun 1920. Namun, api yang memantik gemuruh perdebatan ini datang dari sudut yang jarang diungkap: Otto Neurath.

Dalam buku berjudul ‘Dari Ekonomi Perang Ke Ekonomi In Natura’ (1919), Neurath menunjukkan bahwa suatu sistem perekonomian modern yang berbasis pada barter (in natura) itu mungkin. Dengan cara itu, kita dapat mengakhiri modus produksi berbasis nilai yang menandai perekonomian kapitalis dan menggantinya dengan model ekonomi sosialis in natura. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan sentralisasi informasi pergerakan barang-barang dalam suatu Badan Pusat Statistik, yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Terpusat dalam memutuskan langkah-langkah kebijakan yang mesti diambil. Buku ini memicu von Mises untuk menulis artikel yang telah disebut di muka pada tahun 1920.

Melalui artikelnya, von Mises menunjukkan bahwa dalam sebuah perekonomian yang tak mengenal harga—suatu perekonomian yang tidak berbasis komoditas atau nilai—kalkulasi atas alokasi sumber daya yang efisien tak mungkin dijalankan. Tanpa adanya harga atau setidaknya nilai komoditas, Badan Perencanaan Terpusat tidak akan mampu menentukan apakah keputusan yang diambilnya sudah efisien atau belum. Efisiensi dan kalkulasi mengandaikan adanya kesamaan ukuran—nilai—sehingga dengan dihapuskannya kesamaan ukuran tersebut, tak akan ada kalkulasi yang akurat demikian rupa sehingga efisiensi alokasi sumber daya tidak dapat dijamin. Badan Perencanaan tidak akan tahu berapa harga jumlah barang yang mesti dibayarkan untuk masing-masing pekerja di setiap cabang produksi. Badan tersebut juga tak akan tahu metode produksi macam apa yang lebih efisien. Singkatnya, kalkulasi ekonomi mensyaratkan harga dan formasi harga mensyaratkan pasar bebas. Tanpa harga dan pasar bebas, perekonomian yang terbangun, bagi von Mises, akan mengambil bentuk pengorganisasian yang irasional. Mudahnya, kita baru bisa tahu bahwa harga Rp. 5000 untuk sebungkus rokok adalah murah jika kita tahu bahwa ada rokok yang harganya Rp. 10.000. Artinya, Badan Perencanaan tidak akan tahu apakah sistem alokasi sumber daya yang ia terapkan sudah efisien apabila tidak ada perbandingan lain. Dan perbandingan lain itu hanya dimungkinkan apabila ada kompetisi dan karenanya pasar bebas.

Tantangan von Mises ini dijawab oleh Oskar Lange, melalui seri artikelnya berjudul ‘Mengenai Teori Ekonomi Sosialisme’ (1936-1937). Lange berangkat dari logika umum von Mises: tak ada perencanaan tanpa kalkulasi, tak ada kalkulasi tanpa formasi harga dan tak ada formasi harga tanpa pasar bebas. Lange menerima semua penyimpulan von Mises, kecuali yang paling akhir: tak ada formasi harga tanpa pasar bebas. Ia menolak penyimpulan ini dengan menunjukkan bahwa formasi harga tidak melulu dihasilkan lewat pasar bebas. Badan Perencanaan dapat dibekali dengan hak prerogatif untuk menetapkan harga yang disesuaikan dengan kondisi ketersediaan barang di pasaran. Apabila suatu barang sedang langka, Badan Perencanaan menetapkan harga yang tinggi agar memicu masyarakat untuk beralih ke produksi barang tersebut dengan pertimbangan keuntungan. Begitu barang tersebut tak lagi langka, Badan Perencanaan menurunkan harganya, dan seterusnya. Jadi fungsi Badan Perencanaan hanyalah memberi ‘sinyal’ harga. Dengan cara ini dua aspek kritik von Mises dapat dijawab: 1) formasi harga tidak diserahkan sepenuhnya ke pasar; 2) kalkulasi dan perencanaan tetap dimungkinkan. Model Lange inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘sosialisme pasar’ (market socialism).

Namun, di kemudian hari, Model Lange tersebut diadopsi dengan beberapa penyesuaian dan diintegrasikan ke dalam ekonomi arus-utama di negara-negara kapitalis. Model ini dengan mudah dapat dilebur ke dalam kerangka ekonomi kapitalis karena model tersebut mengizinkan perekonomian berbasis nilai dan uang. Artinya, solusi Lange atas von Mises tidak dapat mempertahankan aspek paling krusial dari model Neurath yang menjadi pangkal kritik von Mises: ekonomi yang tak lagi berbasis pada nilai dengan kerangka sirkulasi yang tak bertopang pada uang. Oleh karenanya, jalan dari ‘sosialisme pasar’ ke komunisme lebih rumit ketimbang dari ‘sosialisme pasar’ ke kapitalisme. Untuk dapat mempertahankan kemungkinan transisi yang masuk akal dari sosialisme menuju komunisme, pelampauan atas modus produksi berbasis nilai mesti sudah dipikirkan pada tahap sosialisme.

Apabila kita meninjau sejarah eksperimen historis sosialisme, kita melihat bahwa upaya penghapusan modus produksi berbasis nilai sempat diuji-cobakan sewaktu era ‘Komunisme Perang’ di Uni Soviet (1918-1921). Pada masa ini, sektor swasta ditiadakan dari perekonomian, semua industri dinasionalisasi dan barang-barang konsumsi didistribusikan oleh pemerintah. Eksperimen ini menghasilkan kekacauan ekonomi yang akhirnya memaksa Lenin untuk memberlakukan ‘Kebijakan Ekonomi Baru’ (New Economic Policy; NEP) sejak 1921, yang mengizinkan pemilikan privat atas sarana produksi kecil-kecilan sehingga sistem ekonomi yang ada menyerupai ‘kapitalisme negara’ (state capitalism). Akhirnya pada tahun 1928, NEP digantikan dengan ‘Rencana Lima Tahun’ oleh Stalin yang akan terus berlanjut hingga ‘Rencana Lima Tahun XIII’ pada tahun 1991. Hingga kejatuhannya, perekonomian Uni Soviet tetap berbasis pada nilai dan uang.

Kesulitan yang dihadapi Soviet—khususnya pada masa ‘Komunisme Perang’—dalam merealisasikan modus produksi yang tak berbasis pada nilai, di satu sisi, tetapi tetap memungkinkan perencanaan yang rasional, di sisi lain, antara lain disebabkan oleh lambatnya laju informasi ekonomi. Perencanaan yang efektif mengandaikan ketersediaan informasi ekonomi secara real time. Pada masa ketika proses perencanaan ekonomi yang tak berbasis pada nilai diuji-cobakan di Soviet, yakni pada masa ‘Komunisme Perang,’ prasyarat tersebut tak bisa dipenuhi. Bayangkan saja, untuk menjalankan penghitungan statistik ekonomi yang kompleks, pemerintah Soviet pada masa itu hanya bergantung pada Odhner aritmometer, semacam kalkulator mekanis, yang pabriknya di Leningrad baru saja dinasionalisasi di tahun 1917. Dari segi kemampuan, kalkulator yang hanya bisa berhitung sampai 10 digit ini tak jauh berbeda dengan kalkulator yang hari ini umum dimiliki para pedagang kelontong di Glodok. Tak hanya itu, pada masa ‘Komunisme Perang,’ proses penyampaian informasi dari setiap pabrik dan lahan pertanian ke pemerintah pusat di Moskow, memerlukan waktu yang amat panjang. Karena alasan-alasan itulah, perencanaan yang efektif sulit direalisasikan. Sebab kita tak bisa merancang apapun apabila kita tak punya pengetahuan yang cukup tentang realitas yang kita hadapi.

Kendati begitu, bukan berarti perencanaan dalam perekonomian sosialis secara inheren tak mungkin dilakukan. Permasalahan seperti yang diidentifikasi von Mises lebih tepat dipandang sebagai permasalahan teknis tentang proses sentralisasi informasi. Artinya, permasalahan itu dapat diselesaikan apabila tingkat perkembangan teknologi informasi dan sibernetika yang memadai telah dicapai. Kalkulasi ekonomi yang tak berbasis nilai komoditas dapat dilakukan, asal teknologi informasi dan sibernetika yang diperlukan telah tersedia.

Untuk mengilustrasikan maksud saya, ada baiknya kita melihat pengalaman perencanaan sosialis di Chile pada masa pemerintahan Salvador Allende (1970-1973). Untuk memonitor jumlah produksi di seluruh cabang industri, pada tahun 1971, pemerintah Chile menjalin kontrak dengan pakar sibernetika eksentrik yang punya simpati Kiri, Stafford Beer. Kontrak tersebut berupa pembangunan suatu sistem informasi terpadu antar pabrik yang dihubungkan dengan 500 mesin Telex (semacam fax) yang ditempatkan di 500 pabrik. Semua informasi ini dipusatkan di sebuah Ruang Operasi bergaya ‘Star Trek’ di Santiago. Dengan informasi ini, diharapkan perencanaan ekonomi sosialis di bawah Allende akan berhasil. Proyek ini dikenal sebagai ‘Project Cybersyn.’ Pada tahun 1973, sistem Cybersyn ini baru memasuki tahap prototipe tingkat lanjut. Sebelum betul-betul dapat dioperasikan secara penuh, Allende digulingkan dan semua pendukungnya ditumpas. Ruang Operasi Cybersyn di Santiago dihancurkan. Selepas kegagalan proyek ini akibat kudeta Pinochet, Stafford Beer melepaskan semua hartanya dan hidup bak pertapa di sebuah gubuk di pedesaan Inggris. Ia menulis tentang peristiwa tersebut: ‘Kukatakan padamu bahwa sesungguhnya di Chile, seluruh manusia terpukul’ (Designing Freedom; 1973).

Contoh di muka menunjukkan bahwa kalkulasi sosialis bukannya secara inheren tak mungkin. Dengan perkembangan internet dewasa ini, jalan menuju kalkulasi sosialis tanpa berbasis perhitungan nilai dan moneter semakin dilapangkan. Alih-alih menggunakan mesin Telex seperti Chile, kita dapat membangun suatu sistem database yang terjaring lewat internet dan berlaku secara real time. Dengan itu, Badan Perencanaan Terpusat akan memiliki seluruh informasi ekonomi yang ia perlukan—dari seluruh cabang produksi, mulai dari sektor ekonomi formal hingga informal—tentang jumlah ketersediaan dan lalu-lintas barang serta jasa. Berdasarkan data yang komprehensif seperti itulah perencanaan yang senyata-nyatanya dapat dilakukan. Alih-alih ‘mensimulasikan pasar’ seperti dalam model ‘sosialisme pasar’ à la Lange, kita hanya mensimulasikannya secara virtual dalam perhitungan di komputer. Dengan cara ini, kita bisa memperoleh sisi positif dari ‘sosialisme pasar,’ yakni kemampuannya untuk melakukan kalkulasi ekonomis, tanpa terjatuh ke sisi negatifnya, yakni pemberlakuan ekonomi pasar di masyarakat aktual (sebab kondisi seperti itu dapat disimulasikan saja di dalam kalkulasi komputer berdasarkan perbandingannya dengan data real time). Dengan demikian, kita dapat menguji efisiensi kinerja perekonomian sosialis kita. Kritik von Mises dapat sepenuhnya dijawab. Kunci dari realisasi ekonomi sosialis adalah ilmu pengetahuan.***

19 Oktober 2013

Marxisme dan Sintaksis Seni Terpadu

$
0
0

ADAKAH bahasa yang terpadu untuk semua cabang kesenian?[1] Inilah pertanyaan kita kali ini. Faktanya, setiap cabang seni memiliki bahasa sendiri. Seni rupa memiliki bahasa rupa, seni musik memiliki bahasa nada dan ritme, demikian pula seni sastra, pertunjukan dan film memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Sekilas seperti tak ada bahasa yang cukup seragam untuk menerjemahkan ekspresi estetik dari satu cabang kesenian ke ekspresi estetik cabang yang lain. Proses penerjemahan antar cabang seni itu, kalaupun mungkin dilakukan, lazimnya diwujudkan lewat penafsiran arbitrer seperti puisi yang ditafsirkan menjadi musik, lukisan yang ditafsirkan menjadi puisi, dan sebagainya. Penafsiran ini dikatakan arbitrer sebab baik semantik (makna) maupun sintaksis (struktur linguistik) seni itu berubah ketika diterjemahkan. Karenanya, kita dapat bertanya: adakah cara penerjemahan antar cabang seni yang lebih kurang arbitrer dibanding cara-cara tradisional?

Namun mengapa penerjemahan itu perlu? Mengapa seni mesti terpadu? Ada banyak jawaban yang bisa diberikan. Salah satu yang bisa diberikan sebagai penjelasan adalah bahwa secara historis seni mulanya memang terpadu. Pada zaman Yunani Antik, misalnya, tidak ada perbedaan tegas antara seni dan ilmu pengetahuan—keduanya sama-sama cara manusia memahami kenyataan. Gagasan bahwa beragam seni harus diceraikan dari ilmu pengetahuan, dari teknologi, dan dari satu sama lain, adalah produk ideologi Romantik. Romantisisme menekankan yang-unik (singular) dan yang-tak terbahasakan (sublim). Dengan itu, seni hendak dimurnikan, dibersihkan dari kontaminasi keilmiahan dan kegunaan yang sejatinya turut membentuknya sejak awal mula peradaban. Dengan itu pula muncul dorongan untuk menghadirkan seni yang murni dari segala sesuatu: dari kegunaan dan kesosialan. Seakan sesuatu baru menjadi seni ketika ia kehabisan fungsi. Akibatnya adalah menyeruaknya gagasan ‘seni untuk seni’ yang kemudian berkembang dalam era kontemporer menjadi ajaran bahwa seni tidak harus menyatakan apa-apa. Autisme seni macam itu ternyata justru kondusif dengan ekspansi modal dalam sejarah abad ke-19 dan 20. Kemurnian seni seperti menjadi jaminan bagi kemahalan harganya, khususnya jika dibandingkan dengan seni kerajinan (craft) yang ‘cuma berguna’. Akar doktrin ‘seni untuk seni’, karenanya, terletak pada pemisahan tegas antar cabang seni dan antara seni dan ilmu pengetahuan. Maka itu, penolakan atas doktrin tersebut mensyaratkan upaya untuk merumuskan seni terpadu. Itulah yang akan saya coba lakukan lewat pencarian bahasa seni yang terpadu.

Dalam sebuah tulisan beberapa waktu yang lalu (http://indoprogress.com/2013/10/empat-pertanyaan-bagi-sastra/), saya pernah mengindikasikan bahwa puisi dapat diterjemahkan ke dalam sebuah bahasa formal yang lazim digunakan dalam logika filosofis, matematika dan ilmu pemrograman, yakni bahasa kalkulus predikat. Mungkinkah hal yang sama juga diterapkan pada setiap cabang seni yang lain? Jika ya, maka kita menemukan kerangka bahasa yang terpadu antar cabang seni, sehingga ekspresi estetik cabang seni yang satu dapat diterjemahkan ke ekspresi estetik cabang seni yang lain. Dengan itu, kita menemukan cara penerjemahan antar cabang seni yang lebih kurang arbitrer. Inilah yang akan coba dibuktikan dalam paparan berikut. Saya akan menunjukkan bahwa terdapat sintaksis seni yang terpadu. Kendati begitu, di sini saya tidak akan mengklaim bahwa terdapat semantik seni yang terpadu.

Sintaksis seni terpadu itu akan dirumuskan secara formal melalui seperangkat aksioma dan teorema-teorema turnannya berikut.

I.         Aksioma I: Aksioma Keterpaduan Sintaksis: untuk setiap cabang kesenian, terdapat struktur sintaksis yang padu dalam rupa kalkulus predikat dengan semua perluasannya (teori himpunan, logika modal, dan sebagainya) dan landasannya (logika proposisional).

SeniTerpadu01

    II.         Aksioma II: Aksioma Kebertopangan Semantik: makna ungkapan dari setiap cabang kesenian (kata, rupa dan nada) bertopang pada semantik yang terdefinisikan pada masing-masing cabang kesenian; makna tersebut tidak diubah oleh rumusan kalkulus predikat

SeniTerpadu02

b. Teorema 6: Teorema Terjemahan Lintas Disiplin: untuk setiap karya dari semua cabang kesenian, terdapat terjemahan kalkulus predikat yang mereduksi sintaksis aslinya ke dalam sintaksis kalkulus predikat dan mempreservasi semantik aslinya sesuai dengan semantik cabang kesenian terkait.

-      Contoh: seperti telah ditunjukkan dalam Teorema 4, ada keterpaduan sintaksis antar karya seni dari semua cabang kesenian. Hanya saja, perbedaannya terletak pada makna dari peubah dan predikat. Makna tersebut dikembalikan pada semantik cabang seni masing-masing (misalnya, c bisa dijadikan peubah untuk ‘cacing’ dalam karya sastra, sementara dijadikan peubah untuk nada c dalam karya musik). Dengan begitu, pada aras sintaksis semua bahasa ungkap seni dapat direduksi, tetapi tidak demikian secara semantik.

III. Aksioma III: Aksioma Penciptaan: setiap karya seni yang mungkin diciptakan dapat diciptakan dalam bahasa kalkulus predikat dan terdapat karya seni yang tak mungkin diciptakan tetapi tetap dapat diciptakan dalam bahasa kalkulus predikat.

a. Teorema 7: Teorema Kemungkinan: terdapat kemungkinan penciptaan karya seni yang tak mungkin dan kemungkinan ini dijamin oleh rumusan tertata dengan aturan yang leluasa.

SeniTerpadu03

b. Teorema 8: Teorema Kardinal: adalah mungkin bahwa karya seni (utamanya sastra) dapat diciptakan dengan cara dirumuskan ulang maknanya secara identik melalui perombakan struktur sintaksis bahasa asli ke dalam bahasa kalkulus predikat.

SeniTerpadu04

c. Teorema 9: Teorema Ordinal: semua karya seni dapat diciptakan dengan cara dirumuskan peringkat kemunculan suatu elemen artistiknya (kata, citra dan nada) dalam bahasa kalkulus predikat yang sepenuhnya mempreservasi sintaksis dan semantiknya.

SeniTerpadu05b

Dengan bersenjatakan ketiga aksioma dan sembilan teorema tersebut, kita dapat memproduksi karya seni dari berbagai cabang seni yang berbeda dengan bahasa ungkap yang terpadu.

Beberapa catatan dapat diberikan di sini guna mengilustrasikan secara lebih jelas apa yang dimaksud lewat paparan formal di muka. Agar lebih kasat mata, saya akan menggunakan ilustrasi dalam seni rupa. Perhatikan lukisan berdimensi 6 cm x 3 cm berikut:

SeniTerpadu06

Sekarang saya akan menerjemahkannya ke dalam bahasa kalkulus predikat. Apabila dirumuskan ke dalam bahasa tersebut, maka kita memperoleh ‘lukisan’ berikut:

SeniTerpadu07

‘Lukisan’ terjemahan tersebut sama dengan lukisan aslinya, dengan mengandaikan kamus berikut: M adalah notasi untuk warna merah. Rumusan tersebut memuat sintaksis yang mempreservasi semantik lukisan aslinya. Karenanya, rumusan itu tak perlu dicetak di atas kanvas untuk menjadi lukisan. Rumusan itu adalah lukisan, dengan atau tanpa dicetak di atas kanvas, bahkan dengan atau tanpa dicetak sama sekali.

Sekarang kita akan menjajal kemampuan bahasa kalkulus predikat itu dengan mewujudkan suatu ‘lukisan’ yang tak mungkin diwujudkan secara empiris. Coba perhatikan ‘lukisan’ berikut: 

SeniTerpadu08

Bagaimana melukiskan rumusan tersebut ke dalam lukisan empiris? Hasilnya tidak akan berbeda dari lukisan pertama.

SeniTerpadu06

SeniTerpadu09

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa ada bahasa yang terpadu untuk semua cabang seni, yakni kalkulus predikat. Akan tetapi, keterpaduan itu hanya terjadi pada aras sintaksis, dan bukan semantik. Paparan ini tidak membuktikan bahwa makna suatu karya dari cabang seni yang satu dapat diterjemahkan ke dalam makna karya dari cabang seni yang lain (lih. Aksioma II atau Aksioma Kebertopangan Semantik). Paparan ini hanya membuktikan bahwa sintaksis dari suatu cabang seni dapat diterjemahkan ke dalam sintaksis cabang seni yang lain, asalkan sintaksis kedua cabang tersebut dapat direduksi ke dalam sintaksis kalkulus predikat. Kendati semantiknya berbeda-beda, sintaksis dasar antar cabang seni adalah sama. Dengan itu, kerja bersama antar cabang seni dan antara seni dan sains dapat dijalankan secara terpadu. Dengan itu juga, mitos kemurnian seni dan salah satu potensi kapitalisasinya dicampakkan ke dalam api yang menyala-nyala. Singkatnya, secara sintaksis, tidak ada yang-unik dan yang-tak terbahasakan—tidak ada fetisisme kesenian. Karya seni apapun dapat diproduksi dan direproduksi secara logis dalam medium yang satu. Seni tak lain adalah kerajinan, yakni suatu entitas yang tercipta dari penerapan yang tekun atas metode tertentu untuk menghasilkan fungsi tertentu. Seni, pada dasarnya, adalah kerja.***

 

25 Februari 2014


[1] Refleksi ini ditulis melalui dialog dengan Dirdho Adithyo, Natalia Taufik, Berto Tukan, Yovantra Arief dan Guinness.

Marxisme dan Propaganda

$
0
0

‘SETIAP manusia, secara kodrati, ingin tahu,’ tulis Aristoteles dalam risalah Metafisika. Keingintahuan merupakan kodrat manusia sebagai spesies biologis yang mengembangkan nalarnya guna menghadapi kondisi eksternal dan karenanya bertahan hidup. Kodrat keingintahuan manusia, karenanya, merupakan hasil evolusi sejarah alam, hasil evolusi kerja spesies manusia untuk mempertahankan hidupnya. Dan dari natural history lahirlah social history. Dari kodrat manusia sebagai entitas biologis, muncullah kodrat mausia sebagai makhluk pekerja dan kemudian kodratnya sebagai makhluk berpikir. Sejarah manusia adalah riwayat evolusi kodrat manusia. Melalui evolusi kodrat epistemik inilah sejarah manusia sampai kepada ilmu pengetahuan modern. Manusia adalah makhluk yang haus pengetahuan, yang mengangankan kebenaran. Inilah titik berangkat konsepsi Marxian tentang propaganda: ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Prinsip propaganda Marxis bukanlah penyebarluasan gagasan apapun asal menguntungkan kepentingan kelas pekerja. Prinsipnya adalah menyebarluaskan gagasan yang benar. Di sini berlaku asumsi: gagasan apapun, asalkan benar, tidak akan merugikan kepentingan kelas pekerja. Di balik asumsi tersebut, terdapat lapis asumsi berikutnya: Marxisme itu benar adanya sehingga kenyataan berlaku seperti yang dijelaskan dalam kerangka Marxian dan oleh karenanya gagasan yang benar tentang kenyataan tidak akan mungkin berlawanan dengan kepentingan kelas pekerja. Namun apa yang dimaksud dengan kebenaran Marxisme? Di sini kita perlu sedikit memutar.

Pertama-tama harus diakui bahwa pemikiran Karl Marx sendiri tidak menjelaskan keseluruhan kenyataan. Pemikiran Marx hanya benar untuk domain kenyataan yang digelutinya, yakni kenyataan sosial. Namun yang paling berharga dari pemikirannya bukanlah ajaran spesifik tentang ini atau itu, melainkan metodenya. Ibarat perumpamaan yang sering kita dengar: berilah seseorang ikan, maka ia akan kenyang hari ini, tetapi berilah ia alat pancing, maka ia akan kenyang seumur hidupnya. Begitu juga hubungan antara ajaran spesifik Marx dan metodenya: ajarannya ibarat ikan, sementara metodenya ibarat alat pancing itu.

Setelah jelas tentang hal ini, maka kita bisa dengan leluasa mengakui bahwa ajaran spesifik Marx belum tentu sepenuhnya benar, sejauh ia masih menggunakan sumber-sumber yang boleh jadi kurang memadai pada zamannya untuk menerangkan kenyataan ekonomi tertentu. Akan tetapi metodenya itulah yang benar. Dalam hal kesetiaan pada metode Marx itulah seseorang menjadi Marxis. Disinilah juga terletak perbedaan antara Marxisme dan agama: dalam Marxisme, orang boleh tidak sepakat dengan ajaran tertentu Marx tetapi setia pada metode atau pendekatannya; sementara dalam agama, orang tidak boleh tidak sepakat dengan pernyataan Kitab Suci (persis karena dalam agama, tidak ada pembedaan antara metode dan isi ajaran). Di sinilah juga terletak perbedaan antara Marxis ortodoks dan Marxis vulger. Marxis ortodoks—seperti kata Lukacs—ditandai dengan kesetiaan pada kebenaran metode Marx dan menggunakan metode tersebut untuk membaca semua cabang kenyataan. Sementara Marxis vulger ditandai dengan kesetiaan pada kebenaran keseluruhan isi ajaran Marx (termasuk salah ketik-salah ketiknya) dan menggunakan isi ajaran itu untuk membaca semua cabang kenyataan.

Oleh karena Marx tidak menjelaskan semua cabang kenyataan, maka Marxisme sebagai sains tidaklah total; Marxisme hanya total sebagai metode. Totalitas Marxisme adalah totalitas metodologis. Artinya, metode Marx dapat dijadikan paradigma umum dalam memandang alam kenyataan seutuhnya. Tetapi bagaimana mungkin? Bukankah Marx hanya merumuskan pendekatan untuk masalah sosial? Oleh karena itu, diperlukan abstraksi atas metode yang ditawarkan Marx agar bisa menjadi mathesis universalis atau skema pendekatan universal yang sekaligus setia pada semangat metode Marx yang asli.

Lantas apa konsekuensi dari fakta ketidaktotalan Marxisme sebagai sains dan fakta ketotalan Marxisme sebagai metode? Konsekuensinya, terdapat ilmu-ilmu yang sekilas nampak non-Marxis tetapi sejatinya dapat dibenarkan dari sudut pandang metode Marx. Itulah yang terjadi berkenaan dengan ilmu-ilmu alam modern dan matematika. Terhadap ilmu-ilmu semacam itu, pendekatan Marxis vulger bisa dipastikan akan berakhir dalam kekonyolan berlarut-larut. Marxis vulger yang menafsirkan teorema matematis Fermat sebagai simbol dari perlawanan kelas pekerja atau menafsirkan rumus kimiawi benzena yang dihasilkan August Kekulé seolah sebagai perlambang dari siklus kapitalisme mesti diwajibkan ikut kuliah Marxist 101 lagi. Sebaliknya, pendekatan Marxis ortodoks yang setia pada metode Marx akan terhindar dari kesewenang-wenangan heroik macam itu. Pendekatan Marxis ortodoks akan mencari persamaan pendekatan Marxisme dan pendekatan yang digunakan dalam ilmu-ilmu tersebut. Kebenaran ajaran Marx tentang, misalnya, krisis kapitalisme mensyaratkan kebenaran teori-teori biologi, kimia dan fisika yang menjelaskan kenyataan yang membentuk latar panggung dari sejarah perkembangan masyarakat. Namun kebenaran metode Marx—bahwa keberadaan sifat-sifat dikondisikan oleh keberadaan substansi material tempat sifat-sifat itu muncul, atau bahwa syarat keberadaan material dari sesuatu mengondisikan syarat realisasi sesuatu itu—berlaku juga dalam pendekatan ilmu biologi, kimia dan fisika. Ringkasnya, sebagai sains, Marxisme bertumpu pada ilmu-ilmu pengetahuan non-Marxis, sementara sebagai metode, Marxisme terdapat di dalam setiap ilmu pengetahuan yang benar. Inilah titik pijak Marxis ortodoks berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.

Apa kemudian relevansi wacana tentang ilmu pengetahuan dan kebenaran ini bagi propaganda Marxis? Tak lain adalah ini: propaganda Marxis mesti berangkat dengan kesadaran bahwa kebenaran nomor satu, baru kemudian kesesuaiannya dengan ajaran Marx. Mengapa begitu? Karena di dalam setiap kebenaran dengan sendirinya ada metode Marxis, sementara dalam ajaran spesifik Marx dimungkinkan ada kekeliruan akibat kerangka acuan empiris yang tidak memadai pada zamannya. Ambillah contoh tulisan Marx tentang ‘masyarakat Asiatik.’ Ketika ia hendak merumuskan modus produksi Asiatik dan berbicara tentang Hindia Belanda, Marx menggunakan sumber rujukan buku Thomas Stamford Raffles, History of Java, sebuah buku yang rincian empirisnya tidak akurat karena dipengaruhi oleh bias epistemologi kolonial. Karenanya, ajaran spesifik Marx tentang masyarakat Asiatik belum tentu dapat diandalkan. Sementara di dalam teori non-Marxis seperti teori evolusi Darwin, berlaku metode yang juga digunakan Marx: sifat-sifat spesies dikondisikan oleh syarat produksi dan reproduksi kehidupan materialnya sehingga evolusi spesies dimungkinkan karena adanya evolusi dalam kondisi material. Karenanya, kebenaran nomor satu, baru kemudian kesesuaiannya dengan ajaran Marx.

Kita akan memperjelas paradigma propaganda Marxis ini dengan mengambil ranah kebudayaan sebagai ilustrasi. Bagaimana meyakinkan seorang intelektual non-Marxis atau bahkan anti-Marxis bahwa Marxisme itu benar adanya? Bagaimana meyakinkan sekelompok personel band indie bahwa Marxisme itu masuk akal? Bagaimana meyakinkan seorang matematikawan kuper atau pemuda putus cinta bahwa Marxisme itu sahih? Tentunya tidak dengan cara-cara vulger seperti menimpakan semua permasalahan dunia pada kapitalisme demikian sehingga sosialisme menjadi solusinya. Tidak juga dengan membagi-bagikan selebaran dengan rentetan kata ‘lawan’ yang lebih banyak daripada jumlah tanda bacanya. Sebaliknya, mulailah dengan cara ortodoks: (1) abaikan semua kosakata Marxis, (2) masuk ke dalam kosakata sang subjek, (3) ikuti penalaran si subjek dan rekonstruksi metodenya, (4) eksplisitkan atau beri penekanan pada ‘metode Marxis’ yang sebetulnya sudah inheren di dalam penjelasan sang subjek tanpa sekalipun menggunakan kosakata Marxis, atau tunjukkan kekeliruan dari metode pemikiran yang ia gunakan dengan penjelasan yang selaras bagi skema dan kosakata berpikirnya, (4) tunjukkan bahwa ‘metode Marxis’ itu punya konsekuensi pada gagasan tertentu tentang kenyataan seperti yang dikupas dalam ajaran Marx.

Implikasi dari pendekatan propaganda yang ortodoks, yang tidak vulger, karenanya, adalah bahwa sang propagandis mesti fasih dalam alam kebudayaan non-Marxis. Singkat kata, propagandis Marxis tidak boleh kuper secara kultural, sibuk dalam komunitas kecilnya sendiri, kepalanya penuh sesak dengan jargon-jargon Marxis dan fraseologi Kiri semata. Ia mesti akrab, atau setidaknya ramah, dengan kegelisahan para matematikawan, kegalauan pemuda putus cinta dan spontanitas kreatif anak-anak band indie. Ia mesti haus dan cinta akan pengetahuan, dipenuhi rasa ingin tahu tentang segala yang terjadi di bawah langit dan di seberangnya. Ia mesti senang membaca tulisan etnografis tentang kebudayaan suku Masai, buku resep masakan, artikel logika tentang hubungan bikondisional dalam semantik matra-dua, novel picisan, buku cerita anak-anak, dan pernak-pernik dunia pemikiran lainnya. Ia mesti girang berdiskusi tentang temuan-temuan terbaru neurosains, tentang seni berkebun, tentang Rollysta dan dangdut indie Pantura, tentang sejarah konsep massa dalam ilmu fisika. Ringkasnya, ia mesti menjadi semacam al-insan al-kamil. Bukan ‘manusia sempurna,’ melainkan manusia yang punya perhatian yang tulus terhadap segala. Bukan karena ia ingin memaksakan Marxisme ke mana-mana, melainkan karena ia mampu melihat Marxisme di mana-mana. Propagandis yang kuper secara kultural hanya punya satu tempat: museum artifak revolusi yang gagal.

Setiap manusia, secara kodrati, adalah Marxis. Mereka menjadi non- atau anti-Marxis karena kesalahpahaman saja. Inilah aksioma fundamental dari propaganda Marxis. Peran propaganda Marxis bukanlah untuk menyalahkan orang-orang karena tidak baca Das Kapital, karena tidak masuk partai progresif, atau karena kosakatanya borju, melainkan untuk menjernihkan kesalahpahaman yang ada sehingga mengantarnya pada kebenaran hal ihwal. Manusia, dari kodratnya, adalah Marxis karena begitu ia mencapai pengertian yang benar tentang suatu hal, ia sejatinya tengah menggunakan metode Marx tanpa ia sadari. Sehingga kalau pada kesempatan lain ia mengeluarkan kosakata maupun kesimpulan yang non-Marxis atau anti-Marxis, itu pasti karena salah paham saja. Artinya, tugas propagandis Marxis bukanlah menginternalisasi nilai-nilai dan ajaran Marxis, menanamkan ideolokhi Kiri dan sejenisnya, melainkan membidani lahirnya gagasan yang benar dari dalam diri manusia itu sendiri. Hadirkan kebenaran, maka Marxisme akan datang dengan sendirinya.***

9 Maret 2014

Marxisme dan Percakapan di Tengah Hutan

$
0
0

JOKO: War, kau masih ingat, sudah berapa lama kita berada di sini?

Anwar: Wah, sejak kapan ya? Kayanya sudah dari sononya kita di sini. Mungkin sejak 1999. Atau 1998. Memang kenapa, Jok?

Joko: Tidak apa-apa, War. Hanya saja belakangan ini aku semakin rindu dengan hingar-bingar politik. Di hutan ini cuma ada tumbuh-tumbuhan dan beberapa serangga.

Anwar: Apa kau mulai kehilangan iman, Jok? Kita kan ke sini karena muak dengan kebusukan politik borjuis. Kita ke sini untuk membuat perbedaan. Kita tunjukkan bahwa politik tak akan berjalan tanpa rakyat.

Joko: Rakyat yang mana, War?

Anwar: Rakyat yang mana? Ya kita ini kan rakyat.

Joko: Ya, maksudku, kita ini kan bagian dari rakyat—sebagian kecil rakyat yang terdiri dari dua orang. Sisanya?

Anwar: Sisanya masih terilusi, Jok.

Joko: Terilusi bagaimana?

Anwar: Ya, terilusi. Masa kau tak tahu? Kau ini aneh sekali. Sudah 15 tahun tinggal di hutan kok tiba-tiba lupa dengan alasan kita mulanya memutuskan hidup di sini. Orang-orang terilusi oleh harapan mereka sendiri; harapan bahwa politik elektoral akan bisa menyelesaikan kontradiksi kelas dan mengakhiri penghisapan; harapan bahwa kapitalisme bisa diatasi lewat konsensus elit. Kita berbeda dari mereka, Jok. Kita beda. Kita sudah anti-elektoralisme, anti-kapitalisme dan anti-elit sebelum hal-hal itu jadi mainstream.

Joko: Ooo… Jadi kita ini semacam hipster ya?

Anwar: Bukan juga. Hipster itu mainstream, Jok. Yang jelas kita sudah berjuang membuyarkan ilusi itu lewat facebook dan propaganda ke desa-desa sekitar sini kan. Kita sudah mengorganisir masyarakat supaya menolak tunduk pada politik elit, agar tidak jatuh pada yang mainstream.

Joko: Terus apa pendapatmu soal populisme yang belakangan ramai dibahas di faceboook dan twitter? Sebetulnya ini yang belakangan bikin aku rindu politik.

Anwar: Ilusi itu, Jok. Populisme itu pencitraan yang dibuat industri media. Seakan-akan mengedepankan program-program pro-rakyat, nyatanya permainan elit biar dapat suara. Malah bisa-bisa jatuh ke fasisme. Kalau di Venezuela atau di Kolumbia itu beda; di sana populismenya Marxis. Kalau di Indonesia, populisme itu cuma slogan; praktiknya ya neolib.

Joko: Berarti ada populisme Marxis dan ada populisme non-Marxis? Kalau begitu apa bedanya?

Anwar: Ya gampang saja: populisme Marxis itu betul-betul diabdikan untuk rakyat, kalau populisme non-Marxis, seperti fasisme, kan tidak begitu.

Joko: Ooo… Berarti bedanya: populisme Marxis itu jujur, populisme non-Marxis itu pembohong? Jadi kejujuran itu adalah salah satu kelebihan Marxisme ya? Selarasnya kata-kata dan perbuatan?

Anwar: Ya… Lumayan lah.

Joko: Tapi bukankah, kalau kita bicara realpolitik, sosok populis itu betul-betul didukung oleh rakyat banyak? Atau kau mau bilang realpolitik sudah terlalu mainstream?

Anwar: Ya memang sih. Tapi dia kan tidak sungguh-sungguh Kiri. Mana bisa dia membawa perubahan emansipatoris pada kelas-kelas tertindas? Justru tugas kita adalah menyadarkan rakyat banyak yang masih terilusi itu agar tidak memilih dia?

Joko: Kalau tidak memilihnya terus rakyat mesti memilih siapa? Memilih kita? Menolak partisipasi dalam pemilu dan bergabung dengan kita? Orang partai aja kita ngga punya. Orang kita tinggal di hutan!

Anwar: Makanya mending kita fokus saja ke pengorganisasian, biar kita bisa mendirikan partai massa yang benar-benar kuat.

Joko: Seingatku, lima tahun yang lalu kau bicara hal yang sama, War. Lalu lima tahun sebelumnya juga.

Anwar: Membangun partai revolusioner sejati kan memang perlu waktu yang lama. Dalam situasi dominannya kultur borjuis seperti ini, bisa makan waktu puluhan tahun untuk membuat partai yang sesuai dengan ajaran Marxis-Leninis. Malah mungkin seratus tahun lebih, kalau mau benar-benar sesuai.

Joko: Lalu apa arahan yang semestinya kita berikan pada rakyat dalam kondisi sekarang ini? Boikot pemilu dan tunggu seratusan tahun lagi—begitu?

Anwar: Ya bisa begitu.

Joko: Kenapa kita tidak bikin agama saja, War? Kan agama mengajarkan orang untuk bersikap dengan mengacu pada masa depan yang entah kapan tibanya?

Anwar: Agama itu candu.

Joko: Jamur juga, War.

Anwar: Terus maumu apa, Jok? Kita mesti memberi dukungan kritis, begitu? Atas dasar apa? Posisimu di mana sih?

Joko: Posisiku di hutan, War. Seperti kau juga. Dan kita mengira kita sudah berpolitik, padahal baru sebatas bergunjing—entah di facebook, entah di desa-desa sekitar. Kita baru sebatas mengorganisir opini massa: bahwa politik elit itu busuk, bahwa upah buruh kebun itu tidak manusiawi, bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi oligarkis. Kalaupun karena informasi itu, masyarakat kemudian melakukan aksi massa, kita tidak bisa mengklaim itu karena hasil kerja politik kita. Kalau cuma informasi selevel itu, mereka juga bisa dapat dari mana saja: dari koran, dari TV, dari medsos, dari mana-mana. Celakalah kita kalau kita berpikir bahwa karena kita telah mengorganisir massa agar ngambek pada pemerintah, maka kita telah berpolitik. Padahal politik bukan cuma aksi massa. Celaka kita, War.

Anwar: Tidak benar itu, Jok. Tugas kita sebagai aktivis Marxis adalah mendesakkan pengambil-alihan negara di tangan rakyat pekerja. Itulah tujuan yang akan kita capai melalui pengorganisasian kemarahan rakyat pada pemerintah. Agar supaya mereka sadar bahwa mereka telah ditipu oleh elit, agar supaya mereka menentang politik upah murah yang diterapkan para oligark dan kapitalis, agar supaya terjadi pemogokan massal dan mereka semua turun ke jalan. ‘98, Jok, ‘98!

Joko: Dalam ingatanmu itu, apakah kemudian pemerintah berhenti berjalan?

Anwar: Berhenti, Jok. Suharto turun.

Joko: Ya, Suharto turun, Habibie naik dan pemerintah jalan seperti biasa kan? Mengapa begitu?

Anwar: Karena permainan elit lah, Jok. Masa kau tak tahu?

Joko: Karena kita hanya tahu politik sebatas aksi massa, War! Itu sebabnya. Itu sebabnya ketika ‘permainan elit’ yang kau sebut-sebut itu terjadi, kita cuma bisa celingukan. Atau, lebih parah lagi, kita lah yang berjalan seperti biasa. Terus mengandalkan aksi massa dan terus harap-harap cemas menantikan datangnya suatu Pemogokan Universal yang akan dalam satu tarikan menjungkalkan sistem demokrasi borjuis, menumbangkan kapitalisme dan mendirikan pemerintahan rakyat. Bahkan Lenin pun tak selugu itu.

Anwar: Politik revolusioner yang sejati kan memang aksi massa, Jok! Kalau negosiasi, pencitraan, kompromi, itu namanya politik borjuis.

Joko: Kalau negosiasi, pencitraan dan kompromi kau anggap borjuis, lantas mau kau anggap apa sejarah gerakan Kiri dunia? Pada masa kemelut Revolusi, Lenin sampai memohon-mohon pada para bankir agar tidak meninggalkan Rusia demi menjaga stabilitas Uni Soviet yang baru terbentuk. Ketika keteguhan Mao dan keawasan Chu Teh tak membuahkan hasil yang cukup, Zhou Enlai lah yang berkeliling untuk bernegosiasi dengan lawan-lawan politiknya. Ia membuka dialog dan memenangkan tujuan-tujuan Kiri dengan cara-cara deliberatif. Ia bertarung di front-front yang tidak membutuhkan atau bahkan alergi terhadap fraseologi Marxis. Ia mampu merumuskan kepentingan Kiri ke dalam bahasa yang bisa dimengerti dan disepakati kelompok-kelompok yang paling Kanan mentok sekalipun. Politik bukan cuma aksi massa, War. Politik juga melibatkan ‘momen-momen Zhou Enlai’ semacam itu.

Anwar: Oke berarti itu cuma soal bahasa.

Joko: Bukan ‘cuma soal bahasa.’ Itu melibatkan kerangka pengertian Marxis yang kokoh pada prinsip dan metode, tetapi luwes dalam penerapan dan pengungkapan. Tanpa pendalaman prinsip dan metode Marxis yang memadai, kau akan diombang-ambingkan oleh situasi dan menjadi korban pergaulan semata. Tetapi tanpa fleksibilitas dan sensitivitas pada realpolitik, kau juga akan tenggelam seperti batu karang di tengah laut: kokoh tapi tak punya dampak.

Anwar: Jadi menurutmu kecenderungan populisme dalam politik Indonesia belakangan ini mesti dibaca dalam kerangka ‘momen Zhou Enlai’ itu?

Joko: Betul.

Anwar: Jadi sekarang saatnya bagi gerakan untuk menerjemahkan agenda-agenda Kiri ke dalam rumusan yang bisa diterima banyak pihak tanpa menghilangkan substansi agenda tersebut?

Joko: Betul.

Anwar: Untuk itu, kita mesti menjalin kontak dengan gerakan populis agar mampu memasukkan agenda-agenda itu, bukan? Dengan kata lain, kita perlu bergaul, bukan?

Joko: Tentu saja.

Anwar: Kalau seandainya agenda-agenda itu gagal dilaksanakan oleh sosok populis itu bagaimana? Kita boleh mendesakkan pengambil-alihan negara oleh rakyat kan?

Joko: Bukannya aku menolak, Jok, tapi apa tidak sayang pulsa?

Anwar: Heh.. Maksudnya?

Joko: Dalam kondisi gerakan kita yang sekarang, desakan agar rakyat mengambil-alih negara tak akan didengar. Jadinya buang-buang pulsa. Sekarang berapa jumlah massa kita? Paling ratusan. Kalaupun pada momen krusial seperti 1 Mei, paling ribuan—itupun aksi gabungan dengan gerakan-gerakan lain yang belum tentu bisa diklaim ‘Kiri.’ Jumlah massa kita bahkan kalah sama Kangen Band. Kalau dalam hitungan band, kita paling banter baru setaraf Kufaku Band. Pernah dengar nama Kufaku?

Anwar: Belum.

Joko: Nah itulah kita.

Anwar: Jadi kita mesti memperbesar gerakan terlebih dulu. Memperkuat kerangka penalaran Marxis dan belajar menerapkannya dalam situasi-situasi non- atau anti-Marxis. Mendesakkan agenda-agenda Kiri yang sudah dirumuskan ulang dalam ungkapan yang masuk akal bagi banyak pihak dan memberikan dukungan kritis pada sosok populis untuk melaksanakan agenda tersebut. Bukan begitu, Jok?

Joko: Ya. Singkatnya, kita mesti keluar dari hutan ini.

Anwar: Sepakat, Jok.***

25 Maret 2014

Marxisme dan Artikulasi Politik

$
0
0

SECARA material, politik adalah perkara formasi, administrasi dan justifikasi pembagian kerja masyarakat dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Administrasi masyarakat dalam rupa negara adalah salah satu bentuk pengorganisasian tersebut. Dalam arti ini, politik adalah aspek organisasional dari realitas ekonomi. Teori Marxian tentang politik lazimnya bergravitasi ke persoalan tersebut. Mulanya Hegel mengartikan Negara sebagai perwujudan dari rasionalitas publik berhadapan dengan Masyarakat Sipil (Bürgerliche Gesellschaft—harfiahnya: ‘masyarakat borjuis’) sebagai perwujudan dari  rasionalitas privat yang berbasis kepentingan-diri. Kemudian Marx menunjukkan bahwa Negara Hegelian sebagai mediator berbagai kepentingan-diri dalam Masyarakat Sipil nyatanya masih menyimpan kontradiksi tersendiri. Kontradiksi itu terletak dalam pemisahan antara yang-mewakili dan yang-diwakili, antara yang-didaulat dan yang-berdaulat, singkatnya: antara representasi politik dan presentasinya. Muara dari kontradiksi itu, telisik Marx, terletak pada aras ekonomi tempat realitas politik berpijak, yakni dalam realitas kelas atau dengan kata lain, dalam realitas pemisahan antara produsen dan pemilik sarana produksi. Selama masih ada kelas, selama itu jugalah akan ada pemisahan antara representasi dan presentasi dalam politik. Pemikiran politik dalam garis Marxian di kemudian hari berupaya mengklarifikasi, mempersoalkan dan memperbaiki konsepsi Marx tentang  hubungan antara realitas politik dan ekonomi. Ada yang berpendapat bahwa politik betul-betul tak lebih dari alat kelas dominan dalam melanggengkan dominasi ekonominya. Ada juga yang berpendapat bahwa politik memuat kekuatan yang dapat mengintervensi realitas perekonomian berlawanan dengan kepentingan kelas dominan.

Secara formal, politik adalah perkara penemuan kebenaran berkenaan dengan perikehidupan sosial. Apa yang hendak dicapai melalui setiap laku politik adalah penemuan kebenaran mengenai bagaimana semestinya kehidupan sosial dikelola. Perbedaan antar berbagai sistem politik adalah pada dasarnya perbedaan mengenai metode penemuan kebenaran kehidupan kolektif seperti itu. Persoalan yang utama bukanlah apa bentuk pengelolaan kehidupan kolektif yang benar, tetapi dengan cara bagaimana hal itu ditemukan? Dari pertanyaan ini tumbuh berbagai metode penemuan kebenaran sosial: mulai dari monarki, demokrasi perwakilan sampai dengan komune. Pendekatan Marxian percaya pada metode terakhir. Di balik kepercayaan itu, terletak asumsi bahwa kriteria penentu kebenaran politik adalah rakyat. Pemikir Marxis mulai dari Mao sampai Alain Badiou memegang teguh asumsi itu. Rakyat tak mungkin keliru, sebab rakyat adalah penentu kebenaran dan kesalahan dari kehidupan kolektif. Artinya, rakyat lah legislator sekaligus eksekutor sesungguhnya dari setiap sendi kehidupan politik.  Badiou menyebut prinsip Maois ini sebagai metapolitik, yakni pendekatan politik yang tidak bertolak dari postulat moral yang diasumsikan universal (misalnya bahwa ‘monarki itu jahat,’ ‘demokrasi perwakilan itu jahat’, dsb.), melainkan dari apa yang berakar pada kepentingan rakyat itu sendiri. Itulah sebabnya, kaum Marxis percaya pada komune, dewan rakyat dan segala bentuk partisipasi mutlak dalam politik. Alasannya jelas, partisipasi politik adalah sebagian dari emansipasi politik. Di mana sebagian lainnya? Itu ditemukan dalam aspek material politik, yakni dalam penghapusan kelas. Singkatnya, emansipasi Marxian=partisipasi politik mutlak+penghapusan kelas. Dengan itu, kebenaran politik ditemukan dan diwujudkan.

Permasalahannya, sebelum kebenaran politik diwujudkan, hal itu mesti diungkapkan terlebih dulu. Ini merupakan masalah sebab mengetahui adalah satu hal, sementara mengungkapkannya adalah hal lain. Setiap Marxis tahu bahwa kapitalisme itu kontradiktif, tetapi apakah setiap Marxis mampu mengungkapkan tesis tersebut secara masuk akal di depan kalangan non-Marxis dan anti-Marxis? Setiap Marxis tahu bahwa demokrasi perwakilan tidak akan menghapuskan jurang antara representasi dan presentasi politik, tetapi apakah setiap Marxis dapat menjabarkannya dengan argumen yang dapat diterima akal bagi banyak orang tanpa mengandaikan komitmen terdahulu pada iman Marxisme? Setiap Marxis tahu bahwa kemanusiaan dan kebebasan yang riil baru akan terwujud dalam masyarakat komunis, tetapi apakah setiap Marxis dapat menjelaskannya dalam argumen yang bisa dipahami oleh kalangan liberal? Sederet pertanyaan ini mendesakkan sebuah agenda penting dalam politik Marxis, yakni soal artikulasi politik.

Ketika seorang jenderal menyatakan ‘NKRI harga mati,’ kita dapat bertanya: apakah dia sedang meyakinkan orang lain ataukah dirinya sendiri? Sebagai sebuah artikulasi politik, pernyataan yang terkesan sederhana itu justru sebenarnya rumit. Mengapa rumit? Karena tidak jelas kriteria ‘harga mati’ yang dimaksud dan terutama karena tidak jelas relevansinya bagi pendengar. Seorang pengusaha yang bisnisnya tidak hanya ada dalam lingkup ‘NKRI’ tidak akan merasa diyakinkan oleh seruan itu. Buat dia, asal bisnisnya tetap jalan, ada/tidaknya ‘NKRI’ tidak relevan. Pernyataan itu tidak akan meyakinkannya sebab pernyataan tersebut mensyaratkan penerimaan implisit atas asumsi tentang nilai-nilai luhur fasisme, sementara sang pengusaha hanya mengenal nilai-nilai luhur bisnis.

Demikian pula dengan seorang Marxis yang menyatakan ‘kapitalisme itu kejam karena menghisap buruh.’ Buat para ekonom liberal dan para pengusaha, pernyataan itu sulit dimengerti karena menurut mereka kapitalisme justru merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang paling cepat mendatangkan akumulasi kekayaan, tentunya dengan mengasumsikan trickle-down effect sebagai mekanisme distribusi sumber daya yang optimal. Demikian juga buat masyarakat awam yang cara berpikirnya cenderung menurut pada common sense yang didikte secara kultural oleh kepentingan kapitalis. Pernyataan di muka merupakan salah satu artikulasi dari tesis ‘kapitalisme mengandung kontradiksi internal.’ Namun tesis yang sama juga dapat diartikulasikan secara berbeda. Salah satu bentuk artikulasi lain yang mungkin adalah pernyataan: ‘kapitalisme merugikan para pengusaha.’ Argumennya disediakan oleh Marx sendiri dalam teori kejatuhan tingkat laba alias teori krisis kapitalisme. Peningkatan teknologi produksi akan menyebabkan jatuhnya tingkat laba para kapitalis sebab kenaikan komposisi organik kapital (meningkatnya porsi kapital konstan di atas kapital variabel) setali tiga uang dengan penurunan nilai komoditas. Karenanya, secara jangka panjang, kapitalisme tidak hanya merugikan kelas buruh tetapi juga kelas kapitalis itu sendiri dan semua sektor kehidupan masyarakat yang bertumpu pada modus produksi kapitalis. Dengan memberikan penjabaran yang rinci, pernyataan tersebut lebih mungkin meyakinkan para ekonom liberal, pengusaha dan masyarakat awam daripada pernyataan pertama di muka. Mengapa begitu? Sebab melalui argumen yang menopang pernyataan tersebut ditunjukkan bahwa berdasarkan kriteria kapitalis itu sendiri, kapitalisme memang bermasalah. Jadi kapitalisme bermasalah bukan hanya karena menghisap kaum buruh, tetapi juga karena secara jangka panjang merugikan kaum kapitalis itu sendiri. Kapitalisme bermasalah bukan hanya karena kejam, tetapi karena merugikan. Kriterianya bukan kekejaman, melainkan kerugian. Inilah salah satu contoh dari artikulasi politik Marxis non-konvensional yang mampu menjawab problem pengungkapan kebenaran Marxis di depan kalangan yang non- maupun anti-Marxis.

 

 

Apabila disarikan dari ilustrasi di muka, prinsip artikulasi politik Marxis ialah berangkat dari kerangka berpikir Marxian dan tesis kuncinya lantas menemukan penerjemahannya ke dalam kerangka berpikir non- maupun anti-Marxis. Di sini para Marxis bisa menimba pelajaran dari pernyataan Adam Smith dalam Wealth of Nations:

Bukanlah dari kebaikan hati sang tukang daging, peramu minuman ataupun tukang roti kita mengharapkan santap malam kita, melainkan dari perhatian mereka terhadap kepentingan mereka sendiri. Kita menghaturkan diri kita tidak terhadap rasa kemanusiaan mereka, melainkan terhadap rasa cinta-diri mereka; dan jangan pernah berbicara pada mereka tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.

Smith menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh daging dari sang tukang daging bukan lantaran ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, melainkan karena ia memiliki kepentingan untuk jualan daging. Karenanya, dalam bernegosiasi dengan sang tukang daging, Smith berpesan, kita jangan berbicara tentang kepentingan kita, tetapi bicaralah tentang keuntungan yang dapat diterima sang tukang daging dari transaksi tersebut.

Model artikulasi politik ini sangat berguna sebab dengan cara itu kebenaran Marxisme dapat diungkapkan dalam argumen yang masuk akal bagi kaum anti-Marxis sekalipun. Hal ini menjadi penting karena salah satu tugas utama yang diemban kaum Marxis dalam perjuangan menuju masyarakat tanpa kelas adalah meyakinkan sebanyak mungkin orang—dengan kepentingan yang tentu saja berbeda-beda—pada tujuan-tujuan sosialisme dan komunisme. Dalam arti itu, apa yang penting bukanlah meyakinkan (lebih tepatnya, meyakinkan ulang) sejawat sendiri tentang keburukan kapitalisme, tetapi meyakinkan orang lain.

Proses artikulasi politik semacam itu memang terkesan tidak keren dan heroik. Tidak ada orasi berapi-api, tidak ada teatrikal Kiri yang tipikal, tidak ada pembangkangan-pembangkangan yang showy. Kemungkinan inilah sebab mengapa artikulasi politik Marxis yang ada selama ini cenderung terbatas. Seakan-akan seseorang belum bisa dianggap Marxis kalau belum pernah mengutuk-sumpahi kapitalisme atau melecehkan demokrasi borjuis dengan heroisme naif yang dapat diperagakan bahkan oleh intel Melayu. Tanpa pembelajaran artikulasi politik yang matang, ungkapan Marxis rentan terjatuh dalam buzzwords dan fashionable nonsense yang pada akhirnya justru kontra-produktif bagi cita-cita emansipasi Marxis. Sebabnya, emansipasi Marxian dalam rupa partisipasi politik mutlak dan penghapusan kelas tak akan terwujud tanpa penguasaan beragam artikulasi politik. Perwujudan kebenaran politik Marxis tak akan mengemuka hanya dengan diketahui dan diyakini oleh sekelompok penghayat yang militan, tetapi juga dengan diungkapkan, diartikulasikan kepada pihak-pihak yang tak peduli ataupun antipati terhadap Marxisme. Dan Marxisme tak akan menang selama kaum Marxis masih terkungkung dalam heroisme ababil (‘abg labil’) yang membuat cupet artikulasi politiknya sendiri.

Dengan demikian, emansipasi Marxis = partisipasi politik mutlak + penghapusan kelas + artikulasi politik. Tanpa penguasan artikulasi politik, emansipasi Marxis hanya akan tinggal sebagai cita-cita luhur semata. Sentralitas artikulasi politik mengemuka terutama ketika kita menyadari bahwa politik bukan soal tabula rasa, bukan soal pembangunan dari nol, penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Kalau politik adalah soal tabula rasa, tentu mudah sekali kerja politik Marxis: tinggal bangun semuanya sesuai dengan kutipan-kutipan Marx atau Lenin. Persoalannya, cara berpolitik seperti Tuhan ini melompati kenyataan aktual dan karenanya tidak akan punya dampak berarti pada kenyataan aktual. Sosialisme tidak akan terjadi hanya dengan mengharuskannya untuk terjadi: ‘Jadilah terang; maka terang itu jadi.’ Emansipasi Marxis yang nyata tak akan terwujud dengan program kolektivisasi seluruh sarana produksi sekarang juga, bentuk pemerintahan revolusioner buruh sekarang juga, entah apa realitas politik yang sedang terjadi. Emansipasi Marxis yang nyata baru akan terjadi bila ada upaya artikulasi politik yang setapak demi setapak mewujudkan program kolektivisasi tersebut melalui argumen dan pengalaman historis yang mengkonfirmasinya bagi berbagai pihak. Emansipasi Marxis hanya akan akan terwujud melalui negosiasi dengan sejarah dan di situ artikulasi politik memegang peranan penting.

Heroisme ababil dan gagasan tentang politik sebagai tabula rasa adalah dua sisi dari satu mata koin yang sama. Keduanya saling menggenapi dan terus meneguhkan kaum Marxis agar hidup di semesta angan-angan, agar lupa pada kenyataan dan karenanya terus melanggengkan ketakberartian dan involusi gerakan Marxis. Keduanya seakan-akan mengarah pada sebuah semboyan ‘radikal:’ ‘semakin tak relevan, semakin revolusioner. Semakin gagal meyakinkan pihak-pihak lawan, semakin murni derajat Marxisnya. Semakin sulit berkomunikasi dengan pihak yang ideologinya berbeda, semakin otentiklah dia sebagai Marxis. Semakin terkurung dalam rimba kosakata Marxis, semakin revolusioner. Semakin involutif, semakin revolusioner.’ Kecenderungan seperti ini hanya bisa diatasi dengan pembelajaran artikulasi politik.

Artikulasi politik tak hanya berguna untuk meyakinkan orang pada Marxisme secara keseluruhan. Justru itu bukan fungsi utama artikulasi politik Marxis. Itu hanya berguna dalam diskusi-diskusi intelektual tentang Marxisme sebagai sistem pemikiran. Fungsi utama artikulasi politik adalah memberikan kerangka perumusan program politik dan komunikasi politik dalam front luas. Dengan demikian, artikulasi politik amat penting dalam aktivitas politik intra-parlementer dan perdebatan kebijakan publik. Misalnya, mengenai MP3EI. Setiap Marxis tentu menolak platform kebijakan yang dirumuskan berdasarkan paradigma debottlenecking alias deregulasi dan privatisasi. Namun tahu bahwa itu salah berbeda dengan mampu mengungkapkannya secara efektif. Seorang Marxis bisa saja memberikan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI salah karena bertentangan dengan Marxisme’ atau ‘MP3EI adalah alat kapitalis untuk memiskinkan buruh.’ Namun relevansi politis dari artikulasi semacam itu dari sudut pandang realpolitik sehari-hari amatlah kecil dibandingkan, misalnya, dengan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI keliru karena menyebabkan anjloknya pendapatan nasional dalam jangka panjang’ atau bahwa ‘MP3EI merugikan perekonomian negara dan swasta domestik.’ Artikulasi politik semacam ini memang terkesan tidak Marxis dan cenderung populis-reformis saja. Namun artikulasi semacam itulah yang dapat diterima akal sehat kalangan awam dan para pengambil kebijakan. Jadi kita tinggal pilih: mau mempertahankan fashion atau atribut Marxis dan dengan itu jadi semakin tidak relevan dengan realpolitik, atau mau mewujudkan intervensi efektif dalam realpolitik dengan mengesampingkan keriuhan atributif?

Artikulasi politik Marxis, dengan demikian, dapat didefinisikan secara sederhana sebagai pengungkapan kebenaran Marxis dalam rumusan yang masuk akal secara non-Marxis. Dalam pertarungan politik nasional di masa mendatang, kemenangan agenda-agenda Kiri akan lebih banyak ditentukan oleh artikulasi politik ketimbang oleh repetisi slogan, penolakan membuta dan serentetan parade heroisme ababil lainnya. Lewat artikulasi politik jugalah perluasan atau penyempitan gerakan Kiri di tengah-tengah gelombang perlawanan rakyat ditentukan. Artikulasi politik yang terbatas hanya akan membuat khalayak umum gagal paham dan karenanya kontribusi gerakan Kiri dalam perlawanan rakyat akan mengecil. Sementara artikulasi politik Kiri yang luwes akan dapat memperbesar partisipasi rakyat bersama dengan gerakan dalam perjuangan melawan kapitalisme. Dengan demikian, tak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa masa depan Marxisme di Indonesia bertumpu pada perkembangan artikulasi politik gerakan Kiri, pada sejauh mana gerakan mampu merumuskan agenda Marxis dalam kerangka tuntutan yang sifatnya lebih merangkul banyak pihak daripada mengisolir diri sendiri dengan tuntutan yang hanya masuk akal bagi teman sendiri.

Di situlah juga terletak peran taktis gerakan Kiri dalam gelombang populisme hari ini. Persoalannya bukan percaya atau tidak percaya pada populisme dan reformisme, persoalannya bukan soal apakah populisme itu halal atau haram menurut akidah Marxisme, tetapi apa yang bisa dihasilkan dari sana untuk memajukan agenda Marxis dan apa yang mesti diperbuat untuk memastikan kemajuan agenda tersebut. Tujuan gerakan Kiri adalah kemenangan politik rakyat, bukan penegakkan syariat Marxis. Tujuannya adalah memenangkan agenda Marxis, bukan sertifikasi halal-haram. Dan artikulasi politik yang luwes adalah salah satu sarana di antara segudang sarana lainnya untuk merealisasikan tujuan tersebut. Dalam gelombang populisme yang cair secara ideologis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan agenda Marxis tanpa mengasumsikan penerimaan publik atas kebenaran pokok-pokok Marxisme. Ini berujung pada dua konsekuensi. Pada aras teoretis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan kritik imanen atas kapitalisme dan kultur borjuis. Artinya, mampu menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan kapitalis itu sendiri, kapitalisme itu memang bermasalah (misalnya merugikan), atau bahwa dari kriteria budaya borjuis itu sendiri, penegakan HAM tidak mungkin terwujud secara utuh dalam lingkup kebudayaan borjuis. Pada aras praktis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan kritik imanen atas kebijakan pro-pemodal dan ideologi liberal yang menopangnya. Artinya, mampu menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan investasi itu sendiri, neoliberalisme memang bermasalah karena tidak hanya merugikan kaum buruh, tetapi juga para pemodal dan perekonomian negara. Di sini, kerja politik sesungguhnya lebih terletak dalam artikulasi politik ketimbang dalam revolutionary showmanship.

8 April 2014

Marxisme dan Video Game

$
0
0

VIDEO Game bagi anak muda masa kini mirip seperti kesusastraan bagi anak muda di di zaman Renaisans. Video Game adalah bentuk termaju dari budaya pop masa kini. Namun anehnya, berbeda dari film, musik dan komik, bentuk budaya pop kontemporer ini jarang diutak-utik oleh para pengkaji budaya pop. Padahal video game bisa dikatakan merupakan bentuk budaya pop yang paling mampu memproduksi dan mereproduksi budaya dan ideologi dalam benak para penikmatnya. Mengapa demikian? Karena berbeda dari film, musik atau komik yang menempatkan para penikmatnya dalam posisi pemirsa yang pasif mengikuti cerita, video game memposisikan para penikmatnya sebagai subjek cerita yang melalui pilihan-pilihannya membentuk hasil akhirnya sendiri. Kalau pada film, musik dan komik, ruang keaktifan pemirsa hanya terbatas pada interpretasi, pada video game ruang partisipasi aktif itu tak hanya tersedia pada aras penafsiran, tetapi juga pada keseluruhan proses permainan itu sendiri. Misalnya, apabila multiple endings dalam film terwujud secara metaforis sebagai hasil dari tafsiran penonton, multiple endings dalam video game terwujud secara harfiah sebagai akibat dari perbuatan sang pemain game sebagai si tokoh utama cerita. Dimensi partisipasi aktif inilah yang menyebabkan video game memiliki kekuatan yang lebih besar untuk memproduksi dan mereproduksi ideologi melampaui bentuk-bentuk budaya pop lainnya. Itulah sebabnya, aneh bila para pengkaji budaya pop yang menggunakan perspektif Marxis tak pernah membuat studi khusus tentang video game. Ada berjubel kajian Marxis tentang film atau musik dan beberapa tentang komik, tetapi tidak ada satupun tentang video game—apalagi di Indonesia.

Kejanggalan di muka kian menguat ketika kita melihat bahwa banyak cerita dalam video games yang sebetulnya mengandung warna Kiri, kalaupun tak bisa dikatakan Marxis. Saya tak pernah lupa ketika pertama kali memainkan Final Fantasy 7 (1997) sewaktu masih duduk di bangku SD, tahun 1997 lalu. Game PlayStation itu mengisahkan perjuangan sekelompok eko-teroris dalam menghancurkan perusahaan raksasa yang menghisap kekuatan bumi dan membikin melarat rakyat banyak. Sang tokoh utama adalah tentara bayaran yang mulanya tak ambil pusing dengan ideologi gerakan perlawanan itu; asalkan dia dibayar, perang melawan siapapun tidak masalah buat dia. Seiring berjalannya cerita, sang tokoh utama dibuat sadar bahwa semuanya terkena dampak ekploitasi perusahaan itu. Orang-orang dari masa lalunya, kampung halamannya, kekasihnya—semua nyatanya menjadi korban dari rezim yang membuahkan kengerian di mana-mana. Sang tokoh utama—dan akhirnya juga kita sebagai pemain game—diantarkan pada kesimpulan bahwa tak ada pilihan lain selain melawan.

Game lain yang memuat unsur-unsur Kiri semacam itu banyak jumlahnya. Contoh yang paling ekstrim adalah games yang secara eksplisit menyajikan latar gerakan komunis seperti misalnya Revolution Under Siege (2010). Ini adalah game strategi dengan latar zaman Revolusi Bolshevik dan Teror Putih. Dalam game ini sang pemain dapat mengendalikan Trotsky dan Tentara Merah. Tugas kita sebagai pemain adalah mengatur strategi untuk memerangi Tentara Putihnya Anton Denikin dengan peta peperangan yang membentang dari Polandia hingga Samudra Pasifik. (Teman-teman yang suka baca Trotsky mungkin akan suka juga main game ini).

 

vd1
Salah satu bagian Revolution Under Siege yang menampilkan koran Pravda

 

Contoh lain adalah Republic: The Revolution (2003). Dalam game ini kita menjadi pemimpin gerakan bawah tanah yang tengah mempersiapkan revolusi. Muatan ideologis revolusi itu tergantung dari pilihan kita; apakah kita hendak memperjuangkan nilai-nilai komunis atau liberal-libertarian, semuanya tergantung pilihan public policy yang kita tentukan. Yang menarik dalam game ini adalah detail persiapan revolusi: mulai dari memobilisasi massa, merencanakan insureksi, mengatur lobi intra-parlementer, menyuap anggota DPR, membunuh politisi yang bawel, semuanya bisa dilakukan dalam game ini guna mewujudkan Revolusi kita tercinta. Latar komunisme tidak membuat beragam games jenis ini kehilangan kejenakaannya. Ada juga game komunis dagelan seperti misalnya Stalin vs Martians (2009) yang mengisahkan perlawanan Soviet di bawah kepemimpinan Stalin menghadang invasi alien dari planet Mars.

 

fd2

Cover CD Stalin vs Martians

 

Video Game kerap dilihat produk budaya pop yang eksklusif dan hanya dimainkan segelintir orang di dunia. Namun pendapat ini keliru. Justru sebaliknya, video game memiliki tingkat persebaran yang tinggi. Kita dapat membandingkannya dengan karya sastra. Sejak diluncurkan pada tahun 1997, Final Fantasy 7 hingga tahun 2010 telah terjual sekitar 10-11 juta kopi—sama besarnya dengan jumlah penjualan Divina Commedia Dante Aleghieri di sepanjang abad ke-20. Game PC yang sangat populer seperti Grand Theft Auto V bahkan lebih gila lagi. Game ini mengisahkan tentang pemuda pengangguran yang berkeliaran di Amerika Serikat, di mana sang pemain bebas memukuli atau menembaki orang-orang yang lewat di pinggir jalan. Sejak diluncurkan tahun 2013, Grand Theft Auto V terjual hingga 32 juta kopi. Angka ini melebihi jumlah penjualan One Hundred Years of Solitude yang dirilis Marquez di tahun 1967 (yang hingga kini terjual 30 juta kopi). Selain itu, besar kemungkinan bahwa jumlah pemain yang menikmati games itu jauh melampaui angka tersebut. Sebabnya karena berbagai games semacam itu dapat diunduh gratis bajakannya di Piratebay atau Kickass Torrent. Jadi dengan adanya sejumlah edisi bajakan yang beredar, angka penjualan itu belum seutuhnya memotret jumlah peredaran aktual games tersebut. Tak pelak lagi, sebagai medium penyebaran gagasan, ada indikasi bahwa video games lebih berpengaruh ketimbang kesusastraan bagi kebudayaan kontemporer. Karenanya, tugas kritik kebudayaan Marxis masa kini juga mesti menjawab tantangan itu dengan meluangkan perhatiannya untuk membahas seluk-beluk ideologi di balik video game. Jika zaman Marx hidup kritik ideologi lazimnya dipersepsi sebagai kritik sastra, kini kritik ideologi mesti bertransformasi juga menjadi kritik video game.

Namun orang dapat saja menukas bahwa ideologi adalah sesuatu yang dapat dibawa mati, sementara video game, sebagaimana permainan pada umumnya, adalah pengisi waktu senggang belaka. Artinya, orang bisa rela mati memperjuangkan ideologi, tetapi tidak rela mati demi sekadar game. Pandangan semacam ini mengabaikan salah satu kekhasan video game kontemporer, yakni dimensi partisipatorisnya. Dalam jenis game yang disebut MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Game), dimensi itu amatlah kuat terasa. MMORPG adalah rumpun game yang berbasis internet di mana sang pemain dapat menciptakan avatar-nya sendiri (jenis kelamin, potongan rambut, bentuk muka, dsb) dan bertualang meningkatkan kemampuan (level) sang avatar dalam suatu dunia dengan latar tertentu (fantasy, medieval, steampunk, post-apocalyptic, dsb) yang terhubung dengan jutaan pemain lain. Dalam dunia itu, para pemain dapat membangun persekutuan (guild), menikah dengan avatar lain serta berjualan benda-benda yang ditemukan di sana (dan dapat ditransaksikan secara offline dalam rupiah). Saya mengalami era ketika MMORPG pertama kali diperkenalkan di Indonesia lewat game berjudul Nexia (atau Nexus dalam server internasionalnya) di tahun 1999. Game semacam ini sangat adiktif karena jarak antara identitas pemain di dunia nyata dan maya diretas dengan mengizinkan sang pemain menciptakan sendiri avatar-nya dan juga karena dalam game seperti itu tidak ada ending sama sekali sebab jalan cerita nyaris tidak ada. Artinya, cerita dalam MMORPG terbentuk dari interaksi dan dialog antar pemain di dunia maya dan karenanya tidak mungkin repetitif. Ragnarok Online adalah contoh lain MMORPG yang sukses besar di Indonesia.

 

fd3

Screenshot dari beberapa pemain Ragnarok Indonesia (2006)

Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pemain game online di Indonesia mencakup sekitar 15 juta orang. Enam juta dari antaranya adalah pemain yang militan; artinya, orang yang setiap hari bermain game online. Militansi bermain MMORPG ini disebabkan oleh identifikasi antara diri aktual dan avatar maya. ‘Kadar ideologis’ para pemain militan itu terbukti lewat berbagai berita tentang para pemuda yang meninggal di warnet. Ada yang karena 36 jam bermain non-stop, ada yang karena berminggu-minggu hidup di warnet dengan makan mie instan seduhan, ada juga yang terkena serangan jantung akibat faktor-faktor kelelahan dan komplikasi lainnya. Jadi video game, seperti juga ideologi, buat generasi masa kini adalah sesuatu yang juga bisa dibawa mati. Dengan demikian, jelas juga bahwa muatan ideologis dalam games itu juga amat mudah dibatinkan oleh para pemainnya.

Apabila hendak disimpulkan secara umum, corak kesadaran yang berkembang dalam berbagai narasi video games adalah kecenderungan berpikir abstrak. Apa yang dimaksud ‘kecenderungan berpikir abstrak’ adalah cara berpikir yang menempatkan duduk perkaranya secara alegoris dan menyediakan solusi-solusi yang tak kurang alegorisnya. Misalnya, alih-alih mempersoalkan ketimpangan sosial akibat sistem distribusi ekonomi yang eksploitatif, video games kerapkali mengabstraksikan ketimpangan sosial itu menjadi perkara kuasi-mistik tentang perebutan artifak purba dengan kekuatan yang mampu mengubah nasib. Final Fantasy 7 adalah ilustrasi dari kecenderungan seperti ini. Contoh lainnya, alih-alih mempersoalkan penderitaan kelompok orang dalam struktur sosial yang spesifik, video games cenderung mengabstrasikan persoalan itu menjadi perkara Kemanusiaan versus Kedurjanaan Radikal. Corak semacam ini paling nampak dalam genre RPG (Role-Playing Game) yang cenderung plot-driven. Mulai dari game RPG pertama seperti Akalabeth: World of Doom dari tahun 1979 sampai dengan The Elder Scrolls V: Skyrim (2011), banyak perkara sosial yang diakarkan secara alegoris pada peran entitas-entitas mitis seperti naga raksasa, penyihir tengik, ataupun politisi jahat. Karenanya, solusi terhadap persoalan-persoalan itupun cenderung dikembalikan pada aras mitis: membunuh sang penyihir tengik atau politisi durjana, dan dunia pun damai seperti sedia kala. Imajinasi heroik dibangun dari situ. Heroisme selalu lahir dari abstraksi yang tak kenal daratan. Entah terhadap penyihir tengik ataupun terhadap demokrasi borjuis.***

 

22 April 2014


Apa yang Sosialis dari Nasional-Sosialisme?

$
0
0

ADA seribu satu argumen menolak fasisme. Namun apa yang sering mencuat adalah argumen berbasis pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam kerangka argumen ini, fasisme keliru karena melanggar HAM (antara lain, diskriminasi rasial, penghapusan kebebasan berpendapat dan berserikat). Masalahnya, penolakan atas fasisme dengan argumen berbasis HAM mengandaikan sejumlah prasyarat yang belum tentu terpenuhi dalam kerangka berpikir rakyat banyak. Buat aktivis LSM dan gerakan sosial, argumen berbasis HAM tentu masuk akal dan dapat menjadi alasan yang memadai untuk menolak fasisme. Namun, belum tentu demikian bagi rakyat banyak yang tidak mendalami diskursus HAM dan lebih berpikir dalam kerangka kesejahteraan ekonomi yang diresapi semangat kebangsaan. Buat rakyat yang berpikir seperti itu, politik fasis bisa saja ditatap dengan segenap aura emansipatoris. Betapa tidak? Fasisme selalu menjanjikan pengamanan ‘kepentingan nasional’ yang segera diidentifikasi oleh rakyat sebagai ‘kepentingan rakyat.’ Karena itu, kritik atas fasisme yang hendak menghasilkan gema di benak rakyat banyak mesti tak berhenti di wilayah argumen HAM, tetapi menyelam ke dalam tataran argumen ekonomi-politik—ke dalam misteri ekonomi-politik dari ‘kepentingan nasional.’

Apabila fasisme adalah sejenis ‘populisme’ itu adalah karena ‘kepentingan bangsa’ disamakan dengan ‘kepentingan rakyat.’ Inilah yang membuat Nazi mengklaim dirinya sebagai kelompok ‘nasionalis’ yang juga ‘sosialis,’ yang bekerja demi kepentingan rakyat tertindas. Ciri ‘sosialis’ dari Nationalsozialist mengemuka, antara lain, dalam 25 program Partai Nazi di tahun 1920. Setidaknya ada tiga butir dari 25 program tersebut yang memiliki warna ‘sosialis:’

o Butir 13: “Kami menuntut nasionalisasi seluruh industri”
o Butir 17: “Kami menuntut reforma agraria yang sesuai dengan kepentingan kami, pembuatan hukum bagi pengambil-alihan tanah demi kepentingan publik, penghapusan segala pajak tanah dan pelarangan segala bentuk spekulasi finansial atas tanah”
o Butir 21: “Negara akan berusaha meningkatkan kesehatan nasional dengan melindungi ibu dan anak, dengan melarang pekerja-anak.”

Namun apabila diperhatikan dengan lebih jeli, tiga butir tersebut hanya memiliki warna ‘sosialis’ sejauh sebagai slogan. Rumusannya memang sosialis, tetapi substansinya jauh dari itu.

Apa yang dinyatakan sebagai nasionalisasi, nyatanya mengemuka sebagai ‘Aryanisasi,’ yakni pengambilalihan kapital dan infrastruktur industri dari tangan para pemilik non-Arya ke tangan bangsa Arya. Dan apa yang terjadi di balik Aryanisasi ini bukanlah pengambilalihan industri ke dalam tangan rakyat Jerman-Arya, melainkan ke tangan segelintir pengusaha pendukung partai Nazi. Franz Leopold Neumann, salah satu dari sedikit ekonom Mazhab Frankfurt, menulis dalam karya klasiknya, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism, bahwa sebagian perusahan yang dinasionalisasi nyatanya diambil-alih oleh perusahaan milik Hermann Goering, petinggi Nazi dan jenderal Angkatan Udara Jerman yang juga menjabat Menteri Ekonomi merangkap Menteri Kehutanan.1 (Neumann 2009: 297). Nampak bahwa ‘kepentingan bangsa’ sebenarnya hanya eufemisme dari ‘kepentingan kapitalis-birokrat’, jauh dari urusan ‘kepentingan rakyat’.

Demikian pula dengan butir 17. Sekilas program itu mirip dengan pasal 33 ayat 3 UUD ’45 kita yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun substansi dari butir 17 program partai Nazi adalah formasi elit tani dan tuan tanah yang mudah dikendalikan partai.2 Harga komoditas tani yang dihasilkan para tuan tanah itu diproteksi dengan pemilikan tanah sampai ratusan hektar. Petani-petani kecil terpaksa menjual tanahnya dan bekerja pada elit tani tersebut. Hal yang serupa terjadi juga dengan butir 21 tentang pekerja-anak. Melalui operasi Heu-Aktion di tahun 1944, 40-50.000 anak kecil berusia 10-14 tahun dari Polandia hingga Ukraina diculik untuk dididik ke dalam budaya Jerman-Arya (disebut juga sebagai ‘Jermanisasi’) dan sebagian dijebloskan ke berbagai kamp kerja-paksa. Mekanisme kerja-paksa inilah yang merupakan sumber keuntungan perusahaan-perusahaan besar Jerman pada masa itu, seperti Deutsche Bank dan Siemens.

Kesimpulannya, tak ada sosialisme dalam Nasional-Sosialisme. Dari segi ekonomi-politik, yang terjadi hanyalah perampokan dan penghisapan berkedok ‘kepentingan bangsa.’ Perekonomian Nazi bahkan merugikan rakyat Jerman sendiri. Tampilan bahwa seolah terjadi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan volume perdagangan, sebenarnya hanyalah efek temporer yang tercipta dari, dan senantiasa mensyaratkan, ekonomi perang, perampasan dan kerja-paksa. Apabila fasisme seakan tampak anti-kapitalis, itu bukan karena fasisme adalah sejenis sosialisme, melainkan karena fasisme menghendaki akumulasi kapital tanpa mekanisme kompetisi pasar. Di sinilah juga terletak esensi dari program ‘nasionalisasi’ à la fasis: pengambil-alihan sarana produksi bukan demi kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan kapitalis-birokrat atau kapitalis-militer yang diidentifikasi sebagai ‘kepentingan nasional.’ Inilah yang dipercayai Nazi sebagai program ‘nasionalisasi spritual’ yang dikontraskan dengan ‘nasionalisasi materialistik’ kaum komunis.3 Retorika anti-asing yang jamak terdengar di kalangan fasis di berbagai belahan bumi adalah variasi dari logika ‘nasionalisasi spiritual’ tersebut.

hitlerhorseApa yang terjadi di Jerman bisa juga terjadi di Indonesia. Dalam orasi yang disampaikan pada peringatan Hari Buruh di Gelora Bung Karno, yang diselenggarakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Prabowo juga memainkan retorika anti-asing.[4 ‘Masalah inti adalah bahwa sistem ekonomi neoliberal, neokapitalistik, ini adalah keliru, tidak sesuai dengan UUD ‘45. Dan karena keliru; kekayaan kita tidak tinggal di Republik Indonesia. Kita sekarang hanya menjadi pesuruhnya bangsa lain,’ ujar Prabowo disambut sorak sorai puluhan ribu buruh. Ia juga mencitrakan-dirinya sebagai sosok yang anti terhadap sistem outsourcing dan membela kepentingan buruh. ‘Saya lima tahun yang lalu mungkin satu-satunya pimpinan politik yang tanda tangan kontrak di depan serikat pekerja untuk menentang outsourcing di Republik Indonesia,’ demikian aku Prabowo. Di panggung GBK, ia juga menyepakati sepuluh tuntutan buruh yang diajukan KSPI. ‘Saya didatangi oleh pemimpin-pemimpin kalian. Mereka minta saya terima tuntutan-tuntutan buruh. Dan saya baca, dan saya lihat: tuntutan-tuntutan ini adalah sah! Tuntutan ini adalah hak rakyat Indonesia! Tuntutan ini adalah janji UUD ’45!’ pekik Prabowo diiringi dengan gemuruh dan seruan-seruan: ‘Hidup Prabowo!’

Dalam suasana yang penuh persetujuan terhadap dirinya itu, Prabowo ikut terbawa suasana dan meneruskan retorika populisnya dengan bercerita tentang betapa busuk dan pembohongnya para elit politik Indonesia saat ini dan partai-partai politiknya. Ia sampai memberikan usul: ‘Mungkin partai-partai politik harus membubarkan-diri semua, habis itu kalian saja ambil-alih itu semua.’ Usulan pembubaran partai-partai politik memang punya gema fasistik, sekalipun usulan itu dilontarkan dengan retorika palsu tentang pemerintahan buruh. Mengapa itu adalah retorika palsu? Sebab kedatangan Prabowo di GBK adalah untuk mengikat apa yang ia sebut ‘komitmen politik’ antara KSPI dan Partai Gerindra. Artinya, usulan agar buruh mengambil-alih seluruh kekuasaan partai-partai politik dapat dibaca sebagai usulan pengambil-alihan kekuasaan partai-partai politik ke tangan Gerindra atas nama ‘kepentingan buruh.’

Problem utama dari semangat kebijakan Prabowo, sebagaimana problem utama kebijakan fasis, adalah eklektisisme atau sikap mencampur-campurkan segala pendekatan sejauh terdengar membela ‘kepentingan nasional.’ Berikut ada tiga contoh inkonsistensi gagasan yang muncul dari kecenderungan eklektik tersebut:

o Dalam orasinya di GBK, Prabowo mencitrakan diri sebagai penentang outsourcing garda-depan. Padahal, perusahaannya yang bergerak di bidang penyediaan jasa keamanan (bisnis satpam), PT. Gardatama Nusantara, adalah salah satu pemain dalam bisnis outsourcing keamanan yang profil perusahannya menyebut dengan eksplisit: memiliki “keahlian dalam hubungan dengan buruh” (maksudnya spesialis union-busting?).5
o Dalam orasinya di GBK, Prabowo berteriak-teriak anti-neokapitalisme dan anti-neoliberalisme. Padahal, dalam pertemuan dengan Hatta Radjasa, Prabowo menyatakan dukungannya terhadap MP3EI6 yang topangan argumennya terletak pada debottlenecking alias deregulasi dan privatisasi—kunci utama dari segala varian kebijakan neoliberal.
o Dalam orasinya di GBK, Prabowo berseru menyatakan kesahihan sepuluh tuntutan buruh dan kesesuaiannya dengan ‘janji UUD ‘45’. Padahal, hingga acara berakhir, Prabowo sama sekali tidak meneken persetujuan programatik atas tuntutan tersebut.7 Bahkan Ketum Gerindra, Suhardi, menyatakan di depan wartawan bahwa ‘ada tim yang memilih mana yang benar-benar bisa dilakukan.’8 Artinya, sepuluh tuntutan tersebut tidak betul-betul sahih di mata Prabowo.

Bagaimana mungkin anti-outsourcing jika perusahaannya sendiri bergerak di bidang outsourcing? Bagaimana mungkin antikapitalisme dan menyepakati sepuluh tuntutan buruh jika pada saat yang bersamaan mendukung deregulasi dan privatisasi? Eklektisisme semacam ini mencerminkan kekacauan berpikir yang serupa dengan 25 program Partai Nazi: bukan sosialisme, bukan juga sosialisme-pasar, melainkan kapitalisme-negara yang hanya bisa digerakkan oleh senjata dan retorika.

Apa yang ditawarkan Prabowo bukanlah ‘Sosialisme Indonesia,’ melainkan ‘Nasional-Sosialisme Indonesia.’ Inilah yang agaknya berhasil ditangkap oleh salah seorang buruh yang terlibat dalam aksi di GBK kemarin. Prabowo tengah meradang: ‘Tadinya saya selalu dapat sms: “Pak Prabowo, kalau bicara jangan keras-keras, harus sopan, harus santun.” Tapi saya ngga mengerti istilah “santun.” Kalau maling ya maling. Betul?’ Sontak kaum buruh mengiyakannya: ‘Betul!’ ‘Ada ngga istilah yang santun untuk “maling,” istilah santun untuk “rampok?”’ tanya Prabowo. ‘Bangsat itu! Brengsek!’ seru salah seorang buruh yang tertangkap suaranya di video. Prabowo terus melaju kencang: ‘Kalau rampok ya rampok! Kalau maling ya maling! Kalau tukang bohong ya tukang bohong!’ Di titik itu, seorang buruh tak dikenal dan tak terekam wajahnya bertanya: ‘Kalau pembunuh…?’ Saya pikir-pikir, jitu juga pertanyaan seorang buruh anonim itu. Kalau perampok disebut perampok, maling disebut maling, masa pembunuh disebut presiden?***

6 Mei 2014

 

1 Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism, 1933-1944, (Chicago: Ivan R. Dee & United States Holocaust Memorial Museum), 2009, h. 297.

2 Ibid.,h. 394-395.

3 Ibid., h. 270.

4 Lih. “Orasi Politik Prabowo Subianto pada Hari Buruh 1 Mei 2014” dalam http://www.youtube.com/watch?v=UH73XrMKxUI

5 http://prabowosubianto.info/aktivitas-bisnis-prabowo-subianto-pt-gardatama-nusantara-jasa-keamanan.html

6 http://www.rmol.co/read/2013/02/04/96901/Prabowo-Subianto-Dukung-Proyek-Hatta-Rajasa,-MP3EI

7 http://www.merdeka.com/politik/usai-orasi-di-gbk-prabowo-lupa-teken-kontrak-politik-buruh.html

8 http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/05/01/183114/2570898/1562/prabowo-tunggangi-may-day-ini-kata-ketum-gerindra

Marxisme dan ‘Sosialisme Bank Dunia’

$
0
0

UPAYA untuk mewujudkan sosialisme Indonesia mensyaratkan pengetahuan tentang kenyataan Indonesia. Ini adalah syarat yang tak mungkin ditawar lagi. Perjuangan politik tanpa pembacaan kenyataan sama saja dengan bunyi tanpa makna. Dalam konteks perjuangan menuju sosialisme, realitas yang tak bisa diabaikan adalah kenyataan perlawanan rakyat. Seberapa besarkah perlawanan rakyat Indonesia? Siapakah agen utama yang menjadi subjek perlawanan rakyat? Seberapa besarkah kontribusi yang diberikan gerakan Kiri bagi perbesaran gelombang perlawanan rakyat? Sederet pertanyaan ini perlu dicari jawabnya terlebih dulu agar perjuangan ke arah sosialisme Indonesia menjadi konkrit: punya bentuk dan punya arah.

‘Namun sungguhkah pengetahuan tentang kenyataan diperlukan demi perjuangan sosialisme?’ tanya orang-orang yang kurang percaya. Tidakkah sosialisme dan komunisme adalah resep jitu yang pas di segala kondisi? Untuk apa menimbang apa yang terjadi dengan sejarah nasional dan gerak nyata rakyat Indonesia kalau sosialisme sudah pasti benar untuk segala kondisi? Inilah cara berpikir yang bisa disebut, meminjam pernyataan Hilmar Farid, sebagai ‘sosialisme Bank Dunia’—artinya, sosialisme yang dijadikan resep untuk segala realitas politik, seperti halnya kebijakan ‘pengetatan anggaran’ (austerity) yang dipromosikan IMF dan Bank Dunia sebagai solusi untuk segala masalah ekonomi. Cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’ ini marak di kalangan gerakan. Dalam bentuknya yang lebih moderat, kecenderungan ‘sosialisme Bank Dunia’ ini mengemuka dalam sikap serba menolak semua yang bukan sosialis: #tolakanu dan #tolakkabeh. Terima bongkar, tidak terima pasang. Dalam bentuknya yang lebih ekstrem, kecenderungan itu mengemuka secara lebih absurd lagi: apapun makanannya, minumnya Teh Botol Trotsky. Cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’ ini jelas keliru. Sosialisme tidak ‘pasti benar untuk segala kondisi’. Sosialisme adalah realitas yang terkondisikan oleh sejumlah syarat. Sosialisme, misalnya, tak mungkin muncul dalam konteks relasi kerja-wajib tradisional yang marak di Abad Pertengahan. Sosialisme hanya akan terwujud dengan mengandaikan terpenuhinya prakondisi A, B, C, dst. terlebih dulu. Oleh karena itu, pengentasan dari cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’ mensyaratkan pembelajaran lagi akan kenyataan Indonesia, akan perlawanan rakyat Indonesia.

Dalam banyak hal, paparan kuantitatif berikut ini berhutang pada penelitan singkat yang dijalankan Anom Astika dengan bantuan Wildan Pramudya, tentang arus informasi perlawanan rakyat beberapa waktu yang lalu. Sebagai ilustrasi dari gerak perlawanan rakyat, kita dapat mengacu pada data kompilasi berita online tentang perlawanan rakyat yang dikumpulkan satu per satu oleh Anom dalam tautan ini: Evernote. Di situ terdapat kumpulan berita perlawanan rakyat seluruh Indonesia selama bulan Januari 2013. Totalnya ada sekitar 1300 perlawanan. Kita dapat memperoleh gambaran yang lebih spesifik tentang perlawanan itu dengan menggunakan jasa visualisasi jumlah kata yang disediakan oleh situs gratis macam Wordle.net. Hasilnya adalah gambaran berikut:

gbr1a

Ilustrasi 1. Visualisasi jumlah kata dalam berita perlawanan rakyat per Januari 2013

Dari visualisasi tersebut kita mendapati pemandangan yang menarik. Kita dapat menghitung jumlah kata yang digunakan secara akurat dengan mengacu ke naskah kompilasi di evernote. Dari sana kita dapat menyusun peringkat berdasarkan jumlah kemunculan kata terkait per kategori:

 

gbr2

Data yang diperoleh dari jumlah kemunculan kata dari seluruh surat kabar online ini, tentu saja, tidak sepenuhnya akurat. Namun setidaknya, data ini bisa dijadikan pegangan awal untuk penelitian yang lebih serius tentang gelombang perlawanan rakyat. Dari data di muka, kita dapat mengambil empat butir kesimpulan berikut:

  1. Subjek terbesar yang berkontribusi bagi perlawanan rakyat adalah kelompok massa yang ambigu maknanya, yakni warga (1129). Seperti kata rakyat itu sendiri, warga dapat mengacu ke kelompok sosial manapun.
  2. Bentuk artikulasi perlawanan rakyat yang paling lazim adalah aksi massa. Perlawanan melalui tindakan penolakan (132) dan boikot (4) jauh lebih kecil daripada aksi massa biasa (801).
  3. Latar panggung perlawanan rakyat yang sering dipakai adalah desa (716), jauh di atas perlawanan rakyat di kota (435)
  4. Jumlah rakyat yang terlibat dari setiap momentum perlawanan kerapkali kecil, hanya terdiri dari puluhan (di 394 kasus) dan ratusan (363) orang saja. Selain itu, lebih sering ‘beberapa’ orang aksi (75) daripada ‘ribuan’ orang aksi (62).

Kini kita sudah tahu seberapa besar perlawanan rakyat Indonesia. Kita juga sudah tahu subjek politik macam apa yang paling besar menyumbangkan massanya bagi perlawanan rakyat. Apa yang belum kita dengar sampai sekarang adalah apa kontribusi gerakan Kiri bagi perlawanan rakyat itu. Berdasarkan pelacakan nama organisasi dalam 1300-an perlawanan rakyat tersebut, beberapa nama berikut dan kontribusinya barangkali bisa memberikan gambaran:

  1. LMND: 8
  2. SRMI: 6
  3. KASBI: 1
  4. FMN: 1
  5. FNPBI: 1
  6. PRD: 1

Jumlahnya amatlah kecil bila dibandingkan dengan kuantitas perlawanan itu sendiri yang mencapai angka 1300-an. Dengan mengasumsikan, berdasarkan perhitungan di muka, adanya 18 kali keterlibatan gerakan Kiri pada 1300 perlawanan rakyat, maka persentase kontribusi gerakan Kiri bagi perlawanan rakyat Indonesia bulan Januari 2013 adalah sebesar 1,38 persen.

Kita dapat memproyeksikan angka kontribusi gerakan ini ke taraf nasional. Saya akan meminjam data yang diolah berdasarkan penelitian kata kunci dari Anom Astika dan database dari Wildan Pramudya. Database itu mencakup seluruh berita online maupun cetak sepanjang tahun 2013 di seluruh Indonesia. Anom membaginya ke dalam tiga kategori: aksi buruh, tani dan mahasiswa. Berikut adalah hasil olahan mereka berdua:

gbr3

Ilustrasi 2. Data jumlah aksi buruh, tani dan mahasiswa di Indonesia sepanjang 2013

 

Dari data di muka, nampak bahwa selama setahun aksi mahasiswa mencapai jumlah 12.598 kali, aksi buruh 8.132 kali dan aksi petani 2.541 kali. Totalnya mencapai 23.271 kali. Apabila dari jumlah ini kita hendak menghitung jumlah kontribusi gerakan Kiri, maka kita dapat mengalikannya dengan 1,38 persen yang diperoleh di muka. Tentu saja, perhitungan ini tidak akurat karena setidaknya dua alasan: 1) persentase kontribusi gerakan sebesar 1,38 persen itu diperoleh dari perhitungan selama bulan Januari saja, sementara jumlah 23.271 didapat dari perhitungan perlawanan rakyat selama setahun; 2) persentase 1,38 persen didapat dari perbandingan jenis subjek politik yang lebih luas, tidak hanya buruh, tani dan mahasiswa, tetapi juga warga, pedagang dan sebagainya. Namun dengan menyadari ketidakakuratan itu, setidaknya kita dapat memperoleh gambaran kasarnya. Dengan demikian, angka partisipasi gerakan Kiri dalam perlawanan rakyat Indonesia sepanjang tahun 2013 adalah sekitar 321 kali dari keseluruhan 23.271 perlawanan rakyat.

Dilihat dari sudut pandang manapun, persentase kontribusi gerakan Kiri bagi perlawanan rakyat Indonesia sepanjang 2013 yang sebesar 1,38 persen itu sungguh kecil. Tentu, orang bisa saja bilang: biar kecil, asal militan. Namun dalam kasus ini, seperti juga dalam banyak kasus lainnya: size matters. Dalam realpolitik,besar-kecilnya posisi tawar politik ditentukan oleh besar kecilnya massa. Tidak relevan apakah massa itu diperoleh lewat duit, paksaan atau dengan cara-cara haram lainnya. Politik adalah soal pengerahan massa dengan cara apapun juga (by all means necessary). Tidak relevan juga apakah massa itu memiliki kadar keimanan yang tinggi atau tidak. Kehendak suci belasan orang tidak akan mengubah apa-apa, apalagi mengubah dunia. Jadi yang lebih tepat untuk menggambarkan keadaan ini bukanlah ungkapan ‘biar kecil, asal militan’, melainkan ‘sudah kecil, sombong pulak’ alias ‘besar pasak daripada tiang’.

Kecenderungan ‘besar pasak daripada tiang’ ini sering kita temukan dalam cara berpikir ‘sosialisme Bank Dunia’. Coba perhatikan empat sampel pernyataan politik tipikal Kiri berikut:

  • ‘Posisi kita adalah golput, karena pemilu ini adalah pemilu borjuis’
  • ‘Wahai capres A, jangan sampai kau berpasangan dengan si B karena dia antek Orba’
  • ‘Sebelum si C berhasil menggelar pengadilan HAM bagi para jendral pelanggar HAM, tak semeter pun kan kutempuh ke TPS untuk mencoblosnya’
  • ‘Tuh kan koalisi dengan antek kapitalis; kemarin kubilang juga apa: dasar emang borjuis’

Walaupun substansi permasalahan yang dibahas dalam keempat pernyataan itu berbeda-beda, tetapi ada kesamaan yang mempertemukan semuanya. Keempatnya bertumpu pada ilusi seolah-olah dirinya penting bagi keberlanjutan politik Indonesia. Seakan-akan semua golongan mesti minta restu politik dari kelompoknya yang hanya sepersekian dari 1,38 persen dari arus perlawanan rakyat Indonesia. Ini sebenarnya agak mengenaskan. Untuk menyadari betapa mengenaskannya kondisi ini, pernyataan-pernyataan di muka dapat kita sandingkan dengan pernyataan balik dari sudut pandang politik secara umum, yakni sudut pandang non-Kiri (sudut pandang yang tidak mengasumsikan terlebih dulu keyakinan pada nilai-nilai Marxisme).

  • ‘Posisi kita adalah golput, karena pemilu ini adalah pemilu borjuis’

o   Komentar seorang intelektual liberal: ‘Pemilu yang kau sebut borjuis ini tetap jalan dengan atau tanpamu. Lantas apa guna pernyataannmu? Pekerja kantor yang malas—mereka yang kau sebut “kelas menengah ngehe” itu—juga lebih memilih tidur siang daripada datang mencoblos di TPS. Lalu apa yang politis dari tindakanmu?’

  • ‘Wahai capres A, jangan sampai kau berpasangan dengan si B karena dia antek Orba’

o   Komentar seorang aktivis LSM pemantau pemilu: ‘Mau yang bukan bagian Orba? Coblos PKS karena itulah salah satu partai yang baru terbentuk di era reformasi, dus bersih dari Orba. Masalahnya bukan bagian Orba atau bukan, tapi soal mana yang lebih memungkinkan terbukanya ruang demokrasi dan kemajuan agenda demokratis. Lagipula kau kan menolak ambil bagian dari parpol yang kau bilang “elit” itu. Karena kau menolak terlibat dalam politik elit, sementara keputusan tentang ditunjuknya si B ada di tangan politik elit, lalu kenapa kau ribut?’

  • ‘Sebelum si C berhasil menggelar pengadilan HAM bagi para jenderal pelanggar HAM, tak semeter pun kan kutempuh ke TPS untuk mencoblosnya’

o   Komentar seorang operator suara di lapangan: ‘Aje gile, lu pikir lu Nadia Hutagalung? Jenderal kaga, kyai juga kaga, artis apalagi. Kaga punya massa, minta dingertiin. Ga mau ke TPS, bos? Ke TPA aja.’

  • ‘Tuh kan si doi koalisi dengan antek kapitalis; kemarin kubilang juga apa: dasar emang borjuis’

o   Komentar seorang sosiolog asal Jawa Tengah: ‘Nah ini dia, Mama Loreng bangkit dari kubur. Ya jelas aja ramalanmu terbukti, wong kamu tidak mengusahakan apa-apa agar dia tidak koalisi dengan mereka yang kamu sebut antek kapitalis. Itu namanya self-fulfilling prophecy: cawetmu mambu, wong liya dikongkon ngumbahi (celana dalemmu bau, orang lain disuruh nyuci).’

Pernyataan balik dari sudut pandang politik awam ini penting untuk mengukur seberapa absurdnya pernyataan-pernyataan politik Kiri di muka di hadapan masyarakat biasa. Dapat dilihat bagaimana dalam kalkulasi politik yang normal, pernyataan-pernyataan Kiri itu tak mudah dipahami logikanya: kekuasaan tak punya, massa cuma sebagian kecil saja, tetapi kok melontarkan pernyataan dalam kapasitas bak seorang petinggi parpol besar? Ini tidak masuk akal dari perhitungan politik yang umum.

Lalu apakah jalan keluar dari ‘sosialisme Bank Dunia’ ini? Ada dua momen seayun yang dapat dijalankan. Yang pertama ialah artikulasi politik sebagai strategi atas.Tak ada jalan lain selain pelajaran artikulasi politik, yakni belajar merumuskan agenda progresif dalam rumusan yang dapat diterima secara masuk akal bagi banyak pihak. Di sini, gerakan memerlukan ‘sense and sensibility’: tidak tolak-tolik semaunya sendiri, tidak hobi panik, tidak asal melontarkan klaim universal tanpa menyadari batasan asumsinya sendiri. Dengan mendorong diadopsinya agenda-agenda progresif dalam pemerintahan, gerakan jadi punya alasan yang kuat seandainya pemerintahan yang akan datang ternyata bergerak melenceng dari agenda-agenda tersebut. Ini ditangani dengan momen kedua yang berkenaan dengan strategi bawah, yakni mengorganisasikan kekuatan rakyat agar terwujud identifikasi antara agenda-agenda progresif dan agenda-agenda rakyat itu sendiri, melalui penerjemahan kepentingan rakyat di tiap-tiap sektor ke dalam agenda progresif yang komprehensif dan koheren. Dengan adanya identifikasi antara agenda progresif dan agenda rakyat, terwujudlah kontrol kerakyatan atas jalannya pemerintahan. Kemelencengan pemerintah yang akan datang dari agenda-agenda progresif itu akan disambut dengan tuntutan umum rakyat Indonesia agar pemerintah bertindak sesuai dengan visi-misinya yang dicanangkannya sendiri semenjak pilpres (yang telah memuat agenda-agenda progresif tersebut berkat artikulasi politik di strategi atas). Dua momen ini—artikulasi politik dan pengorganisasian kepentingan rakyat—adalah jalan keluar dari ‘sosialisme Bank Dunia’ dan pintu masuk ke dalam sosialisme khas Indonesia. Memang agak kurang nyoviet, tetapi setidaknya lebih doable dan layak dicobadaripada sekadar mengulang-ulang resep pengetatan akidah revolusi Marxis yang serba tolak-tolik dan gogal-gagal.***

 

20 Mei 2014

Nalar Ekonomi-Politik Prabowo: Studi Kasus Kebijakan MP3EI dan Pengandaiannya

$
0
0

PERDEBATAN tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) kembali marak belakangan ini. Tak pelak lagi, salah satu sebabnya adalah karena dalam momentum pemilu ini, Prabowo sebagai salah satu capres yang dikenal mengangkat kebijakan nasionalisasi dan ekonomi kerakyatan, mencantumkan dalam dokumen Visi-Misinya tiga butir kebijakan yang mengadopsi MP3EI:

  1. Butir I.7: “Membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Keuangan yang terintegrasi dengan pariwisata, properti, pendidikan, industri kreatif, jasa-jasa dan ritel komersial.”
  2. Butir III.1: “Mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkan produktivitas pangan … disesuaikan dengan pengembangan koridor ekonomi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).”
  3. Butir VI.1: “Mempercepat pembangunan infrastruktur dasar untuk mendukung proses produksi dari kegiatan ekonomi utama pada 6 koridor ekonomi MP3EI.”

Pokok kedua dan ketiga secara eksplisit menyebut MP3EI sebagai pedoman kebijakan. Biarpun pokok pertama tidak demikian eksplisit, tetapi pengertian KEK dapat dirujuk kembali ke dokumen MP3EI sebagai upaya klasterisasi atau koridorisasi ekonomi dengan nafas MP3EI. Bagi mereka yang akrab dengan kajian Marxis, tentu pemandangan ini sangat aneh: bagaimana mungkin bicara kebijakan nasionalisasi dan ekonomi kerakyatan tetapi di sisi lain bicara MP3EI? Nalar macam apakah—kalau memang ada—yang bekerja di balik Visi-Misi itu? Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengasumsikan terlebih dulu keakraban para pembaca dengan model analisis Marxian. Saya akan mengartikulasikan kritik imanen atas kebijakan MP3EI dari sudut pandang nalar ilmu ekonomi itu sendiri. Saya akan coba menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal macam MP3EI, yang diselimuti aroma ‘kerakyatan’ oleh Prabowo, dapat dikritik melalui sudut pandang filsafat ilmu ekonomi pada umumnya. Dalam tulisan ini, bahkan nama ‘Marx’ pun tak akan kita temui. Tak perlu menggunakan meriam untuk membasmi nyamuk. Ini adalah uji coba dari apa yang saya sebut tempo hari sebagai artikulasi politik, yakni memajukan agenda Marxis setapak demi setapak melalui rumusan argumentatif yang dapat disepakati oleh kaum non-Marxis.

 

Sekilas tentang Nalar Metodologis dan Kebijakan Publik

Dalam karyanya yang sudah jadi klasik, Miriam Budiardjo mendefinisikan beleid atau kebijakan publik sebagai “suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.”1 Dalam pengertian ini, tidak mengemuka asal-muasal substantif dari “keputusan” yang dimaksud. Sebuah atau sehimpun kebijakan disebut sebagai kebijakan public, tidak hanya karena subjek dan objeknya berciri publik (negara sebagai subjek dan warga negara sebagai objek), melainkan juga karena muatannya bersifat publik. Apa yang dimaksud muatan di sini tak lain adalah substansi isi dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan publik tak pernah dapat dilepaskan dari gugus pengertian yang dihasilkan oleh orang banyak, yakni gugus pengertian yang bernama ilmu pengetahuan (science). Dalam arti ini, sebuah kebijakan berciri publik karena kebijakan tersebut memuat andaian-andaian keilmuan yang dikembangkan oleh masyarakat terpelajar. Dengan kata lain, ada andaian keilmiahan dari setiap kebijakan publik.

Bersama dengan adanya andaian keilmiahan di balik setiap kebijakan publik, terdapat pula masalah-masalah. Hal ini terjadi karena berbagai andaian yang berlaku dalam ilmu-ilmu kerapkali masih diperdebatkan kesahihannya. Andaian tertentu dapat menjelaskan fenomena tertentu, tetapi masih menyimpan sekelumit masalah lain yang belum terselesaikan. Dalam ranah ilmu-ilmu, masalah seperti itu dengan mudah dikesampingkan untuk sementara melalui langkah metodologis penggunaan klausa ceteris paribus: “dengan mengandaikan faktor-faktor lain konstan”, maka dapat disimpulkan bahwa teori x benar dan dapat menjelaskan rumpun fenomena y. Dengan kata lain, teori x benar jika dan hanya jika semua faktor lain “diasumsikan konstan” (ceteris paribus) dalam arti tidak berpengaruh pada fenomena yang mau dijelaskan. Adapun demikian, muncullah problem ketika hasil kerja ilmu seperti teori x di muka hendak dijadikan kerangka acuan perumusan kebijakan publik. Problem ini berakar pada perbedaan kondisi yang menjadi titik tolak kerja ilmuwan dan perumus kebijakan. Sementara ilmuwan dapat bekerja dalam kondisi lingkungan yang terkendali (controlled environment), baik secara harfiah dalam wujud laboratorium (untuk ilmu-ilmu alam) maupun secara metaforis dalam rupa penggunaan klausa ceteris paribus (untuk ilmu-ilmu sosial), para pengambil kebijakan berangkat dengan kondisi yang berbeda. Seorang perumus kebijakan ekonomi tidak bisa mengasumsikan begitu saja keseragaman tingkat pendidikan masyarakat atau angka kematian ibu melahirkan dalam rangka membangun model kebijakan ekonomi. Kondisi yang dihadapi perumus kebijakan adalah kenyataan sosio-historis yang tak bisa disulap menjadi “lingkungan yang terkendali” melalui intervensi laboratorium ataupun klausa ceteris paribus. Karenanya, pengambil-alihan begitu saja teori-teori yang dihasilkan ilmu-ilmu untuk keperluan perumusan kebijakan, tanpa menyadari masalah dalam andaian ilmu-ilmu tersebut, adalah langkah yang sarat dengan kekacauan metodologis yang efeknya akan terasa pada output, outcome dan impact kebijakan tersebut dalam kenyataan.

 

MP3EI sebagai Model Makro Kebijakan Ekonomi Indonesia

Sejak diberlakukannya amandemen terhadap UUD 1945, kebijakan pembangunan di Indonesia tak lagi didasarkan atas Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada masa lalu, visi pembangunan terencana dirumuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam rupa GBHN dan diimplementasikan oleh eksekutif melalui serangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), yang dijalankan antara tahun 1969-1997, meliputi REPELITA I hingga (sebagian dari) VI. Amandemen yang dibuat selama masa Reformasi, khususnya amandemen terhadap Pasal 3 UUD 1945, telah menghilangkan kuasa MPR untuk merancang GBHN. Bersama dengan itu, hilanglah orientasi pembangunan jangka panjang nasional. Hal ini dipersoalkan oleh berbagai kalangan. Hartarto Sastrosoenarto, dalam memoar yang memuat pandangannya tentang industrialisasi di Indonesia, merefleksikan hilangnya GBHN dan keperluan untuk menggantikannya dengan model perencanaan serupa.2 Perdebatan tentang perlu dibangun kembalinya GBHN juga berkembang di kalangan akademisi. Pada bulan September 2012, Pusat Studi Pancasila dari Universitas Gajah Mada, bekerja sama dengan MPR, mengadakan focus group discussion bertema “Reformulasi Model GBHN: Upaya Penyatuan sistem Pembangunan Nasional dan Daerah”.3

Kendati demikian, hilangnya GBHN tidak membuat Indonesia kehilangan pegangan perencanaan pembangunan sama sekali. Melalui UU No. 25 tahun 2004 tentang rencana pembangunan nasional, dirumuskanlah beberapa pokok program pembangunan dan institusi penopangnya. Perencanaan pembangunan setingkat REPELITA, kini dirumuskan ulang sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan alokasi waktu lima tahun. Sementara, RPJM ini disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang berlangsung selama 25 tahun. Apabila MPR adalah pihak yang berwenang merumuskan GBHN, siapakah yang berwenang merumuskan RPJP? Dinyatakan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 21 dari UU tersebut: “Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah.” Musrenbang adalah pihak yang punya wewenang untuk merumuskan RPJP: musrenbang daerah berwenang untuk merumuskan RPJPD, sementara musrenbang nasional berwenang untuk merumuskan RPJPN. Oleh karena keanggotaan musrenbang mencakup semua warga masyarakat tanpa kecuali, maka skema perencanaan yang diturunkan dari UU No. 25 tahun 2004 ini dapat dilihat sebagai model pembangunan ekonomi yang lebih demokratis.4 Artinya, terbuka ruang dimana masyarakat dapat mengintervensi secara politik, melalui gagasannya sendiri, jalan pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah sejak Orde Baru.

RPJPN hasil musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat nasional berhasil dirumuskan pada tahun 2005 dan dibakukan ke dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025”. Inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi seperangkat kebijakan operasional melalui Perpres No. 32 tahun 2011, dengan tajuk “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025”, atau yang umumnya dikenal sebagai MP3EI. Masterplan ini merupakan artikulasi dari rancangan pembangunan ekonomi yang dipercepat. Percepatan ini hendak diraih melalui pembesaran investasi asing dan pembatasan peran pemerintah. Dalam brosur empat bagian yang dilampirkan pada Perpres tersebut, didesakkan beberapa revisi secepatnya atas sejumlah aturan hukum yang dipandang menghambat percepatan pembangunan, antara lain:5

  1. Revisi atas UU & PP Keagrariaan dengan arah privatisasi tanah ulayat
  2. Revisi UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dengan arah privatisasi usaha penyediaan sumber daya listrik
  3. Revisi PP No. 38 tahun 2003 tentang Pembebasan Bea Masuk
  4. Percepatan revisi PP No. 62 tahun 2008 dengan arah peringanan pajak investasi

Revisi perundangan-undangan inilah, yang dalam kosakata dokumen MP3EI, disebut sebagai debottlenecking, yang sebetulnya hanyalah nama baru dari istilah lama: deregulasi.Dapat dilihat dari skema yang tertuang di dalam brosur tersebut bahwa MP3EI dilandasi oleh falsafah liberal yang mengutamakan pembukaan ruang sebesar-besarnya bagi modal asing demi suatu tata ekonomi yang efisien dan kompetitif. Efisiensi ekonomi, diandaikan di sini, akan tercipta manakala semua agen ekonomi dibiarkan bergerak seturut rasionalitas ekonominya. Ciri liberal dari kebijakan deregulasi dan privatisasi ini berakar pada andaian antropologi-ekonomisnya, yakni konsepsi tentang manusia ekonomi (homo economicus).

Falsafah liberal MP3EI mengemuka dengan jelas dalam arahan untuk membangun koridor ekonomi berbasis kewilayahan. Sebagaimana diuraikan oleh kajian Bappenas, strategi utama MP3EI adalah mengembangkan enam koridor ekonomi demi menciptakan “konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara internasional”.6 Keenam koridor yang dimaksud dan fokus pembangunannya adalah sebagai berikut:

  1. Koridor Sumatera: hasil bumi dan energi
  2. Koridor Jawa: industri dan jasa
  3. Koridor Kalimantan: hasil tambang dan energi
  4. Koridor Bali-Nusa Tenggara: pariwisata dan pangan
  5. Koridor Sulawesi: hasil tani, perikanan, migas dan tambang
  6. Koridor Papua-Maluku: energi, pangan, perikanan dan tambang

Dengan kata lain, apa yang hendak disasar oleh para perumus kebijakan ini adalah pembagian kerja nasional berbasis kewilayahan. Ini diupayakan demi memacu daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional. Strategi ini dapat dicirikan liberal sejauh salah satu ekspresi awal kebijakan liberal di Eropa dibasiskan pada pertimbangan mengejar keunggulan komparatif (comparative advantage), seperti digagas oleh David Ricardo.

Akhirnya, falsafah umum dari kebijakan MP3EI dapat kita eksplisitkan sejauh kita kontekskan pada proses amandemen Pasal 33 UUD ‘45. Arahan ke swastanisasi BUMN dan sumber hidup masyarakat dalam MP3EI, bertopang pada amandemen bercorak liberal atas Pasal 33 UUD ’45, yang pada mulanya dibentuk oleh gagasan kesejahteraan sosial dan pemerataan ekonomi. Dalam rapat Tim Ahli Ekonomi dari Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR tahun 2002, terjadi perdebatan keras tentang perlu/tidaknya amandemen terhadap pasal tersebut.7 Syahrir, Sri Mulyani, Didiek J. Rachbini, dan lain-lain, mendukung perlunya perubahan terhadap Pasal 33, untuk mengakomodasi tuntutan global akan privatisasi. Sementara Mubyarto, ketua Tim tersebut, menolak upaya amandemen itu dengan argumen bahwa substansi Pasal tersebut sudah mencerminkan falsafah ekonomi Indonesia yang mengutamakan kesejahteraan sosial dan pemerataan. Rapat tersebut berakhir dengan pengunduran diri Mubyarto sebagai ketua karena mayoritas anggotanya lebih sepakat dengan ide amandemen di muka. Alhasil, dalam bentuk yang telah diamandemen, Pasal 33 mengandung Ayat baru, yakni Ayat 4, yang menyatakan prinsip kebersamaan (alih-alih prinsip kekeluargaan)8 dan “efisiensi berkeadilan” sebagai kerangka acuan perekonomian Indonesia. Adapun konsep “efisiensi” sendiri utamanya lebih berkaitan dengan gagasan tentang mekanisme pasar, sebagai satu-satunya penjamin efisiensi ekonomi dan karenanya frase “efisiensi berkeadilan” nyaris tampak seperti sebuah oxymoron. Dengan demikian, amandemen atas Pasal 33 UUD ’45 dapat dikatakan telah menyediakan kerangka falsafah bagi kebijakan MP3EI yang berciri liberal. Dengan kata lain, jika hendak ditarik kesimpulan yang lebih umum, dapat dikatakan bahwa MP3EI yang dijamin oleh amandemen terhadap Pasal 33 diresapi oleh andaian tentang kebebasan sebagai kerangka acuan pembangunan ketimbang kesetaraan.

Berdasarkan uraian empiris tentang MP3EI di muka, kita telah menemukan dua pengandaian dasar ilmu ekonomi yang ikut masuk ke dalam pola pikir perumusan kebijakan publik. Kedua pengandaian tersebut adalah sebagai berikut: pertama, asumsi tentang “manusia ekonomi” dalam memandang keperluan bagi deregulasi; kedua, asumsi tentang “keunggulan komparatif” dalam argumen soal perlunya koridorisasi ekonomi. Kedua pengandaian ini akan saya kupas secara berturut-turut berdasarkan sejarah pemikiran yang melatarbelakanginya dan masalah-masalah inheren yang terkandung di dalamnya.

 

Pengandaian 1: Homo Economicus dan Masalah Deregulasi

Dalam literatur ekonomi-politik, dikenal istilah “manusia ekonomi” (homo economicus). Sosok yang dimaksud adalah individu pelaku ekonomi yang digerakkan oleh motif pengejaran kepentingan-diri (self-interest). Dalam konsepsi ini, diasumsikan bahwa motif pengejaran kepentingan-diri merupakan satu-satunya motif yang ada dalam kegiatan perekonomian manusia. Kendati gagasan tersebut sudah dibicarakan sejak era Yunani, Adam Smith lah yang pertama kali membawanya ke dalam kerangka penalaran ekonomi yang sistematis. Dalam Wealth of Nations, Smith menulis:

“Bukanlah dari kebaikan hati sang tukang daging, peramu minuman atau tukang roti kita mengharapkan santap malam kita, melainkan dari perhatian mereka terhadap kepentingan mereka sendiri. Kita menghaturkan diri kita tidak terhadap kemanusiaan mereka, melainkan terhadap rasa cinta-diri mereka, dan jangan pernah berbicara pada mereka tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.”9

Interaksi antar manusia dalam ranah ekonomi, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan di muka, tidak terjadi pada aras hubungan interpersonal antar manusia dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Dalam ranah ekonomi, apa yang relevan hanyalah bahwa masing-masing pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dipandang sebagai agen-agen yang membawa kepentingan-dirinya masing-masing dan mengevaluasi situasi berdasarkan kepentingan-diri tersebut.

Kepentingan-diri merupakan unsur utama pembentuk “rasionalitas ekonomi”. Dalam kajiannya tentang rasionalitas, Maurice Godelier menunjukkan pertanyaan utama yang dipermasalahkan dalam hal rasionalitas ekonomi: “Bagaimanakah semestinya agen-agen ekonomi mesti bertindak dalam sistem ekonomi tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah mereka tetapkan sendiri?”10 Dalam pertanyaan tersebut, kepentingan-diri mengemuka dalam “tujuan-tujuan” yang ditetapkan agen ekonomi. Oleh karenanya, rasionalitas ekonomi tidak lain mengacu pada metode tindakan yang paling optimal dalam rangka mewujudkan kepentingan-diri. Seseorang dapat dikatakan rasional secara ekonomis apabila (1) ia bertindak sesuai dengan kepentingan-dirinya dan (2) tindakannya diwujudkan secara optimal, dalam arti meraih pencapaian kepentingan-diri tertinggi dengan biaya terendah.

Konsepsi tentang rasionalitas ekonomi inilah yang membentuk sesosok makhluk yang dinamai para ekonom sebagai “manusia ekonomi” (homo economicus) atau kerap juga disebut rational economic man. Manusia ekonomi adalah agen ekonomi yang bergerak sepenuhnya atas dasar kepentingan-diri dan metode aktivitasnya diatur berdasarkan rasionalitas ekonomi. Model antropologi-ekonomis tentang homo economicus ini mengemuka, antara lain, dalam Hukum Gossen Kedua, yang menyatakan bahwa seorang agen ekonomi akan terus menukarkan dua jenis komoditas sampai pada suatu titik dimana nilai komoditas terakhir sama dengan nilai komoditas yang hendak diperoleh, dengan kata lain, sampai ketika tak ada lagi pemenuhan kepentingan-diri yang dapat dicapai lewat pertukaran itu.11 Oleh karena hukum ini demikian berpengaruh pada teori-teori ekonomi selanjutnya (misalnya, dalam hukum variasi utilitas dalam ekonomika William Stanley Jevons yang kemudian beranak-pinak ke dalam tradisi ekonomi Neoklasik), kita dapat memperkirakan betapa besarnya pengaruh asumsi tentang homo economicus dalam ilmu ekonomi modern. William Stanley Jevons, seorang pelopor ekonomi modern, bahkan sampai mendefinisikan ilmu ekonomi berdasarkan rasionalitas manusia ekonomi, yakni konsepsi tentang ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mengkaji cara “memaksimalkan kebahagiaan dengan membeli kenikmatan pada tingkat ongkos rasa sakit yang terkecil.”12

Pengertian kepentingan-diri, rasionalitas ekonomi serta manusia ekonomi bukan hanya spekulasi yang dikerjakan para ekonom di waktu senggang. Pengertian tersebut tertanam di dalam dasar ilmu ekonomi dan mengemuka dalam hampir setiap detail teori ekonomi spesifik yang diajukan para ekonom. Contoh paling klasik dari fungsi konsep kepentingan-diri dalam penalaran praktis ekonomi ditunjukkan oleh Adam Smith dalam teorinya tentang “harga alamiah” (natural price). Harga alamiah adalah harga yang sepenuhnya ditentukan oleh jumlah sewa, upah kerja dan laba, serta mengesampingkan faktor-faktor kontinjen akibat kesenjangan antara penawaran dan permintaan komoditas. Smith berargumen bahwa harga macam inilah yang akan menjadi tendensi jangka panjang dari semua harga komoditas. Inilah yang dirangkum Smith dalam Hukum Nilainya.

Andaikan sekantung peniti memiliki harga alamiah Rp. 500 dan memerlukan dua jam kerja untuk memproduksinya, sementara sepotong baju memiliki harga alamiah Rp. 2000 dan memerlukan 8 jam kerja untuk memproduksinya. Andaikan bahwa harga alamiah dan harga pasarnya identik. Sekarang andaikan bahwa karena kenaikan permintaan akan peniti, harga pasarnya menjadi Rp. 1000. Kenaikan ini akan menyebabkan para pelaku industri garmen beralih ke industri peniti. Sebabnya karena dengan dua jam kerja mereka dapat menghasilkan Rp. 1000 dibandingkan dengan delapan jam kerja yang hanya menghasilkan Rp. 2000. Namun, kenaikan ini tidak akan bertahan lama karena penawaran peniti akan membanjiri pasar dan akibatnya menurunkan harga pasarnya sehingga memaksa para industrialis untuk keluar dari industri peniti dan kembali ke industri garmen. Akibatnya, harga pasar peniti dan baju kembali identik dengan harga alamiahnya. Dengan kata lain, ada tendensi kembalinya fluktuasi harga akibat kesenjangan penawaran-permintaan ke ‘ongkos produksi’ atau harga alamiah. Fenomena inilah yang ditangkap Smith dalam Hukum Nilainya yang terkenal bahwa harga alamiah “adalah harga pusat yang mana harga semua komoditas secara terus-menerus bergravitasi [gravitating]padanya.”13

Melalui ilustrasi penalaran praktis ekonomi dalam rupa Hukum Nilai di muka, dapat kita lihat betapa pentingnya peran yang dimainkan oleh asumsi tentang kepentingan-diri dan rasionalitas ekonomi. Harga aktual komoditas tidak akan “bergravitasi” ke harga alamiahnya, apabila, seandainya para pelaku industri garmen tidak digerakkan oleh motif pencarian kepentingan-diri, sebuah motif yang membimbingnya untuk, dalam ilustrasi di muka, mengalihkan investasinya ke industri peniti yang lebih menguntungkan. Dengan demikian, Hukum Nilai mengandaikan berlakunya asumsi homo economicus sebagai satu-satunya jenis agen ekonomi yang ada di kenyataan agar Hukum tersebut berlaku secara aktual. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi dalam kenyataan, maka Hukum tersebut tak dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan harga aktual. Inilah batas dari andaian tentang manusia ekonomi.

Andaian tentang kepentingan-diri juga berlaku dalam hal kebijakan ekonomi yang lebih umum. Argumen Smith tentang invisible hand—yakni bahwa pasar yang tidak diintervensi secara sepihak oleh kepentingan politik akan secara spontan menghasilkan alokasi sumber daya yang optimal—sejatinya juga diturunkan dari asumsi kepentingan-diri. Hal ini sudah diketahui, bahkan oleh Bernard Mandeville, jauh sebelum Smith. Dalam Fable of the Bees, Mandeville menulis bahwa “Yang terburuk dari masyarakat banyak justru menyumbang bagi kebaikan umum.”14 Yang ia maksudkan tak lain adalah kepentingan-diri. Kendati si tukang daging, petani, tukang roti, dan setiap anggota masyarakat ekonomi bekerja berdasarkan kepentingan masing-masing secara egoistis, asalkan semuanya berkompetisi bebas dalam pasar persaingan sempurna dan pemerintah dengan kepentingan politiknya tidak melakukan intervensi di sana-sini, justru alokasi sumber daya dalam situasi seperti ini akan optimal dan pertumbuhan ekonomi terwujud.

Dengan gampang dapat kita lihat bagaimana argumen seperti di muka itu sangat mudah digunakan untuk mendukung kebijakan deregulasi. Apabila dengan kepentingan-diri masing-masing agen-agen ekonomi di pasar dapat menciptakan distribusi kekayaan yang optimal dan pertumbuhan ekonomi, sementara intervensi politik atas pasar akan mengganggu “tatanan spontan” itu, maka satu-satunya tugas pemerintah di lapangan ekonomi adalah undur-diri. Dalam konsepsi ini, pemerintah diharapkan fungsinya sebatas menyediakan kepastian hukum (atau dalam ungkapan yang kerap diulang: “menegakkan rule of law”) agar bisnis berjalan lancar dan tidak semestinya merecoki substansi perekonomian itu sendiri dengan kebijakan yang menguntungkan sebagian pihak, seperti memberi insentif bagi usaha kecil, memonopoli sumber daya penting melalui BUMN, menghapuskan bea masuk bagi hasil industri luar negeri biarpun itu akan menghancurkan industri dalam negeri, dan sebagainya. Hal ini, dalam andaian homo economicus, justru akan merusak kesetimbangan yang tercipta secara spontan dari mekanisme pasar. Singkatnya, pemerintah mestinya mengadopsi falsafah kebijakan “biarkan saja” (laissez-faire). Konsekuensinya, pemerintah mesti menjalankan deregulasi (menghapus aturan-aturan yang merintangi gerak spontan pelaku ekonomi) dan semua bentuk monopoli negara terhadap sumber daya ekonomi mesti dihapuskan. Kebijakan privatisasi BUMN hanyalah salah satu muara dari argumen semacam ini.

Masalahnya kemudian, tatanan ekonomi yang konon tercipta secara spontan dari agen-agen ekonomi dengan kepentingan-dirinya ini nyatanya bertopang pada klausa ceteris paribus tersembunyi. Dalam model invisible hand Smithian, misalnya, terdapat tidak kurang dari tiga invisible assumptions ini:

  1. Berlakunya pasar persaingan sempurna
  2. Adanya pemilikan informasi yang simetris antar agen
  3. Berlakunya reproduksi tak hingga atas komoditas

Ketiga asumsi ini berlaku sebagai syarat dari penyimpulan Smithian yang akan diringkas sebagai PS berikut:

    PS:  “jika perekonomian digerakkan oleh kepentingan-diri masing-masing agennya, maka alokasi sumber daya dan pertumbuhan ekonomi yang optimal akan tercapai”

Dengan demikian, kita memperoleh tiga proposisi berikut:

  1. Jika 1, maka PS benar
  2. Jika 2, maka PS benar
  3. Jika 3, maka PS benar

Akan tetapi, kita dengan mudah dapat menunjukkan bahwa dalam perekonomian aktual asumsi 1, 2 dan 3 tidak selalu, atau bahkan jarang, berlaku. Berikut ini, saya tampilkan tiga kontra-asumsi yang sangat mudah dijumpai di kenyataan:

  1. 1*   Berlakunya kartel dan monopoli
  2. 2*   Adanya perbedaan tingkat informasi antar agen
  3. 3*   Ketidakmungkinan reproduksi tak hingga atas komoditas akibat faktor ekstra-ekonomis

Kontra-asumsi 1*, 2* dan 3* ini adalah asumsi yang berlaku dalam kenyataan sehari-hari. Dalam perekonomian aktual, kerapkali terjadi industri besar yang mencapai titik tertentu dapat memperoleh akses ke produksi komoditas dari hulu ke hilir. Kerapkali juga terjadi, jika bukannya malah selalu, agen ekonomi yang satu memiliki informasi yang berbeda tentang kondisi pasar dibanding agen ekonomi yang lain. Demikian juga dalam hal asumsi 3*, tidak ada komoditas yang dapat direproduksi sampai tak hingga karena batas-batas reproduksi dikondisikan oleh batas-batas ekologis dan kondisi ekologis tidaklah selentur kondisi sosial.15 Dengan memasukkan kontra-asumsi ini dalam penyimpulan tentang PS, maka kita memperoleh hasil berikut”

  1. a*   Jika 1*, maka PS keliru
  2. b*   Jika 2*, maka PS keliru
  3. c*   Jika 3*, maka PS keliru

Namun asumsi keilmuan yang melandasi paradigma debottlenecking dalam kebijakan MP3EI adalah sebagai berikut:

  1. I.   Jika 1, 2 dan 3, maka PS benar
  2. II.  MP3EI benar jika dan hanya jika PS benar
  3. III. Jadi, jika 1, 2 dan 3 benar, maka MP3EI benar

Konsekuensinya, apabila a*, b* dan c* benar, maka kita akan memperoleh argumen berbasis kenyataan aktual yang melawan paradigma debottlenecking MP3EI seperti berikut:

    I*    Jika 1*, 2* dan 3*, maka PS keliru
  1. II*   MP3EI keliru jika dan hanya jika PS keliru
  2. III*  Jadi, jika 1*, 2* dan 3*, maka MP3EI keliru

Demikianlah telah kita perlihatkan masalah-masalah dasar dari Pengandaian 1, yakni asumsi homo economicus. Selanjutnya kita akan melangkah lebih jauh mempersoalkan pengandaian yang lain dari MP3EI, yakni asumsi keunggulan komparatif.

 

Pengandaian 2: Keunggulan Komparatif dan Masalah Koridorisasi Ekonomi

Dalam risalah The Principles of Political Economy and Taxation, David Ricardo mengajukan argumen yang baru pada masanya tentang perdagangan luar negeri.16 Andaikan Inggris dan Portugal sama-sama mampu memproduksi baju dan anggur. Akan tetapi, Inggris dapat memproduksi anggur dengan tenaga 120 orang per tahun dan baju dengan 100 orang per tahun, sementara Portugal dapat memproduksi anggur dengan tenaga 80 orang per tahun dan baju dengan 90 orang per tahun. Hal ini dapat direpresentasikan dalam skema berikut:

martin1

Ricardo berargumen bahwa kendati Portugal sudah unggul dalam hal produksi baju terhadap Inggris (dengan rasio inefisiensi 9 : 10), tetapi ia jauh lebih unggul dalam hal produksi anggur (dengan rasio 2 : 3). Oleh karenanya, akan lebih menguntungkan bagi Portugal apabila ia mengabaikan produksi baju dan mengerahkan tenaga kerjanya khusus untuk produksi anggur. Lantas, dengan keuntungan dari perdagangan anggurnya dengan Inggris, ia dapat mengimpor lebih banyak baju ketimbang kalau ia hanya memproduksinya sendiri.17 Demikian pula Inggris. Akan lebih menguntungkan bagi Inggris apabila ia fokus pada produksi baju untuk keperluan ekspor ke Portugal dengan mengabaikan produksi anggur karena komoditas itu dapat diimpor dari Portugal berdasarkan keuntungan hasil ekspor baju. Fokus produksi yang lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak inilah yang digambarkan dalam kotak dengan cetak tebal dalam skema di muka. Posisi-posisi diagonal itulah yang dalam literatur ekonomi sampai hari ini disebut sebagai keunggulan komparatif (comparative advantage).

Paradigma keunggulan komparatif ini ikut mempengaruhi perumusan kebijakan MP3EI. Hal ini dapat kita lihat secara eksplisit dalam penekanan yang diberikan pada koridorisasi ekonomi seperti dinyatakan dalam dokumen MP3EI: “Koridor Ekonomi Indonesia menekankan pada sinergi pembangunan sektoral dan wilayah untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif secara nasional, regional maupun global.”18 Kendati di situ disebutkan penekanan juga pada keunggulan kompetitif (competitive advantage), yang sejatinya merupakan strategi yang terfokus pada produksi komoditas bernilai tertinggi, nyatanya kebijakan koridorisasi ekonomi yang telah kita lihat justru lebih condong ke paradigma keunggulan komparatif. Hal ini nampak dari fokus produksi di enam koridor ekonomi yang sebagian besar masih berfokus pada industri ekstraktif (migas dan energi) serta produksi barang primer (hasil bumi). Hanya satu koridor yang meluangkan fokusnya pada industri, yakni Jawa. Kita dapat membaca fenomena kebijakan ini sebagai arahan yang dibimbing oleh ideal keunggulan komparatif ketimbang keunggulan kompetitif.

Sebagai sebuah paradigma kebijakan ekonomi, keunggulan komparatif bukannya selalu buruk. Paradigma ini sangat menguntungkan bagi negara industri maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Paradigma ini hanya buruk untuk negeri dengan industri yang masih balita (infant industry) seperti Indonesia. Untuk melihat masalah dari paradigma ini, kita dapat menggambarkan sebuah skenario hipotetis seperti Ricardo. Andaikan Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama memproduksi kelapa sawit, minyak mentah, permesinan dan microchip dengan kemampuan produksi hipotetis seperti berikut (dalam satuan per tenaga kerja per tahun):

 

martin2

Dalam skema ini, rasio inefisiensi produksi sawit, minyak mentah, permesinan dan microchip untuk Indonesia dan Amerika Serikat berturut-turut adalah 5 : 7, 3 : 4, 13: 9 dan 7 : 5. Dengan kata lain, tingkat keunggulan komparatif Indonesia untuk masing-masing komoditas itu berturut-turut adalah sebagai berikut:

 

martin3

Dapat kita lihat bahwa selisih keunggulan komparatif terbesar bagi Indonesia ada di sawit (0,006) dan minyak mentah (0,004), sementara bagi Amerika Serikat ada di permesinan (0,003) dan microchip (0,002). Jika dilihat sekilas, nampaknya menguntungkan bagi Indonesia bila ia fokus pada produksi sawit dan minyak mentah saja sembari melepaskan industri alat-alat berat dan microchip dengan pertimbangan bahwa kedua komoditas terakhir dapat diimpor melalui sisa laba dari ekspor sawit dan minyak mentah.

Ekonom Robin Hahnel mempersoalkan dampak penggunaan paradigma keunggulan komparatif bagi negara dunia ketiga atau setidaknya negara dengan industri yang kurang maju ketika berhadapan negara industri maju. Apabila konsekuensi dari paradigma keunggulan komparatif adalah arahan untuk berfokus pada cabang ekonomi tradisional dari sebuah negeri (sektor ekonomi dimana negeri tersebut telah lama berkecimpung), maka ketika diterapkan ke negara dunia ketiga arahan ini akan mengemuka sebagai arahan untuk terus berkubang pada fase pra-industrial.19 Ini sama seperti mempropagandakan “keunggulan komparatif” dari kebodohan: bahwa orang bodoh tidak mudah stres dibanding orang pandai (karena orang bodoh, per definisi, tidak berpikir)dan hal itu merupakan keunggulan komparatif yang mesti terus dipelihara. Akibat jangka panjangnya, negara dengan industri yang masih balita akan terus tergantung pada negara industri maju. Lebih jauh lagi, ketergantungan ini akan berubah menjadi ketundukan absolut manakala cadangan sumber daya alam (seperti migas) yang dimiliki negara tersebut habis. Ketundukan semacam ini tidak akan terjadi seandainya sejak awal negara tersebut tidak membasiskan diri paradigma keunggulan komparatif, yakni dengan terus mengupayakan industrialisasi, sehingga ia akan berada pada posisi yang lebih baik manakala sumber daya migas yang dimilikinya lenyap.

Ha-Joon Chang, seorang ahli ekonomi pembangunan, menawarkan perspektif sejarah kebijakan yang juga kritis terhadap paradigma keunggulan komparatif. Ia melihatnya dalam kait-kelindan dengan arahan Konsensus Washington, tentang perlunya deregulasi dan privatisasi. Dalam bacaan Chang, yang banyak dipengaruhi oleh ekonom proteksionis abad ke-19, Friedrich List, paradigma keunggulan komparatif sejatinya hanyalah alat yang digunakan negara industri maju untuk merintangi langkah negara dunia ketiga dan negara berkembang untuk memasuki fase industrialisasi. Negara industri maju mempropagandakan visi keunggulan komparatif karena, di satu sisi, mereka membutuhkan bahan baku dari negara dunia ketiga sekaligus, di sisi lain, tak hendak membiarkan negara dunia ketiga berkembang menjadi pesaingnya dalam hal industri. Untuk itu, negara industri maju mengadvokasi pentingnya perdagangan bebas, penurunan atau bahkan penghapusan bea masuk, agar komoditas manufakturnya yang bernilai tambah tinggi itu dapat merajai pasar dunia ketiga dan menutup perkembangan industrial negara-negara dunia ketiga tersebut. Atau dalam perspektif Friedrich List yang patut dikutip agak panjang:

Adalah sebuah kecerdikan yang demikian umum bahwa ketika seseorang telah mencapai puncak kejayaan, ia menendang tangga yang melaluinya ia telah sampai ke puncak, sehingga membuat orang lain kehilangan alat untuk mengejarnya. Di sinilah terletak rahasia dari doktrin kosmopolitis Adam Smith [...]. Setiap negeri yang melalui pajak proteksionis dan pembatasan navigasi telah melambungkan kekuatan manufaktur dan navigasinya demikian rupa sehingga tak ada negeri yang dapat berkompetisi secara bebas dengannya, tidak dapat melakukan hal yang lebih bijak ketimbang membuang tangga ini dan mengkhotbahkan kepada negeri lain akan keunggulan perdagangan bebas serta mengumumkan dalam suasana pertobatan bahwa selama ini ia telah melangkah di jalan yang salah dan sekarang untuk pertama kalinya telah berhasil menemukan kebenaran.20

Dengan kata lain, List hendak mengatakan bahwa negeri-negeri yang kini menganjurkan perdagangan bebas dan pembebasan bea masuk adalah negeri-negeri yang beberapa waktu sebelumnya membentengi diri dengan kebijakan proteksionis. Lalu apakah keterkaitan antara diskursus proteksionisme versus perdagangan bebas ini dengan paradigma keunggulan komparatif? Kaitannya adalah bahwa paradigma itu hanya mungkin dikumandangkan oleh negeri yang tak lagi risau akan kemampuan industrialnya dalam bersaing di perdagangan bebas. Sejarah formasi kebijakan anti-proteksionis seperti itulah yang dikupas oleh Chang.

Dalam data statistik Paul Bairoch yang dikutip Chang, terlihat bahwa kebijakan tarif masuk yang tinggi untuk barang-barang manufaktur diberlakukan oleh Inggris pada tingkatan tertinggi di tahun 1820 (dengan kisaran 45-.55 persen nilai komoditas), disusul Amerika Serikat (dengan kisaran 35-45 persen), jauh di atas Jerman (8-12 persen), Belgia dan Belanda (6-8 persen) dan pada tahun 1875, Amerika Serikat memimpin dengan tarif masuk antara 40-50 persen nilai komoditas, kisaran yang masih berlaku sampai tahun 1931.21[3] Dari statistik ini, dapat disimpulkan bahwa penghapusan Corn Law di Inggris (penghapusan bea masuk untuk komoditas agrikultur) yang diidealisasikan sebagai momen historis berdirinya tata ekonomi liberal, nyatanya mengandaikan prasyarat tradisi proteksionis yang tak kurang kokohnya. Dengan demikian, terlihat dengan terang bahwa tuntutan mutlak untuk beralih ke sistem perdagangan bebas dan rezim keunggulan komparatif bagi negara-negara dunia ketiga terdengar seperti himbauan untuk deindustrialisasi. Pengandaian 2 tentang keunggulan komparatif yang menjustifikasi koridorisasi ekonomi dalam nalar MP3EI, ternyata mengandaikan prakondisi historis yang belum tentu dipenuhi oleh Indonesia.

Kita telah melihat dua asumsi problematis yang menjadi dasar kebijakan MP3EI, entah disadari atau tidak oleh para perumusnya. Asumsi pertama berkenaan dengan andaian kepentingan-diri yang diterjemahkan ke dalam konsepsi tentang efisiensi ekonomi berbasis rasionalitas ekonomi dan homo economicus. Di sini diasumsikan bahwa apabila para pelaku pasar dibiarkan bekerja mengikuti kepentingan-diri masing-masing akan tercipta sebuah sistem alokasi sumber daya dan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Dari sini kemudian disimpulkan bahwa peran pemerintah yang terbaik dalam kondisi seperti itu adalah dengan hanya menyediakan kepastian hukum tanpa merecoki substansi perekonomian itu sendiri. Telah kita lihat bahwa sebetulnya, terdapat setidaknya tiga asumsi tersembunyi di balik penyimpulan ini, yakni berlakunya pasar persaingan sempurna, distribusi informasi yang simetris antar agen dan ketereproduksian tak hingga terhadap komoditas. Oleh karena ketiga asumsi ini sulit dipenuhi dalam kenyataan aktual, maka penyimpulan argumen di muka ke dalam kebijakan debottlenecking MP3EI patut dipertanyakan kembali.

Asumsi kedua berkaitan dengan penggunaan paradigma keunggulan komparatif dalam menyokong gagasan tentang koridorisasi ekonomi. Di sini diasumsikan bahwa setiap negeri mesti mengerahkan tenaga produktifnya untuk memproduksi jenis komoditas yang memiliki tingkat keunggulan komparatif tertinggi dengan mengorbankan produksi komoditas jenis lain. Ketika paradigma ini diterjemahkan ke dalam kebijakan koridorisasi ekonomi dalam dokumen MP3EI, yang mengemuka adalah kelanjutan dari potret kolonial tentang Hindia Belanda sebagai sumber bahan mentah (dengan rasio industri di koridor Jawa banding hasil bumi dan migas di seluruh koridor lain sebesar 1 : 5). Melalui kajian Robin Hahnel dan Ha-Joon Chang, ditunjukkan bahwa paradigma tersebut bermasalah. Paradigma ini utamanya menghasilkan efek yang melumpuhkan bagi proses industrialisasi dunia ketiga. Dengan arahan untuk setia pada produksi komoditas unik masing-masing negeri, paradigma ini mendorong negara-negara dunia ketiga untuk terus mengekspor hasil bumi dan migas dan mengimpor barang manufaktur. Ketika paradigma ini ditawarkan bersama dengan arahan untuk penghapusan kebijakan proteksionis, akibatnya bagi negara-negara dunia ketiga jadi berlipat ganda: industri di negara-negara itu tak lagi mungkin bersaing dengan industri negara maju yang komoditasnya membanjiri pasar domestik dengan harga murah akibat dihapusnya bea masuk. Selain itu, paradigma ini secara historis bermasalah karena keberlakuannya mensyaratkan prakondisi sejarah kebijakan proteksionis yang telah mentradisi (seperti di Inggris dan Amerika Serikat).

Dari paparan ini, dapat disimpulkan bahwa problem pengandaian mendasar dari MP3EI sebagai model makro kebijakan ekonomi di Indonesia dewasa ini adalah ketidakpekaan pada asumsi. Ada sejumlah asumsi implisit di balik pengandaian keilmuan yang tak sempat dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan. Pola pikir yang tidak peka asumsi ini mengemuka dalam dua bentuk:

  1. Kurang pahamnya para perumus kebijakan kita terhadap cara kerja keilmuan yang mengandalkan klausa ceteris paribus dalam membangun teori. Dengan kata lain, lenyapnya nalar metodologis.
  2. Kurang pahamnya para perumus kebijakan kita terhadap kesejarahan dari sebuah permasalahan dalam ilmu-ilmu. Dengan kata lain, lenyapnya nalar historis.

Ketidakpekaan asumsi pertama mengemuka ke dalam Pengandaian 1, sementara ketidakpekaan kedua mewujud ke dalam Pengandaian 2. Telah kita periksa bahwa kedua pengandaian itu bermasalah. Perbaikan proses berpikir dalam perumusan kebijakan ekonomi di Indonesia mendatang, karenanya, mensyaratkan pengertian yang memadai atas kedua nalar di muka.

Hilangnya kedua nalar di muka menyebabkan kekacauan metodologis yang luar biasa dalam perumusan kebijakan publik. Dengan mengabaikan cara kerja asumsi keilmuan, sejatinya para perumus kebijakan, termasuk para perumus Visi-Misi Prabowo-Hatta, telah memaksakan asumsinya sendiri ke dalam kenyataan yang ia hadapi. Ketidakpekaan pada asumsi dan pengabaian cara kerja keilmuan inilah yang menjelaskan mengapa Prabowo, dapat secara ajaib menyejajarkan MP3EI dan ekonomi kerakyatan. Keajaiban seperti ini adalah produk dari kegagalan berpikir. Sebuah kebijakan semestinya dirumuskan menurut kenyataan itu sendiri dan asumsi keilmuan hanya memegang peran heuristik, sebagai alat bantu, bukan potret kenyataan sesungguhnya.

Sebuah analogi mungkin akan menyampaikan duduk perkaranya secara lebih mengena. Data kemiskinan per September 2012 versi BPS (hasil Susenas Maret 2012) menyebutkan bahwa dengan garis kemiskinan sebesar Rp.259.520, terdapat 11,66 persen penduduk miskin di Indonesia. Andaikan sekelompok perumus kebijakan ditugaskan untuk memberantas kemiskinan. Dengan membuat asumsi sendiri bahwa garis kemiskinan berada pada level Rp.100, tiba-tiba mereka menemukan bahwa angka kemiskinan mencapai 0 persen. Lantas mereka tampil dalam press release sambil mengabarkan bahwa mereka telah berhasil memberantas kemiskinan di Indonesia. Inilah potret ekstrem dari kekacauan metodologis yang bersarang dalam kebijakan MP3EI: kekacauan akibat mengelirukan asumsi dan kenyataan, akibat kegagalan membedakan antara kemiskinan-dalam-asumsi dan kemiskinan-riil. Ketika temuan spektakuler ini ditindaklanjuti dengan penghapusan semua subsidi karena sudah tidak ada lagi orang miskin yang membutuhkan subsidi, maka kerancuan yang jenaka di muka berubah jadi menyedihkan: gagal membedakan antara memberantas kemiskinan dan memberantas orang miskin. Kalau sudah begini, dengan penggunaan yang naif atas asumsi yang serupa, kita bisa saja mengasumsikan bahwa kita semua adalah sejenis ganggang yang hidup damai di dasar samudra dan semua masalah sosial terpecahkan seketika itu juga. Dalam penalaran ini, tidur di atas balok es boleh jadi merupakan Solusi Final dari semua permasalahan ekonomi rakyat Indonesia.***

———

1Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi) (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 20.

2Lih. Hartarto Sastrosoenarto, Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju Visi Indonesia 2003 (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 98-99.

3Lih. http://psp.ugm.ac.id/reformulasi-model-gbhn-upaya-penyatuan-sistem-pembangunan-nasional-dan-daerah.html.

4Ini juga kesimpulan umum dari penelitian yang dibuat LSM Demos, terlepas dari kritiknya atas masih maraknya fenomena ‘jagoan lokal’ yang mendominasi musrenbang maupun tidak responsifnya DPR maupun DPRD terhadap saran yang diberikan musrenbang. Lih. Widiyanto dan Syafa’atun Kariadi, Representasi Popular dalam Penganggaran Partisipatif (Jakarta: Demos, 2011), h. 116-146.

5Lih. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025(Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011), h. 179-181 (Bab IV).

6Mustopadidjaja A.R. dkk., ed., Bappenas dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025 (Jakarta: LP3ES dan Paguyuban Alumni Bappenas, 2012), h. 428-430.

7Mengenai inside story dari perdebatan dalam rapat ini, lih. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Kompas, 2010), h. 249-261.

8Mubyarto hendak mempertahankan “prinsip kekeluargaan”, tetapi kemudian ditolak oleh anggota sidang yang lain yang lebih mengedepankan “prinsip kebersamaan”. Lih. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, h. 260. Prinsip “kebersamaan” lebih dekat dengan konsepsi ekonomi bisnis tentang “kemitraan” (partnership) dalam sistem perseroan (one share one vote)dan karenanya mencerminkan pendekatan yang lebih liberal tentang ekonomi daripada prinsip “kekeluargaan”.

9Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations (Hampshire: Harriman House, 2007), h. 9-10.

10Maurice Godelier, Rationality and Irrationality in Economics, terj. Brian Pearce (London: Monthly Review Press, 1972), h. 11.

11Lih. Ernesto Screpanti dan Stefano Zamagni, An Outline of the History of Economic Thought (Oxford: Oxford University Press, 2005), h. 107.

12William Stanley Jevons, The Theory of Political Economy (London: Macmillan and Co., 1888), h. 23.

13Adam Smith, op.cit., hlm. 38.

14Bernard Mandeville, The Fable of the Bees, dalam Kelly Rogers, ed., Self-Interest: An Anthology of Philosophical Perspectives (New York: Routledge, 1997), h. 110.

15Setidaknya dalam kerangka asumsi kelangkaan (scarcity) yang lazim digunakan para ekonom. Lih. Helmut Arndt, Economic Theory vs Economic Reality, terj. William A. Kirby (Michigan: Michigan State University Press, 1984),h. 17.

16Lih. David Ricardo, The Works and Correspondence of David Ricardo, Volume I: On the Principles of Political Economy and Taxation, ed. Piero Sraffa (Indianapolis: Liberty Fund, 2004), h. 134-136.

17Though [Portugal] could make the cloth with the labour of 90 men, she would import it from a country where it required the labour of 100 men to produce it, because it would be advantageous to her rather to employ her capital in the production of wine, for which she would obtain more cloth from England, than she could produce by diverting a portion of her capital from the cultivation of vines to the manufacture of cloth.” Ibid., h. 135.

18Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, op.cit., h. 32 (Bab II).

19“[T]he theory of comparative advantage is usually interpreted as implying that a country should specialize even more in its traditional exports products, since those would presumbaly be the industries in which the country enjoys a comparative advantage. But underdeveloped economies are less developed because they have lower levels of productivity than other economies enjoy. If less developed economies further specialize in the sectors they have always specialized in, it may well be less likely that they will find ways to increase their productivity.” Robin Hahnel, The ABCs of Political Economy: A Modern Approach (London: Pluto Press, 2002), h. 183.

20Seperti dikutip dalam Ha-Joon Chang, Kicking Away The Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), h. 4-5.

21Ibid., h. 17.

 

Kepustakaan

A.R., Mustopadidjaja dkk., ed., Bappenas dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025. Jakarta: LP3ES dan Paguyuban Alumni Bappenas, 2012.

Arndt, Helmut. Economic Theory vs Economic Reality, terj. William A. Kirby. Michigan: Michigan State University Press, 1984.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Kompas, 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia, 2010.

Chang, Ha-Joon. Kicking Away The Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. London: Anthem Press, 2002.

Godelier, Maurice. Rationality and Irrationality in Economics, terj. Brian Pearce. London: Monthly Review Press, 1972.

Hahnel, Robin. The ABCs of Political Economy: A Modern Approach. London: Pluto Press, 2002.

Jevons, William Stanley. The Theory of Political Economy. London: Macmillan and Co., 1888.

Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011.

Mandeville, Bernard. The Fable of the Bees, dalam Kelly Rogers, ed., Self-Interest: An Anthology of Philosophical Perspectives. New York: Routledge, 1997.

Ricardo, David. The Works and Correspondence of David Ricardo, Volume I: On the Principles of Political Economy and Taxation, ed. Piero Sraffa. Indianapolis: Liberty Fund, 2004.

Sastrosoenarto, Hartarto. Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju Visi Indonesia 2003.Jakarta: Gramedia, 2006.

Screpanti, Ernesto dan Stefano Zamagni, An Outline of the History of Economic Thought. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations. Hampshire: Harriman House, 2007.

Widiyanto dan Syafa’atun Kariadi, Representasi Popular dalam Penganggaran Partisipatif.Jakarta: Demos, 2011.

Kegembiraan Politik dan Kerja Bakti Politik

$
0
0

KAPANKAH politik menjadi ajang kegembiraan rakyat banyak? Sejak Orde Baru, kita telah dibiasakan dengan politik yang tak ideologis, politik suam-suam kuku. Urusan politik dibuat jadi seolah amat jauh dari perkara masyarakat kebanyakan, sehingga pilihan politik masyarakat pun jadi tak menentu. Apa yang kita temukan adalah semacam teknokrasi politik: biarkan politik diatur oleh para teknisi politik, yakni politikus partai. Inilah politik massa mengambang. Dalam kerangka ini, pilihan politik massa dibuat mengambang, tanpa jangkar ideologis, dengan dijauhkannya substansi politik dari kepentingan massa dan pengelolaan politik dari campur tangan massa. Dengan kata lain, yang terjadi ialah suatu depolitisasi politik. Dalam cakrawala dekaden seperti itu, pemilu tampil sebagai ritual lima tahunan yang membosankan.

Situasi semacam ini secara tak disadari telah menanamkan kepercayaan di benak rakyat bahwa golput merupakan pilihan politik yang wajar. Golput adalah citra-cermin dari politik tanpa ideologi, dari teknokrasi politik yang menjauhkan diri dari kehidupan massa. Tentu ada masanya ketika golput menjadi pilihan politik yang ideologis, khususnya suasana represi politik seperti di zaman Orde Baru. Namun apa yang dilakukan para aktivis golput zaman Orba adalah mengartikulasikan semangat umum masyarakat waktu itu, yang kecewa dengan pilihan politiknya karena nyatanya politik dikemudikan tanpa ideologi yang jelas. Dalam suasana seperti itu, sikap tidak memilih adalah sikap yang selaras dengan suasana politik yang hampa ideologi. Sebab pilihan politik adalah pilihan ideologis, yakni pilihan untuk suatu kenyataan sosial masa depan yang dibayangkan akan menjadi aktual. Karenanya, tak ada kegembiraan politik dalam politik teknokratis.

Kegembiraan politik, dengan demikian, adalah antitesa dari politik massa mengambang. Dalam sebuah situasi di mana massa bergembira karena politik, kita menemukan titik balik atas depolitisasi politik. Oleh karena kegembiraan itu muncul dari partisipasi politik itu sendiri, bukan dari iming-iming uang atau jabatan dari hasil politik, maka fenomena ini mesti dimengerti sebagai ‘kegembiraan politik’. Kegembiraan ini muncul dari pengertian bahwa rakyat berperan serta dan memegang kendali politik, bahwa rakyat memiliki kedaulatan politik dan merdeka untuk mewujudkan kedaulatan itu dalam pilihan ideologisnya. Pemilu 2014, karenanya, dapat dilihat sebagai momentum kegembiraan politik rakyat Indonesia atas pemilu yang pertama sejak Orde Baru. Inilah yang kita saksikan dalam geliat relawan Jokowi-JK.

Relawan Jokowi-JK bukanlah ‘pasukan nasi bungkus’ atau orang-orang yang diupah untuk menjagokan pasangan capres-cawapresnya. Mereka bukanlah ‘tim sukses’ dalam pengertian konvensionalnya, yakni sepasukan pekerja politik yang digerakkan oleh upah ketimbang oleh ideologi. Mereka tidak terintegrasi dalam struktur partai politik yang resmi dan tidak juga didanai oleh partai politik tersebut. Mereka bergerak secara swa-daya, mengumpulkan dana secara kolektif, demi mendukung program-program politik progresif yang diusung Jokowi-JK dalam visi-misinya. Dukungan programatik semacam ini mewujud secara luas dan berbasis pada visi-misi resmi Jokowi-JK, antara lain:

- dukungan atas landreform (pembebasan 9 juta hektar lahan yang dibagi-bagikan secara gratis untuk rakyat),
- penghapusan Ujian Nasional,
- pembatasan impor,
- perlindungan perempuan dari kekerasan seksual,
- perlindungan kaum minoritas dari diksriminasi SARA,
- jaminan pendidikan gratis (Kartu Indonesia Pintar),
- jaminan kesehatan gratis (Kartu Indonesia Sehat),
- penolakan atas paradigma debottlenecking MP3EI dan pengutamaan kekuatan ekonomi nasional yang mandiri.

Berhadapan dengan program-program progresif dan ideologis seperti itu, apa masih perlu nasi bungkus? Itulah sebabnya relawan Jokowi-JK bekerja keras tanpa dibayar dan tanpa iming-iming jabatan. Apa yang mereka harapkan dan perjuangkan adalah realisasi program-program itu. Dalam kerja bakti politik seperti inilah terwujud kegembiraan politik yang sesungguhnya.

Kegembiraan semacam itulah yang kita saksikan dalam berbagai lagu yang diciptakan relawan Jokowi-JK, entah yang berkelompok maupun yang individual, mulai dari yang direkam dengan kamera canggih hingga kamera HP berformat 3gp, mulai dari yang dinyanyikan oleh pelayan restoran sampai tukang pijit, pengamen dan TKI, mulai dari lagu dengan aransemen pop 80-an ala Fariz RM (http://www.youtube.com/watch?v=iDEmnGcIUcQ) hingga aransemen dangdut koplo (http://www.youtube.com/watch?v=Q2dDRmKOcXc). (Itu hanya sebagian dari 80-an lebih lagu dukungan Jokowi-JK yang dikumpulkan oleh Natalia Taufik.) Lagu-lagu itu menunjukkan kesukarelaan rakyat untuk berpartisipasi dalam kegembiraan politik pemilu.

Kerja bakti politik semacam ini memang terkesan tidak radikal. Mereka yang terlibat tidak lantas meneriakkan yel-yel revolusioner. Akan tetapi, melalui kerja bakti politik ini kontradiksi politik dalam situasi nasional jadi meruncing. Beberapa waktu yang lalu, mobilisasi babinsa untuk mendata pilihan politik rakyat dan mengarahkan mereka untuk mendukung Prabowo-Hatta menuai kecaman keras dari para relawan. Konsekuensinya, orang partai sendiri merespon dengan seruan ‘bekukan komando teritorial’. Kita tahu, penghapusan komando teritorial adalah salah satu dari dua pokok utama tuntutan cabut dwi-fungsi ABRI semasa Orde Baru. Pokok yang berhasil diraih adalah penarikan ABRI dari medan politik. Namun komando teritorial yang merupakan kaki militer di masyarakat belum berhasil dihapuskan. Oleh karena itu, fakta bahwa orang partai menyerukan pembekuan komando teritorial bisa dilihat sebagai radikalisasi situasi yang muncul dari kerja bakti politik yang kesannya tidak radikal. Dengan kata lain, kerja bakti politik pada-dirinya tidak radikal, tetapi efeknya yang radikal.

Apa yang tak kurang penting adalah menjaga agar kerja bakti politik elektoral dapat diteruskan menjadi kerja bakti politik pasca-elektoral sehingga kegembiraan politik elektoral ini dapat bertransformasi menjadi kegembiraan politik pasca-elektoral. Artinya, yang penting adalah meng-upgrade dukungan elektoral menjadi dukungan programatik sehingga tujuan kerja bakti politik bukan hanya memenangkan Jokowi-JK, tetapi juga mengawal realisasi program-program progresif yang tercantum dalam dokumen visi-misi. Kaum Kiri yang skeptis bisa saja bertanya: mana mungkin Jokowi mampu mewujudkan visi berdikari ekonomi berhadapan dengan kepentingan asing yang demikian menggurita dalam struktur ekonomi-politik Indonesia? Pertanyaan ini salah alamat; seharusnya pertanyaan itu tidak ditujukan ke Jokowi tetapi ke kita sendiri. Mampukah kita mengawal visi berdikari ekonomi dan memberikan dukungan massa popular pasca-elektoral sehingga Jokowi dapat merealisasikan visi ideologis tersebut? Sanggupkah kita “memimpin kepentingan revolusi (melalui propaganda, agitasi dan organisasi) dalam badan non-revolusioner, dan kerapkali dalam badan yang terang-terangan reaksioner, dalam situasi non-revolusioner, di antara massa yang belum mampu mengapresiasi langsung keperluan bagi metode aksi yang revolusioner”? Beranikah kita menanggalkan atribut Marxis dan bekerja dalam front-front luas hingga turun ke forum-forum musrenbang sambil mengawal visi-misi progresif Jokowi dan mengantarkannya ke tingkat musrenbangnas sehingga menghasilkan koreksi RPJP yang semangatnya bukan lagi MP3EI? Sanggupkah kita memastikan agar visi-misi tersebut diadopsi oleh Bappenas sebagai kerangka acuan perencanaan pembangunan? Bebannya tidak terletak di pundak Jokowi, tetapi di pundak kita semua. Jangan tanya apa yang Jokowi perbuat bagi kita, tetapi tanyalah apa yang sudah kita kerjakan bagi realisasi visi-misi Jokowi—sebab Jokowi adalah kita.***

 

17 Juni 2014

Seminggu Sebelum Hari-H

$
0
0

DALAM iklim politik di mana apatisme massa dirawat dan dijadikan penanda kewajaran, Pilpres 2014 adalah memang suatu pengecualian. Siapa yang bisa bilang, tanpa sekelebat keraguan pun, bahwa pemilu kali ini sama saja dengan pemilu-pemilu sebelumnya? Dalam tradisi gerakan sosial, pengecualian itu sungguh terasa. Apabila golput dan sikap serba-menolak selama ini menjadi semacam setingan default gerakan sosial berhadapan dengan momentum Pilpres, tidak demikian halnya hari-hari ini. Saya sendiri merasakan perubahan itu. Ketika saya pertama kali turun aksi bersama kawan-kawan LMND Semarang, waktu itu Pilpres 2004 dan SBY sedang akan naik ke tampuk kekuasaan, tuntutan yang mengemuka adalah ‘tolak militerisme’. Sikap serba-menolak semacam ini sangat tipikal dan terus berulang sampai pemilu selanjutnya. Namun sepuluh tahun kemudian, keadaan berubah drastis. Gerakan sosial membanjiri medan politik elektoral dalam skala yang tanpa preseden. Pertentangan antar organisasi gerakan mengalami penerjemahan ke dalam perbedaan visi-misi kedua pasangan capres-cawapres.

Apa yang mencuat dari panorama politik hari ini adalah peran sentral relawan. Dalam politik massa mengambang, tidak dikenal tradisi relawan, yang dikenal adalah tim sukses (baik pra-bayar atau pasca-bayar, tetapi tak pernah tak berbayar). Pilpres 2014 memperkenalkan subjek politik baru dalam politik Indonesia, yakni relawan, yang diwujudkan secara masif dengan skala yang kolosal, jauh melebihi apa yang telah diuji-cobakan selama Pilgub DKI 2012. Politik relawan adalah ungkapan dari apa yang disebut Jokowi sebagai ‘kegembiraan politik’ yang merupakan antitesis dari politik massa mengambang atau politik yang bertumpu pada apatisme massa.

Menurut pendataan yang dilakukan Anom Astika, sampai saat ini sudah ada sekitar 2000 kelompok relawan Jokowi-JK yang mendeklarasikan diri di seluruh Indonesia. Konkritnya, itulah yang terjadi antara lain dalam politik para tukang bakso dalam deklarasi relawan Jokowi-JK di Depok. Puluhan tukang bakso patungan, masing-masing mengupayakan 2 kilogram daging sapi, untuk kemudian bebareng memasaknya menjadi konsumsi acara deklarasi relawan Paguyuban Tukang Ojek, Becak dan Pedagang Bakso Cilodong, Depok.

Buat para aktivis gerakan yang selama ini memperjuangkan agar rakyat memiliki kesadaran politik dan terbebas dari belenggu ideologi massa mengambang, pemandangan semacam ini lumayan mengharukan. Pilpres 2014 membuat rakyat jadi politis tanpa perlu diagitasi. Gerak swa-daya rakyat inilah yang menjadi inti semangat relawan sebagai subjek politik.

 

jokowi

Namun subjek politik baru ini bukannya tanpa lawan. Hiruk-pikuk aktivitas relawan Jokowi-JK memang telah menerbitkan kesan yang amat kuat bahwa Jokowi-JK pasti menang. Membaca media sosial makin memperhebat kesan tersebut. Akan tetapi kenyataannya lain bila kita mengikuti informasi lapangan dari masyarakat. Dari gerak relawan di berbagai tempat, kita mendapat informasi bahwa kubu Prabowo-Hatta memobilisasi perangkat pemerintah lokal untuk menghadang laju relawan. Sebagian kecil dari informasi itu adalah sebagai berikut:

  • Atribut-atribut kampanye Prabowo didatangkan di kantor-kantor kelurahan dan didistribusikan dari sana.
  • Acara-acara relawan Jokowi-JK di level lokal dilarang oleh kepala-kepala dinas pemerintah setempat karena alasan-alasan ketertiban.
  • Pendataan pemilih atau ‘sensus politik’ oleh tim relawan Jokowi-JK dipotong di bawah. Bahkan di berbagai kabupaten di Jawa Barat, warga yang pro-Jokowi pun ketakutan didatangi relawan karena sudah diperingatkan Pak RT sebelumnya. Ada yang diancam akan dicabut izin usahanya bagi warga pro-Jokowi yang membuka bisnis kerajinan rumahan. Ada yang diancam akan dipersulit dalam urusan-urusan administrasi di tingkat RW sampai kelurahan.
  • PNS-PNS diancam akan dimutasi kalau tidak memilih Prahara.
  • Konsolidasi Prahara dengan mengundang posyandu-posyandu melalui jalur pemerintah setempat.
  • Di Pemalang, kertas suara ditemukan sudah tercoblos nomor 1.
  • Tim sukses Prahara membagi-bagi nasi kotak berisi uang Rp. 50.000 yang terlipat rapi.
  • Mobilisasi bintara pembina desa (babinsa) untuk mengarahkan dukungan warga ke Prahara dengan dalih mendata pemilih
  • Di kabupaten Bantul, Yogyakarta, tim sukses Prahara menjanjikan Rp. 250.000 per suara dan masing-masing korlapdes sudah mendapat Honda Vario.

Kabar-kabar semacam ini tentunya masih perlu diverifikasi lagi. Namun santernya informasi sejenis mengindikasikan respon kaum reactie di aparatur pemerintahan lokal terhadap gelombang relawan Jokowi-JK.

Pemandangan yang tak kalah mirisnya juga kita temui di front intelektual. Buat saya yang belajar filsafat, situasinya sungguh menyedihkan. Bagaimana mungkin orang yang beberapa waktu lalu membaca dan menggemari filsafat posmo, sekarang bisa mempropagandakan ketegasan Prabowo? Adakah yang lebih jauh ketimbang Derrida dan ‘ketegasan’? Bagaimana mungkin orang yang tekun mengikuti perkembangan Marxisme Prancis kontemporer bisa mendukung Prabowo dan MP3EI-nya? Bagaimana bisa orang yang rajin membaca tentang Adorno dan tentang betapa sulitnya menulis puisi sesudah Auschwitz, bisa dengan lugu berkata bahwa bahaya fasisme itu sama sekali tidak ada? Bagaimana bisa orang yang menghabiskan sebagian hidupnya mempelajari sejarah gerakan Kiri internasional, bisa mengulang blunder yang sama dari Partai Komunis Jerman (KPD) di era Republik Weimar? Di tahun 1930-an, KPD menolak ajakan front persatuan dengan Partai Sosial-Demokrat Jerman (SPD) karena menganggap SPD tidak sungguh murni dalam menegakkan ‘syariat Marxis’. Akibatnya, KPD malah bersama-sama dengan Nazi terus menyerang SPD yang menyebabkan hancurnya SPD dan KPD sekaligus naiknya Hitler. Bagaimana mungkin orang belajar sejarah pemikiran dan filsafat tetapi berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang membuat pemikiran tak ada lagi?

Seminggu sebelum hari-H, inilah yang menjadi panorama politik kita: politik relawan berhadapan dengan politik represi, gerakan rakyat berlawanan dengan mesin birokrasi negara. Untuk menghadapi kaum intelektual dan aktivis media sosial pro-Prahara, jalannya mudah: tulis artikel atau bikin meme. Namun perkaranya tidak semudah itu ketika kita menoleh ke lapangan. Artikel kalah diadu dengan Pak RT. Meme membisu di hadapan Pak Lurah. Kita tak hanya mesti menggerakkan opini tetapi juga mengawal suara. Dan di situ kita berhadapan kembali dengan Orde Baru.

Apabila sebagian kawan menyebut bahwa situasi belakangan ini, khususnya di level kelurahan ke bawah, makin menyerupai situasi Orde Baru, anggapan itu tidak berlebihan. 1998 adalah tahun harapan dan 2014 adalah tahun penentuan, kata Hilmar Farid. Ya, Pilpres 2014 adalah penentuan apakah kita akan kembali ke Orde Baru atau melangkah ke zaman baru. 9 Juli nanti pilihannya tersedia amat gamblang: pilih Jokowi atau Soeharto.***

 

1 Juli 2014

Taksonomi Politik Pasca-Kemenangan Jokowi

$
0
0

SELAMA musim pemilu 2014 yang amat panjang dan melelahkan ini, sebagian kelas menengah kita di republik medsos menggerutu karena wall-nya penuh dengan ‘copras-capres’. Pilpres kali ini memang lebih berisik dari biasanya. Ini tercermin, misalnya, dalam respon gerakan Kiri. Pada situasi normal, golput adalah pilihan rutin gerakan Kiri. Ibaratnya, kalau gerakan Kiri menghidupkan mode auto-pilot, maka setiap momentum pilpres akan direspon secara otomatis dengan pilihan golput. Namun 2014 bukan zaman normal. 2014 menghentikan hibernasi gerakan yang selama ini mengandalkan auto-pilot dalam memproses pilihan-pilihan politiknya. Sejumlah besar gerakan memilih untuk melakukan manual override dengan masuk ke dalam politik elektoral dan menyatakan dukungan terbuka pada salah satu capres. Hanya tersisa sebagian kecil yang duduk menggerutu di depan layar medsos: ‘Duh copras-capres lagi…’ Mereka berharap pilpres cepat berlalu sehingga gerakan Kiri bisa kembali ke modus auto-pilot sambil nyenyak bermimpi tentang revolusi tanpa ambil pusing soal realpolitik sehari-hari.

Namun agaknya tidur mereka akan kembali terganggu pasca-pilpres. Sebabnya, sebagian besar gerakan Kiri yang aktif dalam berbagai lini jejaring relawan masih akan mentransformasi pertarungan politik elektoralnya ke dalam situasi pasca-elektoral. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dukungan kritis bagi Presiden terpilih kita, Jokowi. Dukungan kritis berarti dukungan programatik, yaitu memberikan dukungan dan kritik berbasis program (dengan acuan ke dokumen Visi-Misi Jokowi-JK). Artinya, ada tuntutan untuk ikut terlibat mengawal realisasi program Jokowi itu: mendorong dan membantu sekuat tenaga agar pelaksanaannya konsekuen dengan Visi-Misi serta mengkritik manakala pelaksanaannya inkonsekuen. Dengan demikian, politik relawan gerakan Kiri tidak akan berhenti sebatas momentum elektoral.

Buat apa relawan sesudah pemilu? Pertanyaan ini kurang tepat; yang lebih tepat adalah ‘buat apa tim sukses sesudah pemilu?’ Pertanyaan tersebut, dengan kata lain, mengaburkan distingsi ‘relawan’ dan ‘tim sukses’. Peran tim sukses memang sebatas menyukseskan suksesi kekuasaan secara elektoral, tetapi peran relawan jauh lebih luas dari itu. Dalam bentuknya yang paling elementer, fungsi relawan bukanlah memenangkan tokoh, melainkan memenangkan program. Tokoh dimenangkan sejauh diperlukan bagi pemenangan program.Artinya, mereka mesti memastikan agar program politik yang disepakati selama masa kampanye betul-betul diberlakukan pada situasi pasca-pemilu (alih-alih sekadar duduk-duduk lalu menagih janji). Inilah mengapa partisipasi politik gerakan Kiri sebagai relawan Jokowi semestinya dilihat sebagai upaya pembentukan ‘lingkaran Bolivarian’ atau gerakan rakyat pendukung (program) Jokowi yang akan mengawal pelaksanaan program tersebut, memberikan masukan maupun kritik—singkatnya, melaksanakan dan memperhebat Revolusi Mental bersendikan Trisakti di segala bidang: berdaulat di lapangan politik, berdikari di lapangan ekonomi dan berkepribadian di lapangan kebudayaan.

Bagaimana mengorganisasikan ‘kegembiraan politik’ pasca-elektoral? Inilah pertanyaan yang menjadi buah bibir para relawan belakangan ini. Jokowi menang, itu pasti. Tetapi bagaimana memastikan agar program-program Jokowi juga akan menang? Bukankah program-programnya, apabila diterapkan, pasti akan bertabrakan dengan kepentingan riil seluruh partai politik yang ada saat ini? Jika demikian, tidakkah realisasi program itu akan dibuat jadi tak mungkin? Di sinilah fungsi relawan. Mereka akan membentengi Jokowi guna menyelamatkan programnya dari intervensi seluruh jaringan oligarki politik yang cepat atau lambat akan terganggu karena kepentingan riilnya terusik. Oleh karena itu, pengorganisasian relawan pasca-elektoral menjadi pokok kunci. Relawan belum bisa membubarkan diri sebab Revolusi belum selesai.

Salah satu agenda penting dari politik relawan pasca-pilpres ialah mentransformasi ‘kegembiraan politik elektoral’ menjadi ‘kegembiraan politik programatik’—dari antusiasme popular memenangkan Jokowi ke antusiasme popular memenangkan program Jokowi. Untuk itu, kita mesti membedah terlebih dahulu antusiasme tersebut. Massa antusias untuk berbagai hal dan dengan berbagai alasan. Tanpa mengetahui objek dan alasan dari antusiasme, mustahil mengetahui antusiasme massa dan potensi pengorganisasiannya. Kita perlu membuat taksonomi tentang jenis-jenis relawan selama momentum pilpres berdasarkan alasan keterlibatannya serta potensi politiknya dalam situasi pasca-pilpres. Tabel berikut memuat taksonomi atas relawan dalam arti luasnya, yakni massa pendukung (entah betul-betul relawan dalam arti tidak dibayar maupun tim sukses), sekaligus pihak yang memutuskan untuk tidak mendukung calon manapun.

 

tabel

Seribu orang mendukung Jokowi dengan alasan yang berbeda-beda dan karenanya memiliki implikasi politik pasca-elektoral yang berbeda-beda pula. Seseorang bisa saja mendukung Jokowi bukan karena Jokowi dan programnya, tetapi semata karena tidak setuju dengan Prabowo. Bisa juga karena mereka punya motif-motif kariris atau ekonomis dalam mendukung Jokowi maupun semata hendak menyembunyikan rekam-jejak pelanggaran HAM di masa lalu dengan cara mendukung Jokowi. Karena itu, mereka akan merespon situasi politik pasca-elektoral secara berbeda. Demikian pula mereka yang mendukung Jokowi karena menyukai secara personal sosok Jokowi (wajah ndeso, sederhana, tampaknya bekerja keras, dsb.) tentu akan punya kepentingan politik pasca-elektoral yang berlainan dengan mereka yang mendukung Jokowi karena programnya. Perbedaan serupa juga dapat kita temukan dalam kubu pendukung Prabowo maupun golput.

Taksonomi tersebut berguna untuk memetakan tantangan dan ancaman terhadap Revolusi Mental berbasis Trisakti. Spektrum luasnya adalah tegangan antara Jokowi dan oligarki. Di manakah relawan mesti ditempatkan di antara tegangan tersebut dan bagaimana memposisikan berbagai kelompok relawan, mulai dari yang pro-Jokowi, pro-Prabowo hingga golput? Diagram berikut merepresentasikan prediksi hubungan gradasi posisi politik pasca-elektoral dari subjek-subjek yang diidentifikasi dalam tabel di muka.

 

grafik

Berlawanan secara diametral adalah kelompok relawan pro-Jokowi dan barisan oligarki. Golput ideologis memang tidak masuk dalam hitungan di muka sebab golput jenis itu cuma sejenis waham lima tahunan—lagipula terlalu kecil sehingga tidak signifikan. Kita dapat memperjelas hubungan gradisi di antara kedua kutub itu sebagai berikut:

  • Dalam kelompok relawan pro-Jokowi, relawan tipe B bisa dibilang paling kokoh sejauh dukungannya atas Jokowi tidak terombang-ambingkan oleh gosip tentang sosok personal Jokowi, melainkan terpatri pada program-program Jokowi. Mereka boleh antusias atau tidak dengan Jokowi sebagai person, tetapi mereka jelas antusias terhadap visinya.
  • Relawan pro-Jokowi tipe A boleh jadi lebih militan dalam membela Jokowi, tetapi militansinya berdiri di atas dasar yang lebih kontinjen, yakni psikologi sosok Jokowi yang persepsi negatif atasnya mudah diciptakan lewat manufaktur opini (misalnya lewat media). Namun baik relawan tipe B maupun A tetap merupakan kunci pemenangan program Jokowi.
  • Setelah itu, barulah relawan yang dukungannya atas Jokowi hanya berbasis ketidaksukaan (entah atas alasan apapun) terhadap Prabowo. Seperti halnya golput programatik, jenis relawan ini cenderung memposisikan diri pasca-elektoral sebagai pengamat atau komentator dari kejauhan. Mereka akan menempatkan ekspektasi mereka tentang Jokowi kurang-lebih setara dengan sosok SBY pada periode pertamanya. Dalam hal ini, relawan anti-Prabowo dan golput programatik akan cenderung mirip dengan posisi politik pasca-elektoral dari relawan pro-Prabowo tipe B. Mereka akan melancarkan kritik atas program-program pemerintahan Jokowi. Berbeda dengan relawan pro-Jokowi tipe B, mereka hanya akan mengkritik dari kejauhan tanpa ikut mengawal dan memastikan realisasi program tersebut.
  • Sementara relawan pro-Prabowo tipe A serupa dengan relawan anti-Jokowi yang cenderung mengkritik secara membabi-buta, sebab alasannya nyaris tidak ada atau cuma sekadar alasan personal. Relawan jenis ini hanya bisa diorganisasikan ke dalam kerja-kerja relawan Jokowi setelah di-‘revolusi mental’ terlebih dulu cara berpikirnya sehingga tak lagi berpikir atas dasar ketokohan, tetapi secara programatik, dan bukan hanya sembarang program, tetapi yang benar.
  • Terakhir ialah lapis paling luar sekaligus paling terkonsolidasi: oligarki. Dalam konteks ekonomi-politik Indonesia, oligarki tak terceraikan dari pertumbuhan kapitalisme. Kekuasaan politik para oligark kerap berseiring dengan kekuatan kapital. Merekalah musuh politik terbesar Jokowi dan barisan relawannya. Integrasi mereka dalam struktur partai politik yang ada akan memaksa Jokowi membatalkan sebagian visinya dan memisahkan secara paksa Jokowi dari tangan massa relawan. Untuk menghadapi para oligark dan kapitalis itulah relawan mesti mengorganisasikan diri, memperbesar barisan dan memastikan agar Jokowi tetap dalam konsolidasi demokratis massa rakyat Indonesia.

Maka usainya pemilu dengan kemenangan Jokowi bukan berarti tuntasnya tugas relawan. Justru tugas itu baru dimulai. Ada tiga tugas pokok yang mesti diperjuangkan relawan pasca-elektoral:

  1. Mengawal realisasi Visi-Misi Jokowi dalam semangat Revolusi Mental dan Trisakti
  2. Memperluas gelombang relawan dengan menjahit kelompok-kelompok relawan lain (yang pernah berlawanan sekalipun) dengan basis programatik
  3. Menyelamatkan Jokowi dari oligarki dengan menjangkarkannya di tengah massa

Pertanyaan yang kemudian muncul—saat ini masih sayup-sayup tapi tak pelak lagi akan memekakkan telinga beberapa waktu lagi—adalah apakah wadah yang diperlukan untuk melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut? Dengan kata lain, apakah seluruh relawan perlu mengorganisasikan dirinya dalam sebuah partai (suatu partai ‘alternatif’, mungkin)?

Terlepas dari persoalan perlu/tidaknya partai persatuan gerakan, target kita untuk sementara ini adalah mengendalikan oligarki—dan kapitalisme yang bertumpu padanya. Di sinilah Revolusi Mental dapat dimaknai kembali sebagai sebuah ‘revolusi kebudayaan’. Kemenangan Jokowi adalah, utamanya, kemenangan relawan seluruhnya—kemenangan dari apa yang disebut dalam kosakata politik 60-an sebagai ‘massa’. Relawan atau massa sebagai kekuatan presentasi politik di luar jalur representasi kepartaian inilah yang membawa Jokowi menang sebagai presiden. Kemenangannya, dengan demikian, menandai kebangkitan kembali ‘massa’ sebagai subjek politik emansipatoris tahun 60-an dalam bentuk kontemporernya. Percaya pada massa—di situlah pula terletak titik api perlawanan terhadap oligarki dan kapitalisme di Indonesia. Terlepas dari soal apakah relawan perlu menjadi partai atau tidak, yang jelas: realisasi program-program Jokowi membutuhkan ‘pengawal merah’.

Inilah Revolusi Mental dalam arti yang sebenar-benarnya: Revolusi Kebudayaan. Massa bersatu, singkirkan kepala batu oligarki.***

22 Juli 2014

Perjuangan Kelas dan Holopis Kuntul Baris

$
0
0

BELAKANGAN ini, sebagian dari kita berkata bahwa relawan tidak memiliki basis kelas yang jelas. Isinya adalah percampuran antara kelas pekerja, kelas menengah dan kelas pemodal. Karenanya, kata mereka, politik relawan merupakan politik ‘kolaborasi kelas’, dengan kata lain berlawanan dengan ‘perjuangan kelas’, dan karenanya politik jenis itu sesungguhnya anti-Marxis. Benarkah demikian? Penyimpulan itu hanya dapat dibenarkan apabila kita hanya memakai aspek formal analisis kelas Marxis dan mengabaikan aspek materialnya. Arsitektur konseptual dari ‘perjuangan kelas’ memang mengimplikasikan penolakan atas ‘kolaborasi kelas’. Namun analisis kelas yang spesifik dan partikular selalu harus dijangkarkan pada pandangan historis tentang formasi kelas dan kapitalisme yang ada sebab di situlah terletak aspek material dari analisis kelas. Artinya, hal pertama yang mesti kita lakukan untuk menjawab pertanyaan di muka ialah merumuskan distingsi antara ‘analisis kelas’ dan ‘labelisasi kelas’, antara kajian formal-material tentang kelas dan kajian formal tentang kelas.

 

Kemiskinan Labelisasi Kelas

Aspek formal dari analisis kelas bertumpu pada klasifikasi sosial yang dibuat Marx berdasarkan akses terhadap sarana produksi. Ketika sistem klasifikasi ini diterapkan pada masyarakat kapitalis, hasilnya ialah taksonomi kelas konvensional seperti berikut:

 

tabel

Jika analisis kelas dihentikan pada aspek formal seperti di muka, maka hasilnya belum benar-benar analisis kelas, melainkan baru sebatas labelisasi kelas. Masalah muncul ketika klasifikasi ini diterapkan secara kaku ke realitas. Hasilnya memang seolah memberikan arahan jelas: bela kelas proletar, lawan kelas borjuis dan berhati-hatilah pada kelas borjuis-kecil dan lumpenproletar. Namun arahan yang sekilas nampak jelas ini sebenarnya justru sangat abstrak. Mengapa abstrak? Karena aspek material kenyataan—sejarahnya, konteksnya, kekhasan relasi sosialnya—dipaksakan agar cocok dengan teori. Padahal bukan seperti itu cara bekerja Marx ketika ia merumuskan teorinya. Marx justru berangkat dari kenyataan, merumuskan kategori-kategorinya dari kenyataan, alih-alih memaksakan kategori itu ke kenyataan. Kalau kita malas berpikir dan memilih untuk tutup mata dengan cara mencocok-cocokkan setiap posisi sosial dengan kategori formal yang dibuat Marx, jangan mengira bahwa dengan itu kita telah melakukan analisis kelas. Sebab Marx tidak menarik kesimpulan berdasarkan label semata, tetapi berdasarkan analisis atas muatan material dari label tersebut, yakni sejarah yang membentuk kenyataan.

Sayangnya, penyimpulan berbasis labelisasi kelas—alih-alih analisis kelas—masih sering kita temukan dalam cara berpikir gerakan sosial di negeri ini. Metode penyimpulan semacam inilah yang membuat gerakan cenderung menutup mata terhadap relasi sosial yang tengah menggelombang di kalangan massa. Antusiasme massa terhadap Jokowi dalam pilpres yang lalu, misalnya. Dalam kerangka labelisasi kelas, Jokowi tentu tidak pantas didukung seandainya tidak ada ancaman fasisme yang datang dari Prabowo. Pasalnya, menurut kerangka berpikir seperti itu, tak ada satu pun dari klasifikasi kelas Marx di muka yang dapat secara langsung dan konsisten dikenakan pada kubu Jokowi, baik dari elemen partai, tim sukses maupun relawan. Apa yang muncul ialah potret kolaborasi antara kelas borjuis, borjuis-kecil, proletar maupun lumpenproletar. Maka kesimpulannya, gerakan yang mendukung kepentingan kelas proletar tidak semestinya membuang tenaga untuk mendukung Jokowi seandainya Prabowo tidak nyapres.

Kerangka labelisasi kelas semacam ini ‘miskin kenyataan’ dalam dua pengertian. Dalam pengertian pertama, kerangka itu miskin kenyataan karena mengabaikan akar historis kenyataan yang membuat formasi kelas di Indonesia menjadi khas. Mengenai akar historis ini akan saya ulas pada bagian selanjutnya. Dalam pengertian kedua, kerangka itu miskin kenyataan karena tidak mampu menghasilkan efek yang signifikan pada kenyataan. Sebab apa? Sebab dengan kerangka labelisasi kelas, apa yang akan terjadi ialah pengucilan-diri. Alih-alih mengupayakan perubahan sosial berdasarkan kenyataan yang ada dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita malah sibuk mendefinisikan-diri: mencari-cari dan menegaskan perbedaan antara politik kelas proletar dan politik ‘kolaborasi kelas’ kubu Jokowi. Dalam kondisi di mana antusiasme massa sudah setinggi leher, bermain labelisasi kelas adalah seburuk-buruknya taktik politik Marxis. Sebab massa adalah kunci. Massa adalah alfa-omega-nya politik Marxis.

 

Basis Material Analisis Kelas di Indonesia: Simbiosis Kapitalisme dan Oligarki

Apa yang penting ditekankan di sini ialah bahwa sistem klasifikasi Marx itu tidak bermasalah secara formal, tetapi bisa jadi blunder bila diterapkan untuk menarik kesimpulan dari realitas aktual tanpa mengindahkan basis material kenyataan yang dihadapi. Sebabnya, kelas-kelas sosial terbentuk dari konjungtur kapitalisme yang spesifik dan karenanya niscaya berubah seturut pergeseran konjungtur tersebut. Dalam konteks formasi kelas di Indonesia, faktor yang tak dapat diabaikan adalah simbiosis mutualisme antara kapitalisme dan oligarki. Kapitalisme yang tumbuh di Indonesia bertopang pada jaringan oligarki yang siap melapangkan jalan dan menghapus rintangan politiko-legal bagi akumulasi kapital di Indonesia. Ini adalah pola yang menurut Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) dapat dilacak sejak awal konsolidasi Orde Baru.

Berdirinya Orde Baru diiringi dengan sentralisasi kekuasaan di tangan para pejabat tinggi militer yang berada di wilayah pengaruh Suharto. Terbentuklah lapis-lapis patronase politik mulai dari tingkat pedesaan, kota, kabupaten, provinsi hingga tingkat nasional. Jaringan patronase politik ini beririsan dengan jaringan patronase bisnis sebab dalam kerangka kapitalisme-negara yang dianut Orde Baru pada masa awal pembentukannya, semua sendi perekonomian berada dalam koordinasi politik. Dengan itu, terbentuk simbiosis antara kapitalisme dan oligarki politik. Pada skala yang lebih kecil dan sebaran yang lebih acak, simbiosis semacam itu juga dapat kita temukan pada zaman Orde Lama, misalnya dalam kebijakan ekonomi ‘Ali-Baba’ pada era kabinet Ali Sastroamijoyo yang pertama (1953-1955). Simbiosis antara kapitalisme dan oligarki politik antara lain menghasilkan apa yang kini dikenal sebagai ‘pengusaha BUMN’, yakni pengusaha yang menggarap proyek-proyek dari pemerintah berdasarkan kongkalikong dengan pejabat dari lembaga terkait. Sosok tersebut kerap juga disebut sebagai ‘kapitalis rente’ atau pemodal yang memanfaat jaringan politik untuk menghasilkan akumulasi modal tanpa melibatkan aktivitas produksi yang lazimnya diperlukan untuk memupuk modal yang sama. Tumbangnya Orde Baru tidak berarti tumbangnya oligarki. Apa yang terjadi hanyalah desentralisasi oligarki ke kantong-kantong kekuasaan baru yang terbentuk pasca-Reformasi. Begitu juga dengan watak hubungan antara kapitalisme dan oligarki. Berbagai pilpres dan pilkada menjadi ajang pembuktian dari simbiosis mutualisme tersebut: kepentingan pengusaha dan kepentingan politisi saling meneguhkan. Kelancaran bisnis menjadi bentuk ekuivalen dari suksesi politik.

 

 holopsIlustrasi oleh Andreas Iswinarto

 

Dalam kondisi historis seperti itu, kapitalisme yang berkembang di Indonesia mensyaratkan oligarki politik. Tak ada Liem Soe Liong tanpa Suharto. Karenanya, dalam realitas Indonesia, tidak ada perlawanan atas kapitalisme tanpa perlawanan terhadap oligarki. Memutus rantai oligarki berarti menghapuskan prasyarat adanya kapitalisme di Indonesia. Perjuangan melawan oligarki ialah prasyarat dari perjuangan kelas di Indonesia. Inilah akar material dari analisis kelas di Indonesia.

Di sini mengemuka sebersit pertanyaan teoretis bagi kita: mengapa analisis Marx tentang kapitalisme dan formasi kelas dalam Das Kapital tidak banyak mempertimbangkan faktor oligarki? Apakah dengan begitu Marx keliru karena tidak sesuai dengan kenyataan empiris di lapangan? Sama sekali tidak. Apa yang menjadi fokus perhatian Marx ialah pembuktian teoretis akan kontradiksi kapitalisme. Ia berupaya menunjukkan bahwa kalaupun kapitalisme berkembang tanpa mengandalkan kongkalikong politik, kapitalisme itu tetap kontradiktif. Artinya, biarpun kapitalisme dibangun tanpa lewat cara-cara korup, biarpun kapitalisme terwujud secara murni dan konsekuen, hal itu tetaplah sebuah sistem ekonomi yang rentan diterpa krisis periodik dan karenanya secara inheren bermasalah. Dalam arti inilah pula kemudian mengerucut pertentangan hakiki antara dua kelas utama dalam masyarakat: kelas borjuis dan proletar. Proyek Das Kapital adalah sebuah proyek teoretis tentang pembuktian kontradiksi imanen kapitalisme. Das Kapital bukanlah proyek praktis yang memuat panduan menjalankan revolusi. Melalui Das Kapital kita mengetahui bagaimana kapitalisme dalam bentuk yang diidealkan para ekonom-politik borjuis ternyata mengandung kontradiksi.

Karenanya, begitu kita hendak mendaratkan analisis kapitalisme ke dalam realitas aktual, pendekatan kita perlu dikalibrasi. Kerangka acuannya bukan lagi kapitalisme ideal, melainkan kapitalisme aktual, dan di dalam kapitalisme aktual tersebut—khususnya di Indonesia—oligarki adalah faktor yang tak terhindarkan bagi perkembangan kapitalisme. Oleh karena itu pula, apabila kita memang berniat mendaratkan analisis Marxian pada level aktual-empiris, maka kita perlu membaca ulang struktur kelas yang ada; tidak hanya mengandalkan distingsi pamungkasantara kelas borjuis dan proletar, melainkan lebih sensitif pada beragam kelas sosial yang tersebar dalam poros oligarki versus anti-oligarki yang terbentuk dalam sejarah konsolidasi kapitalisme di Indonesia. Hanya dengan cara itulah labelisasi kelas dapat ditransformasi menjadi analisis kelas yang sesungguhnya.

 

Perjuangan Kelas = Holopis Kuntul Baris

Karena kapitalisme aktual di Indonesia bertopang pada oligarki politik, dan karenanya perlawanan atas kapitalisme mengandaikan perlawanan atas oligarki, maka perjuangan kelas di Indonesia pada dasarnya adalah menjalin partisipasi massa seluas-luasnya untuk membuat habis oligarki. Kita mesti ber-holopis kuntul baris, berbaris bersama dengan riang gembira, untuk menggasak oligarki sambil merancang masyarakat baru. Di sinilah terletak fungsi relawan pasca-elektoral. Pembelahan kelas di tubuh relawan pasti tak terhindarkan. Sebagian akan mengamankan kepentingan modalnya dengan bergabung ke dalam oligarki, sementara yang lain akan menolak tunduk pada oligarki, seperti yang sudah saya tuliskan dalam artikel yang lalu Taksonomi Politik Relawan Pasca-Kemenangan Jokowi. Namun situasi ini berbeda dengan situasi pasca-elektoral pada pilpres-pilpres sebelumnya. Kali ini ruang partisipasi massa tidak hanya terbuka pada saat aksi-aksi di jalanan, tetapi di dalam jantung negara itu sendiri. Sebabnya, Jokowi sendiri bermaksud mengintegrasikan relawan ke dalam pemerintahan. Artinya, pertarungan melawan oligarki kali ini betul-betul akan mengambil tempat di rumah oligarki itu sendiri. Sebab itulah holopis kuntul baris mesti digencarkan.

Holopis kuntul baris, artinya: menggalang partisipasi massa luas untuk mengawasi dan memberikan masukan pada pemerintahan baru. Inilah yang dilakukan, misalnya, lewat gerakan #sekolahlayak yang dipelopori oleh Hilmar Farid. Melalui gerakan ini, terwujud partisipasi rakyat dalam mengawal kebijakan pendidikan di Indonesia, dimulai dengan penyediaan laporan real-time ke pemerintah tentang infrastruktur pendidikan yang kurang layak. Setiap relawan #sekolahlayak akan mendokumentasikan kondisi aktual infrastruktur pendidikan di lingkungannya dan laporan lengkap dari seluruh relawan itu akan menjadi basis pertimbangan pemerintah dalam menjalankan kebijakan pendidikan. Apa yang mengemuka di sini ialah penggalangan kekuatan masyarakat sebagai basis pengetahuan tentang realitas sosial. Apabila gerakan semacam ini dapat dilangsungkan di seluruh sektor, maka hasilnya ialah potret kehidupan rakyat yang dihadirkan dan diorganisasikan oleh rakyat itu sendiri. Relawan pro-Jokowi akan bertransformasi menjadi relawan yang akan mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah Jokowi di tiap-tiap sektor kebijakan pada masing-masing lingkup kewilayahan. Dengan cara ini, oligarki dikunci dan ekspansi kapitalisme ditahan.

Lewat gelombang holopis kuntul baris inilah juga tuntutan Trisakti—berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara kebudayaan—dapat ditingkatkan menjadi tuntutan ke arah sosialisme Indonesia, yang memang merupakan semangat dasar Trisakti menurut Panca Azimat Revolusi. Dengan mengawal program-program Jokowi, relawan akan bertatap muka dengan kontradiksi kapitalisme di Indonesia dan karenanya akan teradikalkan oleh kenyataan itu. Tentu saja, ada jurang yang terbentang antara tuntutan penghapusan outsourcing dan tuntutan penghapusan kerja-upahan. Namun jurang itu bukannya tak mungkin dijembatani apabila partisipasi massa demikian luas. Sebab, sekali lagi, politik adalah soal massa. ***

 

5 Agustus 2014


Das Kapital sebagai Film: Dari Marx ke Kluge via Eisenstein

$
0
0

PADA tanggal 12 Oktober 1927, Sergei Eisenstein menulis dalam catatan kerjanya: “Telah diputuskan: kita akan memfilmkan Das Kapital berdasarkan skenario dari Marx—hanya itulah satu-satunya solusi yang logis” (Eisenstein 1976: 3). Ia lalu membuat serangkaian catatan tentang Das Kapital dan kemungkinan pengalih-rupaannya ke dalam bahasa sinematik. Sebelumnya, sineas Soviet ini telah menyutradari sejumlah film kenamaan seperti  Strike (1924), Battleship Potemkin (1925) dan October (1927). Dalam catatan kerja yang diterbitkan sepeninggalnya, Eisenstein tak pernah menjelaskan mengapa ia ingin membuat film tentang Das Kapital, ia juga tak menyebutkan secara eksplisit jilid berapa dari Das Kapital yang akan ia filmkan. Yang kita tahu, proyek itu tak pernah terwujud. Alexander Kluge, seorang sineas dari kelompok Sinema Jerman Baru, kemudian membuat film panjang tentang upaya Eisenstein dalam memfilmkan Das Kapital. Hasilnya ialah film berdurasi lebih dari 9 jam dengan judul ‘Kabar dari Masa Silam Ideologis: Eisenstein – Marx – Das Kapital’ (Nachrichten aus der ideologischen Antike: Eisenstein – Marx – Das Kapital; 2008).

 

Kepelikan Naskah Das Kapital dan Penafsirannya

Sebelum berbicara tentang film Das Kapital, ada baiknya kita bicara soal buku Das Kapital. Berbicara tentang buku Das Kapital, pada akhirnya, menuntut kita bicara terlebih dulu soal proyek intelektual Marx secara umum. Marx bukan hanya filsuf, ekonom, sosiolog dan sejarawan. Apabila kita melihat catatan-catatan Marx yang tak terpublikasi semasa hidupnya (yang diproyeksikan terbit dalam seri MEGA—Marx-Engels Gesamtausgabe), kita akan menyadari keluasan horizon pemikiran Marx. Dari daftar catatan Marx yang akan diterbitkan dalam seri MEGA, kita tahu bahwa Marx juga punya perhatian besar dalam bidang-bidang berikut:

  • Matematika (MEGA IV/30 & I/28)
  • Mineralogi (MEGA IV/26)
  • Geologi (MEGA IV/26)
  • Kimia agrikultur (MEGA IV/26)
  • Antropologi (MEGA IV/27)
  • Biologi (MEGA IV/23)
  • Studi Klasik (MEGA I/1)[1]

 

Semua bidang ilmu yang dipelajari Marx ini mewarnai kepelikan proyeknya yang paling besar, yakni menemukan ‘hukum gerak’ yang mengatur perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Di situlah kita berbicara Das Kapital.

Keluasan wawasan Marx menghadirkan kepelikan tersendiri dalam proses penulisan Das Kapital. Marx meninggalkan setumpuk draf dan rancangan mengenai buku itu. Menurut rekonstruksi Jacques Bidet (2000: 5-7) dan Enrique Dussel (2001: xxxii), terdapat empat draf besar yang ditulis Marx sebagai proyek umum ‘kritik atas ekonomi-politik’:

  • Manuskrip 1857-1858 (Grundrisse): banyak membahas tentang metode analisis ekonomi-politik. Berhenti digarap ketika Marx menulis buku Zur Kritik der politischen Ökonomie (1859) yang isinya akan diteruskan dalam Das Kapital jilid pertama.
  • Manuskrip 1861-1863: memuat variasi dari Das Kapital jilid pertama dan ketiga, serta sejumlah naskah yang nantinya akan diterbitkan sebagai Theorien über den Mehrwert.
  • Manuskrip 1864-1865: memuat variasi baru atas Das Kapital jilid pertama hingga ketiga ditambah dengan draft yang nantinya diterbitkan sebagai lampiran atas Das Kapital jilid pertama
  • Manuskrip 1867: Das Kapital jilid pertama

Kita lihat bahwa apa yang kita kenali sebagai Das Kapital saat ini sebetulnya merupakan uji coba keempat dari proyek umum Marx (bdk. Mandel 1979: 28). Bahkan Das Kapital jilid pertama yang kita kenal saat ini merupakan hasil proses penyuntingan kelima (Bidet 2000: 7):

  • Edisi Jerman pertama (1867): memuat versi Bab I dan lampiran yang dalam edisi selanjutnya akan diubah
  • Edisi Jerman kedua (1873): memuat versi Bab I yang baru
  • Edisi Prancis pertama (1872-1875): memuat rombakan di sana-sini oleh Marx
  • Edisi Jerman ketiga (1883): memuat hasil suntingan Engels berdasarkan edisi Jerman kedua dan edisi Prancis pertama
  • Edisi Jerman keempat (1890): memuat suntingan baru Engels dan segudang catatan kaki editorial. Edisi inilah yang menjadi teks kanonik Das Kapital jilid pertama yang direproduksi dalam seri definitif karya-karya Marx dan Engels: Marx-Engels-Werke (MEW).

Namun Das Kapital tidak hanya terdiri dari satu buku. Berdasarkan rancangan-rancangan yang ada, Engels dan para ahli di kemudian hari menyusun Das Kapital ke dalam empat seri buku:

  • Das Kapital jilid I: Proses produksi kapital (teori nilai, nilai-lebih, konsep kapital)
  • Das Kapital jilid II: Proses sirkulasi kapital (teori reproduksi dan akumulasi kapital)
  • Das Kapital jilid III: Proses produksi kapitalis secara keseluruhan (teori krisis kapitalisme)
  • Das Kapital jilid IV: Teori-teori tentang nilai-lebih (terdiri dari tiga buku yang berisi kritik tekstual atas karya-karya para ekonom-politik Klasik)

Selain jilid I yang ditulis hingga tuntas oleh Marx, semua buku Das Kapital tersebut adalah hasil intervensi editorial Engels (jilid II dan III) serta Karl Kautsky (Teori-Teori tentang Nilai-Lebih). Keaslian dan kesesuaiannya dengan apa yang sejatinya dimaksudkan Marx masih terus diperdebatkan hingga hari ini, misalnya oleh Regina Roth (2002: 59-72) dalam Simposium MEGA tahun 2000 lalu.

Banyaknya draf yang ditulis Marx menunjukkan bahwa Das Kapital adalah teks yang pelik. Roman Rosdolsky mencatat tak kurang dari 14 rancangan susunan Das Kapital yang berbeda satu sama lain antara tahun 1857 hingga 1868 (Rosdolsky 1977: 55). Dussel bahkan menyatakan ada 19 rancangan (Dussel 2001: xxxv). Berdasarkan penelitian langsung atas manuskrip tulisan tangan Marx di Berlin dan Amsterdam, Dussel mengkalkulasi bahwa materi yang dibahas dalam Das Kapital jilid pertama hanyalah dari total proyek yang rencananya akan dituliskan Marx (Dussel 2001: 211). Jadi, seperti halnya Eisenstein yang tak menyelesaikan film tentang Das Kapital, Marx pun tidak menyelesaikan penulisan Das Kapital. Baik teks maupun film tentangnya sama-sama diselubungi misteri.

Apa yang sebenarnya dimaui Marx dengan upayanya menuliskan keseluruhan proyek Das Kapital? Apa yang hendak dibuktikan oleh Das Kapital? Kepelikan tekstual yang disebabkan oleh banyaknya draf dan rancangan Marx membuat jawaban yang tersedia menjadi amat beragam. Berikut adalah beberapa pendapat dari sebagian komentator:

  • Friedrich Engels (1969) & Paul Sweezy (1968): Das Kapital adalah kritik atas kapitalisme yang ditinjau dari segi produksi
  • Louis Althusser (1979): Das Kapital adalah kritik atas kapitalisme dari sudut pandang ekstra-moral (tanpa mengasumsikan nilai-nilai luhur kemanusiaan)
  • Antonio Negri (1991): Das Kapital adalah teori tentang kapitalisme dari sudut pandang ekonomi murni (tak menyisakan ruang bagi perjuangan kelas)
  • Enrique Dussel (2001): Das Kapital adalah kritik ekonomi-politik dan etis atas kapitalisme (penilaian kritis atas pokok-pokok moral kapitalis seperti keadilan, kebebasan, dsb.)
  • Michael Lebowitz (2003): Das Kapital adalah teori tentang kapitalisme dari sudut pandang kapitalis (dan bukan dari sudut pandang kelas pekerja sendiri)
  • Christopher Arthur (2004): Das Kapital adalah kritik atas kapitalisme yang ditinjau dari segi sirkulasi atau perdagangan.

Selain itu, masih banyak lagi komentator yang punya pengertian sendiri tentang proyek Marx dalam Das Kapital. Kerapkali pangkal perdebatan mereka berakar pada perbedaan edisi draf yang mereka gunakan. Negri, misalnya, berpatokan pada Manuskrip 1857-1858 (Grundrisse) ketimbang Das Kapital versi 1867, sementara Arthur berpatokan pada versi Das Kapital edisi 1873 yang belum diedit Engels. Jadi yang pelik dalam Das Kapital tidak hanya teks dan draf-drafnya, tetapi juga segunung penafsiran atas proyek Das Kapital itu sendiri. Bahkan sampai hari ini orang-orang masih berdebat tentang apa yang dimaui Marx dengan Das Kapital.

 

Das Kapital sebagai Film

Lalu varian penafsiran macam apa yang dipilih Eisenstein untuk memfilmkan Das Kapital? Dalam berbagai catatannya sejak tanggal 12 Oktober 1927 hingga 22 April 1928, Eisenstein memberikan berbagai petunjuk tentang film macam apa yang akan ia bangun. Ia menulis bahwa tujuan film ini adalah untuk “mengajarkan kelas pekerja untuk berpikir secara dialektis”.[2] Melalui film itu, Eisenstein berharap agar kaum pekerja akan mampu melihat kesaling-hubungan antara hal-hal yang sekilas tak berhubungan. Dari pemahaman atas kesaling-hubungan itu, mereka akan dapat menyadari kontradiksi di balik kenyataan yang seolah baik-baik saja. Kesadaran macam inilah yang dimaksud dengan kesadaran dialektis. Inilah yang menjadi metode analisis Marx dalam penulisan Das Kapital. Eisenstein menulis: “Ada banyak tema yang bisa diangkat dalam memfilmkan Das Kapital (harga, pendapatan, sewa)—buat kami, temanya adalah metode Marx” (Eisenstein 1976: 23). Das Kapital akan menjadi sebuah film tentang dialektika.

 

 

marTin1Foto diambil dari e-flux.com

Eisenstein memberikan contoh beberapa adegan yang akan dimunculkan dalam film untuk memantik kesadaran dialektis:

  • Adegan tentang tanah pemakaman di Amerika yang akan menunjukkan bahwa dalam modus produksi kapitalis bahkan kuburan pun menjadi barang dagangan—cara orang dikubur dikondisikan oleh cara orang berproduksi.[3]
  • Adegan tentang pasar saham tidak perlu memotret secara langsung situasi di pasar saham, melainkan ditampilkan secara alegoris lewat sosok-sosok dari kehidupan sehari-hari (misalnya pemuka agama sebagai alegori dari broker saham).[4]
  • Adegan yang menunjukkan kesaling-hubungan antara perkembangan teknologi produksi dan penghancuran tenaga kerja lewat penjajaran antara mobil-mobil di Cina dan para pendorong becak yang sekarat karena lapar.[5]
  • Adegan yang menunjukkan betapa mubazirnya gagasan tentang yang-sakral dalam konteks kapitalisme. Adegan ini akan memotret sosok Aga Khan III, seorang imam suci di India yang sekolah di Eton College, kuliah di Oxford dan diberi gelar pangeran oleh pemerintah kolonial Inggris—kesucian sebagai produk manufaktur.[6]

Dengan model adegan semacam itulah Eisenstein berharap dapat menerbitkan kesadaran dialektis di benak para pemirsa yang ia bayangkan terdiri dari kelas pekerja. Film itu akan mengajak kelas pekerja untuk berdialektika.

Jika dialektika adalah tema utama film Das Kapital, lalu dengan alur seperti apakah dialektika kapital itu akan disajikan? Eisenstein tak menghendaki plot yang linear; ia bahkan mempertanyakan kegunaan plot sama sekali pada kasus ini. Film itu akan bergerak lewat sekumpulan adegan yang berasosiasi secara dialektis. Motif film itu adalah proses satu hari kehidupan seseorang dalam alam kapitalisme. Dalam hal ini, Eisenstein terpengaruh oleh pembacaannya atas novel Ulysses karya James Joyce. Seperti dikisahkan Oksana Bulgakowa, penulis biografi Eisenstein, kedua sosok itu sempat bertemu di Paris dan Joyce meminta Eisenstein untuk memfilmkan Ulysses. Seperti halnya Joyce mengisahkan perjalanan hidup Leopold Bloom pada sebuah hari Jumat yang biasa saja, Eisenstein hendak mengisahkan perjalanan hidup seseorang pada sebuah hari dalam masyarakat kapitalis. Dalam rentang satu hari itulah Eisenstein akan bercerita tentang dialektika kapital.

Namun metode Eisenstein berbeda dari Joyce. Joyce menguraikan kisahnya lewat gaya ‘arus kesadaran’ (stream of consciousness): kenyataan di luar diri Leopold Bloom diserap ke dalam monolog internal, ke dalam percakapan batin yang inkoheren dan mengaburkan distingsi antara fiksi dan kenyataan, antara benda dan imajinasi tentang benda. Yang menjadi pusat dalam paradigma estetik Joyce tetaplah individualitas. Seperti Robinson Crusoe tampil sebagai subjek individual yang melahap dunia melalui kalkulasinya, Leopold Bloom tampil sebagai subjek yang menyedot kenyataan melalui monolog internalnya. Eisenstein, sebaliknya, hendak mengakarkan individu dan kesadarannya pada semesta sosial-material. Jika monolog internal Joyce dicirikan oleh hubungan asosiasi tak langsung yang bermain pada aras kesadaran, maka apa yang hendak dibuat Eisenstein bisa kita sebut sebagai monolog sosial-material. Dalam rancangan Eisenstein, individu hanya tampil sebagai jurubicara dari benda-benda dan hubungan sosial yang berada di balik benda-benda. Pengertian inilah yang tampil dalam rancangan umum film Das Kapital yang dicatat pada tanggal 7 April 1928.

Dalam catatan kerjanya pada tanggal tersebut, Eisenstein menyatakan bahwa keseluruhan film itu akan mengambil latar seorang istri yang memasak sup bagi suaminya yang baru saja pulang. Adegan ini akan berulang dalam berbagai bagian film dan berperan sebagai semacam narasi utama. Di tengah-tengah adegan tersebut, Eisenstein akan menyelipkan berbagai adegan lain yang merupakan catatan kaki sinematik terhadapnya. Adegan-adegan lain ini hanya akan berasosiasi secara tak langsung dengan adegan utama. Ia memberi contoh, ketika sang istri menaburkan lada ke panci sup, adegan tersebut akan beralih ke montase tentang lada, tanah-tanah koloni, chauvinisme Prancis, peperangan, kapal yang tenggelam di tepi dermaga dan sebagainya.[7] Dari sini dapat kita lihat bahwa Eisenstein hendak mengakarkan dunia keseharian yang privat pada semesta sosial-material. Adanya sup di panci mensyaratkan sejarah kolonialisme Eropa, proses akumulasi kapital dan riwayat perubahan sistem pembagian kerja dalam masyarakat. Sang istri yang memasak sup dan sang suami yang baru saja pulang kerja, karenanya, tampil sebagai jurubicara sejarah dunia. Melalui keduanyalah riwayat benda-benda dan hubungan sosial yang menstruktur benda-benda itu dituturkan. Keduanya hanya hadir sejauh sejarah memungkinkannya. Di sini Eisenstein sejalan dengan Marx yang menulis dalam pengantar untuk edisi pertama Das Kapital jilid I: “Individu-individu dibicarakan di sini sejauh mereka merupakan personifikasi dari kategori-kategori ekonomi, penubuhan dari hubungan kelas dan kepentingan kelas yang tertentu” (Marx 1979: 92). Dalam film Eisenstein, setiap sosok tampil sebagai arus materi dan hubungan sosial.

Namun rancangan film Das Kapital ini berhenti pada entri tanggal 22 April 1928. Pada entri terakhir itu, Eisenstein masih menulis tentang mendesaknya pengajaran metode dialektis dalam konteks revolusi kebudayaan komunis. Selanjutnya ia sibuk dengan rencana film ¡Que viva México! dan tak sempat lagi meneruskan proyek Das Kapital. Film Alexander Kluge adalah upaya kedua setelah Eisenstein untuk memfilmkan Das Kapital.

 

Intervensi Kluge

“Kabar dari Masa Silam Ideologis” (2008) adalah sebuah film yang relatif panjang, dengan durasi sekitar 9 jam. Film itu memuat berbagai montase (sebagian bersumber dari draf Eisenstein), pembacaan teks-teks Marx dan Eisenstein, sederet intertitles serta sejumlah wawancara. Secara keseluruhan, film itu nampak seperti sebuah diskusi panjang tentang Eisenstein, Marx dan kapitalisme. Dalam banyak bagian, Kluge sendiri memang terlibat aktif dalam diskusi dengan para narasumbernya. Apa yang disajikan Kluge, pada akhirnya, bukanlah sebuah film tentang Das Kapital, melainkan film tentang apa-apa saja yang mesti dipikirkan agar film tentang Das Kapital dimungkinkan. Atau, seperti dinyatakan oleh kritikus film Helmut Merker, “[Kluge] tidak sedang memfilmkan Das Kapital, melainkan meneliti bagaimana kita dapat menemukan citra-citra untuk membuat buku Marx tersebut dapat difilmkan” (Merker 2009). Dalam arti itu, Kabar dari Masa Silam Ideologis adalah semacam film-esai yang memuat prolegomena atau prolog bagi film tentang Das Kapital.

Melalui film tersebut, Kluge mengetengahkan suatu petualangan sinematik ke asal-usul proyek kritik ekonomi-politik dan kritik ideologi atas kapitalisme yang dicanangkan oleh Marx. Proyek inilah yang menjadi refren dari babak sejarah panjang yang kemudian dikenal sebagai sejarah Marxisme. Semua kritik kontemporer atas kapitalisme adalah catatan kaki dari Das Kapital. Karenanya, ‘masa silam ideologis’ yang dimaksud Kluge bisa ditafsirkan dalam dua arti:

  • Sebagai sejarah konsolidasi ideologis kapitalisme yang diteropong dari kacamata Marx dan Eisenstein
  • Sebagai sejarah konsolidasi Marxisme sebagai ideologi resmi negara Uni Soviet

Jadi “Kabar dari Masa Silam Ideologis” adalah kritik atas kapitalisme sekaligus oto-kritik atas tradisi Marxisme.

Sebagai kritik atas kapitalisme, film tersebut memotret logika internal kapitalisme sebagai rezim ekonomi-politik yang penuh kontradiksi dan eksploitasi dalam mensimulasikan keseharian manusia yang seolah bebas, adil dan setara. Kluge banyak mengangkat persoalan ‘fetisisme komoditas’, yakni anggapan sehari-hari yang menyamakan komoditas sebagai benda dan mengabaikan hubungan sosial produksi yang menstruktur dan memungkinkan adanya komoditas tersebut. Perwujudan kultural dari fetisisme inilah yang disebut sebagai ideologi—kesadaran palsu bahwa kenyataan aktual terberi begitu saja, tak bisa dipertanyakan lagi, tak punya sejarah, tak punya akar sosial yang spesifik. Pemahaman akan kesejarahan dan kesosialan kenyataan aktual adalah bagian dari kesadaran dialektis tentang kenyataan. Dengan itu, terwujudlah proses de-ideologisasi, suatu emansipasi kultural. Inilah yang dituju oleh Eisenstein—mengajarkan dialektika sebagai instrumen emansipasi sosial-politik. Inilah pula yang ditampilkan oleh Kluge.

Sebagai oto-kritik atas tradisi Marxisme, film tersebut memotret kodifikasi Marxisme sebagai ideologi pada era Uni Soviet. Wawancara dengan penyair Jerman Hans Magnus Enzensberger menunjukkan bahwa semangat emansipatoris Marxisme hilang ketika dibakukan sebagai doktrin resmi negara: “Das Kapital hanya cocok dibaca sambil sembunyi-sembunyi”. Kluge juga menampilkan beberapa adegan yang merekonstruksi tradisi pembacan teks-teks Marx di Uni Soviet dan Jerman Timur. Contohnya adalah adegan yang menghadirkan diskusi antara dua orang yang hendak magang di Stasi, kepolisian rahasia Jerman Timur. Tugas yang mereka terima dalam rangka ujian negara tersebut ialah menafsirkan dan mempresentasikan sebuah kutipan dari teks Marx, Grundrisse (Manuskrip 1857-1858 dari Das Kapital). Contoh lainnya ialah adegan yang menggambarkan kewajiban untuk mempelajari teks-teks Marx bagi setiap warga Uni Soviet yang dibuang—atau dididik kembali—di Siberia.

Pada akhirnya, proyek Kluge dapat dibaca sebagai upaya untuk menemukan kembali Marxisme pasca-runtuhnya Uni Soviet. Untuk itu, ia kembali menimba pengalaman dari proyek Eisenstein yang merupakan bagian dari suatu babak penjelajahan estetika Marxis yang paling kreatif setelah Revolusi Oktober, yakni antara 1917 sampai dengan dibakukannya estetika Marxis ke dalam doktrin ‘realisme sosialis’ oleh Zhdanov lewat konferensi pengarang di tahun 1934. Dalam babak singkat inilah petualangan estetika Marxis betul-betul hidup dan kaya: futurisme komunis Mayakovsky, konstruktivisme Tatlin, gerakan kino-pravda Vertov dan didaktisisme avant-garde Eisenstein sendiri. Melalui penelusuran via Eisenstein sebagai representasi dari gerakan seni avant-garde Soviet, Kluge kemudian menemukan Marx yang baru. Dalam resensinya atas film Kluge di jurnal New Left Review, Frederic Jameson menyatakan bahwa apa yang ditemukan Kluge bukanlah Marx sebagai sosok kuno dari ‘masa silam ideologis’, melainkan Marx sebagai sosok pemikir klasik—sebagai titik acuan tempat semua yang berlawan terhadap kapitalisme dapat menimba inspirasi.[8]***

Artikel ini sebelumnya adalah naskah dipresentasikan di acara diskusi film Alexander Kluge sebagai salah satu kegiatan dalam rangkaian acara festival film Arkipel diselenggarakan oleh Forum Lenteng tanggal 13 September 2014 lalu di Goethe Institute.

 

Kepustakaan:

Althusser, Louis and Etienne Balibar. Reading Capital, trans. Ben Brewster. London: Verso.

Arthur, Christopher J. 2004. The New Dialectic and Marx’s Capital. Leiden: Brill.

Bidet, Jacques. 2000. Exploring Marx’s Capital: Philosophical, Economic and Political Dimensions, trans. David Fernbach. Leiden: Brill.

Dussel, Enrique. 2001. Towards an Unknown Marx: A Commentary on the Manuscripts of 1861-63, trans. Yolanda Angulo. London: Routledge.

Eisenstein. Sergei. 1976. “Notes for a Film of ‘Capital’”. Trans. Maciej Sliwowski, Jay Leyda, Annette Michelson. In October, Vol. 2, Summer, 1976, pp. 3-26.

Engels, Friedrich. 1969. “Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy”. In Karl Marx and Friedrich Engels. Selected Works Volume I. Moscow: Progress Publishers.

Jameson, Frederic. 2009. “Marx and Montage”. In New Left Review 58, July-August 2009, pp. 109-117.

Lebowitz, Michael A. 2003. Beyond Capital: Marx’s Political Economy of the Working Class, Second Edition. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Marx. Karl. Capital Volume I, trans. Ben Fowkes. Middlesex: Penguin Books.

Mandel, Ernest. 1979. “Introduction”. In Karl Marx. Capital Volume I, trans. Ben Fowkes. Middlesex: Penguin Books, pp. 11-86.

Merker, Helmut. 2009. “Marx: The Quest, the Path, the Destination”. In http://www.signandsight.com/features/1815.html.

Negri, Antonio. 1991. Marx Beyond Marx: Lessons on the Grundrisse, trans. Harry Cleaver, et.al. New York: Autonomedia.

Rosdolsky, Roman. 1977. The Making of Marx’s ‘Capital’, trans. Pete Burgess. London: Pluto Press.

Roth, Regina. 2002. “The Author Marx and His Editor Engels: Different Views on Volume 3 of Capital”. In Rethinking Marxism, 14:4, pp. 59-72.

Sweezy, Paul. 1968. The Theory of Capitalist Development. New York: Modern Readers.

 

——-

[1] Daftar lengkap karya Marx (baik yang belum maupun telah diterbitkan) dimuat dalam situs institusi yang kini mengurusnya, yaitu Berlin-Brandenburg Academy of Sciences (http://www.bbaw.de/bbaw/Forschung/Forschungsprojekte/mega/en/Startseite). Banyak dari antara risalah maupun catatan tersebut yang masih dikaji oleh para filolog dan ahli tulisan tangan Marx (yang terkenal nyaris tak terbaca itu) sehingga baru akan terbit pada tahun-tahun mendatang.

[2]The content of CAPITAL (its aim) is now formulated: to teach the worker to think dialectically. To show the method of dialectics. This would mean (roughly) five-nonfigurative chapters. (Or six, seven, etc.) Dialectical analysis of historical events. Dialectics in scientific problems. Dialectics of class struggle (the last chapter).” (Eisenstein 1976: 10)

[3]In America even cemeteries are private. 100% Competition. Bribing of doctors, etc. The dying receive prospectuses: ‘Only with us will you find eternal peace in the shade of trees and the murmur of streams,” etc. (For C[APITAL].)” (Eisenstein 1976: 4)

[4]For CAPITAL. Stock exchange to be rendered not as ‘a Stock Exchange’ (MABUSE, ST. PETERSBURG), but as thousands of ‘tiny details’. Like a genre painting. For this, see Zola (L’argent). Cure—the main ‘broker’ for the whole area. The concierge—the negotiator of loans.” (Eisenstein 1976: 7)

[5]On the level of ‘historical materialism’, current equivalents of historical turning points with a contemporary orientation must be sought. In CAPITAL, for example, the themes of textile machines and machine-wreckers should collide: electric street car in Shanghai and thousands of coolies thereby deprived of bread, lying down on the tracks—to die.” (Eisenstein 1976: 8)

[6]On deity: Agha Khan—irreplaceable material—cynicism of shamanism carried to the extreme. God—a graduate of Oxford University. Playing rugby and ping-pong and accepting the prayers of the faithful. And in the background, adding machines click away in ‘divine’ bookkeeping, entering sacrifices and donations. The best exposure of the theme of clergy and cult.” (Eisenstein 1976: 8)

[7]Throughout the entire picture the wife cooks soup for her returning husband. N.B. Could be two themes intercut for association: the soup-cooking wife and the home-returning husband. Completely idiotic (all right in the first stages of a working hypothesis): in the third part (for instance), association moves from the pepper with which she seasons food. Pepper. Cayenne. Devil’s Island. Dreyfus. French chauvinism. Figaro in Krupp’s hands. War. Ships sunk in the port.” (Eisenstein 1976: 17)

[8]Marx is neither actual nor outmoded: he is classical, and the whole Marxist and Communist tradition, more or less equal in duration to Athens’s golden age, is precisely that golden age of the European left, to be returned to again and again with the most bewildering and fanatical, productive and contradictory results.” (Jameson 2009: 117)

Menalar Marx

$
0
0

DEWASA ini, nama Karl Marx sudah demikian akrab dalam kajian-kajian sosial dan filsafat. Apabila kita membuka literatur filsafat kontemporer, nama Marx hampir selalu muncul. Para filsuf kontemporer yang belakangan naik daun di Indonesia, semuanya memiliki latar belakang Marxian: sebut saja Slavoj Žižek, Alain Badiou, Jacques Ranciere, Antonio Negri, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Mereka semua, dengan satu atau lain cara, mencoba menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang dihadapi dunia melalui rekonstruksi kreatif atas pemikiran Marx. Terlepas dari persoalan benar/salahnya rekonstruksi tersebut, ini sudah menunjukkan bahwa Marx masih dianggap penting oleh para filsuf kontemporer. Hal serupa juga kita jumpai dalam wilayah ilmu sosial sejak lima dekade belakangan ini. Orang-orang seperti David Harvey di ranah kajian geografi, Gerard Duménil di ekonomi, Maurice Godelier dan Marvin Harris di antropologi, Eric Hobsbawm dan E.P. Thompson di sejarah, Erik Olin Wright di sosiologi, Roy Bhaskar dan para pengikutnya dalam ranah kajian logika ilmu-ilmu—orang-orang ini berangkat dari paradigma Marxian yang eksplisit. Belum lagi menghitung jumlah penelitian sosial yang menggunakan sebagian cara pandang Marxian dalam menganalisis realitas empirik. Fakta ini menunjukkan bahwa Marx masih akan menjadi ‘kawan seperjalanan’ dalam dunia pemikiran abad ke-21.

Ada pandangan yang juga jamak beredar, berlawanan dengan fakta di muka, bahwa pemikiran Marx sudah tak lagi relevan untuk didiskusikan. Kita bisa memaklumi adanya pandangan seperti ini. Alasan yang menyebabkan munculnya pandangan itu ialah repetisi yang tidak kreatif atas ajaran Marx—sebuah praktik yang terjadi dalam literatur tentang Marx dalam bahasa Indonesia. Kita sudah terlalu sering mendengar bahwa Marx lahir di Trier, bahwa Marx mempersoalkan alienasi masyarakat modern, bahwa Marx menganggap negara harus dihancurkan, bahwa Marx mengkritik eksploitasi nilai-lebih dalam kapitalisme dan seterusnya. Persoalannya adalah bahwa narasi ini selalu diulang tanpa secara kreatif menafsirkan ulang pandangan Marx dalam kaitannya dengan sejarah pemikiran yang mensituasikannya dan yang mengemuka saat ini. Akibatnya, pemikiran Marx berubah menjadi kaku, membosankan dan tak relevan. Di sini kita memperoleh kesimpulan yang menarik: anggapan bahwa pandangan Marx sudah tidak relevan tak lain merupakan hasil dari tradisi pembacaan yang tak kreatif atas Marx. Karenanya, persoalan relevansi pandangan Marx akan terjawab dengan sendirinya ketika kita mulai menafsirkan Marx secara kreatif.

Penafsiran yang kreatif tentu saja tetap mesti dibedakan dari penafsiran yang asal aneh. Penafsiran kreatif atas Marx hanya bisa dilakukan melalui pembelajaran serius atas sejarah pemikiran, baik itu yang melatari pandangan Marx maupun yang muncul di kemudian hari. Dengan mengaitkan apa yang direnungkan Marx dengan apa yang diperdebatkan oleh para pemikir sebelum dan sesudahnya, kita akan memperoleh potret tentang bagaimana refleksi Marx itu berumah dalam sejarah pemikiran manusia sejak awal munculnya filsafat dan terus diperdebatkan hingga hari ini. Jenis pembacaan seperti inilah yang akan kita upayakan pada kesempatan ini.

 

  1. Marx sebagai ‘Pemikir’

Karl Marx adalah seorang ‘pemikir’ dalam pengertian klasiknya. Bagi kita yang hidup di awal abad ke-21 ini, istilah ‘pemikir’ cenderung merujuk pada sosok orang yang merenung dalam batasan bidang studi tertentu dan oleh karenanya istilah itu kerap dipergantikan dengan istilah yang berkaitan dengan kepakaran dalam ilmu tertentu: pemikir persoalan biologi kita sebut biolog, pemikir persoalan filsafat kita sebut filsuf, dst. Berbeda dengan itu, pengertian klasik tentang ‘pemikir’ adalah orang yang memiliki perhatian pada sejumlah bidang studi secara bersamaan. Pengertian ini umum dijumpai dalam sejarah pemikiran sejak Yunani kuno. Pengertian klasik ini baru pudar dengan adanya fiksasi pembagian kerja intelektual ke dalam bidang-bidang studi terpisah yang terjadi sejak akhir abad ke-19 dan secara global pada abad ke-20. Dalam konteks ini, Marx adalah seorang pemikir dalam arti yang sama seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Descartes, David Hume, Immanuel Kant dan sederet pemikir lain sebelum abad ke-20. Kekhasan dari para pemikir ‘klasik’ terletak dalam keluasan jangkauan objek pemikirannya. Kant tidak hanya berbicara filsafat, tetapi juga mengajukan hipotesis tentang pembentukan planet-planet. Copernicus tidak hanya berbicara tentang astronomi, tetapi juga menulis tentang inflasi perekonomian Eropa. Descartes bukan hanya filsuf, melainkan juga matematikawan dan pemikir fisika. Aristoteles adalah filsuf, biolog, fisikawan, ekonom dan ilmuwan politik sekaligus. Demikian pula dengan Marx.

Dari apa yang sering kita dengar, Marx telah menulis risalah tentang filsafat (German Ideology), ekonomi-politik (Capital), sosiologi dan sejarah (trilogi Class Strugle in France, Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte dan Civil War in France). Bersama Durkheim dan Weber, Marx dianggap sebagai pendiri sosiologi. Bersama Smith dan Ricardo, Marx dianggap sebagai tokoh kunci ekonomi-politik Klasik. Setiap diktat sejarah filsafat modern juga selalu mencantumkan pemikirannya. Keluasan bidang ilmu yang didalami Marx inilah yang menjelaskan mengapa tafsiran standar tentang pemikirannya keliru. Beberapa tafsiran standar itu mengandung sejumlah kekeliruan sebagai berikut:

  • kekeliruan sumber: meyakini bahwa tradisi filsafat paling dominan yang berada di balik Marx adalah filsafat Hegel
  • kekeliruan deterministik: meyakini bahwa Marx membalik Hegel dengan membuat yang-material menentukan yang-mental
  • kekeliruan konstruktivis: meyakini bahwa Marx menganggap segala sesuatunya adalah hasil konstruksi sosial

 

Ketiga kekeliruan di muka lazim ditemukan di dalam setiap wacana umum tentang Marx dan Marxisme. Ini bukannya tanpa konsekuensi:

  • Kekeliruan pertama menyebabkan munculnya perdebatan tanpa akhir tentang apakah Marx pada periode penulisan Das Kapital masih seorang Hegelian atau tidak, tentang apakah dialektika Hegelian masih terdapat dalam logika Marx. Hasilnya adalah sejarah pemikiran yang sempit.
  • Kekeliruan kedua menyebabkan munculnya stereotipe tentang Marx sebagai pemikir yang deterministik: memandang kebudayaan tak lebih daripada efek-samping (epifenomena) dari struktur ekonomis, memandang superstruktur ditentukan sepenuhnya oleh basis. Hasilnya adalah ontologi yang deterministik.
  • Kekeliruan ketiga memunculkan anggapan bahwa Marx adalah seorang relativis: oleh karena segalanya merupakan konstruksi sosial, maka kebenaran objektif tidak ada—kebenaran hanyalah hasil konvensi ataupun manipulasi kekuasaan. Hasilnya adalah epistemologi yang relativis.

 

Basis ketiga kekeliruan di muka adalah sempitnya cara pandang yang kita pakai dalam membaca Marx dan abai pada fakta bahwa ia menulis tentang bidang-bidang keilmuan yang jauh lebih luas dari apa yang kita anggap tentang Marx. Ada tradisi belajar yang panjang di balik sosok Marx yang mesti kita mengerti terlebih dahulu.

Setelah menyadari luasnya tradisi pemikiran yang dikandung dalam sosok Marx, berikut ini kita akan mencoba memberikan alternatif pembacaan yang lebih terbuka terhadap kekayaan tradisi tersebut. Alternatif pembacaan ini akan kita ajukan sekaligus sebagai kritik atas ketiga kekeliruan di muka. Untuk itu, kita akan mengajukan tiga pokok alternatif berkaitan dengan pemikiran Marx yang berlawanan dengan ketiga kekeliruan di muka: pertama, mengenai sumber pemikiran Marx; kedua, pandangan Marx tentang kenyataan (ontologi); ketiga, pandangan Marx tentang kebenaran (epistemologi).

 

  1. Sumber-Sumber Pemikiran Marx

Menurut sebuah tradisi pembacaan yang memiliki sejarah panjang (sejak Plekhanov), terdapat tiga sumber pemikiran Marx: filsafat Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis (Lenin 1960:67). Ketiga sumber ini mengemuka ke dalam tiga komponen utama pembentuk pemikiran Marx:

  1. Filsafat Jerman yang mempengaruhi Marx adalah idealisme Hegel. Melalui kritik materialis Feuerbach atas Hegel, Marx merumuskan konsepsinya tentang materialisme yang sekaligus berciri dialektis dalam sejarah.
  2. Ekonomi-politik Inggris yang membentuk pemikiran Marx adalah teori nilai-kerja. Melalui pemeriksaan atas teori nilai inilah, Marx merumuskan konsepsinya tentang nilai-lebih.
  3. Sosialisme Prancis menjadi konteks yang melandasi imajinasi Marx tentang politik pergerakan. Dengan mengkritik sisi utopisnya, Marx mengakui tema sentral yang terkandung di dalamnya, yakni perjuangan kelas.

 

Ketiga komponen itulah—materialisme historis, teori nilai-lebih dan perjuangan kelas—yang secara tradisional dianggap sebagai tulang punggung pemikiran Marx secara keseluruhan.

Tradisi pembacaan di muka tidak sepenuhnya keliru. Satu-satunya kekeliruan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa pembacaan tersebut tidak lengkap. Sebab, sebagaimana sudah kita lihat, Marx memiliki tradisi pemikiran yang jauh lebih kaya. Berikut ini, kita akan mengupas sumber-sumber pemikiran Marx yang terlupakan oleh tafsir dominan atasnya. Sumber-sumber berikut mesti juga diperhitungkan bersamaan dengan ketiga sumber di muka.

 

  • Aristoteles

Aristoteles adalah pemikir sentral yang pengaruhnya terasa pada berbagai bagian tulisan Marx. Fakta ini kerap dikubur di balik opini yang menyatakan bahwa Hegel adalah pemikir yang dominan dalam tulisan Marx. Opini semacam ini mengabaikan fakta sederhana bahwa dalam Das Kapital, Aristoteles disebut sebanyak dua kali lipat dibanding Hegel: empat halaman untuk Hegel dan delapan halaman untuk Aristoteles (bdk. Marx 1979:1127 & 1122). Opini itu juga abai pada fakta bahwa Marx berangkat dari studi pemikiran Yunani klasik dalam disertasinya dan Aristoteles merupakan pemikir Yunani yang paling dihormati Marx (Rubel & Manale 1975:145). Ada banyak pengaruh Aristoteles pada Marx, tetapi kita hanya akan menunjuk tiga hal di sini.

  • Pertama, kecenderungan materialis dalam pemikiran Aristoteles. Berbeda dari Plato—atau setidaknya tafsiran umum tentangnya yang sudah berkembang sejak era Aristoteles sendiri—yang melihat bahwa esensi benda dapat dipisahkan dari keberadaan fisik benda terkait (esensi sebagai exemplar), Aristoteles memandang bahwa esensi benda niscaya inheren dalam bendanya dan tak mungkin ada apabila terseparasi dari keberadaan fisik benda itu (esensi sebagai yang ‘terinstantiasi’, instantiated).[1] Dalam arti ini, Aristoteles mengantisipasi materialisme yang berkembang sesudahnya sampai dengan era Marx.
  • Kedua, pemikiran Aristoteles berperan dalam kritik Marx atas Hegel. Melawan Hegel yang menempatkan ide sebagai titik berangkat pengetahuan, Marx mengikuti Aristoteles dengan menaruh benda-benda riil sebagai titik berangkat (Meikle 1985:43). Pemikiran yang ilmiah tidak berangkat dari postulat, melainkan dari realitas yang berada di luar subjek. Dengan demikian, Aristoteles merupakan sosok kunci dalam pelampauan Marx atas Hegel.
  • Ketiga, Marx mendasarkan teori nilainya dalam Das Kapital pada pandangan Aristoteles tentang keseukuran (commensurability; symmetria). Marx menyebut Aristoteles sebagai pemikir pertama yang membahas perkara nilai dalam sejarah ilmu ekonomi (Marx 1979:151). Dalam Etika Nikomakhea, Aristoteles menulis bahwa “tidak ada pertukaran jika tidak ada kesetaraan, tak ada kesetaraan jika tak ada keseukuran” (Etika Nikomakhea 1133b16-18). Oleh karena pertukaran komoditas mensyaratkan kesetaraan nilai komoditas dan kesetaraan itu mengandaikan adanya keseukuran antar komoditas yang berbeda, maka esensi dari realitas ekonomi terletak pada prinsip yang memungkinkan keseukuran itu. Dengan cara inilah Marx sampai pada kesimpulan bahwa kerjalah yang menjadi basis keseukuran antar komoditas—semua komoditas seukur satu sama lain karena semuanya adalah hasil pencurahan sejumlah kerja yang sama. Dengan demikian, Aristoteles termasuk tokoh kunci di balik pandangan ekonomi-politik Marx.

 

  • Naturalisme

Pemikiran Marx juga tak dapat dilepaskan dari naturalisme, yakni pengertian tentang adanya kesebangunan—kendati bukan identitas—antara kajian tentang manusia dan kajian tentang alam. Pandangan ini dilandasi oleh visi yang melihat bahwa realitas manusia tertanam dalam realitas alam. Naturalisme dapat dilacak sumbernya dari para pemikir Yunani kuno (yang menyamakan alam, phusis, dengan esensi), para teolog abad Pertengahan (yang menyamakan alam dengan kodrat) dan para pembaharu sains modern (yang mencari hukum yang secara niscaya mengatur fenomena alamiah dan fenomena sosial). Marx adalah bagian dari tradisi ini. Ia menuliskan dalam ‘Manuskrip Paris’: “sejarah sendiri merupakan sebuah bagian nyata dari sejarah alam—dari alam yang berkembang menjadi manusia” (seperti dikutip dalam Callinicos 1983:98). Naturalisme yang berkembang dalam Marx bukanlah naturalisme reduksionis yang menyamakan diskursus tentang manusia dengan diskursus tentang alam, yang mereduksi penjelasan tentang manusia pada penjelasan tentang tatanan kodrati yang abadi. Naturalisme Marx mengemuka dalam pengakuan bahwa realitas alam menjadi struktur yang mengkondisikan realitas manusia sehingga penjelasan tentang manusia mesti menghitung juga konteks keberadaan materialnya yang dikondisikan oleh alam. Dengan kata lain, Marx berpikir dalam tradisi naturalis yang diwarisinya secara kritis dari para pembaharu sains modern, para teolog abad Pertengahan dan para pemikir Yunani kuno.

 

  • ‘Materialisme Inggris’

Umumnya, konsepsi materialis yang dipandang melatari pemikiran Marx ialah ‘materialisme filosofis’ yang berkembang di tangan para intelektual Pencerahan dari Prancis (Diderot, Holbach, de la Mettrie) dan materialisme Feuerbach yang melihat manusia dan gagasannya tak lebih sebagai efek dari interaksi antar materi dalam tubuhnya. Ini bukanlah materialisme dalam pandangan Marx. Materialisme yang mengemuka dalam cara pandang Marx tentang manusia adalah suatu ‘materialisme ekonomis’. Materialisme jenis ini mengemuka dalam teori nilai ekonomis yang diwarisi Marx dari para ekonom Klasik Inggris seperti Adam Smith dan David Ricardo, yakni teori nilai-kerja (labour theory of value). Teori nilai-kerja menyatakan bahwa nilai komoditas ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan dalam memproduksi komoditas tersebut. Dengan demikian, prinsip penentu nilai komoditas ditempatkan pada aras produksi dan bukan sirkulasi atau perdagangan. Pendekatan produksionis dalam memandang nilai ekonomi ini bukanlah hal yang baru pada Marx. Adam Smith telah merumuskannya jauh sebelum Marx. Dalam pembacaan Meek (1973:52-53), materialisme historis—atau pengertian bahwa cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya mengkondisikan cara manusia berpikir dan berkebudayaan—sudah implisit dalam teori nilai-kerja sejak Adam Smith: cara manusia berproduksi mengkondisikan cara manusia menukarkan hasil-hasil produksinya dan pemahaman akan karakter masyarakat tertentu mensyaratkan pengertian tentang caranya mencukupi kebutuhan hidup (mode of subsistence).[2] Dengan kata lain, materialisme Marx berakar pada materialisme ekonomi-politik Klasik.

Ketiga sumber ini—Aristoteles, naturalisme dan materialisme Inggris—mesti diakui juga sebagai landasan pemikiran Marx selain ketiga sumber yang diakui secara tradisional (filsafat Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis). Mengakui ketiga sumber non-tradisional di muka akan membukakan jalan bagi penafsiran atas pemikiran Marx yang lebih berimbang.

 

  1. Ontologi Marx

Pandangan Marx tentang hakikat realitas (atau ontologi Marx) umumnya disebut sebagai materialisme historis. Apa yang disebut materialisme historis umumnya dipahami secara ringkas sebagai tesis bahwa ‘basis menentukan superstruktur’: realitas material menentukan realitas mental, realitas ekonomis menentukan realitas sosial, politik, legal dan kebudayaan. Tafsiran tradisional ini umumnya memahami bahwa karena superstruktur ditentukan oleh basis, maka penjelasan tentang superstruktur dapat sepenuhnya direduksi pada penjelasan tentang basisnya. Ontologi yang termuat di belakang tafsiran tradisional ini adalah suatu varian dari materialisme, yakni materialisme reduksionis atau materialisme eliminatif. Berlandaskan pada tafsiran tradisional inilah orang umumnya menganggap Marx sebagai pemikir yang deterministik. Kita akan menunjukkan bahwa tafsiran tradisional itu keliru dan tak memiliki basis tekstual yang kokoh dalam tulisan-tulisan Marx.

 

3.1. Fondasi Aristotelian dari Materialisme Historis

Apa yang dilupakan oleh tafsiran tradisional di muka adalah argumen Aristotelian yang inheren dalam pendekatan Marx atas materialisme. Argumen Aristotelian ini mengemuka sebagai kritik atas dialektika Hegelian yang mereduksi Ada pada pikiran, mereduksi hidup pada kesadaran. Marx menulis:

“Kesadaran [das Bewusstsein] tidaklah lain ketimbang ada-yang-sadar [das bewusste Sein], dan ada-nya manusia adalah proses hidup aktualnya. [...] Berlawanan dengan filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi, apa yang penting di sini adalah menanjak dari bumi ke surga. Artinya, tidak berangkat dari apa yang manusia katakan, imajinasikan, bayangkan, tidak juga dari manusia sebagamana yang dinarasikan, dipikirkan, diimajinasikan, dibayangkan, untuk sampai ke manusia yang membadan; melainkan berangkat dari manusia yang nyata, aktif dan berlandaskan proses hidup riil mereka untuk lalu menunjukkan perkembangan refleks ideologis dan gema dari proses hidup ini.” (Marx & Engels 1976:42)

Tidak ada kesadaran tanpa makhluk-yang-sadar. Inilah argumen kunci Marx dalam kritiknya atas idealisme kaum Hegelian Muda. Argumen serupa muncul juga dalam kritiknya atas filsafat negara Hegel:

Hegel membuat predikat, objek-objek, menjadi otonom, tetapi ia melakukannya dengan memisahkan predikat itu dari otonominya yang sesungguhnya, yakni subjeknya. Subjek yang sesungguhnya kemudian nampak sebagai hasil, padahal pendekatan yang tepat mesti berangkat dari subjek yang sesungguhnya dan kemudian mempertimbangkan objektifikasinya. [Dalam Hegel] substansi mistik lalu menjadi subjek yang nyata, sementara subjek aktual nampak sebagai sesuatu yang lain, yakni sebagai momen dari substansi mistik. [...] Hegel tidak berangkat dari keberadaan aktual (hupokeimenon) tetapi dari predikat determinasi universal. (Marx 1992a:80)

Inti kritik Marx atas Hegel di muka adalah sebagai berikut: Hegel membuat predikat menjadi otonom dari subjeknya dan membuat subjek itu dependen pada predikatnya; dengan kata lain, Hegel berangkat dari sifat-sifat benda—bukan dari benda itu sendiri—dan kemudian malah membuat benda riil menjadi manifestasi dari sifat-sifatnya.

Kritik Marx atas Hegel di sini, sebagaimana dicatat oleh Lucio Colletti, sebangun dengan kritik Aristoteles atas konsep Idea Plato (Colletti 1995:19-20). Ambillah contoh sebuah proposisi sederhana: ‘Anton itu baik hati’—term ‘Anton’ adalah subjek proposisi dan term ‘baik hati’ merupakan predikatnya. Apa yang dilakukan Hegel adalah membuat ‘baik hati’ sebagai landasan keberadaan ‘Anton’. Dengan kata lain, apabila tidak ada ‘baik hati’, maka ‘Anton’ tidak ada. Dalam Hegel, predikat dianggap dapat ada terpisah dari subjeknya dan justru dijadikan fondasi dari subjeknya. Dalam Hegel, predikat dijadikan subjek dan subjek sesungguhnya malah dijadikan predikat. Kritik Marx atas Hegel bersifat Aristotelian persis karena Marx hendak menunjukkan, sebagaimana Aristoteles, bahwa subjek adalah fondasi dari predikat dan bahwa tak ada predikat yang terseparasikan dari subjeknya. Dalam contoh di muka, apa yang mau Marx nyatakan adalah bahwa oleh karena ‘Anton’ ada, maka ‘baik hati’ itu dimungkinkan. Dengan kata lain, agar ada sifat-sifat dari sesuatu, sesuatu itu mesti ada terlebih dahulu dan menjadi fondasi peneraan sifat-sifat tersebut. Dalam kosakata Aristotelian, posisi Marx dapat dirumuskan sebagai berikut: predikat mesti terinstantiasi (instantiated) dalam subjeknya.

Subjek dalam Aristoteles mengandung arti ganda: arti logis dan ontologis. Dalam arti pertama, subjek adalah sebagai agensi dalam proposisi: sebagai yang menerima atau mengandung penyifatan (predication) tertentu. Dalam arti kedua, subjek adalah substansi atau landasan kenyataan. Inilah sebabnya kata Yunani yang digunakan Aristoteles untuk menyebut subjek adalah hupokeimenon yang artinya: ‘hal-yang-melandasi’ (that which underlies). Agar ada sifat-sifat tertentu, landasan tempat sifat-sifat itu dikenakan mesti ada terlebih dahulu. Inilah ontologi substansialis yang terdapat dalam Aristoteles. Ontologi inilah pula yang implisit dalam kritik Marx atas Hegel.

Konsekuensi dari ontologi substansialis ini mengemuka dalam pandangan Marx tentang materialisme historis. Tak ada predikat tanpa subjek. Tak ada kesadaran tanpa manusia-yang-sadar. Oleh karena adanya kesadaran mengandaikan adanya manusia riil yang sadar, maka keberadaan manusia riil itu mengkondisikan kesadarannya. Apakah syarat kemungkinan dari keberadaan manusia riil itu? Pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagai makhluk biologis yang terjadi lewat proses produksi dalam konteks pembagian kerja dalam masyarakat. Dengan demikian, syarat kemungkinan keberadaan manusia terletak dalam realitas ekonominya. Oleh karenanya, realitas ekonomi manusia merupakan syarat kemungkinan dari kesadaran manusia. Konsekuensi lebih lanjutnya, realitas ekonomi mengkondisikan realitas kesadaran. Demikianlah, dengan berangkat dari pengandaian substansialis Aristotelian bahwa setiap sifat mesti terinstantiasi pada landasan material tertentu, Marx sampai ke kesimpulan pentingnya, yakni tesis pokok materialisme historis.

 

3.2. Naturalisme Non-Reduksionis sebagai Kunci Dialektika Basis-Superstruktur

Melalui pemaparan tentang landasan Aristotelian dari pemikiran Marx di muka, kita dapat melihat bahwa tafsiran tradisional yang menyamakan materialisme historis dengan tesis ‘basis menentukan superstruktur’ keliru sebab apa yang dipersoalkan di sini adalah prakondisi dan bukan determinasi. Apa yang dipersoalkan Marx adalah persyaratan dan bukan penentuan. Karenanya, ‘basis menentukan superstruktur’ mesti diparafrasekan ulang sebagai ‘basis mengkondisikan superstruktur’. Sebagaimana Aristoteles mempersoalkan syarat kemungkinan bagi adanya sifat-sifat dengan menjangkarkannya pada substansi, Marx mempersoalkan syarat kemungkinan bagi adanya superstruktur dengan melandaskannya pada basis. Agar ada superstruktur sama sekali, basis mesti ada terlebih dahulu. Namun ini tak mengimplikasikan bahwa penjelasan tentang superstruktur dapat direduksi secara total ke penjelasan tentang basis. Dalam Marx, tetap diakui adanya hubungan saling-pengaruh atau relasi dialektis antara basis dan superstruktur.

Di sinilah letak misteri yang terus diperdebatkan hingga kini di kalangan penafsir Marx: bagaimana persisnya menjelaskan kemungkinan respon superstruktur atas basis? Inilah locus classicus dari perdebatan tanpa ujung dalam tradisi Marxis antara determinisme dan voluntarisme. [3] Tafsiran tradisional akan menolak kemungkinan ini dan karenanya terjatuh ke dalam determinisme, sementara tafsiran lain mengatakan bahwa superstruktur dapat mengeluarkan respon balik ke basis karena superstruktur otonom terhadap basisnya dan dengan ini terjatuh ke dalam voluntarisme. Para komentator Marx berupaya mengatasi dilema ini dengan mengupayakan alternatif ketiga dari kedua tafsiran yang sama-sama problematisnya itu. Salah satu alternatif yang hingga kini dominan adalah melalui konsep overdeterminasi yang diajukan oleh Louis Althusser (1997:87-128).

Dalam alternatif Althusser dan para muridnya, superstruktur dapat melancarkan umpan-balik atau overdeterminasi terhadap basis. Alasannya karena superstruktur memiliki otonomi relatif terhadap basisnya. Artinya, sekali terbentuk dari mekanisme basis, superstruktur bergerak menurut logika internalnya sendiri yang tak sepenuhnya dapat dijelaskan dari kondisi basisnya. Persoalannya, Althusser sendiri tidak memberikan rumusan akurat tentang bagaimana superstruktur bisa memiliki logika internalnya sendiri apabila ia tercipta dari mekanisme basis. Bagaimana otonomi relatif superstruktur dimungkinkan jika superstruktur terbentuk dari basis? Kalau basis membentuk superstruktur, bukankah ‘logika internal’ superstruktur sudah termuat dalam basisnya sehingga tidak ada otonomi bahkan dalam artinya yang relatif sekalipun? Kegagalan Althusser dalam memberikan penjelasan tentang hukum umum yang meregulasi mekanisme overdeterminasi inilah yang akhirnya menyebabkan para muridnya, antara lain Laclau dan Mouffe (2001), menolak untuk jatuh kembali ke determinisme dengan cara menjadikan basis sebagai efek dari mekanisme superstruktural (bahasa)—dan dengan itu terjatuh ke dalam varian lain dari voluntarisme.

Konsep overdeterminasi tidak berhasil menjadi alternatif yang masuk akal untuk menjelaskan hubungan basis-superstruktur karena konsep tersebut tidak diartikulasikan secara akurat. Overdeterminasi mirip seperti postulat. Ketidakakuratan pengertian ini terjadi karena perhatian yang diberikan terlalu sempit, yakni hanya tentang hubungan antara basis dan superstruktur. Berikut ini kita akan mengupayakan jawaban lain di luar determinisme, voluntarisme dan overdeterminasi terhadap pertanyaan soal hubungan antara basis dan superstruktur.

Kekeliruan umum dari penjelasan tentang relasi basis dan superstruktur yang ada sampai sejauh ini terletak pada asumsinya, yakni bahwa hubungan antara basis dan superstruktur dapat dijelaskan berdasarkan pengertian tentang basis dan superstruktur. Asumsi ini bermasalah karena terlalu sempit. Memang terkadang suatu hal dapat dijelaskan dengan memecahnya ke dalam komponen-komponan yang membentuknya. Akan tetapi, dalam kasus tertentu, atomisme metodologis yang implisit dalam penjelasan di muka tidak memadai. Dalam kasus tertentu, penjelasan tidak dicapai dengan memecah suatu hal ke dalam komponen-komponennya, melainkan dengan menempatkan semua itu dalam keseluruhan yang lebih besar. Inilah yang akan kita jalankan.

Telah kita lihat bahwa pandangan Marx salah satunya bersumber dari naturalisme. Ciri khas dari setiap pendekatan naturalis adalah pengakuan bahwa realitas manusia tersituasikan dalam realitas yang lebih besar, yakni realitas alam. Senafas dengan naturalisme yang merupakan salah satu akar tradisi pemikiran Marx, persoalan hubungan basis dan superstruktur—yang merupakan realitas manusia—mesti ditinjau dalam kaitannya dengan totalitas kenyataan yang mencakupnya, yakni totalitas relasi antara realitas manusia dan realitas alam. Dengan demikian, kita membicarakan sistem kenyataan yang diasumsikan oleh Marx. Sistem adalah suatu totalitas dimana terdapat kesalinghubungan di antara elemen-elemen yang menyusunnya. Sistem kenyataan ini dapat kita gambarkan melalui model kenyataan atau model ontologis. Meminjam distingsi yang dibuat Roy Bhaskar (1976), kita akan berbicara tentang ‘sistem terbuka’ (open system) dan ‘sistem tertutup’ (closed system). Sistem terbuka adalah totalitas kenyataan yang belum dikategorisasikan, sementara sistem tertutup adalah totalitas kenyataan sebagaimana diklasifikasi berdasarkan kriteria tertentu.

Keseluruhan kenyataan yang kita amati sehari-hari adalah sebuah sistem terbuka. Ambillah contoh sederhana: secangkir kopi. Dalam benda sehari-hari seperti secangkir kopi, kita berhadapan beragam entitas yang hadir secara bersamaan:

  • entitas ekonomis (‘secangkir kopi’ sebagai komoditas)
  • entitas kimiawi (elemen hidrogen dan oksigen penyusun air serta elemen-elemen penyusun kopi)
  • entitas fisika (struktur atom yang membentuk realitas ‘secangkir kopi’)
  • entitas biologis (biji kopi sebagai hasil dari tanaman kopi)
  • entitas superstruktural (penggunaan kopi sebagai minuman mensyaratkan kerangka kultural tertentu)
  • entitas-entitas lain

Ada kesalinghubungan kompleks antar berbagai wilayah kenyataan dalam benda sederhana seperti secangkir kopi. Berdasarkan ilustrasi tersebut, kita akan menghadirkan model ontologis tentang sistem terbuka.

 

1

Model 1. Sistem Terbuka

 

Bisa kita saksikan dalam model di muka bahwa ada kesalinghubungan antar elemen dalam kenyataan sebagai sistem terbuka. Realitas ekonomi berhubungan dengan realitas fisika, kimia, biologi dan superstruktur, sebagaimana realitas superstruktur berhubungan dengan realitas ekonomi, fisika, kimia dan biologi, demikian juga dari sudut pandang realitas fisika, kimia, biologi dan seluruh realitas lain yang tak dimuat dalam skema di muka karena keterbatasan ruang. Apa yang belum nampak dalam Model 1 ialah bentuk hubungan spesifik antar elemen kenyataan tersebut. Apa yang kita saksikan adalah bahwa dalam kenyataan sehari-hari seperti secangkir kopi terdapat hubungan antara berbagai wilayah realitas. Model sistem terbuka ini adalah titik berangkat Marx.

Apa yang dilakukan Marx dalam analisisnya adalah ‘menutup’ sistem terbuka tersebut. Yang dimaksudkan dengan penutupan (closure) atas sistem terbuka adalah proses klasifikasi atas totalitas kenyataan berdasarkan kriteria tertentu. Apa yang mau dicapai lewat proses penutupan ini tak lain adalah penjelasan tentang bentuk hubungan spesifik antar wilayah kenyataan—sesuatu yang belum terjelaskan dalam sistem terbuka. Kriteria penutupan yang diambil Marx untuk mengklasifikasi adalah ‘syarat material’. Kriteria ‘syarat material’ dapat dirumuskan dalam pertanyaan: “Agar x ada, apakah yang keberadaannya diandaikan secara material?” Dengan demikian, kita memperoleh suatu gambaran yang terstratifikasi tentang kenyataan berdasarkan syarat material: agar ada kebudayaan, mesti ada manusia yang bekerja; agar ada manusia yang bekerja, mesti ada manusia yang hidup; agar ada manusia yang hidup, harus ada unsur-unsur kimiawi yang memungkinkan keberadaan manusia hidup; agar ada unsur-unsur kimiawi, mesti ada struktur sub-atomik tertentu yang melandasinya. Demikianlah, kita memperoleh model tentang sistem tertutup yang diandaikan oleh materialisme historis.

 

 

2Model 2. Sistem Tertutup
(berdasarkan kriteria penutupan ‘syarat material’)

 

Dalam model ini, ada pemilahan antara bentuk relasi yang spesifik, yakni relasi pengkondisian absolut dan relatif. Distingsi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pengkondisian absolut: x dikatakan mengkondisikan y secara absolut jika agar ada y, keberadaan x niscaya diandaikan

Pengkondisian relatif:      x dikatakan mengkondisikan y secara relatif jika x menentukan y dalam batasan yang dimungkinkan oleh y

 

Sekarang kita akan lihat bagaimana distingsi ini bekerja dalam ilustrasi di muka. Realitas biologi merupakan prakondisi absolut dari adanya realitas ekonomi sebab, agar realitas ekonomi dimungkinkan samasekali, mesti ada konstitusi biologis tertentu yang memungkinkan keberadaan homo sapiens. Akan tetapi, realitas ekonomi juga mengkondisikan realitas biologi, kendati secara relatif, sebab keberlanjutan ekosistem juga dikondisikan oleh sistem ekonomi yang dikembangkan di atas ekosistem tersebut: misalnya, ekonomi ekstraktif yang eksesif dapat menyebabkan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, realitas biologi merupakan syarat material absolut bagi adanya realitas ekonomi, sedangkan realitas ekonomi merupakan syarat material relatif bagi adanya realitas biologi. Begitu juga dengan relasi antara realitas superstruktur dan ekonomi: realitas ekonomi merupakan prakondisi material yang absolut bagi adanya realitas superstruktur, sementara realitas superstruktur adalah prakondisi material yang relatif bagi adanya realitas ekonomi—superstruktur dapat mengubah realitas ekonomi dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh realitas ekonomi tersebut.

Ada empat hal yang mesti diklarifikasi berkenaan dengan sistem tertutup yang disyaratkan oleh validitas materialisme historis ini:

 

  • Penutupan sistem tidak sama dengan idealisasi atau reduksi

Apakah dengan sistem tertutupnya, Marx tengah mereduksi realitas yang beranekaragam ke dalam suatu idealisasi sempit tentang realitas? Samasekali tidak. Perlu diingat bahwa sistem tertutup tak lain adalah sistem terbuka itu sendiri; satu-satunya perbedaan kedua sistem itu terletak dalam kriteria klasifikasinya: tak ada kriteria klasifikasi dalam sistem terbuka dan karenanya tak ada penjelasan apapun yang dimungkinkan dalam sistem terbuka, sementara dalam sistem tertutup di muka terdapat kriteria klasifikasi dan karenanya dimungkinkan pula penjelasan tentang kenyataan.

 

  • Penutupan sistem tidak hanya berciri epistemologis

Perlu juga dimengerti di sini bahwa distingsi antara sistem terbuka dan sistem tertutup tidak bisa direduksi menjadi distingsi Kantian antara benda-pada dirinya dan benda-sejauh teramati, antara noumena dan phenomena. Sistem tertutup bukanlah hasil fabrikasi epistemik kita sendiri, melainkan merupakan rekonstruksi atas suatu proses—yakni proses pengkondisian material—yang bekerja di alam kenyataan objektif, yang berlaku di sistem terbuka. Sistem tertutup tidak hanya ada dalam kerangka berpikir kita, melainkan bekerja dalam kenyataan.

 

  • Klausa ceteris paribus sebagai ciri khas sistem tertutup

Sistem tertutup bukanlah hasil reduksi atas totalitas kenyataan dan tak juga sekadar skema berpikir dari sang pengamat, dalam hal ini Marx. Ini dimungkinkan karena penutupan atas sistem terbuka dijalankan melalui klasifikasi berdasarkan kriteria tertentu. Relevansi dari kriteria penutupan ini adalah bahwa sistem tertutup yang dihasilkan hanya bekerja secara sempurna dengan mengandaikan seluruh kriteria yang lain tidak digunakan. Inilah yang ditandai dengan kode ‘C.P.’ dalam Model 2, yakni klausa ceteris paribus (dengan mengasumsikan semua faktor lain konstan). Kalau sistem terbuka ditutup berdasarkan kriteria ‘syarat material’ maka hasilnya niscaya adalah Model 2, tetapi apabila ditutup dengan kriteria lain tentu hasilnya model yang lain.

 

  • Penutupan sistem untuk menemukan tendensi objektif realitas

Kalau validitas sistem tertutup hanya berlaku ceteris paribus, untuk apa kita menutup sebuah sistem? Tujuan penutupan sistem adalah untuk menemukan salah satu tendensi yang inheren dalam sistem terbuka. Tendensi ini bukan hasil konstruksi pikiran kita sendiri, tetapi merupakan daya yang bekerja dalam realitas sejauh tidak terhalangi oleh daya yang lain (artinya, sejauh ceteris paribus). Inilah yang dimaksud dengan pernyataan kita tadi bahwa penutupan sistem tak hanya berciri epistemologis, melainkan juga ontologis. Relasi pengkondisian yang digambarkan dalam Model 2 merupakan tendensi yang berlaku sejauh dalam asumsi kriteria ‘syarat material’ dan akan tetap berlaku secara laten atau secara disposisional apabila ada tendensi berlawanan yang berlaku dalam asumsi kriteria yang lain. Sederhananya, kendati gaya gravitasi berlaku juga pada apel di pohon, tetapi ketidakaktualan gaya tersebut—atau fakta bahwa apel tidak serta-merta jatuh ke bumi—yang disebabkan oleh melekatnya apel secara biologis di tangkai pohon samasekali tidak mengimplikasikan bahwa gaya gravitasi tidak ada dalam fenomena apel di pohon. Kita mesti membedakan aktualitas dari keberadaan: ‘ada’ tidak sama dengan aktual; ‘ada’ bisa berarti tendensial atau disposisional atau laten.

Melalui keempat pokok klarifikasi di muka, kita dapat memahami duduk perkara relasi basis dan superstruktur dalam konsepsi Marx tentang materialisme historis. Marx tidak mereduksi superstruktur ke basis. Marx menutup sistem terbuka melalui kriteria ‘syarat material’ dan menemukan bahwa basis mengkondisikan superstruktur secara absolut dan superstruktur mengkondisikan basis secara relatif. Persis karena penutupan sistem ini hanya berlaku dalam batasan keberlakuan kriteria klasifikasi yang digunakan, maka Marx tidak dapat disebut reduksionis. Arti dari penutupan sistem ini adalah diakuinya kemungkinan bahwa apabila sistem itu ditutup berdasarkan kriteria klasifikasi yang lain, maka hasilnya akan lain. Akan tetapi, hasil yang lain ini tidak membuat tesis ‘basis mengkondisikan superstruktur’ terbatalkan—apa yang terjadi dalam kasus itu adalah bahwa tesis tersebut bersifat disposisional dan tidak teraktualisasi secara empirik, kendati bukan berarti tidak ada atau tidak berlaku. Momen non-aktual atau latennya pengkondisian superstruktur oleh basis akibat penutupan sistem berdasarkan kriteria klasifikasi yang lain inilah yang sejatinya setengah-mati hendak dirumuskan oleh para Althusserian sebagai overdeterminasi.

Demikianlah tafsiran kita, berbasis distingsi Bhaskarian antara sistem terbuka dan tertutup, atas relasi basis dan superstruktur yang terhindar dari determinisme, voluntarisme maupun overdeterminasi yang dirumuskan secara kabur. Kita lihat, karenanya, bahwa materialisme historis hanya dapat dijelaskan dengan menempatkannya ke dalam sistem yang lebih luas, yakni naturalisme non-reduksionis Marx yang memandang realitas manusia sebagai bagian dari realitas alam. Berkaitan dengan ontologi di balik pemikiran Marx tentang materialisme historis, kita dapat merekonstruksi pandangan Marx tentang ilmu pengetahuan.

 

  1. Epistemologi Marx

Prinsip epistemologi Marx dinyatakannya secara eksplisit dalam Das Kapital jilid III: “Seluruh ilmu pengetahuan akan mubazir apabila bentuk penampakan sesuatu secara langsung identik dengan esensinya” (Marx 1981:956). Kalau tidak ada esensi yang terletak di balik penampakan empirik, kalau totalitas kenyataan hanyalah totalitas penampakan empirik, maka sains tidak diperlukan. Dalam kondisi itu, setiap pengalaman kita dengan sendirinya telah merefleksikan keseluruhan dunia kenyataan. Fakta bahwa pengalaman subjektif tidak memadai—bahwa sendok yang bengkok di dalam gelas tidak sungguh-sungguh bengkok—dan fakta bahwa ilmu pengetahuan diperlukan menunjukkan bahwa esensi benda-benda tidak sama dengan aktualisasi empiriknya (atau dalam kosakata filsafat Kontinental kontemporer: Ada-nya benda-benda tidak identik dengan keterberiannya pada subjek). Kenyataan lebih luas dari apa yang terberikan pada subjek (sebagai pengalaman, kesadaran, diskursus, dst).

Mengakui bahwa kenyataan lebih luas dari aktualisasi empiriknya sama dengan mengakui adanya kenyataan objektif. Lebih lanjut lagi, pengakuan akan adanya realitas objektif merupakan tesis utama teori pengetahuan atau epistemologi yang realis. Dengan demikian, epistemologi yang terkandung dalam pemikiran Marx adalah realisme. Perlu diklarifikasi bahwa realisme bukanlah tesis bahwa pengetahuan kita niscaya mencerminkan realitas objektif. Yang dinyatakan oleh realisme adalah bahwa ada realitas objektif dan kita dapat mencapai pengetahuan tentang realitas tersebut. Dengan demikian, realisme dalam epistemologi samasekali tidak bertentangan dengan pengakuan akan adanya efek ideologis/diskursif/psikologis yang mengkonstruksi pemikiran kita tentang kenyataan.

Untuk memperjelas posisi realisme Marx, kita perlu mengeksplisitkan apa yang diakui dan ditolak oleh posisi tersebut secara sistematis. Apa yang ditolak oleh realisme adalah dua tesis berikut:

  • Tesis reduksionis: realitas adalah hasil konstruksi (entah sebagai efek ideologis, psikologis, diskursif, tekstual, dsb) sehingga tidak ada realitas objektif
  • Tesis obskurantis: pengetahuan tentang realitas niscaya merupakan hasil konstruksi sehingga tak ada pengetahuan objektif

Sebaliknya, apa yang diterima oleh realisme adalah dua tesis berikut:

  • Tesis non-reduksionis: kendati sebagian realitas merupakan hasil konstruksi manusia, ada sebagian lain realitas yang bukan hasil konstruksi dan karenanya ada realitas objektif
  • Tesis keterpikiran: kendati pengetahuan bisa dipengaruhi oleh konstruksi tertentu, tetapi pengetahuan dapat melampaui konstruksi tersebut dan mencapai pengertian tentang realitas objektif

Dari kedua tesis yang diafirmasi oleh posisi realis di muka, tesis pertama umumnya diterima secara non-kontroversial. Apa yang masih dianggap kontroversial adalah tesis kedua. Corak kontroversialnya kerapkali mengemuka sejauh orang pada umumnya menyalah-artikannya dengan tesis yang mirip tetapi sejatinya berbeda.

  • Tesis keterpikiran paripurna: pengetahuan niscaya mencapai pengertian tentang realitas objektif.

Seorang realis tidak harus mengakui tesis keterpikiran paripurna ini untuk dapat dikatakan realis. Hanya realisme naif lah yang bergantung pada tesis terakhir ini. Itulah yang berkembang dalam opini sehari-hari bahwa, misalnya, apa yang dapat kita persepsi niscaya merupakan keseluruhan kenyataan itu sendiri. Marx tidak menerima realisme jenis ini sebab, seperti nampak dalam kutipan tadi, Marx memilah esensi benda dari penampakannya. Justru karena esensi tidak sama dengan penampakannya pada subjek, maka pengetahuan kita bisa salah. Marx, dengan demikian, menolak tesis keterpikiran paripurna. Sejauh tesis keterpikiran kita pisahkan dari tesis keterpikiran paripurna, maka tesis keterpikiran itu tak lagi kontroversial dan justru membuka kemungkinan bagi ilmu pengetahuan yang dapat keliru dan karenanya juga dapat tidak keliru alias benar—dengan kata lain, objektif.

Demikianlah dasar-dasar pemikiran Marx yang dibedah dari kerangka filsafat. Melalui penalaran ulang atas Marx ini, kita dapat terbebas dari ketiga kekeliruan di muka: kekeliruan sumber, kekeliruan deterministik dan kekeliruan konstruktivis. Menyanggah kekeliruan pertama, kita telah menunjukkan bahwa Marx dipengaruhi oleh tradisi pemikiran yang lebih beragam dan kaya, mulai dari filsafat Aristoteles, naturalisme sains modern dan materialisme Inggris. Menyanggah kekeliruan kedua, kita sudah menerangkan alasan mengapa pemikiran Marx tidak deterministik maupun reduksionis. Kita tunjukkan bahwa tesis ‘basis mengkondisikan superstrukur’ diperoleh melalui penutupan parsial atas totalitas sistem kenyataan dan hanya berciri tendensial (bukan determinasi prediktif) sebab penutupan itu tetap bergantung pada klausa ceteris paribus. Menyanggah kekeliruan ketiga, kita telah jelaskan bahwa Marx tidak menganggap bahwa kebenaran hanyalah persoalan konstruksi kelas dominan ataupun sarana pertarungan kekuasaan. Marx mengakui kemungkinan pengetahuan untuk mendapatkan pengertian tentang realitas objektif. Singkat kata, Marx tidak deterministik dan tidak relativis. Pemikiran Marx dapat diselamatkan dari retorika kosong para ‘Marxis’ dan ‘anti-Marxis’ yang sejatinya belum pernah membaca Marx, atau yang membaca Marx tanpa menalarnya.***

 

Tulisan ini sebelumnya adalah makalah yang didiskusikan dalam seri seminar bertajuk ‘Mengupas Marxisme’ yang diselenggarakan oleh Masjid Salman – ITB tahun 2012 dan dalam forum diskusi di LIPI tahun 2013

 

Kepustakaan:

Althusser, Louis. 1997. “Contradiction and Overdetermination” dalam Louis Althusser. For Marx diterjemahkan oleh Ben Brewster. London: Verso.

Aristoteles. 1995. Metaphysics diterjemahkan oleh W.D. Ross dalam The Complete Works of Aristotle Volume II diedit oleh Jonathan Barnes. New Jersey: Princeton University Press.

Bhaskar, Roy. 1976. A Realist Theory of Science. Leeds: Leeds Books Ltd.

Callinicos, Alex. 1983. Marxism and Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Colletti, Lucio. 1995. “Introduction” dalam Karl Marx. Early Writings diterjemahkan oleh Rodney Livingstone dan Gregor Benton. London: Penguin.

Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (Second Edition). London: Verso.

Lenin, V.I. 1960. “The Three Sources and Three Component Parts of Marxism” dalam V.I. Lenin. Selected Works: Volume I. Moscow: Foreign Languages Publishing House.

Marx, Karl. 1979. Capital Volume I diterjemahkan oleh Ben Fowkes. London: Penguin.

—— . 1981. Capital Volume III diterjemahkan oleh David Fernbach. Middlesex: Penguin Books.

—— . 1995a. “Critique of Hegel’s Doctrine of the State” dalam Karl Marx. Early Writings diterjemahkan oleh Rodney Livingstone dan Gregor Benton. London: Penguin.

Marx, Karl dan Frederick Engels. 1976. The German Ideology. Moscow: Progress Publishers.

Meek, Ronald L. 1973. Studies in Labour Theory of Value. New York: Monthly Review Press.

Meikle, Scott. 1985. Essentialism in the Thought of Karl Marx. London: Duckworth.

Rubel, Maximilien dan Margaret Manale. 1975. Marx Without Myth: A Chronological Study of His Life and Work. Oxford: Basil Blackwell.

 

———-

[1] Aristoteles mengkritik konsepsi Plato tentang esensi sebagai Idea yang ‘terpisah’ dari bendanya melalui argumen yang dalam tradisi dikenal sebagai ‘argumen orang ketiga’. Melalui argumen inilah Aristoteles sampai ke posisi bahwa esensi telah selalu terinstantiasi dalam benda. “If the essence of good is to be different from the Idea of good, and the essence of animal from the Idea of animal, and the essence of being from the Idea of being, there will, firstly, be other substances and entities and Ideas besides those which are asserted, and, secondly, these other wil be prior substances of the essence is substance. [...] Each thing then and its essence are one and the same in no merely accidental way, as is evident both from the preceding arguments and because to know each thing, at least, is to know its essence, so that even by the exhibition of instances it becomes clear that both must be one. [...] Clearly, then, each primary and self-subsistent thing is one and the same as its essence.” (Metafisika 1031a30-1032a5)

[2] Mengomentari salah satu bagian kuliah Smith di Glasgow yang bertemakan “Cheapness and Plenty”, Meek menulis: “What Smith is virtually saying in this noteworthy passage is that the way in which a society gets its living determines in large part the nature both of its social institutions and of its ethical norms. Smith, in common with the other members of the so-called ‘Scottish Historical School’, frequently adopted the type of materialist approach to the study of society which is reflected in this passage. To understand the general configuration of society at any given time, the members of the School believed, one must look first to what they called ‘the mode of subsistence’; and, in particular, to understand the forms of law and government one must look first to ‘the state of property’. [...] In order to understand these exchange relations, the labour theory in effect maintains, one must look first to the basic production relations which men enter into with one another in the process of gaining their subsistence. In its formulation in the eighteenth century by Smith, as well as in its development in the nineteenth century by Marx, the labour theory of value was intimately associated with a materialist conception of history.” (Meek 1973:52-53)

[3] Perdebatan di antara kalangan Marxis tentang determinisme dan voluntarisme—apabila ditinjau dari perspektif sejarah pemikiran—sejatinya merupakan kelanjutan dari perdebatan para teolog Abad Pertengahan antara necessity dan free will, juga dalam konflik antara Lutheranisme dan Katolik Roma dalam wujud pertentangan tentang jalan keselematan, yakni antara pradeterminasi dan kehendak bebas.

Pascamodernis dari Kremlin

$
0
0

BUAT para pelajar teori-teori kebudayaan dan filsafat di Indonesia, istilah ‘filsafat bahasa’ memantik ingatan mereka melesat ke nama-nama seperti Ferdinand de Saussure, Roland Barthes dan kaum ‘pascastrukturalis’ seperti Jacques Derrida. Mendengar istilah itu, mereka akan diingatkan pada sederet tema: tentang betapa sewenang-wenangnya hubungan antara tanda dan makna, tentang bagaimana makna disusun oleh hubungan diferensial antar tanda, tentang bagaimana kesadaran terstruktur oleh tanda, dan seterusnya. Bagi para pengkaji Marxisme, istilah ‘filsafat bahasa’ ini juga mengingatkan mereka pada tema lain, yakni tentang bagaimana ideologi bukan sekadar cerminan kepentingan ekonomis kelas-kelas sosial, melainkan dibentuk dan dibatasi oleh bahasa sebagai ranah perbedaan antar tanda. Perkembangan filsafat Kontinental sejak hampir seabad terakhir menunjukkan kuatnya pengaruh asosiasi makna ‘filsafat bahasa’ semacam ini. Di kalangan Marxis, kesadaran semacam ini dimulai sejak Valentin Voloshinov di tahun 1930 yang pertama kali menunjukkan bahwa ideologi ‘terstruktur seperti bahasa’, sampai dengan Slavoj Zizek di awal abad ke-21 yang memperlihatkan bahwa hasrat kita terstruktur secara sosial via mekanisme bahasa.

Namun dalam narasi konvensional tentang ‘filsafat bahasa’ sebagai riwayat konsolidasi pascastrukturalisme ini, ada satu nama yang jarang disebut: Joseph Stalin. ’Filsafat bahasa’ atau apa yang kini cenderung disamakan orang-orang dengan pengertian ‘pascastrukturalisme’ bukanlah perjalanan pendek dari Jenewa ke Paris (dari Saussure ke Derrida), melainkan perjalanan memutar dari Jenewa ke Paris via Moskow. Di tikungan itu, Stalin memainkan peranan. Saya tidak mengklaim bahwa tanpa Stalin tidak akan ada pascastrukturalisme dan pascamodernisme (yang merupakan turunan dari pascastrukturalisme). Yang saya klaim adalah bahwa tanpa Stalin gambaran kita tentang sejarah perumusan pascastrukturalisme dan pascamodernisme tidak akan lengkap.

Jauh sebelum bergabung dengan gerakan Kiri Rusia, Stalin adalah seorang penyair. Kepiawaiannya terletak pada puisi lirik—tentang pohonan, angin dan malam hari. Puisi-puisi liriknya dikagumi oleh penyair Romantik ternama asal Georgia, Ilia Chavchavadze. Bahkan beberapa di antaranya pernah terbit di jurnal sastra paling berpengaruh di Rusia pada era pra-Soviet, Iveria. Namun refleksi sistematisnya tentang bahasa baru muncul jauh kemudian, selepas ia bergabung dengan gerakan Kiri Rusia, setelah ia mengambil-alih kekuasaan sepeninggal Lenin. Marksizm i voprosy yazykoznaniya (“Marxisme dan Problem Linguistik”) adalah kitab pendek tentang hakikat bahasa yang terbit di tahun 1950. Di dalamnya, Stalin mempertimbangkan status bahasa dalam kerangka pemikiran Marxian.

Yang hendak ia kritik di sana ialah pandangan deterministik linguis Soviet, Nicholas Marr. Sang linguis berpendapat bahwa bahasa adalah fenomena superstruktural semata. Artinya, realitas ekonomi sepenuhnya menentukan fenomena bahasa—perubahan realitas ekonomi meniscayakan perubahan total realitas bahasa. Oleh karena itu, Marr berpandangan bahwa perbedaan kelas juga tercermin pada perbedaan bahasa. Peralihan dari modus produksi kapitalis ke sosialis di Rusia mesti diikuti oleh suatu revolusi linguistik, yakni pencampakan bahasa Rusia yang borjuis dan transformasinya menjadi ‘bahasa proletar’. Stalin mengkritik asumsi Marr. Bahasa bukanlah efek superstruktural dari realitas ekonomi.

Dalam karyanya, Stalin memaparkan bagaimana bahasa merupakan produk dari hubungan sosial yang menyejarah dan bercorak lintas-kelas. Ia memberikan beberapa ilustrasi historis, antara lain soal bahasa Prancis di era sebelum dan sesudah Revolusi 1789. Sementara Revolusi tersebut menandai peralihan tatanan feodal ke kapitalis, bahasa Prancis tetaplah kurang-lebih sama. Memang ada kosakata baru dan frase-frase idiomatik baru selepas Revolusi 1789, tetapi sintaksis bahasa Prancis tetaplah sama. Demikian pula dengan kondisi bahasa Rusia sebelum dan sesudah Revolusi Oktober 1917. Hal ini menunjukkan, bagi Stalin, bagaimana perubahan komposisi kelas tidak serta-merta menghasilkan perubahan bahasa. Dari sini Stalin menarik kesimpulan bahwa bahasa tidak bisa dipandang sebagai efek superstruktural dari basis. Selain itu, Stalin juga mempelajari bagaimana bahasa sudah muncul sejak era masyarakat pra-terbentuknya kelas-kelas sosial (modus produksi komunal). Ini semakin menguatkan kesimpulannya bahwa bahasa melampaui logika kelas.

Apabila bahasa bukanlah salah satu komponen superstruktur, lalu di manakah letak bahasa dalam skema materialisme historis Marxian? Di basis? Tidak juga. Stalin melihat bahwa bahasa mirip alat produksi, seperti halnya mesin pabrik. Tidak ada yang namanya ‘mesin borjuis’ ataupun ‘mesin proletar’—yang ada hanyalah mesin yang dapat digunakan dalam sistem pembagian kerja kapitalis atau sosialis. Sementara mesin itu sendiri, pada-dirinya, netral secara kelas. Begitu juga dengan bahasa, menurut Stalin. Netralitas itu dimungkinkan karena bahasa sudah ada sebelum adanya kelas, yakni sejak masyarakat komunal-primitif. Bahasa adalah suatu ‘ruang sosial’ tempat produksi dan reproduksi kehidupan masyarakat terjadi. Karenanya, kesimpulan Stalin, bahasa bukan bagian dari superstruktur maupun basis sebab bahasa merupakan wadah tempat keduanya mewujud. Baik ideologi maupun mekanisme reproduksi pemenuhan kebutuhan dipikirkan, dinyatakan dan diperbincangkan melalui bahasa. Karena bahasa merupakan wadah tempat semua hubungan sosial terjadi, maka bahasa melandasi semua fenomena sosial—mencakup basis dan superstruktur. Bahasa tidak bisa dipersalahkan atas dasar pertimbangan ekonomi-politik maupun ideologis. Dengan kata lain, dalam fraseologi pascamodernis, bahasa memiliki ‘otonomi-relatif’ terhadap basis dan superstruktur.

Selain menegaskan ‘otonomi’ bahasa dari reduksi ekonomistik, Stalin juga memperlihatkan bahwa bahasa lah yang turut menstruktur ideologi dan kesadaran masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena semua percakapan dan permenungan mesti melalui medium bahasa. Karenanya, struktur ideologi dan kebudayaan telah selalu terkontaminasi oleh bahasa. Tak ada pemikiran murni tanpa bahasa. Oleh karenanya, tak ada ideologi tanpa bahasa. Pandangan semacam inilah yang mengantisipasi pendekatan bahasa yang nantinya dipopulerkan oleh kaum strukturalis dan pascastrukturalis dari Prancis. Persisnya ada tiga hal yang disumbangkan Stalin bagi pascastrukturalisme dan pascamodernisme:

 

  1. Penolakan atas reduksi problem bahasa pada problem kelas maupun ekonomi-politik secara umum
  2. Pengakuan atas bahasa sebagai wahana dasar interaksi sosial yang melingkupi (dan karenanya melampaui) basis dan superstruktur
  3. Pengakuan atas ciri konstitutif bahasa terhadap kesadaran, kebudayaan dan ideologi

 

Melalui ketiga pokok pikiran itu, Stalin membuka jalan bagi tumbuhnya beragam pendekatan bahasawi tentang masyarakat yang nantinya mencirikan panorama intelektual Prancis sejak tahun 1960-an. Dengan itu, Stalin ikut berperan menggulirkan apa yang lazimnya dikenal sebagai ‘Balikan Linguistik’ (Linguistic Turn) dalam filsafat Kontinental kontemporer. Demikianlah, Stalin—‘Voldemort’-nya kaum pascamodernis—adalah justru salah seorang yang membuat pascamodernisme jadi mungkin.

Apa yang bisa dipelajari dari ‘kasus Stalin’ ini? Yang paling benderang, tentu saja, adalah bahwa penulisan sejarah pascastrukturalisme dan pascamodernisme perlu dirombak dan diperkaya. Namun kasus ini juga mengajarkan kita hal penting soal hubungan antara Marxisme dan ‘yang di luar Marxisme’. Jelas bahwa Marxisme—teori umum tentang perkembangan masyarakat—bukanlah suatu theory of everything. Ada banyak hal yang tak dibahas oleh Marxisme: komposisi sub-atomik dari barion, sifat-sifat metal alkali, implikasi semantik dari deiksis (pronomina yang berakar pada identitas penutur) dan banyak hal lain. Terhadap domain kajian di luar Marxisme, kaum Marxis seringkali mengambil salah satu dari dua pilihan ini: memaksakan skema teori Marxisme ke dalamnya (sikap vulger) atau lepas tangan sama sekali sambil tak mempedulikan implikasinya bagi Marxisme (sikap agnostik). Kedua pilihan itu sama-sama bermasalahnya. Pilihan pertama hanya akan menghasilkan pseudo-sains, sementara pilihan kedua akan mencerabut Marxisme dari akarnya pada totalitas kenyataan. Dalam kasus Stalin, pilihan pertama lah yang cenderung mengedepan. Hal ini terlihat dalam keterlibatan Stalin dalam Lysenko affair.

Di awal tahun 1930-an, Stalin sempat terpesona dengan pandangan Trofim Lysenko, seorang biolog Soviet, yang percaya bahwa produksi gandum dapat ditingkatkan melalui teknik pembiakan baru ciptaannya. Lysenko menjustifikasi teknik ini dengan segudang jargon Marxis dan secara vulgar memaksakan ‘hukum dialektika’ ke dalam ilmu biologi. Stalin dengan senang hati mensponsorinya untuk melakukan ‘revolusi agrikultur’ di seluruh Rusia. Lysenkoisme terbukti tidak berhasil dan disadari tak lebih dari sekadar pseudo-sains. Karena itu, pilihan Stalin terhadap permasalahan linguistik bisa dibilang lebih memuaskan. Dengan teori bahasanya, Stalin seperti memberi angin bagi ilmu linguistik dan menjamin kekebalannya dari intevensi birokratik partai. Jaminan Stalin ini segera disambut oleh berbagai cabang kajian lain seperti matematika dan logika. Para pakar matematika dan logika dapat menguraikan ajarannya tanpa mesti disangkut-pautkan dengan analisis kelas dan ekonomi-politik Marxian. Artinya, mengakui adanya ‘yang di luar Marxisme’ adalah satu langkah maju. Sebab tugas intelektual Marxis bukanlah memaksakan Marxisme ke dalam segala hal, tetapi menemukan Marxisme di dalam segala hal—menemukan komponen-komponen pengetahuan non-Marxis yang, apabila dirakit dan diproyeksikan secara makro, akan menghasilkan dan menggenapi Marxisme. Di sini kita perlu menimba inspirasi kritis dari sang pascamodernis dari Kremlin.***

 

 21 Oktober 2014

Yang Lenyap dalam Senyap

$
0
0

ADORNO pernah berkata bahwa menulis puisi sesudah peristiwa Auschwitz adalah tindakan barbar. Yang ia maksud terutama adalah puisi lirik. Di atas tumpukan tubuh yang gosong oleh nyala api dan bersidekap kaku di kamar gas, puisi lirik adalah seperti janji surga yang kadaluarsa sejak lama. Penyair lirik datang melagukan individu manusia ketika sejarah dan kondisi sosial secara terang-terangan telah membuat usang ‘individu manusia’, ketika sejarah dan kondisi sosial mempertontonkan betapa mistiknya imaji tentang diri individual dengan segenap kedaulatan singularnya. Puisi lirik, sesudah Auschwitz, adalah seperti seseorang yang sore ini merasa cemas tak kebagian makanan dalam sebuah pesta sunatan kampung yang berlangsung seabad yang lalu. Puisi lirik, sesudah Auschwitz, adalah suatu kemubaziran bertele-tele yang dikira bijak.

Demikian juga dengan apa yang mungkin muncul dalam respon terhadap film Senyap garapan Joshua Oppenheimer. Kita dapat memuji sinematografinya yang cantik, penyuntingan adegannya yang bernas, ataupun mempersoalkan tiadanya kebaruan dalam konsep film ‘penyintas versus pelaku kekerasan’ yang sudah dicoba beberapa kali oleh para sineas lain. Namun berhenti pada aspek-aspek intrinsik semacam itu, pada kasus ini, ibarat berpanjang-lebar tentang aspek-aspek estetis dari liukan tubuh-tubuh dalam kamp konsentrasi akibat menghirup Ziklon B. Di sini yang jadi soal bukanlah moralitas atau imoralitas dari tindakan tersebut; yang ofensif bukanlah tindakan imoral itu. Yang ofensif adalah penggunaan kategori moral itu sendiri. Mengatakan bahwa pembantaian terhadap jutaan kader PKI dan seluruh organisasi sayapnya sebagai ‘kedurjanaan radikal’ adalah justru kedurjanaan itu sendiri. Kalau ada pelajaran yang bisa ditarik dari Senyap, juga Jagal, maka pelajarannya tak lain adalah bahwa berbicara moral pasca-65 adalah seperti bermain turntable di rumah duka.

Senyap mengisahkan riwayat keluarga penyintas di Sumatera Utara berhadapan dengan para pelaku pembantaian ‘65. Adi, seorang pemuda yang kakaknya mati dibacok bertubi-tubi, berkeliling ke rumah-rumah para jagal yang kini menginjak jompo. Rohani, ibunya yang telah sepuh, tak pernah sudi bertukar sapa dengan para tetangga pembunuh anaknya. Sembari merajang labu, ia ceritakan bagaimana mereka berlagak seolah tidak tahu apa-apa. Rohani membenci mereka dengan tulus hati. Rukun, ayah Adi, mendapati giginya rontok satu per satu ketika mendengar kabar anaknya mati ditikam berulang kali dan ditebas kemaluannya di dekat kebun sawit. Pada usianya yang kini lebih dari satu abad, ia tampak kurus kering dimakan Orde Baru. Penglihatannya sudah sangat samar dan kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Sebagai adik yang lahir dua tahun sepeninggal sang kakak, Adi menuntut permintaan maaf dari para pembantai kakaknya. Mereka kini hidup tenang sebagai sosok-sosok terhormat; mulai dari ketua DPRD, pesohor Pemuda Pancasila, sampai dengan jompo kampung yang disegani warga. Sebagai seorang tukang kacamata keliling, Adi menyambangi rumah mereka kerapkali dengan premis menawarkan jasa penyiapan kacamata sembari perlahan-lahan mengulik persoalan ‘65.

Reaksi para pembantai kurang-lebih serupa. Mereka bangga telah melaksanakan ‘bela negara’ dan terus mengeong tentang ‘kerjasama ABRI dan rakyat’ dalam melangsungkan pembersihan ideologi komunis. Mereka sadar bahwa tugas menggorok leher orang berulangkali selama berbulan-bulan bisa membuat mereka gila. Untuk itulah mereka memberikan tips yang mereka rasa manjur: minumlah darah orang-orang yang kau gorok itu. Darah korban dipercaya bisa memberikan keteguhan sikap dan ketenangan batin untuk terus melanjutkan proses gorok-menggorok itu, seperti pengunduh kelapa yang sesekali membelah kelapa dan mereguk airnya di sela-sela proses panen. Situasi beralih jadi tegang ketika Adi mengaku bahwa dirinya merupakan adik dari salah satu korban yang mereka minum darahnya. Umumnya mereka merasa dijebak. Inong, salah seorang komandan aksi di Sungai Ular yang kini jadi jompo desa, merasa tertipu: “Kenapa pembicaraannya jadi lari ke politik?” Lidahnya menggeliat beberapa kali dari mulutnya yang tak bergigi lagi. Ia merasa dijebak berbicara tentang politik, padahal ia hanya ingin bercerita tentang masa mudanya yang penuh romansa—seperti ketika ia menebas leher kader-kader PKI, menghempaskannya ke sungai dan sesekali bersandar di batang pohon trembesi sembari menikmati pemandangan alam Deli. Inong sedang tak ingin bicara politik.

 

 

senyap-2Adi Rukun dan Joshua Oppenheimer

 

Adi adalah pemuda yang sabar. Tak satupun kata maaf ia peroleh dari orang-orang yang dulu terlibat pembantaian ’65. Biasanya pembicaraan terhenti dengan pelaku yang tak merasa punya salah. Sebagian merasa jengah karena terus ditanyai, sebagian lain mengusir Adi dan Joshua beserta seluruh krunya. Adi demikian sabar meladeni imajinasi para pembantai. Termasuk ketika ia menyadari bahwa pamannya sendiri terlibat dalam peristiwa itu. Sang paman berkilah tidak tahu menahu dan hanya ditugasi untuk menjaga tahanan. Ketika Adi menceritakan bahwa salah satu tahanan itu adalah keponakannya sendiri, ia woles saja dengan tampang yang seakan membatin: “yaelah bray… cuma gitu doang dibahas”. Di saat-saat seperti itu, Adi biasanya akan pamit dengan amarah yang ia lipat rapi. Ia mengharapkan sesal berkepanjangan, tetapi bahkan secuil permintaan maaf pun tak berhasil dibawanya pulang. Memang sesekali kata maaf dilemparkan ke muka Adi. Tetapi itu tidak datang dari pelaku, melainkan dari anak perempuan atau istrinya yang kemungkinan melontarkannya karena pertanyaan-pertanyaan Adi sudah membuat suasana jadi tidak nyaman.

Film ini tak dituntaskan dengan resolusi konflik. Seperti Jagal, Senyap juga menyimpan momen-momen sublimnya di akhir. Jagal ditutup dengan adegan panjang Anwar Congo yang tengah muntah-muntah di balkon toko yang dulunya dipakai sebagai lokasi pembantaian. Itulah lokasi yang sama ketika Anwar memeragakan teknik membunuh dengan kawat yang ia ciptakan. Dalam suasana malam yang larut, Anwar batuk-batuk, berjalan gontai, mondar-mandir dan muntah beberapa kali tanpa narasi apapun yang mendahului atau menyertainya. Ia lalu turun dari sana, menyusuri lorong toko tas dan sepatu yang telah tutup, ke arah jalan raya. Film selesai. Adegan ini sangat menarik. Bagi pemirsa yang membacanya secara agak religius, Anwar seperti mengakui kesalahannya, memuntahkan semua dosanya dan dengan itu ‘bertobat’. Tafsir semacam ini diperkuat oleh isak-tangisnya ketika menonton peragaan pembunuhan yang ia lakukan sebelumnya. Jadi adegan muntah-muntah itu akan dibaca sebagai adegan dikutuknya Anwar seperti sosok antagonis dalam sinetron-sinetron kita. Secara sinematik, mungkin ini adalah tafsiran yang koheren. Namun itu bukan tafsiran satu-satunya. Saya tak ingin melepaskan Anwar sebagai sosok dalam film dan Anwar sebagai sosok sosio-historis yang konkrit. Setahu saya dari berita-berita yang muncul selepas penayangan Jagal, Anwar memprotes Joshua soal film itu, betapa ceritanya telah melenceng dari maksud Anwar semula untuk mengagungkan dan merayakan pembasmian komunis. Artinya, tafsiran tentang ‘pertobatan’ Anwar dalam adegan terakhir itu bisa jadi berlebihan. Saya cenderung melihatnya sebagai peristiwa biasa di mana Anwar pulang sehabis mabuk lalu muntah-muntah dan Joshua mengarahkannya untuk mengunjungi kembali lokasi itu. Adegan itu menggambarkan pak tua yang mabuk sehabis berpesta—itu saja. Namun bukan berarti adegan tersebut biasa saja. Menurut saya, justru karena digambarkan secara datar adegan itu demikian sublim. Adegan itu mengungkapkan betapa tumpulnya kategorisasi moral yang hendak dirajamkan para pemirsa ke sosok Anwar. Sang pembantai tidak melanggar hukum; ia berdiri di luar hukum. Ia bukan sosok imoral; ia hadir sebagai sosok ekstra-moral—mematung di luar segala sekat-sekat moralitas, Anwar adalah monumen yang menandai batas-batas kategori moral. Ia tidak menyesal; ia cuma muntah-muntah. Justru inilah yang membuat kita ngilu.

Suasana yang serupa juga kita temukan dalam Senyap. Setelah percakapan demi percakapan yang tak membuahkan hasil, menjelang akhir film kita diantarkan pada sebuah adegan yang demikian ganjilnya sampai bulu roma kita merinding. Sebelumnya, Rukun, ayah Adi yang sudah sangat sepuh itu ditanya oleh istrinya perihal Ramli, anak sulungnya yang dibantai waktu ’65. Ia sudah tak ingat lagi: “Ramli siapa ya?” Menjelang akhir film, ia diperlihatkan tengah berada di sebuah ruangan tempat menjemur pakaian. Dengan penglihatannya yang rabun, ia seperti tengah menduga-duga di manakah ia berada. Tanpa kursi roda, kakinya yang telah lumpuh memaksanya untuk merangkak terseok-seok mengitari ruangan mencari jalan keluar. Saat kepalanya menyapu baju-baju yang sedang tergantung di ruas-ruas jemuran, ia pun tambah panik. Dipikirnya ia telah melewati kelambu kamar rumah orang lain. Ia pun makin menyeru-nyeru: “Tolong! Tolong aku! Aku di mana? Ini kamar orang, nanti kalau ketahuan aku bisa dipukuli. Ampun! Tolong! Tolong!” Terseok-seoklah ia berkeliling kamar jemuran itu sambil mengaduh dan minta pertolongan. Adegan ini seperti memperlihatkan bagaimana Rukun secara tanpa sadar menubuhkan mémoire involontaire tentang pembantaian anak sulungnya. Seperti Ramli yang lari terseok-seok ke rumah bapaknya dengan usus sedikit terburai, mengaduh dan memanggil ibunya, hanya untuk terdiam beberapa saat di rumah sebelum akhirnya dibawa pergi di atas truk ABRI, kini sang bapak terseok-seok mengitari kamar di bawah ketakutan telah melanggar kamar orang lain, tanpa menyadari bahwa kamar itu adalah rumahnya sendiri. Adegan itu begitu sureal, begitu ganjil dan ngeri, sampai-sampai saya tak bisa memikirkan hal lain selama beberapa waktu setelah film selesai.

Adegan ini kemungkinan akan menuai kecaman moral pemirsa karena kamera demikian agresif menginvasi tubuh lumpuh pak tua Rukun yang panik ditelan masa lalunya. Salah seorang kritikus di situs Indiewire, misalnya, menyebut adegan itu ‘eksploitatif’ sebab seperti mempermainkan kepanikan ayah Adi demi ketakjuban sinematik. Namun, menurut saya, apa yang diusahakan sang sutradara dengan adegan ini bukanlah sekadar ‘ketakjuban sinematik’, melainkan justru gema yang selaras dengan keseluruhan tema film. Adegan itu seperti meninju kita dan karenanya menjadikan kita sadar bahwa sejarah itu sungguh hidup di sekujur pori-pori tubuh para penyintas. Kita tak bisa melempar kecaman atas adegan itu sebagai sesuatu yang imoral, sebab justru kategori moral itu sendirilah yang tengah dipertanyakan habis-habisan dalam Senyap, seperti juga dalam Jagal. Justru inilah yang menakjubkan dari kedua film itu: memaksa para pemirsanya untuk menatap tanpa kedip ke hadapan arus peristiwa yang membuat segala kategori moral jadi mubazir. Senyap membuat kita menatap tanpa meratap; ia membuat semua komentar moralis jadi seperti puisi lirik sesudah Auschwitz.

Menghormati para korban dengan cara sekadar mengecam perbuatan para pembantai sebagai perbuatan imoral dan durjana adalah justru menghina para korban itu sendiri. Itu berarti menyamakan mereka dengan korban pencopetan atau korban pelanggaran hukum lainnya. Sedangkan mereka tak bisa diciutkan hanya sebagai korban pelanggaran hukum atau penistaan moral, persis karena para pembantainya bekerja di luar batasan yang terdefinisikan oleh hukum dan moralitas. Para jagal itu beraksi dalam jeda antara hukum, dalam palung yang mengantarai moralitas revolusioner Orla dan moralitas reaksioner Orba. Mereka beroperasi dalam limbo. Inilah yang menjelaskan rekonsiliasi moral yang diupayakan Adi selalu menemui jalan buntu. Jangan-jangan memang bukan rekonsiliasi macam itu yang kita perlukan. Apa yang kita perlukan sekurang-kurangnya adalah rekonsiliasi legal yang diawali dengan pencabutan TAP MPRS 1966 yang melarang pendirian partai komunis dan penyebar-luasan Marxisme-Leninisme. Namun yang lebih penting adalah rekonsiliasi politik yang memaksa tunduk para pelaku dan semua yang diuntungkan oleh pembantaian itu pada cita-cita awal dari mereka yang dibantai: perwujudan sosialisme Indonesia. Jangan-jangan cuma ini ‘permintaan maaf’ yang paling mendekati—kalau pun belum bisa dikatakan sepadan—taraf luka yang membekas di sekujur tubuh para korban dengan penyintas ’65.

Moralitas adalah yang lenyap dalam Senyap. Kita tidak dibuat sedih oleh film ini—kata ‘sedih’ terlalu lunak untuk menggambarkan apa yang mengendap di dada. Kesedihan adalah masa lalu. Kemarahan adalah hari ini dan esok. Waktu bersedih telah lewat. Jam-jam sepi kemarahan baru dimulai. Maka biarkan amarah yang tua ini jadi doa kita bersama:

 

            “Maafkan aku, O bumi yang memerah darah,
            karena aku lembek dan sopan dengan para jagal ini!
            Engkau lah puing-puing manusia paling suci
            Yang pernah hidup pada gelombang sejarah.
            Remuklah tangan yang menumpahkan darah ini!
            Di atas lukamu aku bersumpah [...]
            Kutuk akan jatuh ke lambung manusia
            Amuk massa dan perang saudara yang buas
            Akan tumpah di sekujur bumi;
            Darah dan kehancuran akan begitu sehari-hari
            Dan ngeri akan jadi karib
            Sehingga ibu-ibu akan tersenyum ketika memeluk
            Bayinya tercabik-cabik oleh perang;
            Rasa kasihan akan mampus oleh kedurjanaan harian:
            Dan hantu-hantu komunis, memekikkan kesumat,
            Dengan Maut di sisinya, mendidih dari neraka,
            Akan turun ke bumi dengan suara raja
            Berteriak ‘Petaka,’ dan melepaskan amuk perang;
            Sampai perbuatan busuk itu tercium di seluruh bumi
            Dan mayat-mayat merintih minta dikuburkan.”

                                                   —saduran bebas dari Julius Caesar, Act III, Scene I

 

5 November 2014

Tiga Tantangan Jokowi-JK di Bidang Pendidikan

$
0
0

KEMENANGAN pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam pemilu yang lalu tak dapat dilepaskan dari beberapa program terkait pendidikan yang menarik buat banyak pemilih di Indonesia. Salah satu program menarik Jokowi-JK di bidang pendidikan adalah pemberlakuan subsidi penuh atas pendidikan sampai setingkat SMA yang akan dilaksanakan melalui instrumen Kartu Indonesia Pintar. Pemberlakuan program ini akan membebaskan biaya pendidikan masyarakat secara penuh (tanpa iuran dan sumbangan apapun) pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Selain itu, program pendidikan yang juga menarik perhatian para pemilih ialah penghapusan sistem Ujian Nasional sebagai standar tunggal dan universal pengukur keberhasilan pendidikan. Ditambah dengan perumusan kurikulum baru berbasis budi pekerti dan kewarganegaraan serta peningkatan muatan riset dan teknologi pada aras pendidikan tinggi, program-program ini menerbitkan simpati warga dan karenanya punya andil dalam terpilihnya Jokowi-JK pada pemilu yang lalu.

Persoalan yang kemudian timbul adalah seberapa jauhkah Jokowi-JK mampu mewujud-nyatakan program pendidikan yang dicanangkannya pada masa kampanye tersebut. Pertanyaan pentingnya menjadi: tantangan apa saja yang harus dihadapi Jokowi-JK sehingga agenda kebijakannya terkait pendidikan bisa terlaksana? Mungkinkah Jokowi-JK menjawab rentetan tantangan tersebut berdasarkan kerangka acuan yang mereka rumuskan sejauh ini? Jika tidak, dengan strategi macam apakah tantangan-tantangan tersebut dapat dijembatani? Tantangan-tantangan dan strategi untuk mengatasinya menjadi dua pokok utama yang akan dipetakan dalam artikel ini. Namun, sebelum sampai ke situ, kita akan meringkaskan terlebih dulu agenda kebijakan Jokowi-JK tentang pendidikan.

 

Pokok-Pokok Kebijakan Pendidikan Jokowi-JK

Pertama-tama, kita perlu menilik kerangka perundang-undangan terkait pendidikan di Indonesia. Ada dua landasan hukum paling fundamental yang menjadi acuan perumusan kebijakan terkait pendidikan:

  1. Pembukaan UUD 1945: Arah tujuan nasional dari Republik Indonesia adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.
  2. UUD 1945 Pasal 31:
    1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
    2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
    3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
    4. Negara memprioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
    5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

 

Undang-Undang Dasar 1945 kita jelas mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Artinya, menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia merupakan tugas pemerintah. Dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga sudah dinyatakan bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Namun cita-cita menyelenggarakan pendidikan nasional yang merata dan bermutu ini masih berbenturan dengan kenyataan bahwa Indonesia menempati peringkat terendah dalam sistem pendidikan di dunia (menurut riset pendidikan Pearson 2012).[1] Selain itu, Indonesia juga menempati posisi rendah dalam hal budaya membaca buku (terendah di kawasan Asia Timur).[2]

Berdasarkan latar belakang konstitusional dan fakta empiris tersebut, Jokowi-JK kemudian merumuskan sejumlah misi yang terkait dengan persoalan pendidikan. Hal itu tercantum dalam dokumen Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014 (selanjutnya disingkat ‘Visi-Misi’). Visi umum Jokowi-JK adalah “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Sementara misi yang agak lebih spesifik berkenaan dengan pendidikan termuat dalam dokumen Visi-Misi, khususnya pada butir 4, 5 dan 7 sebagai berikut:

  • Butir 4: “Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.”
  • Butir 5: “Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing.”
  • Butir 7: “Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.”

 

Apabila diuraikan menjadi misi yang berkaitan langsung dengan pendidikan, maka terdapat lima misi pendidikan Jokowi-JK:

  1. Meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan.
  2. Memperluas keterjangkauan layanan pendidikan.
  3. Meningkatkan kualitas layanan pendidikan.
  4. Mewujudkan kesetaraan memperoleh layanan pendidikan.
  5. Mewujudkan tata kelola

 

Agenda kebijakan pendidikan Jokowi-JK ini juga terumuskan secara lebih eksplisit dalam ringkasan agenda pemerintahan Jokowi-JK yang disingkat sebagai Nawa Cita dan tercantum dalam dokumen Visi-Misi. Dalam ringkasan tersebut, arah kebijakan terkait pendidikan tertuang dalam butir 5, 6 dan 8:

  • Butir 5: “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ‘Indonesia Pintar’ dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan”.
  • Butir 6: “Meningkatkan produktivitas rakyat dan dayta saing di pasar internasional [dengan] membangun sejumlah Science dan Techno Park di daerah-daerah, politeknik dan SMK-SMK dengan sarana dan prasarana berteknologi maju”.
  • Butir 8: “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kurikulum pendidikan nasional”.

 

Penjabaran lebih lengkap dari agenda kebijakan pendidikan Jokowi-JK terdapat dalam rincian 31 agenda strategis yang juga termuat dalam Dokumen Visi-Misi. Penjabaran ini khususnya tertuang dalam butir 1 dari bagian “Berkepribadian dalam Bidang Kebudayaan” yang bertajuk: “Kami berkomitmen mewujudkan pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa”. Ada sepuluh program prioritas terkait pendidikan yang termuat di sini:

  1. Menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, seperti sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti. Ada 70% porsi bahan ajar tentang budi pekerti di tingkat pendidikan dasar. Penambahan bahan ajar ini tidak hanya dilakukan dalam bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), tetapi juga diwujudkan dalam praktik ajar sehari-hari di sekolah.
  2. Memperjuangkan agar biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga negara.
  3. Menghapuskan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, termasuk penghapusan Ujian Nasional (UN). Sistem Ujian Nasional mesti dihapuskan karena sangat memungkinkan terjadinya kecurangan. Oleh karena itu, kebijakan kelulusan siswa semestinya dikembalikan ke masing-masing sekolah yang bersangkutan sesuai dengan UU Sisdiknas.
  4. Mengupayakan penyusunan kurikulum yang menjaga keseimbangan antara aspek muatan lokal dan aspek nasional dalam kerangka ke-bhineka-an.
  5. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan. Termasuk juga penyediaan buku dan perpustakaan sehingga Indonesia tidak lagi tenggelam dalam ‘budaya nol buku’ atau rendahnya budaya baca.
  6. Melakukan penerimaan dan penyebaran tenaga pengajar berkualitas secara merata sehingga mempercepat kenaikan jabatan guru honorer menjadi guru tetap.
  7. Memberikan jaminan hidup yang memadai bagi para guru yang ditugaskan di daerah terpencil, melalui tambahan tunjangan, asuransi, pengembangan keilmuan serta promosi kepangkatan. Perbaikan sistem sertifikasi sehingga pencairan dana sertifikasi dapat diperoleh setiap guru secara rutin dan lebih mudah.
  8. Mewujudkan pemerataan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pembangunan sarana transportasi terkait.
  9. Memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dan menghapus segala pungutan.
  10. Mendorong terwujudnya pendidikan yang berbasis peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

Apabila sepuluh program prioritas itu hendak diperas, maka ada empat program unggulan Jokowi-JK di bidang pendidikan:

  1. Pendidikan gratis untuk rakyat
  • Pembebasan biaya dan pungutan mulai dari tingkat SD sampai SMA
  • Perluasan pemberian beasiswa mulai dari jenjang pendidikan D3 hingga S3
  1. Demokratisasi pendidikan
  • Penghapusan Ujian Nasional
  • Penyusunan kurikulum pendidikan yang seimbang antara muatan lokal dan nasional
  1. Pendidikan berkebudayaan
  • Pengutamaan pada pendidikan budi pekerti (70%) pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan praktis-politeknik (60%) pada tingkat pendidikan tinggi
  • Pelengkapan sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi
  1. Penyejahteraan guru
  • Peningkatan tunjangan bagi guru di daerah terpencil
  • Pemerataan rekrutmen dan distribusi guru
  • Penguatan profesi guru dengan pengembangan kompetensi

 

Akhirnya, keseluruhan visi, misi dan program aksi Jokowi-JK terkait pendidikan dapat dirangkum secara diagramatik. Keterkaitan antara visi, misi dan seluruh program Jokowi-JK terkait pendidikan dapat dijabarkan melalui diagram berikut.

 

logika

Berdasarkan ringkasan pokok-pokok kebijakan Jokowi-JK terkait pendidikan ini, kita dapat menggali sejumlah tantangan yang inheren dalam implementasinya. Kita akan membatasi diri pada tiga bentuk tantangan saja, yakni terkait subsidi, kurikulum budi pekerti dan demokratisasi standar pendidikan nasional.

 

Tantangan Subsidi Pendidikan

Jokowi-JK menjanjikan pemberlakuan subsidi pendidikan yang komprehensif (bebas pungutan apapun) dan universal (mencakup seluruh kelompok sosial di semua daerah). Namun skema subsidi semacam itu sudah diperlakukan sejak Orde Baru, kendati pada rentang pendidikan yang lebih sempit. Pada kesempatan perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 1984, Suharto, sebagai presiden kala itu, mencanangkan pemberlakuan program Wajib Belajar 9 Tahun yang meliputi jenjang pendidikan SD hingga SMP. Program serupa juga terus diberlakukan hingga era Reformasi dan sampai dengan hari ini. Namun, dari segi kemenyeluruhan dan keuniversalan, program itu amatlah terbatas. Program tersebut, misalnya, tidak betul-betul membebaskan biaya pendidikan secara menyeluruh. Orang tua murid tetap harus membayar biaya buku-buku pelajaran, iuran kegiatan ekstra-kurikuler dan sebagian mesti membayar uang gedung, biarpun sudah dipotong subsidi. Selain itu, program Wajib Belajar semacam ini juga tidak mencakup seluruh sekolah di berbagai provinsi.

Keterbatasan skema subsidi pendidikan yang ada selama ini dapat kita tinjau dampaknya pada tingkat partisipasi sekolah yang aktual di Indonesia dan sebarannya di berbagai provinsi. Asumsi yang akan kita gunakan di sini adalah bahwa skema subsidi pendidikan yang komprehensif dan universal mesti mencakup juga semua prasyarat partisipasi sekolah peserta didik. Artinya, rendahnya partisipasi mesti dipandang sebagai fenomena dari kegagalan dalam ciri komprehensif dan/atau universal skema subsidi terkait. Melalui survei BPS mengenai indikator pendidikan 2013, kita memperoleh gambaran tentang tingkat partisipasi sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan dan rentang usia yang ditargetkan dalam program Wajib Belajar. Kita akan berpatokan pada Angka Partisipasi Murni (APM) yang diperoleh sebagai rasio jumlah murid yang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan rentang usianya terhadap jumlah penduduk pada rentang usia terkait. Berikut adalah APM dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi dalam lima tahun terakhir.

 

Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Formal, 2009-2013

logika1Sumber: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=1. Diunduh 4 September 2014.

 

Melalui data ini, kita memperoleh gambaran bagaimana partisipasi murni pada jenjang SMP masih jauh dari partisipasi di jenjang SD dengan selisih sebesar 21,91 persen. Hal lain yang menarik adalah penurunan partisipasi murni pada jenjang SD dari tahun 2010 ke 2011 sebesar 3,77 persen. Dua fakta ini menunjukkan bahwa program Wajib Belajar tidak mewujudkan hasil yang optimal. Betul bahwa tingkat kemenyeluruhan kebijakan subsidi pendidikan dalam skema Wajib Belajar 9 Tahun tidak sepenuhnya dicerminkan oleh APM. Kendati begitu, APM tetap merupakan salah satu indikator penting untuk mengevaluasi ciri komprehensif program Wajib Belajar yang memang menyasar partisipasi pada jenjang pendidikan terkait rentang usia. Maka, berdasarkan asumsi yang telah disebut di muka, data APM ini menunjukkan kurang komprehensifnya skema subsidi pendidikan yang berlaku.

Keterbatasan skema subsidi pendidikan yang ada juga bisa ditinjau secara empiris dari segi universalitasnya. Tinjauan ini dapat didasarkan pada data APM per provinsi yang dihasilkan oleh BPS.

APM Pendidikan Formal per Provinsi, 2013

logika2Sumber: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=6. Diunduh pada 4 September 2014.

 

Melalui data ini, kita dapat merekonstruksi selisih APM yang tertinggi dan terendah antar provinsi di setiap jenjang pendidikan. Hasilnya adalah sebagai berikut:

  • Selisih APM SD: 98,72 (DI Yogyakarta) – 72,90 (Papua) = 25,82%
  • Selisih APM SMP: 82,59 (Kepri) – 45,88 (Papua) = 36,71%
  • Selisih APM SMA: 67,10 (Bali) – 36,53 (Papua) = 30,57%

 

Dari selisih ini kita melihat bahwa tingkat selisih APM tertinggi justru terdapat pada jenjang pendidikan yang merupakan sasaran dari program Wajib Belajar 9 Tahun, yakni pada jenjang SMP dengan selisih sebesar 36,71 persen. Hal ini menunjukkan dengan cara yang amat gamblang bagaimana skema subsidi pendidikan yang ada belum benar-benar universal cakupannya. Sebab, berdasarkan asumsi kita, skema subsidi pendidikan yang komprehensif dan universal mesti mencakup juga semua prasyarat partisipasi sekolah peserta didik, sehingga besarnya selisih APM SMP menunjukkan kekurang-universalan skema subsidi yang berlaku.

Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan agenda kebijakan pendidikan Jokowi-JK dan kenyataan partisipasi sekolah di Indonesia, maka tantangan agenda subsidi pendidikan Jokowi-JK terletak pada persoalan universalitas dan kemenyeluruhan skema subsidi yang akan diterapkan. Seberapa jauhkah Jokowi-JK akan mendorong realisasi Kartu Indonesia Pintar hingga betul-betul berciri komprehensif dan universal—itulah tantangan utama pemerintahan Jokowi-JK dalam hal subsidi pendidikan.

 

Tantangan Kurikulum Budi Pekerti dan Kewarganegaraan

Dari segi kurikulum, Jokowi-JK menawarkan penekanan pada pendidikan karakter lewat pelajaran budi pekerti dan kewarganegaraan. Kedua elemen pembelajaran itu akan meresapi keseluruhan kurikulum pendidikan dasar hingga menengah. Dalam dokumen Visi-Misi dinyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki porsi tak kurang dari 70 persen dari total materi yang diajarkan dari SD hingga SMA. Seperti halnya kebijakan subsidi pendidikan, penekanan pada pendidikan karakter juga bukan hal baru dalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia. Kita dapat mempelajari riwayat perubahan paradigma penyusunan kurikulum, distribusi mata pelajaran (mapel) dan peran pendidikan karakter di dalamnya melalui tabel yang disarikan dari materi Dikti berikut.

 

Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia, 1947-2013

 

logikaDisarikan dari: http://pjjpgsd.dikti.go.id/mod/resource/view.php?id=26&subdir=/Revisi_Bahan_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD. Diunduh pada 5 September 2014.

 

Dalam tabel di muka, dapat kita saksikan bahwa penekanan pada pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia. Paradigma seperti itu bahkan sudah muncul sejak disahkannya kurikulum pertama Republik Indonesia di tahun 1947. Dapat kita amati bahwa memang terdapat tren penurunan dalam penekanan character building itu sejak jatuhnya Sukarno dan naiknya Orde Baru. Konsolidasi rezim Orde Baru menghasilkan dua dampak pada kurikulum pendidikan nasional: penekanan pada pendidikan kognitif alih-alih karakter dan penciutan atas pendidikan karakter pada pendidikan moral Pancasila yang sarat ideologi Orde Baru. Tren menguatnya penekanan pada pendidikan karakter kita jumpai kembali pada era Reformasi, yakni sejak Kurikulum 2004. Namun fokus pada character building ini cenderung ke arah distopia dalam Kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013, sikap dan penghayatan religius siswa dimasukkan sebagai bagian dari komponen penilaian. Artinya, siswa yang luar biasa pandai dalam mata pelajaran fisika tetapi kurang menghayati agama, bisa saja dinyatakan tidak tuntas dalam mata pelajaran fisika.

Tantangan kebijakan pendidikan Jokowi-JK di aras kurikulum bersumber dari pengalaman penerapan kurikulum yang ada sejauh ini. Ringkasnya, apa yang mesti dilakukan pemerintahan Jokowi-JK ialah mewujudkan sintesis baru antara pendidikan karakter dan kognitif. Dalam hal ini, ada dua kecenderungan historis yang berlawanan secara diametral dan keduanya mesti dielakkan:

  • Kecenderungan pedagogi Orba yang berpusat pada aspek teknis-kognitif dan menciutkan permasalahan karakter pada ideologi Pancasila yang telah difabrikasi oleh rezim Suharto.
  • Kecenderungan pedagogi ultra-moralis khas Reformasi, khususnya Kurikulum 2013, yang berpusat pada pendidikan karakter yang telah diciutkan menjadi perkara agama dan dipaksakan secara tidak selaras sebagai kriteria evaluasi mapel-mapel yang sebetulnya tak berhubungan dengan agama.

 

Keduanya hanya dapat dihindarkan apabila pemerintahan Jokowi-JK berhasil merumuskan kembali gagasan tentang pendidikan karakter secara lebih selaras dengan pendidikan kognitif.

Salah satu solusi penyelerasan itu ialah penggunaan bingkai pendidikan humaniora. Di sini, ide tentang pendidikan karakter mesti dikontekskan ke dalam materi yang memang dipelajari di sekolah. Salah satu mapel yang paling cocok untuk menyemai fondasi karakter adalah mapel-mapel bahasa. Apabila pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris (serta bahasa-bahasa daerah dan asing lain yang diajarkan) dapat dirombak dengan memberikan porsi yang amat besar pada kesusastraan, maka hal itu akan menjadi ladang persemaian karakter yang selaras dengan alur pengajaran di sekolah. Dengan mempelajari karya-karya sastra, baik lokal maupun dunia, para siswa akan digerakkan dari dalam hatinya sendiri untuk mengambil sikap dan mengasah intuisi etisnya. Friedrich Schiller mengatakan, dalam Letters on the Aesthetic Education of Mankind (1794), bahwa pendidikan estetis adalah kunci bagi kebijaksanaan dan kemawasan di setiap cabang kehidupan, termasuk politik. Jadi solusi atas dilema pendidikan karakter dalam kurikulum kita ialah perluasan mapel bahasa menjadi mapel kesusastraan dan penambahan alokasi waktu bagi mapel kesusastraan tersebut. Jika Jokowi-JK berkomitmen untuk menjadikan pendidikan budi pekerti menempati porsi 70 persen dari materi pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah, maka hal itu dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam pendidikan kesusastraan. Solusi di muka mesti dibarengi dengan transformasi daya kognitif agar tak berhenti sebatas pemerolehan pengetahuan teknis-instrumental, tetapi juga kritis-reflektif. Hal ini dapat dilakukan dengan pelajaran filsafat di jenjang menengah, seperti halnya diberlakukan dalam lembaga pendidikan menengah atas di Jerman (Gymnasium) dan Prancis (lycée). Pelajaran filsafat akan mengolah intuisi etis yang telah terasah dalam pendidikan kesusastraan sejak SD dan membuat siswa mampu mengartikulasikan sikapnya secara kritis dan sistematis melalui argumen yang masuk akal dan dapat diperdebatkan. Singkatnya, kunci dari dikotomi antara pendidikan karakter dan kognitif terletak pada perluasan pengajaran sastra di tingkat SD dan pengajaran filsafat di tingkat SMA.

 

Tantangan Demokratisasi Standar Pendidikan Nasional

Tolok ukur penilaian pendidikan kita selama ini sudah mengalami penyeragaman, seakan-akan tingkat kecerdasan siswa di kota besar dan pelosok Nusantara dapat diukur berdasarkan satu standar yang sama. Contoh paling terang dari penyeragaman itu ialah diberlakukannya sistem Ujian Nasional yang seragam di seluruh Indonesia. Penyeragaman semacam ini mengabaikan perbedaan konteks pendidikan murid di tiap daerah. Padahal belum tentu sarana pendidikan yang sama terpenuhi di setiap tempat secara setara. Terjadi uneven development dalam praktik pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Angka Partisipasi Murni antar provinsi yang sudah dibahas tadi merupakan salah satu ilustrasinya. Jokowi-JK melihat bahwa hal ini keliru. Tidak semestinya masyarakat Indonesia yang berbeda-beda situasinya itu diharuskan menjalani proses pendidikan yang sama persis. Untuk itu, Jokowi-JK akan memberikan ruang kemerdekaan yang lebih luas bagi sekolah di tiap daerah untuk mengembangkan sistem pengajarannya. Materi yang berasal dari muatan lokal dan nasional akan diberikan porsi yang seimbang. Sistem Ujian Nasional yang seragam akan dihapuskan dan digantikan dengan sistem penilaian yang lebih demokratis, yang memerdekakan setiap sekolah untuk merancang mekanisme penilaiannya dalam dialog yang setara dengan kementrian pendidikan dan kebudayaan.

Namun penghapusan Ujian Nasional menghadirkan tantangan tersendiri. Wacana soal ini tidak hanya beredar dalam kampanye Jokowi-JK. Komisi X DPR juga sudah memulai pembicaraan tentang kemungkinan penghapusan Ujian Nasional di tingkat SD dan SMP.[3] Namun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempersoalkan lenyapnya standar pendidikan di Indonesia apabila sistem Ujian Nasional dihapuskan.[4] Gugatan soal standar pendidikan ini menjadi argumen umum yang lazim dilontarkan untuk menolak penghapusan Ujian Nasional. Dalam Peraturan Menteri No. 20 Tahun 2007 memang dinyatakan bahwa salah satu fungsi Ujian Nasional adalah sebagai instrumen untuk menilai pencapaian pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Artinya, tantangan kebijakan penghapusan Ujian Nasional adalah menyediakan standar pengganti yang lebih sesuai. Kita tak mungkin menolak ide tentang standar pendidikan sebab standar semacam itu perlu untuk mengukur capaian proses belajar-mengajar dan sebagai alat bantu untuk menyesuaikan proses pendidikan agar tercapai target yang diinginkan. Apa yang mungkin ditolak ialah cakupan nasional dari Ujian Nasional tersebut, sebab di situlah letak akar permasalahannya. Uneven development dalam praktik pendidikan di tiap daerah memustahilkan penggunaan standar yang efektif dan universal dalam mengukur capaian pendidikan. Jadi standarisasi pendidikan tetap perlu dilakukan, tetapi tidak pada aras nasional, melainkan disesuaikan dengan kondisi konkrit di daerah. Apa yang kita perlukan bukanlah Ujian Nasional melainkan Ujian Daerah. Ini adalah salah satu solusi yang mungkin untuk menjembatani tuntutan penghapusan Ujian Nasional dan tuntutan bagi adanya standar pendidikan.

 ***

Dengan demikian, terdapat tiga tantangan besar terhadap perwujudan kebijakan Jokowi-JK terkait pendidikan:

  1. Tantangan subsidi pendidikan
  2. Tantangan pendidikan budi pekerti dan kewarganegaraan
  3. Tantangan demokratisasi standar pendidikan nasional

 

Secara lebih konkrit, ketiga tantangan tersebut dapat diuraikan ke dalam rumusan yang sekaligus menyimpan solusi terhadapnya.

  1. Rendahnya Angka Partisipasi Murni pendidikan formal dan tidak meratanya angka tersebut antar provinsi menunjukkan bahwa skema subsidi pendidikan mesti berwatak komprehensif (pembebasan semua biaya) sekaligus universal (mencakup semua warga negara).
  2. Terbentangnya jurang antara pendidikan karakter dan kognitif dapat dijembatani lewat pendidikan kesusastraan di tingkat SD hingga SMA dan filsafat di tingkat SMA. Hanya dengan cara itulah poros ekstrem antara ultra-moralisme Kurikulum 2013 dan pedagogi teknis-ideologis Orde Baru dapat dihindarkan.
  3. Penghapusan Ujian Nasional tidak boleh disertai dengan penghapusan standar pendidikan apapun, melainkan mesti ditransformasi ke dalam Ujian Daerah yang mengakomodasi kondisi uneven development pendidikan di tiap daerah.

 

Ketiga tantangan inilah yang mengemuka di hadapan Jokowi-JK. Solusi atas ketiganya sudah terkandung di dalam permasalahan itu sendiri. Tak ada hambatan teknis apapun yang dapat menghalangi Jokowi-JK mengambil ketiga solusi tersebut. Republik ini tidak kekurangan suatu apapun untuk menempuh jalan keluar itu. Yang menentukan hanyalah perkara konsistensi pilihan politik Jokowi-JK pada revolusi mental.***

———

[1] Lih. http://thelearningcurve.pearson.com/reports/the-learning-curve-report-2012/towards-an-index-of-education-outputs. Bdk. laporan Kompas: http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia. Diunduh pada 4 September 2014.

[2] http://oase.kompas.com/read/2009/06/18/02590466/budaya.baca.indonesia.terendah.di.asia.timur. Diunduh pada 4 September 2014.

[3] http://www.antaranews.com/berita/432746/dpr-akan-wacanakan-penghapusan-un-sd-dan-smp. Diunduh pada 5 September 2014.

[4] Lih. http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/22/3/148631/Kemendikbud-Tolak-Penghapusan-UN- & http://harnas.co/2014/06/23/kemendikbud-penghapusan-un-perlu-dikaji-ulang. Diunduh pada 5 September 2014.

Viewing all 163 articles
Browse latest View live