Quantcast
Channel: Logika – IndoPROGRESS
Viewing all 163 articles
Browse latest View live

Mikroskop Ekonomi-Politik

$
0
0

DI TILIK dari tingkatan praktisnya, ekonomi-politik Marxian dan ilmu-ilmu sosial secara umum kerap menghadapi kesulitan memantapkan dirinya sebagai sumber otoritas terbaik atas kebijakan-kebijakan sosial. Mereka kalah bersaing, misalnya, dengan otoritas politisi cum pemenang tender untuk menetapkan tata ruang kota yang sehat menurut perspektifnya. Sejarah pemikiran mencatat hal ini berakar dari watak objek kajian ilmu-ilmu sosial itu sendiri, yang tak lain adalah masyarakat manusia. Sukar rasanya bicara soal objektivitas dalam ilmu sosial bila mengingat bahwa seorang ilmuwan sosial juga adalah bagian, dibentuk, serta ikut membentuk objek penelitiannya sendiri.

Sebab kedua muncul dari watak sosial dan historis masyarakat. Berlainan dengan koleganya di cabang ilmu-ilmu alam, para pengkaji masyarakat manusia kesulitan melakukan proses pabrikasi eksperimen secara aktual pada objek kajiannya. Padahal, seperti yang diperlihatkan ilmu alam, proses ini penting untuk menciptakan serta menguji prakondisi-prakondisi apa saja yang diduga menyebabkan lahirnya satu fenomena. Tanpa pabrikasi kondisi eksperimental, masyarakat akan lebih sering menampak pada kita sebagai centang-perenang antar gejala yang tak pernah jelas sebab-musabab dan kesalinghubungannya. Khusus mengenai ketiadaan alat bantu berupa ‘laboratorium sosial’ ini, menarik menengok apa yang Marx lakukan untuk siasat menemukan esensi komoditas dalam kajian ekonomi-politik;

“[…]…keseluruhan tubuh lebih mudah dipelajari ketimbang sel-selnya. Terlebih lagi, dalam analisis atas bentuk-bentuk ekonomis, mikroskop ataupun pelarut kimia sama-sama tidak membantu. Kekuatan abstraksi mesti menggantikan keduanya. Akan tetapi, bagi masyarakat borjuis, bentuk-komoditas dari produk kerja, atau bentuk-nilai komoditas, merupakan bentuk-sel ekonomisnya. Bagi pengamat yang dangkal, analisis atas bentuk-bentuk ini tampak berurusan dengan detail-detail yang begitu kecil. Analisis tersebut faktanya memang berurusan dengan detail-detail kecil, sebagaimana apa yang dilakukan kajian anatomi mikroskopis.” (Marx, 1990: 90).

Tidak ada mikroskop yang dapat membantu mengamati pengambilan nilai-lebih, dan tidak ada larutan kimia yang dapat dipakai untuk memicu reaksi kesadaran kelas dalam ekonomi-politik. Apa yang kita warisi dari sejarah panjang ilmu ialah kekuatan abstraksi. Pengertian abstraksi (aphairesis/aphairein) mengacu pada proses mental/pemikiran untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak esensial dalam fenomena—hal-hal yang tanpa kehadirannya, tidak akan mengurangi pemahaman kita atas fenomena, melainkan justru akan menampilkan esensi fenomena dalam bentuk terdasarnya. Lenin dalam Philosophical Notebooks di satu sisi menulis bahwa semua abstraksi ilmiah yang tepat akan membawa pemikiran menangkap alam secara lebih dalam, lebih benar, dan lebih utuh. Namun di sisi lain, ia juga mewanti-wanti bahwa laku abstraksi, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana, adalah sarang idealisme. Ini yang ia jumpai pada Hegel ketika hasil dari abstraksi (konsep dan gagasan) diubah menjadi substansi dan prinsip penggerak realitas. Marx sendiri berkali-kali memperagakan proses abstraksi dalam karyanya. Tulisan ini akan memeriksa sendiri beberapa proses abstraksi yang Marx lakukan dalam dua sub-bagian pertama Bab Komoditas dalam Kapital.

Komoditas, kita tahu, adalah sebuah benda berguna (useful article). Ia dapat dibedakan satu sama lain persis dari watak kualitatif-nya. Sepasang sepatu dan segalon air mineral misalnya, memiliki perbedaan kegunaan satu sama lain sebab yang satu memiliki kualitas sebagai alas kaki dan yang lain sebagai pemuas dahaga. Kegunaan dari komoditas ini, memang bergantung pada konteks historis-kultural masyarakat, namun kendati begitu, konteks sosio-historis penggunaan komoditas pada akhirnya dikondisikan oleh sifat-sifat fisik dari komoditas itu sendiri. Segalon air mineral, dalam konteks historis-kultural masyarakat yang tidak kekurangan air minum bersih misalnya, bisa saja berguna sebagai sumber air untuk menyiram tanaman, sumber air wudlu, untuk mandi, atau justru digunakan sebagai alat perkusi; namun kegunaan segalon air mineral yang sama tidak akan dapat berguna sebagai alas kaki sejauh air dan galon yang menyusun material dari air galon mineral belum dapat dibentuk sebagai sendal atau sepatu.

Ketika sepasang sepatu dan segalon air mineral yang sama dipertukarakan entah dalam bentuk proporsi satu sama lain (sepasang sepatu = 4 galon air mineral) atau dalam bentuk moneternya (sepasang sepatu = Rp. 100.000,-) komoditas diukur bukan lagi berdasar pada aspek kualitatif, melainkan aspek kuantitatif-nya. Mengapa harus kuantitatif? Karena kuantitas adalah aspek benda yang melaluinya komoditas dapat diukur dan disetarakan. Kita tidak bisa mengukur dan menyetarakan kualitas-kualitas; ‘kenyamanan’ tidak dapat diseukurkan, disetarakan, dengan ‘kesegaran’ ataupun ‘keindahan’ misalnya. Pertukaran tidak terjadi dalam kerangka kualitatif. Artinya, dalam pertukaran, komoditas tidak lagi dilihat dari bentuk-bentuk, sifat berguna, dan penyusun materialnya. Pertanyaannya bukan lagi apa kegunaan atau bagaimana cara membikin komoditas. Pertanyaan yang kita ajukan dalam setiap pertukaran komoditas ialah berapa banyak kuantitas yang mesti kita berikan untuk mendapatkan komoditas tersebut; berapa banyak proporsinya dengan komoditas yang kita miliki (dalam bentuk pertukaran sederhana) atau berapa banyak uang yang mesti kita berikan (dalam transaksi di Alfamart). Persoalan penentuan proporsi dan harga—soal keseukuran—dalam pertukaran komoditas inilah yang kemudian membelah ilmu ekonomi ke dalam dua kutub besar, teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas. Marx, seperti yang kita tahu berada di kutub pertama lewat penemuan konsep kerja abstrak (abstract labour) sebagai tanggapan atas konsep kerja yang menubuh (embodied labour) Ricardo. Mari kita lihat bagaimana Marx sampai pada konsep ini lewat kalimat yang saya kutip agak panjang berikut:

“Kalau kita abaikan nilai-guna komoditas, hanya satu sifat yang tersisa, yakni sifat sebagai produk kerja…Apabila kita abstraksikan komoditas itu dari nilai-gunanya, kita juga abstraksikannya dari konstituen material dan bentuk yang membentuknya jadi suatu nilai-guna. Komoditas itu bukan lagi sebuah meja, rumah, gulungan benang, atau benda berguna apapun. Segenap ciri indrawinya telah dilenyapkan. Tidak juga komoditas itu adalah produk kerja sang tukang kayu, tukang bangunan, penenun, atau jenis kerja produktif apapun. Dengan lenyapnya watak berguna dari produk kerja, watak berguna dari jenis kerja yang menubuh di dalamnya juga lenyap. Hal ini pada gilirannya, mengakibatkan lenyapnya perbedaan di antara bentuk-bentuk konkrit kerja. Kerja-kerja itu tak lagi bisa dibedakan, semuanya direduksi ke satu jenis kerja yang sama: kerja manusia secara abstrak” (Marx, 1990: 128).

Apabila dalam proses pertukaran komoditas, sifatnya sebagai benda berguna (kualitatif) disingkirkan untuk memberi jalan pada aspek kuantitatifnya—agar proporsi antar komoditas dimungkinkan—maka dalam analisis atas proses produksi komoditas, kerja yang membentuk aspek kualitatif komoditas juga mesti dikesampingkan agar kerja yang membentuk aspek kuantitatif komoditas dapat menjelaskan nilai-tukar (exchange-value) antar komoditas. Nilai-tukar harus diingat sebagai bentuk penampakan (form of appearance) nilai (value) dalam pertukaran. Oleh karena itu, kerja yang menyusun nilai-tukar tak lain adalah kerja yang mengkonstitusikan nilai. Watak ganda kerja yang menubuh dalam komoditas inilah yang hadir dalam bentuk kerja berguna/kerja konkret (concrete labour) dan kerja abstrak (abstract labour).

Sampai di sini, proses abstraksi adalah proses penyisihan aspek-aspek kualitatif dari komoditas (nilai-guna) dan kerja (kerja konkret). Keduanya tidak lagi dibedakan lewat aspek kualitatifnya, malah justru disetarakan lewat aspek kuantitatif. Ada dua hal yang perlu dijernihkan di sini. Pertama, apakah dengan menjelaskan watak ganda ini artinya Marx hendak mengatakan bahwa hanya ada dua jenis kerja ini yang menjadi pembentuk komoditas secara aktual? Hemat saya, tidak. Yang hendak ia jelaskan dari watak ganda ini ialah mirip seperti apa yang terjadi dalam proses pertukaran; aspek kualitatif (kerja-konkret) mesti direduksi ke yang kuantitatif (kerja-abstrak) untuk menemukan sarana pengukur nilai komoditas. Yang kualitatif dikondisikan dan justru hanya bisa dijelaskan lewat yang kuantitatif. Kedua, mengapa hanya kerja abstrak yang dapat digunakan sebagai sarana pengukur nilai? Jawabnya karena kerja abstrak dimengerti Marx sebagai pencurahan sejumlah kerja manusia yang homogen (yaitu dari tenaga-kerja) terlepas dari bentuk pencurahannya. Konsep tenaga-kerja (labour-power) ini penting karena dalam kapitalisme yang dijual pekerja-upahan bukan ‘kerja’-nya, bukan juga hasil kerja-nya, melainkan hanya ‘kapasitas kerja’-nya atau tenaga-kerja nya saja yang mewujud dalam bentuk waktu kerja. Lewat penjualan tenaga-kerja dalam bentuk waktu kerja ini, maka kerja manusia secara umum dapat dihomogenisasi, dapat dirata-rata secara sosial. Dari pengertian watak ganda kerja yang menubuh dalam komoditas ini maka Marx menalar bentuk-bentuk kerja konkret seperti menulis, menjahit, atau menyablon lewat bentuk kerja abstraknya, yakni unit rata-rata waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial (social necessary labour time). Seorang pekerja yang malas karena itu tidak menambah nilai ke dalam komoditas hanya karena kerjanya yang lambat. Sedangkan suatu kerja berkeahlian (memiliki kualitas tinggi) juga dapat direduksi pada waktu kerja sosial sejauh kerja berkeahlian dipandang sebagai kerja-kerja sederhana yang mengalami intensifikasi dan multifikasi terus-menerus.

Proses abstraksi Marx atas komoditas menangkap esensi dengan cara membuka adanya dua aspek dari komoditas sebagai jalan masuk untuk watak ganda kerja yang mengkreasikannya. Baik komoditas maupun kerja yang menciptakannya dipilah Marx ke dalam kategori kualitatif dan kuantitatif. Dalam menganalisis aspek kualitatif-kuantiatif komoditas dan kerja ini, Marx selalu menyisihkan aspek kualitatif untuk menemukan, lalu menyandarkan analisis pada aspek kuantitatif-nya. Apakah dengan melakukan abstraksi Marx kemudian berpulang ke Hegel? Yang menarik dari segala demonstrasi proses abstraksi Marx atas komoditas ialah bahwa abstraksi atas komoditas bukan sesuatu yang berjalan dalam penalaran sang peneliti saja, yakni Marx, melainkan juga proses abstraksi yang sungguh terjadi dalam masyarakat sipil—proses abstraksi ini justru dimungkinkan oleh bentuk ekonomis masyarakat kapitalis dan apa yang Marx lakukan hanyalah membawa abstraksi fisik ini ke semesta mental. Ini yang terlihat dari penyisihan nilai-guna dalam pertukaran komoditas dan pengesampingan atas kualitas-kualitas kerja dalam proses produksi komoditas; dalam pertukaran apa yang menjadi patokan adalah nilai-tukar (atau harga, dalam bentuk moneternya), sedang dalam proses produksi komoditas dipatok lewat waktu-kerja rata-rata sosialnya (delapan jam misalnya). Ini berarti kategori-kategori ekonomis yang Marx telurkan dalam proses abstraksi komoditas tidak berlaku di sepanjang zaman, ia terbatas pada objek kajiannya saja, yakni cara produksi kapitalis. Secara historis, munculnya kategori kerja abstrak hanya dimungkinkan lewat terciptanya kerja-upahan hasil dari separasi produsen dan sarana produksinya, serta berkembangnya teknologi produksi yang mampu menghasilkan komoditas jauh lebih cepat dibanding perkembangan teknologi pra-kapitalis.***


Marx versus Zombie

$
0
0

KALI ini kita akan bicara tentang zombie, khususnya tentang zombie dalam Marxisme, dan tantangan yang ditimbulkannya. Zombie yang kita maksud bukanlah “zombie supernatural” seperti dalam film cult classic Night of the Living Dead, gim Plant versus Zombies ataupun lagu Bela Lugosi’s Dead besutan Bauhaus. Zombie yang dimaksud juga bukan “zombie biologis” yang digambarkan sebagai para pengidap virus misterius dalam film World War Z dan telenovela The Walking Dead. Yang kita maksud adalah suatu “zombie filosofis” atau zombie sebagai konsep dalam filsafat akal budi (philosophy of mind).

Ancaman zombie telah lama terbit di cakrawala. Kurang lebih sejak paruh kedua dekade 1990-an. Saya sebut “ancaman” karena keberadaan zombie memang sedikit demi sedikit menggerogoti fondasi filosofis Marxisme—filsafat materialisme. Pangkal soalnya adalah ini: keberadaan zombie membuat materialisme jadi tak mungkin dan bersama dengan itu juga seluruh school of thought yang mendasarkan diri pada materialisme, termasuk Marxisme. Celakanya, sebatas yang saya ketahui, belum ada respon dari kalangan Marxis. Maklum, zombie ini hanya kita temukan dalam relung-relung gelap perdebatan filsafat Analitik kontemporer. Tapi hanya soal waktu sebelum akhirnya zombie ini dilepas ke alam pemikiran secara umum. Kaum Marxis mesti bersiap untuk outbreak itu.

***

Marilah kita tinggalkan drama dan mulai berpikir tenang. “Ancaman zombie” pada intinya adalah sehimpun hipotesis yang diajukan oleh seorang profesor filsafat akal budi paling cemerlang dewasa ini sekaligus vokalis band Zombie Blues, David Chalmers. Pada tahun 1996, profesor yang mirip Steve Harris Iron Maiden ini menerbitkan buku berjudul The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Di dalamnya, ia merumuskan apa yang disebut sebagai zombie dalam pengertian filosofis. Berangkat dari riset-riset filsafat akal budi dan neurosains sejak era 1970-an (antara lain artikel Thomas Nagel, What is it like to be a bat?), Chalmers mengartikan zombie sebagai entitas yang secara fisik identik dengan manusia tetapi tak memiliki apa yang disebut qualia atau “kesadaran fenomenal”. Qualia adalah segi subjektif dari pengalaman. Manusia dan robot sama-sama bisa memecahkan batu dengan martil. Tapi hanya manusia yang tahu “seperti apa rasanya” (what is it like) memecahkan batu dengan martil. Dengan kata lain, hanya dalam manusia dan binatang lah segi subjektif pengalaman itu ada. Zombie, dalam konstruksi Chalmers dan para filsuf akal budi, adalah makhluk seperti kita tetapi minus segi what is it like itu. Zombie bisa seakan-akan “merasa” sedih, padahal sebetulnya ia hanya memproses fakta yang ia terima dan menerapkan kategori umum tentang “kesedihan” padanya. Ia bisa mengkategorikan dirinya sebagai “sedang sedih” tanpa betul-betul merasakan kesedihan.

Soalnya tak berhenti sampai situ. Bermodalkan definisi zombie di muka, Chalmers mengajukan serangkaian salvo teoretis yang kemudian dikenal sebagai Argumen Zombie yang fungsinya adalah untuk menolak materialisme (atau apa yang dalam tradisi Analitik disebut “fisikalisme”). Intinya adalah ini:

  1. Jika keberadaan zombie mungkin secara epistemologis, maka keberadaannya mungkin secara metafisis
  2. Jika keberadaan zombie mungkin secara metafisis, maka fisikalisme keliru
  3. Keberadaan zombie mungkin secara epistemologis
  4. Maka, materialisme keliru

Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi sebelum kita bisa mengapresiasi keindahan argumen ini. Yang pertama adalah konstruksi Chalmers tentang materialisme. Menurut konvensi di kalangan filsuf Analitik kontemporer, materialisme atau fisikalisme merupakan pandangan bahwa sifat-sifat fisik meniscayakan sifat-sifat mental. Yang dimaksud “sifat fisik” adalah sifat seperti memiliki massa sekian, gaya sekian, energi sekian, dan seterusnya. Intinya, sifat-sifat yang diteliti dalam ilmu fisika (dan ilmu-ilmu alam yang bertumpu padanya). Sementara “sifat mental” adalah sifat seperti sedih, gembira, jeri, dan sifat-sifat psikologis lainnya. Dengan kata lain, materialisme menyatakan bahwa sifat-sifat mental dapat sepenuhnya direduksi ke sifat-sifat fisik. Hal ini berlaku baik secara ontologis (seluruh sifat mental dapat disusun dari variasi sifat fisik) maupun epistemologis (seluruh kategori mental dapat dijelaskan kembali hanya dengan menggunakan kategori fisik).

Hal kedua yang perlu diklarifikasi adalah hubungan antara kemungkinan epistemologis dan kemungkinan metafisis. Ini berkenaan dengan logika modal (modal logic), suatu cabang ilmu logika kontemporer yang membahas tentang nilai kebenaran dari proposisi-proposisi tentang kemungkinan dan keniscayaan. Kita berangkat dari definisi-definisi dasar:

  • Kemungkinan epistemologis (modalitas epistemis) berkenaan dengan segala bentuk proposisi yang dapat dipikirkan tanpa menyertakan suatu kontradiksi logis.

Contoh: “gajah bisa terbang”, “H2O adalah racun bagi tubuh manusia”.

  • Kemungkinan metafisis (modalitas metafisis) berkenaan dengan segala bentuk variasi keadaan (state of affairs) yang mungkin secara logis.

Contoh: gajah bisa terbang, H2O adalah racun bagi tubuh manusia.

 

Mudahnya, perbedaan antara kedua jenis kemungkinan itu adalah perbedaan antara sesuatu yang “dapat dipikirkan” dan “mungkin ada”. Kekuatan dan keindahan argumen Chalmers berpijak pada hubungan yang ia postulatkan antara kedua jenis kemungkinan itu. Kunci bekerjanya Argumen Zombie terletak pada anggapan bahwa apa yang dapat dipikirkan itu mungkin ada. Dengan kata lain, ada terowongan yang menghubungkan modalitas epistemis ke modalitas metafisis. Karena kita dapat memikirkan gajah yang bisa terbang, maka gajah yang bisa terbang itu mungkin ada. Terowongan ini juga berlaku secara negatif, yakni untuk membuktikan ketakmungkinan adanya sesuatu berdasarkan ketakmungkinan sesuatu itu untuk dirumuskan secara logis. Karena kita tidak dapat memikirkan persegi yang bulat, maka persegi yang bulat tidak mungkin ada.

Argumen Zombie berangkat dari terowongan semacam itu. Jelas bahwa zombie itu mungkin dipikirkan. “Entitas yang secara fisik identik dengan manusia tetapi tak memiliki kesadaran subjektif” bukanlah proposisi yang menyalahi hukum logika. Tak ada yang kontradiktif dengan proposisi itu, sama halnya seperti proposisi “gajah bisa terbang”. Artinya, zombie dapat dipikirkan. Di sini lah terowongan itu dipakai Chalmers: karena zombie dapat dipikirkan, maka zombie mungkin ada. Berikutnya salvo kedua Chalmers: karena zombie dimungkinkan secara metafisis, maka materialisme keliru. Mengapa bisa begitu? Sudah kita klarifikasi bahwa materialisme dalam anggapan Chalmers mensyaratkan determinasi niscaya dari sifat-sifat fisik pada sifat-sifat mental. Perhatikan kata “niscaya” di situ. Dalam logika modal, sesuatu dikatakan niscaya bila hal itu berlaku di seluruh dunia yang mungkin (in all possible worlds). Mengatakan bahwa “sifat-sifat fisik tertentu meniscayakan adanya sifat-sifat mental tertentu” sama artinya dengan mengatakan bahwa “tidak mungkin ada sifat mental X tanpa adanya sifat fisik X” sekaligus bahwa “tidak mungkin tiada sifat mental X apabila ada sifat fisik X”. Di sinilah masalahnya. Agar benar, materialisme mesti sepenuhnya mengesampingkan kemungkinan adanya himpunan sifat fisik yang tidak menghasilkan sifat mental apapun. Dengan kata lain, agar materialisme benar, zombie seharusnya tidak mungkin ada. Nah, di sini pukulan finalnya diberikan Chalmers: ternyata zombie mungkin ada (sebab ia mungkin dipikirkan). Ergo, materialisme keliru.

Akibat selanjutnya, yang tidak dipikirkan Chalmers, kita bisa simpulkan sendiri: kalau materialisme saja keliru, apalagi Marxisme yang berdiri di atasnya.

***

Silakan bikin teh atau kopi dulu; yang mau merokok silakan merokok. Kita nikmati terlebih dahulu keindahan komposisi Argumen Zombie karangan Chalmers ini. Jangan buru-buru menyanggahnya. Kita akui dulu bahwa argumen ini cakeup. Ketika saya pertama kali menjumpai argumen ini beberapa tahun yang lalu, saya terpesona dengan konstruksi argumen yang kokoh, rapi dan efisien ini. Dalam empat langkah saja ia bisa menekuk materialisme. Saya kagum pada kerapian kerja filsafat orang Analitik ini: semuanya jelas kategorinya, semuanya ada penjelasannya, semua katanya akurat. Mungkin terasa kering bagi sebagian orang yang terbiasa berfilsafat sambil menulis puisi lirik. Tapi ya sudahlah, setiap orang punya caranya sendiri. Baiklah, mari kita mulai bekerja menyanggahnya.

Dalam menyanggah argumen Chalmers, ada baiknya kita identifikasi dulu beberapa sudut yang bisa kita pakai untuk mempermasalahkannya. Ada tiga rute utama yang mungkin kita ambil untuk menyanggah Argumen Zombie:

  1. Kita menolak anggapan bahwa zombie mungkin dipikirkan secara logis
  2. Kita menolak anggapan bahwa apa yang dapat dipikirkan itu mungkin ada
  3. Kita menolak anggapan bahwa materialisme mensyaratkan peniscayaan sifat-sifat fisik terhadap sifat-sifat mental

Mari kita periksa satu per satu kemungkinan-kemungkinannya. Rute pertama adalah sehimpun argumen yang pada intinya menyatakan bahwa tidak mungkin kita memisahkan sifat mental dari sifat fisik manusia tanpa membuat pernyataan kita jadi kontradiktif. Manusia adalah kesatuan psiko-biologis, sehingga tidak mungkin kita menyalin struktur biologisnya tanpa menyalin juga struktur psikologisnya. Problem dari rute ini adalah bahwa di situ ada kecenderungan begging the question. Sanggahan itu baru bisa dilayangkan kalau kita sudah mengasumsikan kebenaran materialisme bahwa struktur fisik meniscayakan struktur mental—sesuatu yang justru sedang diperkarakan oleh Argumen Zombie. Kebuntuan di rute ini masih dapat diretas dengan mempersoalkan distingsi antara apa yang logis dan kontradiktif melalui stratifikasi ranah logika yang lumayan ribet (pernah saya jajal sedikit di artikel Marxisme dan Ketuhanan Yang Maha Esa). Rute kedua adalah sehimpun argumen yang intinya mempersoalkan proses penyimpulan dari fakta epistemik ke fakta metafisis. Di sini, orang biasanya akan terpeleset ke argumen Bhaskarian bahwa apa yang kita pikirkan belum tentu merupakan keadaan yang sesungguhnya di kenyataan. Saya sebut “terpeleset” sebab duduk soalnya lain sama sekali. Yang diperkarakan Chalmers bukanlah kesesatan antirealisme dalam epistemologi. Antirealisme atau pandangan bahwa kenyataan hanyalah sedikit/banyak konstruksi pikiran cuma bekerja pada ranah fakta. Begitu kita masuk pada ranah kemungkinan, soalnya jadi agak kabur. Di sini kita dituntut untuk berpikir dalam kerangka dunia-dunia yang mungkin (dengan hukum fisik yang sepenuhnya lain). Bisa jadi apa yang dapat dipikirkan itu memang mungkin ada di suatu dunia lain. Kebuntuan rute ini dapat diretas dengan membongkar argumen terkait “semantik dua dimensi” yang rumitnya ngeri-ngeri sedap. Rute ketiga adalah sehimpun argumen yang mencoba merampingkan materialisme sehingga lolos dari terjangan Argumen Zombie. Rute inilah yang akan kita jajaki dalam artikel ini.

Kita perlu membedakan dua jenis materialisme. Sebut saja materialisme metafisis dan materialisme alami. Materialisme metafisis adalah materialisme yang disasar Chalmers, yakni pandangan bahwa, di seluruh dunia yang mungkin, sifat-sifat fisik meniscayakan sifat-sifat mental. Sedang yang saya maksud materialisme alami adalah pandangan bahwa, dalam dunia aktual kita ini, setiap sifat fisik meniscayakan sifat mental. Tentu saja, pengertian “peniscayaan” di sini lebih ramping; ia hanya berlaku dalam rentang dunia aktual kita saja, tidak merambah ke dunia-dunia lain yang mungkin. Materialisme yang dibutuhkan oleh Marxisme, menurut hemat saya, adalah materialisme alami semacam ini. Marxisme tidak membutuhkan materialisme metafisis yang begitu ekstrem. Toh kita tidak hendak membuktikan kebenaran materialisme historis dan perjuangan kelas di dunia yang mungkin di mana tidak ada makhluk hidup selain ganggang biru.

Memanfaatkan distingsi itu di tangan, kita akan ikuti Argumen Zombie tapi dengan sentuhan kecil yang membuatnya berbelok arah dan meleset dari materialisme Marxis. Ini argumennya:

  1. Jika zombie dapat dipikirkan, maka ia mungkin ada
  2. Jika zombie mungkin ada, maka tidak benar bahwa, di semua dunia yang mungkin, seluruh sifat fisik meniscayakan sifat mental
  3. Jika zombie mungkin ada, maka adalah benar bahwa di sebagian dunia yang mungkin—sebut saja dunia-z—tidak semua sifat fisik meniscayakan sifat mental
  4. Jika zombie mungkin ada, maka adalah benar bahwa di sebagian dunia yang mungkin—sebut saja dunia-a—semua sifat fisik meniscayakan sifat mental
  5. Maka, apabila zombie mungkin ada, tiga kesimpulan berlaku: (1) materialisme metafisis keliru; (2) anti-materialisme berlaku di dunia-z; (3) materialisme alami berlaku di dunia-a

Di sini kita melihat titik terang, rute pelarian diri dari gempuran Argumen Zombie. Persoalannya kemudian adalah memastikan apakah dunia aktual kita ini merupakan tipe dunia-z atau tipe dunia-a? Sebelum hal itu bisa dipastikan, posisi materialis dan anti-materialis masih remis.

Argumen anti-materialisme memang belum sepenuhnya dipatahkan, tetapi setidaknya untuk sementara waktu Marxisme aman dari wabah zombie. Sanggahan yang lebih komprehensif terhadap anti-materialisme dan justifikasi yang lebih solid bagi materialisme mensyaratkan perombakan ulang atas seluruh kerangka filsafat: membongkar konsep kontradiksi dalam ilmu logika (melalui stratifikasi atas logical spaces) dan kerangka semantik logika modal matra-dua. Tampaknya jalan masih panjang (dan menyenangkan!).***

 

18 Juli 2016

Konsepsi Metalis atas Uang

$
0
0

“LEBIH gampang menulis tentang uang daripada mendapatkannya, dan mereka yang memperolehnya, menertawakan mereka yang hanya tahu bagaimana menulis tentang uang”, demikian Voltaire suatu kali menulis dalam entri ‘uang’ di ensiklopedia filsafatnya. Ia agaknya sedang menghibur diri sendiri, juga barangkali orang-orang di kemudian hari yang akan menulis soal uang sambil terus kesulitan uang sepanjang hidupnya—seperti, Marx.

Sejarawan E. F. Schumpeter punya nama bagus untuk membelah para pemikir yang memperdebatkan teori tentang uang dalam sejarah ekonomi; kaum Kartalis dan kaum Metalis. Kaum Kartalis adalah barisan pemikir yang meyakini uang sebagai simbol unit moneter tidak ada kaitannya secara logis dengan komoditas. Bukan besaran komoditas yang menentukan besaran uang, melainkan besaran uang yang menentukan besaran komoditas. Bagaiamana bisa? Dari mana uang mendapat otoritas sebagai Dewa para komoditas ini? Dari ‘kesepakatan’ antar penukar komoditas (komunitas atau negara) yang berdaulat, yang masing-masing membutuhkan ‘manfaat’ (utility) dari komoditas yang tidak ia miliki. Dalam konsepsi ini, komoditas dilihat sebagai benda yang tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai komoditas ditentukan dalam aras pertukaran oleh aktor-aktor ekonomi secara subjektif. Oleh sebab itu pembedaan antara nilai dengan nilai-tukar atau harga tidak diperlukan. Akar pemikirannya bisa dilacak dari Plato, V. G. Ortes, Boisguillebert, Nicholas Barbon, Uskup Barkeley, John Law, hingga Sir James Stuart. Abad ke-20 yang telah lewat jadi saksi bagaimana paradigma ini jadi dominan pasca ambruknya Wall Street tahun 1929 dan berpuncak pada dilanggarnya perjanjian Bretton Woods menjelang perang AS-Vietnam. Sampai beberapa tahun terakhir, sistem moneter dunia praktis dikuasai oleh Dollar AS dengan sistem uang fiatnya yang tak memiliki basis apapun bagi tiap lembar uang selain kepercayaan rakyat pada kedaulatan negara.

Di sisi lain ada kaum Metalis yang memandang fungsi uang pertama-tama sebagai sarana pertukaran antar komoditas. Terkait fungsinya ini, uang mestilah terkait langsung dengan komoditas. Uang, menurut para Metalis, mesti bersandar pada substansi material yang seperti halnya komoditas, juga memiliki nilai-guna dan nilai intrinsik yang terpisah dari fungsi moneternya. Uang karena itu dipahami sebagai sebentuk komoditas. Tanpa bersandar pada komoditas, uang tidak akan memiliki ukuran yang jelas atas nilainya. Di balik pandangan ini terdapat pengandaian bahwa komoditas memiliki nilai di dalam dirinya sendiri dan karena itu berbeda dari bentuk moneternya dalam rupa harga; satu pandangan yang berlawanan dengan tradisi kaum Kartalis. Akar pemikirannya bisa dilacak sejak Aristoteles dan berpuncak pada ekonomi-politik Klasik hingga Marx. Dalam konteks ekonomi-politik internasional, pandangan ini mengalami revival beberapa tahun terakhir seiring dengan diberlakukan kembalinya uang berbasis emas dalam Rubel dan Renminbi, berikut jaringan transfer moneter CIPS (The Cross-Border Inter-Bank Payment System) yang makin meluas.

Diskusi Marx soal uang awalnya adalah bagian kritik terhadap program sosialis utopis yang sedang menjamur di zamannya. Mentornya, Proudhon yang bersama sosialis lain seperti John Gray dan J. F. Bray sedang giat mengujicobakan bank rakyat dan ‘uang kerja’ yang mengangankan sosialisme dalam bentuk mekanisme kerja yang diupah bukan dengan uang, melainkan dengan sertifikat jam-kerja atau ‘nota uang’ yang dapat ditukarkan dengan komoditas dari bank sentral. Mereka agaknya mengira “uang adalah sumber segala kejahatan”[1], sehingga penumpasan kejahatan mesti menyasar uang. Bagi Marx, uang bukan sumber segala kejahatan. Uang bukanlah akar dari segala carut-marut ‘degradasi moral’ masyarakat. Lebih lagi, uang juga bukan akar ketimpangan dan kemiskinan. Uang hanyalah fenomena permukaan, atau lebih persisnya fenomena sirkulasi yang bentuk-bentuknya merupakan perpanjangan dari bentuk-bentuk produksi. Ubahlah corak produksi masyarakat maka corak sirkulasi masyarakat juga akan berubah—demikian pandangan Marx dan Marxis yang waras. Kurang tepat karenanya memandang transisi dari corak produksi kapitalis menuju corak produksi sosialis dapat bersandar pada reformasi sistem keuangan.

Selain menyasar para utopis di atas, diskusi Marx tentang uang juga adalah bagian dari kritik terhadap ekonomi-politik Klasik yang bagi Marx gagal menemukan konsep bentuk-nilai (value form). Smith dan Ricardo memang sudah memiliki konsep nilai-tukar sebagai “daya untuk membeli barang lain”. Keduanya juga sudah mengasalkan harga atau nilai-tukar pada ranah produksi. Sayang, keduanya tidak spesifik soal bentuk kerja khas dalam corak produksi kapitalis. Padahal bentuk kerja yang khas ini yang dapat menerangkan transformasi nilai ke nilai-tukar. Dalam Smith kita temukan teori ongkos produksi (upah+sewa+laba) sebagai sumber nilai, sedang Ricardo mengajukan teori embodied labour yang menyatakan nilai berasal dari jumlah kerja yang dibutuhkan untuk produksi komoditas. Keduanya tidak lantas bertanya mengapa kerja mewujud dalam nilai dan mengapa pengukuran kerja lewat durasinya mewujud di dalam besaran nilai produk—artinya, mengapa waktu kerja terungkap melalui nilai.

Untuk menerangkan hal ini saya akan meminjam analisis bentuk-nilai Marx dengan sedikit modifikasi, yakni memulai dari bentuk-uang. Pembaca yang budiman boleh coba membayangkan sedang berada di dalam supermarket tertentu dengan sejumlah uang di tangan. Katakanlah Rp. 100.000,-. Sejumlah uang ini dapat kita tukarkan dengan berbagai komoditas satuan lain mulai dari rokok, kain, sabun, pasta gigi, gula, kaos, kopi, dan seterusnya. Kita andaikan saja persamaannya menjadi;

 

file-4

 

Jika masing-masing komoditas seharga Rp. 100.000,-, maka tiap-tiap komoditas memiliki harga yang sama. Kita boleh mengganti angka Rp. 100.000,- dengan komoditas apa saja untuk menemukan bentuk umum nilai. Saya coba pilihkan ‘kain’ sehingga persamaannya jadi;

 

file-3

 

5 meter kain seharga dengan 15 kotak pasta gigi atau 2 ons kopi. 2 ons kopi seharga dengan 2 potong kaos atau 5 kilogram gula. Tiap komoditas seharga tiap-tiap komoditas lain. Berikut bentuk nilai diperluasnya;

 

file-2

 

Dalam analisis atas bentuk nilai Marx mengajukan pengandaian-pengandaian. Pertama, ia menanggalkan asumsi komoditas tunggal. Hal ini disebabkan komoditas pada dasarnya memang diproduksi untuk dipertukarkan. Dengan kata lain, bentuk-nilai lahir dari sifat komoditas itu sendiri. Kedua, ia mengandaikan bahwa semua orang adil dan tidak berbuat curang dalam relasi pertukaran. Maksudnya, komoditas dipertukaran sesuai harga alamiahnya. Ketiga, ia mengajukan peran yang berbeda bagi kedua komoditas; komoditas pertama (dalam kasus kita, 5 meter kain) mengekspresikan nilainya dalam komoditas kedua (2 potong kaos), sedang komoditas kedua berperan sebagai material tempat nilai komoditas pertama diekspresikan. Istilah teknisnya yang pertama disebut sebagai bentuk nilai relatif (relative form of value), sedang komoditas kedua disebut bentuk nilai penyetara (equivalent form of value). Sehingga bentuk nilai sederhana menjadi;

 

file-1

 

Dari sudut bentuk nilai relatif, 5 meter kain dapat dipertukarkan dengan 2 potong kaos sebab kualitas atau nilai-guna keduanya berlainan. Aspek kualitatif komoditas (nilai guna) adalah dasar bagi pertukaran komoditas. Hanya komoditas dengan kegunaan yang berbeda saja yang dapat dipertukarkan. Adalah absurd misalnya menukarkan 2 potong kaos dengan 2 potong kaos lain yang memiliki kualitas serupa. Ini mengingatkan paragraf-paragraf awal Kapital ketika Marx mengungkapkan bahwa dalam corak produksi kapitalis, “nilai guna merupakan wahana [Träger] dari nilai-tukar”.

5 meter kain yang sama juga ‘mengenali dirinya’ lewat bentuk nilai penyetaranya, 2 potong kaos. Kain, mengetahui bahwa dirinya senilai dengan 2 potong kaos; hal ini berarti komoditas hanya dapat diketahui nilainya lewat relasinya dengan komoditas lain. Akan tetapi hal ini bukan berarti nilainya ditentukan oleh komoditas lain. Dalam konsepsi Marx, nilai komoditas ditentukan oleh rata-rata waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial bagi produksinya. Artinya, dengan atau tanpa komoditas lain, semua komoditas sudah memiliki nilai pada dirinya sendiri.

Apabila bentuk nilai atau nilai-tukar adalah bentuk penampakan (form of appearance) dari nilai, dan nilai ditentukan oleh waktu kerja sosial, maka tiap relasi komoditas sejatinya adalah juga relasi antar jumlah-jumlah kerja. Di sini konsep Marx tentang kerja abstrak sebagai sumber nilai dan rata-rata waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial sebagai sarana pengukur nilai jadi penting. Kerja abstrak adalah jenis kerja yang amat berlainan dengan bentuk-bentuk kerja pra-kapitalis semisal kerja budak atau kerja perupetian. Ia hadir berkat meluasnya pembagian kerja masyarakat. Dalam kerja abstrak (atau kerja-upahan) yang dijual pekerja bukan hasil kerjanya, melainkan waktu kerjanya. Dengan bentuk kerja yang didasarkan pada pengukuran waktu inilah konsepsi nilai (value) jadi dimungkinkan. Bagaimana bisa? Sebab dengan kerja abstrak, kerja manusia dapat dikuantifikasi. Apabila kerja manusia dapat dikuantifikasi maka demikian juga dengan produk kerjanya, yakni komoditas. Dengan bentuk kerja yang diukur secara kuantitatif lewat waktu kerja inilah besaran nilai produk dapat dihitung secara persis. Kerja abstrak adalah sumbernya, dan waktu kerja sosial adalah sarana pengukur besarannya. Tanpa jenis kerja yang dapat dikuantifikasi, konsep nilai belum dimungkinkan. Inilah sebabnya corak produksi kapitalis dapat dikatakan menyediakan prasyarat bagi terciptanya pertukaran yang adil yang selama ribuan tahun diperdebatkan mungkin tidaknya oleh para pemikir.

Dengan ini jadi terang mengapa Marx adalah seorang Metalis dalam teori tentang uang. Ia, sebagaimana Metalis lain, meyakini uang pada dasarnya adalah komoditas, namun ia berbeda dari Metalis lain sejauh ia membangun teori uang-nya dalam rangka membuktikan teori nilai-kerja sekaligus; teori Marx tentang uang bersarang pada teori nilai-kerja Marxian.***

 

————

[1] Lihat Marx, 1973. Grundrisse. hal. 116 Penguin Books: Harmondsworth

Anjing

$
0
0

ANJING boleh dibilang binatang paling populer sedunia. Selain Scooby Doo dan Spike, sudah berapa banyak film yang menjadikan tokoh anjing sebagai pelakon? Banyak sekali saya kira. Tak cuma di masa kini anjing populer. Dahulu kala juga populer. Orang Mesir dan Sumeria kuno punya dewa-dewi berkepala anjing, dan salah satu lawan Herkules yang tersohor itu ialah anjing berkepala tiga. Pokoknya, beda dengan paus bungkuk atau salamander api yang hanya dikenal segelintir orang (terutama mahasiswa biologi), tak ada orang yang tak tahu anjing.

Kepopuleran anjing mungkin terkait dengan sudah begitu lamanya anjing berinteraksi dengan dan menjadi bagian kehidupan manusia. Di antara binatang-binatang lainnya, anjinglah yang pertama kali didomestikasi. Berdasarkan studi genetika dan paleontologi, setidaknya anjing sudah hidup bersama sebagai bagian dari keluarga sakinah manusia 40-27 ribu tahun silam, beberapa puluh ribu tahun sebelum manusia mulai mengenal kehidupan menetap, bercocok tanam, dan lalu menjinakkan kambing, domba, sapi, babi, dan semua binatang yang kini berpredikat ternak.

Saking sudah lamanya anjing ada di dalam kehidupan manusia, status kultural anjing bisa amat berbeda dari satu kelompok budaya ke kelompok budaya lainnya. Tak Cuma berbeda, tapi bahkan bertentangan satu sama lain. Contohnya adalah para pecinta anjing. Kelompok yang satu mencintai anjing karena menganggapnya sahabat manusia. Kelompok yang satunya lagi mencintai daging anjing karena lezat dan konon berkhasiat. Di Indonesia, kedua kelompok sama-sama punya pendukung. Sudah sejak lama beberapa suku bangsa di Indonesia dikenal sebagai pecinta daging anjing. Mereka biasa memakan daging anjing sebagai lauk utama yang menemani nasi. Entah sejak kapan mereka terbiasa makan daging anjing, yang jelas anjing bagi mereka tak lebih dari hewan yang bisa dimakan dagingnya seperti halnya sapi, domba, atau itik. Nah, kebiasaan di antara mereka inilah yang akhir-akhir ini sedang digugat oleh anak muda perkotaan jenis baru.

Mereka mengampanyekan ‘Dogs are not food’ atau ‘Anjing bukanlah makanan’. Tujuannya ada dua. Pertama menyadarkan kita semua bahwa anjing sama sekali tak layak menjadi makanan. Kedua memaksa pemerintah untuk mengeluarkan produk hukum melarang peredaran dan konsumsi daging anjing. Kepada pemerintah, alasan yang diajukan ialah bahwa di dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2009, anjing tidak termasuk ke dalam kategori ternak sehingga tidak ada pengawasan terhadap baku mutu dan peredarannya. Oleh karena itu daging anjing yang saat ini beredar dan dikonsumsi pastilah berasal dari pasar gelap, dan seperti halnya barang selundupan itu artinya melanggar hukum.

Kepada kita semua warga negara Indonesia, alasan yang diajukan ialah bahwa anjing itu sahabat manusia. Anjing dan manusia punya ikatan batin alamiah untuk saling menyayangi. Mereka sudah beribu-ribu tahun menjalin kerjasama, saling tolong menolong dalam suka dan duka. Karena anjing adalah sahabat manusia, dan memakan sahabat tidak bermoral karena itu artinya kanibalisme, maka memakan anjing tidak bermoral. Selain itu, selama ini proses mengubah seekor anjing menjadi daging amat sangat biadab tak berperikebinatangan. Bayangkan saja, anjing dimasukkan karung dan digebuki sampai mati. Konon, orang-orang itu (maksudnya para pecinta daging anjing) percaya bahwa praktik semacam ini agar darah anjing tidak keluar karena bila keluar niscaya akan mengurangi kelezatan dan khasiat yang dikandungnya. Atau seperti di antara kelompok budaya yang lainnya, anjing dibakar hidup-hidup. Selain untuk menghanguskan bulu, juga supaya darah anjing tidak keluar dari tubuh sehingga mengurangi kelezatannya.

Sementara itu para pecinta daging anjing berkilah bahwa mereka makan daging anjing karena di dalam tradisi budaya mereka anjing memang makanan. Boleh juga anjing jadi sahabat manusia yang membantu berburu babi hutan dan menjaga ladang. Tapi mereka itu sahabat yang boleh (dan enak pula) dimakan. Kalaupun anjing belum termasuk ke dalam kategori ternak, ya revisi saja itu undang-undang supaya bisa mengakomodasi kebiasaan kami yang sudah beribu-ribu tahun ini. Undang-undang kan bukan kitab suci. Tak akan jadi soal kalau satu pasalnya diubah dengan memasukkan anjing ke dalam golongan ternak seperti halnya sapi, babi, kerbau, dan unggas. Dengan memasukkan anjing ke dalam kategor ternak, selesailah itu masalah pengawasan baku mutu kesehatan dan pasar gelap.

Selain itu, apa patokannya bahwa kebiasaan kami membunuh anjing lebih kejam ketimbang cara kalian membunuh hewan yang akan jadi makanan? Apakah tidak kejam menyembelih sapi di lehernya sampai darah mereka bermucratan keluar nadi supaya sodara-sodara sekalian bisa makan steak daging paha sapi berbumbu lada hitam? Apa tidak kejam juga merenggut telur-telur dari induknya supaya kalian bisa sarapan telur mata sapi? Siapa tahu kalau tidak kalian renggut itu telur, mungkin mereka akan jadi anak ayam yang bahagia? Kira-kira begitulah tampikkan para pecinta daging anjing terhadap tuduhan dari para pecinta anjing.

Nah, menurut Anda yang Marxis, kira-kira mana posisi yang benar? Apakah posisi pecinta daging anjing, ataukah posisi pecinta anjing? Apakah anjing itu makanan, ataukah anjing itu sahabat manusia?

Ada satu kekeliruan umum soal Marxisme. Kekeliruan ini tak hanya diidap mereka yang sejak dalam pikiran menolak apa saja yang berbau Marxisme, tapi juga di antara mereka yang mengaku dirinya Marxis. Kekeliruan itu ialah bahwa Marxisme bisa menjawab semua ‘kenapa’ dari segala hal. Kekeliruan ini berasal dari kebiasaan untuk menempatkan Marxisme sebagai sejenis ‘agama’ yang dianggap sudah memberikan semua jawaban atas semua hal yang ada dan mungkin akan ada. Di dalam khazanah keagamaan, semua hal bisa dijelaskan kenapanya. Dari longsor hingga letusan gunung api, dari kelahiran hingga saat kematian, dari derita hidup hingga kebahagiaan, dari jomlo hingga jodoh.

Marxisme sebagai sains, seperti halnya semua sains, punya cakrawala pandang yang membatasi apa-apa saja yang bisa dilihat dan dijelaskan. Batas-batas cakrawala Marxisme sebagai sains ialah masyarakat manusia (bukan biologi ataupun psikologinya); manusia sebagai individu sosial, bukan organisme atau kualitas mentalnya. Karena itu Marxisme tak akan bisa menjawab soal-soal seperti “kenapa jantung berdegup kencang sesak manakala cinta ditolak?” atau “kenapa IPK saya tak bisa beranjak lebih dari 2,50 ?” atau “kenapa badai salju tak pernah terjadi di Banyumas?”. Bahkan untuk persoalan yang ada di dalam batas-batas keberadaan masyarakat manusia, misalnya makna dan praktik budaya di sekitar anjing yang amat bertentangan padahal subjek, anjing, sama dan orang-orang yang saling tentangnya sama-sama manusia, belum tentu konsep dan teori yang pernah Marx dan para Marxis setelahnya bangun bisa menjelaskan ‘kenapa’-nya.

Sebagai materialis, seorang Marxis pasti akan bilang bahwa makna dan praktik-praktik budaya di beragam masyarakat manusia bukanlah sesuatu yang misterius. Makna-makna berbeda terhadap sesuatu yang sama bisa dijelaskan secara ilmiah kenapanya. Mereka tidak ada begitu saja.

Baiklah kalau begitu. Semua ilmuwan juga berposisi seperti itu. Tak perlu menjadi Marxis nan materialis, seorang ilmuwan sosial pasti akan bilang bahwa kebudayaan bisa dijelaskan, bukan sesuatu yang supranatural (karena ketika ilmuwan memasukkan yang supranatural sebagai penjelas, maka ia berhenti sebagai ilmuwan dan beralih menjadi dukun), atau setidaknya bisa ditelusuri konteks sosial atau tautan fungsionalnya dengan pranata-pranata sosial yang ada.

Jadi, ketika dihadapkan pada dua kubu pemaknaan dan praktik budaya yang saling bertentangan soal anjing, apa kira-kira jawaban seorang Marxis? Basis mengkondisikan suprastruktur, bro! Karena soal anjing-anjingan di atas termasuk ranah suprastruktur ideologis, pasti asal-usulnya bisa dijelaskan dengan menelusuri basis ekonominya. Dan karena basis ekonomi bertopang pada relasi-relasi produksi, dan relasi produksi bersimpul pada kepemilikan atas sarana produksi, pasti praktik budaya itu dikondisikan oleh relasi produksi dan kepemilikan yang menjadi landasan keberadaan masyarakat!

Kalau begitu jawabannya, bagaimana menjelaskan keberadaan dua kelompok dengan nilai-nilai budaya saling bertetangan berada di dalam satu jenis masyarakat saja, yakni kapitalis? Apa urusannya relasi produksi kapitalis dan kepemilikan pribadi yang mengorganisasi basis ekonomi masyarakat kedua kelompok tersebut dengan pandangan dan praktik budaya anjing mereka? Tidak ada. Dan dengan demikian tidak punya tautan penjelasan.

Tidak ada urusannya sama sekali relasi produksi dan pranata kepemilikan dengan suprastruktur ideologis masyarakat pecinta anjing, karena keduanya hanya menjelaskan soal bagaimana masyarakat mengorganisasi individu-individu terkait dengan produksi dan distribusi produk untuk memenuhi kebutuhan material mereka. Soal bagaimana sesuatu (termasuk produk) dimaknai oleh kelompok-kelompok sosial, dan dengan demikian menjadi bagian dari suprastruktur ideologis masyarakat, analisisnya mesti ada di tingkatan lain di luar urusan ‘basis mengkondisikan suprastruktur’. Artinya, menjadi Marxis haruslah memandang realitas sosial itu bertingkat, dan karenanya analisis atas suatu persoalan juga mesti bertingkat-tingkat. Dan untuk ke sana yang diperlukan adalah kesabaran seorang materialis sekaligus historisis. Untuk menjadi bagian dari suprastruktur ideologis, kecintaan pada anjing (entah sebagai sahabat manusia maupun sebagai makanan) mestilah menjadi bagian dari norma-norma atau aturan-aturan sosial. Norma dan penegakkannya mengandaikan adanya kekuasaan atau suprastruktur politik. Meski pada gilirannya suprastruktur politik tak lain ialah reproduktor atau fungsi administrasi atas kepentingan-kepentingan politik yang muncul dari basis ekonomi, untuk menarik tautan antara bentuk ideologi tertentu ke basis ekonomi tertentu tak pernah bisa langsung jalannya. Marxis hanya bisa menunjukkan adanya tingkatan pengkondisian semacam itu. Selain itu, siapa tahu basis ekonomi dari suprastruktur politik yang melegitimasi nilai dan praktik budaya tertentu yang saat ini masih dianut adanya nun jauh di masa silam sehingga asal-usulnya hanya terdengar bak desas-desus.

Sebetulnya tak ada yang perlu diributkan soal praktik budaya kedua golongan pecinta anjing selama mereka mencintai anjing dengan caranya masing-masing di dalam batas-batas normatif kebudayaannya sendiri. Persoalannya, batas-batas ini sekarang makin lama makin pudar dan lebur di bawah tatanan ekonomi-politik negara (dan globalisasi). Kini kelompok-kelompok budaya berbeda dipersatukan oleh batas-batas administrasi yang sama. Karena berada di dalam wadah yang sama, kini mereka tak hanya berbeda, tapi juga bertentangan. Pertentangan praktik budaya pada gilirannya menjadi pertentangan politik manakala kedua golongan mengajukan nilai-nilai dan norma-norma budayanya sebagai kebenaran sejati yang mesti diikuti oleh semua warga yang berada di bawah tatanan politik yang sama. Itulah yang dilakukan para sahabat anjing yang mengkampanyekan “Dogs are not food”. Mereka masuk medan politik tak ada urusannya dengan latar belakang kelas mereka. Mereka masuk ke ranah politik sekadar bahwa mereka itu menganut nilai tertentu. Artinya, tak semua urusan politik itu urusan kelas. Bisa saja ranah politik yang menjadi tempat norma dan aturan-aturan dibuat dan ditegakkan, berisi soal-soal yang tak ada kaitannya sama sekali dengan perjuangan kelas, tapi, misalnya, perjuangan identitas. Dan dasar perjuangan identitas bisa apa saja karena identitas sosial juga bisa apa saja.

Jadi, hikmahnya, menjadi Marxis bukan sekadar fasih mengucapkan ‘basis mengkondisikan suprastruktur’, tapi juga sebagai orang yang sabar, terutama sabar ketika memasuki medan politik yang ternyata berselimut perjuangan identitas, alih-alih kelas.***

Fetisisme Komoditas dan Rahasianya

$
0
0

 

DALAM pengantarnya atas penerbitan buku Kapital I, edisi Perancis tahun 1969 yang kemudian dimasukan dalam buku Lenin dan Filsafat (1971), Louis Althusser sempat menyatakan “Sebuah jejak pengaruh Hegelian yang terakhir…kali ini jejak yang menyolok dan sangat berbahaya”[1] mengenai konsep Marx tentang fetisisme komoditas. Hal ini, menurut Althusser, disebabkan konsep fetisisme komoditas kerap menjadi dasar bagi setiap penafsiran-penafsiran idealis atas pemikiran ekonomi-politik Marx. Sayang, Althusser dalam teksnya tidak memberi elaborasi lebih lanjut mengenai klaimnya ini sehingga kita hanya bisa menduga-duga apa yang ia maksud. Hal ini bagaimanapun bagi saya amat membangkitkan rasa simpatik, berkenaan dengan antipati yang sama terhadap segala bentuk pemikiran mistis sok subtil seperti idealisme.

Dalam Kapital, satu gagasan konseptual, bukan hanya terhubung secara logis dengan gagasan konseptual lain, melainkan selalu merupakan sebuah perkembangan logis atas konsep lainnya. Hal ini dilakukan karena tujuan utama mahakarya itu adalah untuk “menyingkapkan hukum gerak masyarakat modern”. Untuk menangkap ‘hukum gerak’ dan menyajikannya dalam sebuah buku, mau tidak mau penjelasan atas satu konsep mesti bertautan dengan konsep yang lain. Namun bukan hanya bertautan, gaya penyajian seperti ini menyebabkan penjelasan konsep-konsep teoretis sering tampak hadir dalam gaya berulang-ulang, maju-mundur, timbul-tenggelam, persis seperti satu titik dalam perputaran sebuah roda yang berjalan. Nalar kita yang sudah terbiasa dengan buku-buku ‘teoretis’ bergaya kamus, mesti mengingat hal ini sering-sering kalau tidak mau jadi robot Marxis.

Dalam penyajian Kapital I, bagian berjudul ‘Fetisisme Komoditas dan Rahasianya’ terletak pada bagian paling akhir dari Bab I (‘Komoditas’), tepat setelah bagian ‘Bentuk Nilai atau Nilai-Tukar’ berakhir. Bagian ‘Fetisisme…’ karena itu menandai peralihan dari penjelasan Marx atas bentuk nilai (form of value) menuju Bab II yang berjudul ‘Proses Pertukaran’. Dalam bagian bentuk-nilai Marx berangkat, tentu, dari analisisnya atas komoditas; nilai-guna adalah muatan material dari kekayaan yang proporsi, atau relasi kuantitatif antar komoditasnya, terwujud dalam nilai tukar. Nilai tukar adalah ‘bentuk tampilan’ (form of appearance) dari nilai (value)—abstraksi dari curahan kerja yang memungkinkan tiap-tiap komoditas dipertukarkan satu dengan yang lain. Kerja yang menyusun substansi nilai, kita tahu, adalah kerja abstrak (abstract labour), yakni jenis kerja yang diabstraksikan dari aspek kualitatifnya dan dapat dihitung besarannya lewat rata-rata waktu kerja yang diperlukan secara sosial (social necessary labour time). ‘Nilai’ karena itu diciptakan di dalam proses produksi, ia sudah laten di dalam komoditas sebelum dipertukarkan, namun baru teraktualisasikan dalam pertukaran, yakni melalui ‘nilai-tukar’ antar komoditas.

Bagian bentuk-nilai adalah analisis Marx atas perkembangan konseptual bentuk-nilai dari yang paling sederhana (simple form of value) sampai yang paling berkembang, yaitu bentuk uang (money form). Artinya Marx hendak beri bukti bahwa bentuk uang hanyalah ekspresi moneter dari komoditas. Uang pada hakikatnya tak lain adalah komoditas juga yang berperan sebagai penyetara universal dan dapat dipertukarkan dengan komoditas-komoditas lain. Uang adalah ‘Tuhan’ komoditas dan karena itu menampak sebagai representasi kekayaan masyarakat kapitalis. Sampai di sini Marx setidaknya hendak mengatakan dua hal; pertama, nilai (dan nantinya, penarikan nilai-lebih atau laba produksi kapitalis) diciptakan di dalam proses produksi, bukan di dalam proses sirkulasi (perdagangan), dan kedua, uang sebagai bentuk paling kompleks dari relasi pertukaran hanya menandai nilai-nilai komoditas, bukan substansinya.

Analisis Marx atas komoditas dan bentuk nilai kemudian tentu dapat dipilah-pilah untuk kemudahan. Untuk kali ini kita hanya akan memilah masing-masing mengenai penentu nilai (determinant of value) dan mengenai bentuk-penyetara (equivalent-form). Mengenai penentu nilai, Marx; (a) mengasalkan substansi nilai pada bentuk kerja yang khas cara produksi kapitalis; jenis kerja yang diabstraksikan dari aspek kualitatifnya, yakni kerja abstrak, lalu (b) mengemukakan aspek kuantitatif kerja abstrak, yakni waktu-kerja yang dibutuhkan secara sosial sebagai pengukur besaran nilai (magnitude of value), dan (c) mengemukakan analisis relasi pertukaran lewat konsep bentuk nilai yang memecahkan teka-teki bagaimana nilai dapat berkembang menjadi nilai-tukar, atau dalam bentuknya yang paling berkembang, bagaimana komoditas dapat berkembang menjadi uang[2].

Marx kemudian beranjak dari analisis untuk menemukan basis material komoditas (a & b), menuju analisis relasi antar komoditas (c) lewat uraian bentuk nilai sederhana dengan pengandaian komoditas dipertukarkan setara nilainya. (Marx mengilustrasikan hal ini dengan contoh sederhana berupa persamaan 20 yar linen = 1 mantel). 20 yar linen mewakili bentuk-relatif nilai (relative-form of value), sedang 1 mantel mewakili bentuk-penyetara nilai. Disebut bentuk-relatif karena nilai linen ditentukan oleh relasinya dengan nilai guna komoditas yang lain (1 mantel); sedang bentuk-penyetara berperan sebagai ungkapan kesepadanan komoditas yang lain (20 yar linen). Dari persamaan sederhana ini Marx membuktikan bahwa nilai tukar ialah proporsi antara nilai sebuah komoditas yang diperbandingkan dengan nilai guna komoditas lain (20 yar linen = 1 mantel). Pernyataan Marx di paragraf-paragraf awal Kapital mengenai nilai tukar sebagai ‘bentuk tampilan’ dari nilai (value) dan nilai guna sebagai wahana [Träger] dari nilai-tukar karena itu dapat dipahami. Sesuai dengan kesebangunan konseptual yang telah ia susun (bentuk-relatif nilai mengungkapkan diri dalam bentuk-penyetara nilai) maka analisis bentuk nilai ini menghadirkan masing-masing; (i) nilai yang mengungkapkan diri lewat nilai-guna, (ii) kerja abstrak yang mengungkapkan diri lewat kerja konkret, dan (iii) kerja sosial yang mengungkapkan diri lewat kerja individual. Meski kemudian Marx membawa analisis bentuk nilai sederhana ini sampai ke bentuk uang, intensi dasarnya tetap sama, yakni membuktikan bahwa nilai tukar bersumber di dalam produksi, bukan di pasar. Namun yang penting bagi penjelasan atas fetisisme komoditas adalah memperhatikan bentuk-penyetara nilai bukan hanya sebagai tempat pengungkapan diri nilai, kerja abstrak, dan kerja sosial , melainkan juga tempat yang menopengi dan membalik ketiga hal tersebut sebagai nilai guna, kerja konkret, dan kerja individual.

Analisis Marx atas komoditas dan bentuk nilai ini yang menjelaskan mengapa Marx membuka analisisnya atas fetisisme komoditas dengan kalimat ini,

“Komoditas pada pandangan pertama menampak seperti ihwal remeh-temeh yang jelas dengan sendirinya. Akan tetapi, analisis atas komoditas menyingkap betapa hal itu demikian ganjil penuh dengan keruwetan metafisis dan detail teologis…”.

Komoditas yang dalam amatan empiris tampak sebagai barang berguna biasa saja, ternyata begitu dilakukan analisis ilmiah, memiliki kepelikan yang luar biasa. Komoditas yang tampaknya sederhana, ternyata amat misterius, ia menyembunyikan hubungan-hubungan produksi antar manusia (a, b, c) dan ia menampak dengan penuh kontradiksi-kontradiksi (i, ii, iii). Seketika produk kerja berubah menjadi bentuk-komoditas (commodity-form), maka tulis Marx, “berubah menjadi ihwal yang melampaui keindrawian”. Pernyataan ini mengacu pada analisis bentuk-penyetara nilai di atas yang bagaikan camera obscura, menopengi dan membalik, bentuk-relatif nilai, yakni ketika dalam pertukaran apa yang menjadi landasan komoditas, hadir sebagai kebalikannya; (α) nilai menampak sebagai oposisinya yakni nilai guna, (β) kerja abstrak menampak sebagai oposisinya yakni kerja konkret, dan (γ) relasi antar kerja sosial menampak sebagai oposisinya yakni sebagai relasi antar produk-produk kerja individual.

Apa yang tadinya berasal dari sifat kerja di bawah kapitalisme, termanifestasi ke dalam sifat objektif komoditas-komoditas—relasi sosial menampak dalam bentuk relasi antar komoditas, dan relasi antar komoditas ini menutupi relasi-relasi sosial yang melandasinya. Penampakan inilah yang menjelaskan mengapa nilai dalam kesadaran masyarakat kapitalis seolah-olah timbul di dalam aras sirkulasi; di pasar. Nilai komoditas tampak tidak ada hubungannya dengan basis materiilnya, yakni kerja yang dicurahkan oleh kelas pekerja dalam bentuk kerja abstrak. Komoditas dalam cara produksi kapitalis, hadir seakan-akan memiliki kekuatan mistis-ajaib yang mampu mendefinisikan diri lewat dirinya sendiri, berhubungan satu sama lain tanpa ada kaitan dengan hubungan-hubungan antar manusia yang menciptakannya. Hasil ciptaan manusia karena itu tampil sebagai hal yang berelasi dengan manusia terlepas di luar kendali manusia—minus retorika; komoditas dipandang bernilai terlepas dari kerja buruh; inilah yang dimaksud sebagai fetisisme komoditas.

Analisis Marx atas fetisisme komoditas ini kita tahu menjadi dasar bagi konseptualisasi teori ‘ideologi’ atau ‘kesadaran palsu’ yang kemudian berkembang di tangan Marxisme abad ke-20. Yang perlu diperhatikan dalam analisis Marx mengenai kesadaran masyarakat kapitalis ini ialah analisis dijangkarkan bukan pada kesadaran, melainkan pada formasi pembagian kerja masyarkat kapitalis, yakni formasi yang hadir dalam bentuk pemisahan produsen atas sarana-sarana produksinya yang melahirkan kerja abstrak. Bentuk pembagian kerja inilah yang meniscayakan ‘penampakan objektif’ (objective appearance) realitas yang kabur sekaligus berlaku terbalik dalam masyarakat kapitalis. Jadi fetisisme komoditas bukannya hadir hanya kepada anggota masyarakat kapitalis yang ‘belum sadar’, ‘belum tercerahkan’, atau belum mengenal Marxisme. Fetisisme komoditas adalah fitur yang inheren dari relasi-relasi produksi kapitalis. Dengan kata lain, pertama-tama bukan ‘hegemoni’ media, bukan juga ‘aparatus ideologis negara’ yang menyediakan ‘kesadaran palsu’ pada masyarakat kapitalis. Bukan sarana-sarana penyuntik kesadaran yang menipu anggota-anggota masyarakat, melainkan bentuk penampakan realitas itu sendiri yang niscaya hadir sebagai konsekuensi formasi pembagian kerja yang menipu kesadaran masyarakat. Ilusi objektif inilah yang bentuk tertingginya terlihat dari ideologi-ideologi yang biasa kita kenal sebagai ‘ilmu ekonomi’ dari tradisi klasik hingga modern yang selalu mengandaikan formasi pembagian kerja kapitalis sebagai tetapan kodrati-universal, yang mengira kegunaan atau manfaat (utility) sebagai sumber nilai. Marx karena itu menulis bahwa kategori-kategori ilmu ekonomi borjuis sebagai kategori yang “sahih secara sosial, dan karena itu objektif, bagi hubungan-hubungan produksi yang termasuk dalam cara produksi sosial yang terkondisikan secara historis ini—produksi komoditas.”[3]

Teori Marx tentang fetisisme komoditas memiliki kekuatan untuk menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan sosial dalam kapitalisme niscaya menghasilkan penampakan yang mengaburkan bentuk relasi-relasi sosial yang melandasinya. Fetisisme komoditas yang berkembang menjadi fetisisme uang dan kapital dapat menjelaskan mengapa kita mengira bahwa laba dihasilkan dari jual-beli, mengapa kita mengira keseluruhan curahan kerja dibayar dalam upah, mengapa kita mengira sewa adalah pembayaran dari sumbangsih produktif tanah, mengapa pasar saham begitu ajaib, dan seterusnya. Namun, gagasan ini apabila tidak dibaca dengan teliti mudah dikonversi, misalnya, ke dalam ‘kritik ideologi’, kritik atas citra-citra, atau kritik atas ‘spectacle’ yang di abad lalu sempat populer. Apabila penyebab fetisisme dan teori ideologi ditempatkan kepada efek-efeknya, pada aspek sirkulasi atau suprastruktural (agama, media, dst), maka kritik imanen Marx atas produksi kapitalis akan kehilangan tajinya. Ekonomi-politik Marx bukan dan tidak pernah merupakan kritik ideologi. Analisis atas fetisisme komoditas mestinya dibaca kembali kepada kritik terhadap hubungan-hubungan produksi kapitalis.***

 

———-

[1] Althusser, 1971. Lenin and Philosophy, NLB, hal. 95.

[2] “Salah satu kegagalan utama ekonomi-politik klasik adalah ketakberhasilannya—dalam analisisnya atas komoditas, khususnya nilai—menemukan bentuk nilai yang nyatanya mengubah nilai ke dalam nilai tukar. Bahkan perwakilan terbaiknya, Adam Smith dan Ricardo, memperlakukan bentuk nilai secara acuh-tak acuh sebagai hal yang eksternal terhadap hakikat komoditas itu sendiri”. Marx, 1990. Capital, Vol. I, Penguin Book. Hal. 174, catatan kaki no.34.

[3] Ibid: 169.

Idul Adha dan Kebahagiaan Seorang Marxis

$
0
0

KITA menyangka tutur kata dan senyumannya merupakan pertanda kerelaan melepaskan anaknya menjadi pasangan hidup kita dan menjadikan dirinya mertua. Nyatanya, tutur kata halus dan senyuman itu tak lebih dari kepribadiannya yang berbudi baik berkat pendidikan pesantren. Kita sangka mendung akan diikuti hujan dan kita pun membawa payung seperti kata pepatah. Nyatanya panas menyeruak dari balik awan dan menyibak langit biru di baliknya. Kita sangka ular menghadang jalan kita saat pulang dari kampus seusai latihan kungfu malam hari. Nyatanya hanya seutas tambang entah milik siapa yang tergeletak di pojok gelap jalan itu. Kita sangka dengan ijazah sarjana yang bakal diterima kelak kita bisa dapat kerjaan mapan dan akhirnya masa-masa jomlo sebelum berumur 30an. Nyatanya ijazah dan kerjaan mapan tak mengentaskan kita dari kejomloan bahkan setelah melewati usia 35. Kita sangka penindasan di kantor, pabrik, atau tempat kerja lainnya di bawah sistem kapitalisme akan memasyarakatkan kesadaran revolusioner di antara kaum pekerja ihwal bejatnya sistem kerja upahan. Nyatanya cuma soal upah tahun depan dan pelestarian gaya hidup yang disadari dan diperjuangkan. Kita sangka kapitalisme akan runtuh oleh krisis-krisis finansial dan kesenjangan ekonomi yang dilahirkannya. Nyatanya sistem ini sehat wal afiat untuk terus beroperasi entah sampai kapan.

Siapa yang tak ingin sangkaannya akan maujud ke dalam realitas. Apalagi buat mereka yang menghendaki perubahan dunia menjadi tempat terbaik bagi kehidupan manusia, bukan bagi virus. Tapi sangkaan kita tentang sesuatu biasanya tak selalu sejalan dengan kenyataan dari sesuatu itu. Mengecewakan memang. Tapi itulah hidup di dunia nyata ini. Buat seorang Marxis, apa yang dibutuhkan untuk menghindari (atau setidaknya meminimalisir) kekecewaan karena sangkaan teoritik yang dibuat tak sesuai dengan kenyataan yang sedang dihadapi?

Sebetulnya, persoalannya tidak terletak pada soal cocok atau tidaknya antara sangkaan-teoritik dan kenyataan, tapi sikap kita terhadap prasangka (sebaik dan seobjektif apapun itu) serta terhadap realitas (sejernih apapun tampilan kasat matanya). Bagaimana pun, sangkaan kita terhadap realitas bukanlah realitas itu sendiri. Kesenjangan itu menjadi sumber derita apabila kita 1) menyamakan sangkaan kita tentang realitas dengan realitas itu sendiri, atau 2) ketika kita memahami realitas sebagai ‘sesuatu’ yang padat dan dengan demikian mudah ditangkap sekadar dari apa yang kasat mata terlihat sehingga kita bisa membuat sangkaan-sangkaan untuk masa depan dengan tegas. Apa pasal? Sangkaan, entah itu sangkaan yang positif (husnudzon) maupun yang negatif (su’udzon), tak lebih dari abstraksi atas realitas objektif. Ada jarak ontologis antara keduanya. Karena yang satu subjektif-ideal dan satunya lagi objektif-riil, tak pelak mestilah ada ketimpangan antara keduanya. Sebetulnya ini pun bukan persoalan. Yang jadi soal—selain karena terlalu berharap sangkaan sama dengan realitas yang disangkakan—ialah keyakinan bahwa sangkaan kita betul-betul berasal dari abstraksi atas realitas. Jangan-jangan sangkaan itu berasal dari rangkuman desas-desus, ringkasan kabar burung, titah para tetua yang saleh dan salehah, kebiasaan yang berlaku di dalam kelompok tempat kita menjalani kehidupan sehari-hari, atau dari waham setelah mengonsumsi jamur tai kebo. Kalau sudah begitu, yakni kalau nyatanya sangkaan kita tidak berakar di dalam realitas sama sekali, maka jarak kesesuaiannya bisa bermil-mil dan bisa ringsek daya juang kita karena jatuh dari jarak seperti itu.

Apabila kita tak pernah kita sekalipun menengok pada realitas dan sekadar membuka-buka rekaman dari dan mengkopi-paste tradisi ‘orang-orang kita’ yang dulu pernah mencoba merangkumnya, maka bersiaplah untuk menyambut duka nestapa atau caci-maki betapa tak cocoknya sangkaan yang kita pegang erat itu dengan realitas. Entah sudah dari tangan ke berapa desas-desus tentang realitas yang kita jadikan sumber sangkaan kita atasnya. Memang sih menangkap realitas bukan perkara gampang dan makan waktu pula. Padahal kehidupan sehari-hari kita sudah begitu hiruk-pikuknya oleh hal-hal mendesak dan lumrah. Tak ada waktu untuk sejenak menangkapnya sebagai objek. Daripada menambah kesibukan dengan mengurusi perkara seberapa pas sangkaan kita dengan realitas, alangkah efisiennya bila kita kopi-paste saja gambaran realitas yang lazim dipercaya orang banyak dan membuat sangkaan terhadap realitas yang kita hadapi dengan gambar tersebut. Kadang tebakan kita sedang mujur sehingga bisa bertindak secara tepat terhadap realitas dan melompat ke datarannya dengan bekal gambaran kopi-paste desas-desus tentang realitas itu. Namun, seringkali sangkaan kita tak cukup untuk membuat satu lompatan ke seberang. Kita pun terpeleset dan terjun bebas masuk jurang kekecewaan.

Persoalan lain yang bisa berujung pada kekecewaan manakala sangkaan kita tak cocok dengan realitas ialah kepercayaan bahwa realitas bisa disalin oleh pikiran sepersis-persisnya. Watak realitas dan sangkaan amat berbeda. Sementara realitas itu terbuka, sangkaan kita terhadapnya berwatak tertutup. Pikiran manusia selalu bekerja dalam kerangka tertentu. Artinya, di dalam sangkaan, realitas dibuat sesederhana mungkin dengan memilah dan memeringkatkan gejala-gejala ke dalam beberapa hal saja yang kita nilai punya pertalian. Dengan menyederhanakan, kita berharap mendapatkan penjelasan kenapa realitas seperti yang kita saksikan. Karena penyederhanaan bekerja dengan andaian-andaian, tentu akan ada bagian-bagian realitas yang dikesampingkan. Dengan mengandaikan segala hal lain (yang dalam sistem terbuka bisa amat banyak) itu konstan dan dengan demikian bisa dikesampingkan sebagai faktor penentu, kita bisa menarik kesimpulan yang menjelaskan bagaimana kita (kelak) bisa kerja mapan, dapat jodoh yang dicita-citakan, dan berhenti menjadi jomlo sebelum usia 30an. Persoalannya, di dunia nyata, ijazah sarjana bukan satu-satunya faktor penentu. Ada rentang waktu tak sedikit dari sebelum lulus hingga sebelum berumur 30an. Di sepanjang rentang waktu itu bisa jadi faktor-faktor yang kita kesampingkan sebelumnya ternyata timbul dan mengubah arus dan konjungtur peristiwa. Akibatnya, kerja mapan bisa menjauh dari jangkauan dan kejomloan tetap membayangi hingga melewati usia 40an. Apabila kita kukuh berpegang pada sangkaan awal, apalagi menganggapnya sebagai kebenaran paripurna, pasti kita akan kecewa sekecewanya sambil mengutuki dunia yang tak cocok dengan kehendak.

Lantas dalam konteks relasi sangkaan dan realitas yang selalu senjang, mesti bagaimanakah seorang Marxis menghadapinya?

Cara seorang Marxis untuk tetap bahagia bukanlah memeluk teguh sangkaan awal (apalagi yang sumbernya dari ‘kata orang’) dan menganggapnya kebenaran paripurna. Realitas jauh lebih keras kepala ketimbang kehendak kita. Sebagai sistem terbuka, ketika di situ operasi ceteris paribus tak berlaku, ketika semua faktor bisa saja turun serta secara serempak, realitas bisa berjalan ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Oleh karena itu, daripada menjadi tukang gerutu yang selalu memaki-maki realitas karena tak cocok dengan sangkaan, persempitlah jurang antara sangkaan yang kita buat dengan realitas yang menjadi tempat kemungkinan perwujudan sangkaan itu di dalam realitas dengan terus-menerus merombak asumsi-asumsi yang membangun sangkaan kita atasnya seiring dengan penyelidikan (dan upaya mengubah) realitas.

Untuk mengubah realitas kita mesti bertindak. Tapi untuk dapat bertindak kita tak bisa punya hanya satu langkah lompatan. Kita mesti memilah antara langkah maksimum dan langkah minimum. Selain pemeringkatan atas tujuan dan program-program yang akan kita kerjakan demi masa depan, kita juga, pertama-tama, mesti meninjau ulang sangkaan teoritik kita dan asumsi-asumsi yang membangunnya. Kemudian kita periksa lagi bagaimana rupa dan dinamika realitas yang sedang kita hadapi. Jangan-jangan asumsi-asumsi yang kita pegang keliru? Atau bisa jadi realitas yang ada di dalam gambaran saat kita membuat sangkaan dan hendak kita tuju beda dengan rupa dan dinamika nyatanya saat ini.

Kalau diringkas ulang, seorang Marxis mestinya mengambil hikmah dari Idul Adha kemarin. Pertama, agar daging yang dipanggang cukup matang untuk dimakan, kita harus menyadari dahulu perbedaan antara panggang dari api. Apabila kita beranggapan bahwa kehendak dan realitas itu sama, hanguslah dagingnya. Kita tak akan sadari betapa panasnya realitas dan rapuhnya daging. Menyatukan keduanya tanpa kesadaran akan perbedaannya membuat kita tak waspada kapan mengangkat panggang dari api, membalik panggang agar diterpa semua bagiannya, dan menyelesaikan pemanggangan.

Kedua, agar dagingnya matang, kita juga tak boleh jauhkan panggang dari api. Semakin jauh panggang dari api, semakin sangkaan teoritik itu adanya di menara gading intelektuil, makin mentahlah dagingnya. Dan daging mentah yang dibiarkan begitu saja akan menjadi busuk. Ia tak berguna kecuali bagi bakteri-bakteri yang bahagia.***

Proses Pertukaran

$
0
0

PULAU Vancouver barat laut Kepulauan Pasifik, merupakan tempat tinggal orang-orang Kwakiutl yang hidup damai sebagai pemburu dan nelayan. Mereka adalah masyarakat perpuakan (tribes society) yang sampai pertengahan abad ke-19 hidup lewat ekonomi subsisten yang ditandai hubungan yang amat minim dengan komuniti-komuniti di luar kelompok. Para antropolog (Boas 1897; Mauss 1954) telah lama dibuat kaget oleh pranata potlach yang biasa dipraktikkan oleh tetua-kepala orang Kwakiutl yang mereka sebut T’seka.

Dalam sebuah seremoni di musim dingin, para tetua-kepala ini biasa mengundang anggota-anggota serta tetua-kepala kelompok lain untuk menghadiri pesta raya di mana makanan, minuman, dan hadiah-hadiah mewah dihidangkan dan diberikan kepada para tetamu. Mereka mengelilingi api unggun sambil menyanyi, menari, atau bertukar kisah soal pengalaman berburu sepanjang tahun. Pada puncak acara, sang tetua-kepala akan mulai tampil ke depan, kadang bersama beberapa sanak saudaranya. Ia mulai berceramah soal keutamaan-keutamaan hidup, memberi nama baru bagi anggota kelompok yang melewati masa kanak-kanak, menghadiahkan topeng pada para pemburu terbaik, lalu pelan-pelan, sambil tertawa-tawa di depan tetua-kepala lain, mulai melemparkan kemah, perahu, dan permadani-permadani kulit ke kobaran api. Ia juga melemparkan barang mewah bagi orang Kwakiutl di musim dingin, seperti ikan asin. Beberapa tetua-kepala bahkan terkadang melemparkan beberapa anggota kelompok yang secara hierarkis berada di bawahnya. Sang tetua-kepala ini bukannya gila, ia hanya sedang memamerkan kekayaan dalam sebuah prosesi biasa dari mekanisme resiprositas atau pemberian hadiah dari sang tetua-kepala kepada anggota kelompok yang tidak wajib membalasnya. Tetua-kepala anggota kelompok lain lah yang wajib melaksanakan seremoni serupa jika hendak mengunggulinya. Mereka hanya perlu menyelenggarakan prosesi serupa jika hendak meraih anggota kelompok lain. Para tetua-kepala lain hanya mesti menghancurkan kemah, permadani, perahu, dan ikan asin lebih banyak jika hendak menjadi penguasa politik.

Di dalam komuniti-komuniti yang belum mengenyam produksi kapitalis, hasil-hasil produksi tidak dipertukarkan lewat mekanisme pasar, seperti yang kita kenal seperti sekarang. Karl Polanyi dalam esai “The Economy as Institued Process” pernah mengingatkan soal bahaya “kesesatan ekonomistik” (economistic fallacy) yang terjadi dalam sejarah pemikiran ketika terjadi identifikasi palsu antara ‘ekonomi’ dengan ‘pasar’. Sejarah mengajarkan bahwa mekanisme pasar bukan satu-satunya mekanisme pengaturan ekonomi yang pernah hadir di muka bumi. Mekanisme pasar, meski kini dominan, merupakan pendatang baru. Di dalam komuniti pra-kapitalis, pertukaran pasar hampir tidak dikenal sebab semua anggota komuniti dapat mencukupi kebutuhan hidup sendiri, entah lewat kegiatan produksi kelompok atau lewat mekanisme redistribusi dan resiprositas seperti T’seka. Semua hasil produksi, dalam istilah ekonomi-politik Marx, hanya mengandung nila-guna, sang “muatan material dari kekayaan”. Hasil-hasil produksi artinya belum mengandung nilai-tukar. Selama tidak ada surplus di dalam produksi, selama manusia belum mengembangkan teknologi produksi dan hanya bergantung pada alam, maka anggota-anggota komuniti tidak akan dapat dengan sengaja memproduksi barang-barang untuk menukarkannya.

Produksi komoditas lahir jauh sebelum kapitalisme. Apa yang khas di dalam sistem ekonomi kita ialah produksi komoditas menjadi satu-satunya bentuk produksi umum; produksi komoditas menjadi bentuk produksi yang dominan dibanding bentuk-bentuk produksi lain. Mengapa produksi komoditas tidak menjadi dominan sampai lahirnya cara produksi kapitalis? Sebab revolusi (dengan kekerasan) yang memisahkan produsen dengan sarana-sarana produksinya belum terjadi. Dalam kasus orang Kwakiutl, misalnya, sarana-sarana produksi tidak dimiliki dan dikuasai oleh siapapun, termasuk tetua-kepala. Para anggota komuniti hidup dalam ekonomi subsisten dan belum harus menjual tenaga-kerja kepada siapapun untuk sekadar bertahan hidup.

Seketika masyarakat telah memproduksi komoditas, barang-barang tersebut mesti memiliki kegunaan (nilai-guna) dan mempunyai kapasitas untuk dipertukarkan (nilai-tukar). Bagi sang produsen, komoditas yang ia hasilkan selalu tidak memiliki nilai-guna langsung bagi dirinya sendiri. Barang-barang itu hanya memiliki nilai-guna langsung bagi pihak di luar dirinya, sementara bagi sang produsen apa yang penting adalah nilai-tukar komoditas—nilai guna komoditas yang ia miliki hanya berarti sejauh nilai-guna ini berperan sebagai wahana (Träger) dari nilai-tukarnya. Mengapa? Sebab tanpa kegunaan, sebuah komoditas tidak dapat dipertukarkan. Menawarkan ikan salmon untuk dipertukarkan dengan barang-barang produksi orang Kwakiutl misalnya, amat sulit terlaksana sebab komuniti orang Kwakiutl hidup pada bentang geografis yang membikin mereka dikaruniai ikan salmon yang berlimpah. Karena dalam masyarakat pra-kapitalis kebutuhan komuniti relatif terpenuhi, maka pertukaran komoditas selalu terjadi di “tapal batas komuniti”, yakni pada titik-titik lokasi di mana anggota komuniti bertemu dengan anggota komuniti lain. Pertukaran yang semakin kerap terjadi akan membikin titik-titik lokasi tersebut berkembang menjadi pasar setempatan (local market). Dalam pasar setempatan inilah pertukaran antar komoditas pra-kapitalis terjadi.

Komuniti-komuniti yang mulai memproduksi komoditas mengalami dilema dalam relasi pertukaran; jika semua barang yang mereka produksi hanya berguna bagi komuniti lain, dan berlaku pula sebaliknya bagi semua komuniti yang hendak menukarkan hasil produksinya, maka bagaimana cara menyetarakan nilai-guna semua komoditas yang telah hadir di pasar? Bagaimana misalnya, menyetarakan seekor domba dengan segembol anak panah, seekor kuda, dan segepok kemenyan? Bagaimana menyetarakan kualitas ‘kenyang’ dengan ‘tajam’, dan ‘wangi’?

Menurut Marx, “perkembangan historis fenomena pertukaran membiakkan oposisi nilai-guna dan nilai yang laten di dalam hakikat komoditas”. Komuniti-komuniti pra-kapitalis yang sudah mulai kerap melakukan pertukaran menghadapi kenyataan bahwa barang yang mereka produksi dihitung hanya sebagai suatu penyetara bagi komoditas yang dibawa komuniti lain. Karena itu, komoditas mereka berperan sebagai penyetara-universal bagi semua komoditas. Komuniti-komuniti pra-kapitalis mau tidak mau mesti mentransformasi suatu komoditas tertentu yang mudah dibawa ke mana-mana, dapat dikuantifikasi secara mudah, dan relatif tidak berguna bagi komunitinya sendiri. Komoditas inilah yang akan berperan sebagai ‘uang’, yang akan menjadi penghubung nilai-guna antar komoditas. Ini mengapa Marx dalam analisisnya menyatakan “emas dan perak pada hakikatnya bukan uang, tapi uang pada hakikatnya emas dan perak”, sebab emas dan perak memenuhi fungsi-fungsi di atas. Keduanya mudah diangkut, gampang dibelah-belah, diberi cap, dan keduanya juga relatif tidak bermanfaat bagi komuniti-komuniti; emas bagi orang Kwakiutl contohnya, tidak dapat digunakan sebagai senjata tajam yang berguna untuk memotong daging atau untuk berperang. Laporan-laporan etnografis juga mencatat bahwa emas dan perak bukan bentuk uang primitif satu-satunya, karena masyarakat pra-kapitalis juga mengenal garam, gigi ikan paus, atau kulit kerang sebagai komoditas yang berperan sebagai uang.

Dengan lahirnya uang-komoditas sebagai bentuk asali uang, masalah dalam pertukaran masyarakat pra-kapitalis belum berakhir. Lahirnya uang-komoditas, hanya memudahkan semesta komoditas di pasar setempatan untuk dipertukarkan satu sama lain. Uang-komoditas, hanya merefleksikan nilai-tukar dari komoditas-komoditas, sebagai “bentuk tampakan dari nilai komoditas”. Namun uang-komoditas tidak memberitahu kita soal besaran nilai dari komoditas-komoditas itu. Bagaimana cara mengetahui besaran nilai komoditas? Para ahli ekonomi-politik Klasik, kita tahu, menjawabnya dengan mengasalkan nilai dari curahan kerja manusia yang memproduksi komoditas. Pertanyaannya, dalam pertukaran komuniti-komuniti pra-kapitalis, bagaimana mengukur curahan kerja manusia? Munculnya pertukaran komoditas memang cenderung mengarah pada terbentuknya uang-komoditas, akan tetapi dalam masyarakat pra-kapitalis, komoditas-komoditas ini dihasilkan oleh bentuk-bentuk kerja yang berbeda-beda. Apabila orang Kwakiutl adalah para pemburu dan nelayan subsisten, bagaimana menyetarakan ikan-ikan salmon yang hendak mereka pertukarkan dengan kopi orang Kuna yang diproduksi lewat pertanian irigasi?

Masalah yang hadir dalam pertukaran komoditas pra-kapitalis tak lain adalah masalah keadilan, atau lebih tepatnya, masalah keseukuran antara komoditas-komoditas. Bagaimana pertukaran antar komoditas yang adil menjadi mungkin? Hal inilah yang menyibukkan para pemikir yang berupaya menjawab masalah-masalah dalam hubungan ekonomi. Di dalam diskusi mengenai bentuk-nilai (value-form) kita bahkan dapat menyaksikan Marx memperlihatkan bagaimana “sang penyelidik agung” Aristoteles, tidak mampu menjawab permasalahan ini. Aristoteles memang telah mengatakan bahwa bentuk-uang komoditas adalah perkembangan dari hubungan pertukaran antar komoditas. “5 ranjang = 1 rumah” tidak berbeda dengan “5 ranjang = sejumlah uang” katanya. Aristoteles bahkan secara intuitif menyatakan,

tidak akan ada pertukaran tanpa kesetaraan, dan tak ada kesetaraan tanpa keseukuran“.

Tanpa keseukuran, tidak ada pertukaran. Demikian Aristoteles. Sayang sang penyelidik agung berhenti sampai di sini. Ia menyerah dengan mengatakan, “bagaimanapun, kenyataannya tidak mungkin bahwa hal-hal yang sedemikian berbeda dapat seukur”. Pertukaran dalam masyarakat pra-kapitalis, ia tinggalkan dalam teki-teki soal ketidakmungkinan keseukuran antar komoditas. Bagaimana mungkin hal-hal yang sedemikian berbeda secara kualitatif dapat disetarakan dan diseukurkan. Apabila kita menjawab curahan kerja sebagai basis nilai pertukaran komoditas, pertanyaannya kembali kepada bagaimana menyetarakan jenis-jenis kerja yang berbeda-beda? Bagaimana menyetarakan kerja pemburu-nelayan orang Kwakiutl yang amat bergantung pada musim dengan kerja pertanian irigasi orang Kuna yang relatif dapat mengatasi hambatan alam?

Masalah ini terus menghantui para pemikir ekonomi dan moral dengan sederet nama yang berupaya memecahkan masalah keadilan dalam pertukaran dari Thomas Aquinas, Thomas Wilson, John Calvin, Charles Dumoulin, Turgot, Bentham, hingga sarjana-sarjana Islam seperti Ibn Sina, Ibn Miskawaih, atau Ibn Taimiyyah[1]. Tak heran mengapa ekonomi-politik pada awal kemunculannya berurusan pula dengan masalah etika dan moral, setidaknya hingga awal abad ke-19.

Beberapa dari kita pasti pernah ke pasar tradisional dan melakukan pertukaran di sana. Beberapa barangkali juga ada yang pernah berdagang di sana. Apa yang membedakan hubungan pertukaran kita di pasar tradisional dengan hubungan pertukaran yang kita lakukan, misalnya, di Hero Supermarket? Selain bersifat relatif lebih personal, dalam pasar tradisional pada umumnya kita juga masih mengenal apa yang di dalam literatur antropologi disebut sebagai sistem harga luncur (sliding price system). Sistem ini ditandai oleh hadirnya sebuah hubungan tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Dalam tawar-menawar kita mesti cerdas-tangkas, jago bersilat lidah, dan tabah hati dalam sebuah adu urat syaraf, entah kita berperan sebagai penjual ataupun sebagai pembeli. Clifford Geertz yang legendaris dalam analisisnya atas sistem ini mengatakan bahwa tawar-menawar itu hanya merefleksikan kenyataan tak adanya pembukuan yang kompleks dan perhitungan anggaran atau biaya jangka panjang. Hal ini akibatnya, masih menurut Geertz, menimbulkan kesulitan baik pada pihak pembeli dan penjual “untuk menghitung setepat-tepatnya berapa…harga yang ‘pantas’ itu” (Geertz 1989: 33-34). Kesulitan menentukan harga yang persis bagi komoditas yang dijual di pasar tradisional karena itu bukan hanya dialami oleh sang pembeli, akan tetapi juga bagi sang penjual. Bagaimana mungkin sang penjual (yang kita andaikan produsen) juga kesulitan menentukan harga dari komoditas yang ia bawa sendiri? Untuk Geertz, kita yang belajar ekonomi-politik Marx mesti bertanya; benarkah sistem harga luncur semata merefleksikan ketiadaan pembukuan dan penghitungan jangka panjang?

Tawar-menawar bukan sekadar merefleksikan ketiadaan pembukuan atau rencana jangka panjang para penjual komoditas di pasar tradisional. Hubungan pertukaran ini merupakan jejak-jejak peninggalan dari hubungan pertukaran pra-kapitalis yang tidak memiliki konsep harga yang tetap. Tawar-menawar merefleksikan hubungan pertukaran komoditas pra-kapitalis di mana keseukuran antar komoditas sulit ditetapkan. Akibatnya hubungan pertukaran komoditas pra-kapitalis ditandai oleh hubungan pertukaran antar komoditas yang ditetapkan lewat peluang, hasrat antar pemilik, ritus magis, atau ketika pertukaran telah semakin kerap, oleh kebiasaan atau adat-istiadat. Singkatnya, besaran nilai dalam pertukaran komoditas pra-kapitalis sulit ditetapkan secara persis.

Kesulitan menemukan sarana pengukur komoditas serta fenomena historis ketiadaan harga tetap dalam hubungan pertukaran pra-kapitalis hanyalah akibat dari tiadanya konsep nilai. Masalah penemuan konsep nilai ini pun pada gilirannya bukan masalah lebih tumpulnya otak Aristoteles, Aquinas, Turgot, juga Ibn Sina dibanding Marx. Bukan juga karena Marxisme tak kunjung lahir. Konsep nilai yang komplit tidak berhasil ditemukan bahkan oleh orang-orang bijak di atas sebab kondisi historis yang melingkupi diri dan pikiran jenius mereka belum memungkinkan. Sebagian dari mereka lahir dan hidup pada masa pra-kapitalis, ketika menjadi budak sama lumrahnya dengan menjadi pegawai kantoran di zaman kita sekarang. Marx, dapat kita baca sebagai sebuah simbol bagi pemikiran yang di satu sisi dapat merangkum pemikiran-pemikiran sebelumnya, dan di sisi lain, terutama sebagai sebuah simbol lahir dan mendominasinya bentuk pengorganisasian kerja manusia yang belum pernah dikenal oleh sejarah sampai abad ke-19, yakni bentuk pembagian kerja yang lewat pemisahan sarana produksi terhadap produsen melahirkan sebuah kelas yang harus menjual kapasitas kerjanya dalam rata-rata waktu-kerja yang dibutuhkan secara sosial kepada kelas lain. Kekhasan kerja manusia dalam cara produksi kapitalis karena itu ialah sebab ia menjadi semakin abstrak. Yang ia pertukarkan bukan hasil produksinya sendiri seperti orang Kwakiutl, bukan keseluruhan hidupnya seperti para budak, bukan juga hasil kerjanya seperti kaum pengrajin atau petani-feodal, melainkan ‘hanya’ kapasitas kerjanya yang dihitung lewat rata-rata waktu kerja sosial. Formasi pembagian kerja yang semakin terkuantifikasi inilah yang memungkinkan lahirnya konsep nilai, memungkinkan hadirnya bentuk pertukaran komoditas yang dapat diseukurkan satu sama lain.

Kerja yang dapat diseukurkan melahirkan pertukaran komoditas yang dapat diseukurkan. Yang dilakukan dalam proses pertukaran pasar adalah memvalidasi sifat kuantitatif dan sosial dari produksi kapitalis. Tidak seperti hubungan pertukaran pra-kapitalis, hubungan pertukaran pasar di bawah cara produksi kapitalis justru memungkinkan keadilan, memungkinkan komoditas dipertukarkan sesuai nilainya.***

 

————

[1] Mengenai hal ini lihat Mulyanto, D. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus. Hal. 154-156; Suryajaya, M. 2013. Asal-usul Kekayaan. Yogyakarta: Resistbook. hal. 26-40. Roncaglia, A. 2005. The Wealth of Ideas: A History of economic Thought. Cambridge: Cambrdige University Press. Hal. 34-41.

Jin dan Pembaruan Rumus Umum Kapital

$
0
0

UNTUK adanya sama sekali kapital sebagai nilai yang dapat memperbanyak dirinya, kapitalis haruslah menceburkan nilai yang dipegangnya ke dalam kawah candradimuka proses produksi. Untuk itu, pertama-tama, kapitalis harus mencairkan nilai yang dipunyai dan mengubahnya ke dalam bentuk uang. Hanya dengan uang inilah mereka bisa memasuki pasar dan membeli bahan baku, menyewa lahan dan bangunan, membeli mesin-mesin dan segala tetek bengek peralatan produksi, serta mengupah pekerja. Ringkasnya, untuk bisa menciptakan nilai baru, nilai gandaan dari nilai semula, ada proses panjang yang harus dilalui kapitalis. Proses panjang ini bukanlah jalan lurus beraspal mulus selalu. Kadang kala kapitalis harus naik-turun dan mual mabuk perjalanan mengikuti topografi finansial global yang naik turun, kadang mereka terpaksa melambatkan kendaraan karena jalanan rusak oleh korupsi, atau malah harus berhenti sama sekali di tengah jalan sebelum pahala laba diraihnya karena mesin produksinya rusak atau dirampok. Menjadi kapitalis tak semudah membalikkan badan saat senam pagi. Selain medan kapitalisme yang berlendirkan persaingan dan mereka yang tak kokoh berpijak akan terpeleset dan jatuh ke jurang kebangkrutan, mereka harus juga menanggung tuduhan moral hina di mata orang kebanyakan. Mereka harus siap pula dituduh serakah, loba, tamak, dan tak pernah puas diri sehingga mustahil menjadi budha. Padahal, mereka sekadar hamba sahaya yang hidup-matinya ditentukan seberapa patuhnya mereka kepada perintah kapital. Semakin ngeyel dan mencoba berbisnis dengan hati nurani, semakin besar pula benturan kontradiksi yang harus dihadapi. Kapital akan melibas mereka. Kapital itu buta. Kapital bergerak karena hanya itu yang menjadi roh dalam modus keberadaannya di dunia. Ibarat tsunami, kapital akan menelan semua ke bawah kakinya dan menggilas menjadi puing-puing siapa saja yang tak berlari berselancar di atasnya. Intinya, menjadi kapitalis, menjadi hamba kapital yang senantiasa memaksa memperbanyak diri karena kodratnya itu, adalah perjuangan berat yang tak semua orang bisa melakukannya.

Secara formal, Marx merumuskan kapital sebagai proses yang berujung pada realisasi nilai beserta nilai gandaannya (U++). Semua kapitalis harus bisa mencapai puncak berkilau cahaya laba ini. Apabila gagal mencapainya, maka ia akan dihukum oleh pasar sebagai kapitalis tolol. Untuk sampai ke sana, kata Marx, pangkalnya dari nilai yang telah cair dari sudut pandang pasar, yakni uang (U). Dari situ nilai cair dibekukan kembali ke dalam bentuk komoditi-komoditi (K1). Artinya, untuk menghidupkan kapital, kapitalis harus mematikannya dulu dengan mengubahnya menjadi sarana produksi (SP) dan tenaga kerja (TK). Proses membekukan kembali ini bukanlah perkara mudah. Kadang kala sarana produksi sulit didapat, bahan baku mahal karena infrastruktur belum memadai atau karena tempat-tempat yang menjadi sumbernya dimonopoli. Kadang kala tenaga kerja mahal harganya. Pekerja meminta kenaikan upah terus-menerus. Untuk memurahkan harga tenaga kerja bukanlah perkara gampang. Mereka harus berserikat dan menghadapi serikat itu mereka harus juga punya kampiun-kampiun lobi dan juara-juara suap supaya orang-orang di lembaga legislatif dan pemerintahan melapangkan masuknya kepentingan mereka ke dalam legislasi.

Dengan dua jenis komoditi tersebut di tangan, barulah proses produksi komoditi bisa berjalan. Itupun tak semudah kedengarannya. Ada banyak kendala yang harus dihadapi dan dibereskan hingga komoditi-komoditi baru tercipta (K2). Di penghujung proses produksi, perjuangan kapitalis belum selesai. Amanat kapital kepada mereka bukanlah untuk menciptakan barang-barang yang berguna dan maslahat bagi banyak orang lalu mendapatkan pahala dari kegiatan itu. Amanat kapital ialah bahwa mereka harus berbisnis, dan dalam bisnis yang utama adalah laba. Untuk itu mereka harus mengubah nilai yang terkandung di dalam komoditi-komoditi kembali menjadi nilai. Bukan sekadar nilai seperti sedia kala, tapi sejumlah nilai cair seperti yang sebelumnya ditanamkan beserta gandaannya (U++). Untuk itu mereka harus bisa menjual komoditi-komoditi itu. Dalam proses inipun mereka harus putar otak bekerja keras bagaimana caranya merayu banyak orang menukarkan nilai cair atau uang mereka dengan komoditi; bagaimana caranya membuat banyak orang merasa barang-barang dagangan mereka memang dibutuhkan (padahal mungkin tidak).

Fuh! Dari rumus umum kapitalnya Marx, betapa melelahkannya menjadi kapitalis. Di dalam rumusan kapital seperti tertuang di dalam jilid pertama Das Kapital, Marx agak meremehkan proses kapitalis memperoleh nilai cair (U). Marx memulai rumusnya dari keberadaan U. Seolah-olah U ada begitu saja seperti buah khuldi yang tinggal petik. Dia mengesampingkan betapa berat beban derita kapitalis dalam memperoleh U dan memulai proses pelipatgandaan nilai. Mereka harus merendah-rendahkan diri di hadapan bankir-bankir, jungkir balik di depan meja para wali-wali dana parkiran di luar negeri, bahkan memohon-mohon kepada sekutu sekaligus pihak yang paling ingin mereka depak dari serambi bisnis (selain pekerja), yakni pemerintah, agar melonggarkan ikatan pajak dan tetek bengek yang merepotkan perolehan dana cair, investasi, dan repatriasinya. Tapi sebagai hamba, kapitalis harus patuh sepatuh-patuhnya kepada logika kapital. Apapun harus dilakukan apabila itu satu-satunya jalan ke puncak bertabur cahaya laba. Karena hanya labalah yang bisa melepaskan dahaga kapital akan dirinya sendiri. Setidaknya untuk sementara waktu karena dahaga itu melekat pada keberadaannya. Nah, dari erangan kritik para kapitalis soal peremehan atas proses mereka memperoleh dana segar di dalam rumus umum kapitalnya, Marx membuat rumus khusus kapital seperti digambarkan di dalam jilid ketiga Das Kapital. Marx menarik secara retrospektif apa yang terjadi sebelum U siap dioperasikan. Dalam rumus khusus itu Marx memasukkan variabel asal-usul dana cair dan evolusi apa yang disebutnya sebagai kapitalis finansial atau kapitalis yang posisinya sekadar membiayai proses produksi. Tentu beserta serba kontradiksi yang dimunculkan pembagian kerja baru di tubuh kapitalisme itu. Seperti yang sudah dialami dan masih dialami semua kapitalis di dunia, pemanjangan rumus umum kapital lebih ke awal menguak derita kapitalis ternyata jauh lebih berat dari yang dikira Marx sebelumnya.

Tapi hari ini para kapitalis bisa menghela nafas lega. Meski tak semuanya, setidaknya satu beban, yang selama ini diabaikan Marx dalam rumus umum kapitalnya, kini benar-benar bisa diabaikan. Tak hanya secara logis-formal, tapi empiris-aktual. Kini mereka tak harus merendahkan diri lagi. Cara baru mendapatkan dana cair telah ditemukan. Bahkan jauh lebih efektif dan efisien daripada yang selama ini ada. Untuk mendapatkan dana cair atau U dalam memulai atau mereproduksi proses produksi komoditi dan penciptaan nilai baru, cara baru dari luar pasar, jauh dari bayang-bayang bankir kikir, telah tercipta. Taat Pribadi dari Padepokan Dimas Kanjeng kini bisa menciptakan uang dan emas dari ketiadaan! Uang-uang dari balik jubahnya bisa ada tanpa PERURI dan restu Bank Indonesia!! Emas-emas batangan di peti-petinya bisa ada tanpa secuilpun turut campurnya PT. Freeport Indonesia!!!

Ibarat pepatah, panas setahun punah oleh hujan sehari. Derita puluhan tahun begelut dengan peroleh dana cair kini sembuh dengan tiba-tiba. Langkah optimis menjelang masa depan cerah kapitalisme kini kian terbuka lebar. Jin-jin kini bisa diintegrasikan ke dalam proses. Sudah saatnya bubarkan lobi-lobi perbankan. Sudah masanya kita pensiunkan para pialang forex karena Taat Pribadi tak hanya dapat menciptakan mata uang rupiah dalam sekejap mata, tapi juga mata-mata uang asing yang penting dalam pertukaran global.***


Boris Hessen dan Sejarah Ilmu

$
0
0

TENGAH tahun 1931, Nikolai Bukharin memimpin segerombolan ilmuwan garda depan Uni Soviet menuju London, Inggris. Di sana mereka akan menghadiri ‘Kongres Kedua Sejarah Ilmu dan Teknologi’, konferensi keilmuan yang mau membahas perkembangan ilmu lewat perspektif sejarah. Saat itu, analisis Marx belum banyak digunakan secara luas di luar jalur klasik ekonomi-politik. Bidang disiplin sejarah ilmu yang hendak dikaji juga belum luas masuk ke dalam institusi resmi. Pekerjaan menyelidiki sejarah perkembangan satu bidang keilmuan umum dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan pensiunan, atau sebagai sebuah kajian pendahuluan dari karya yang lebih besar.

Semula perspektif dominan yang dipakai melihat sejarah perkembangan ilmu hanyalah perspektif internalisme. Gagasan-gagasan keilmuan, dikaji melalui rekonstruksi rasional di dalam ruang lingkup sejarah ilmu itu sendiri. Kemunculan, atau perkembangan sebuah gagasan keilmuan, dipandang semata-mata hasil dari dialog atau kritik atas gagasan-gagasan yang lahir sebelumnya. Sudut pandang ini awalnya dinilai paling adil dalam menilai aktivitas para ilmuwan—sejarah ilmu, ya, dinilai lewat gagasan yang hadir di dalam sejarah ilmu saja. Tapi bukan keadilan kalau berat sebelah. Perspektif ini pelan-pelan dikritik sebab dianggap mempertahankan pandangan ilmu sebagai entitas yang berdiri bebas di luar kondisi-kondisi sosial. Memang aneh rasanya membayangkan seorang ilmuwan sebagai sejenis pertapa yang hidup mengambang di antara langit dan bumi.

P. G. Werskey mengenang kedatangan gerombolan Bukharin di konferensi sejarah ilmu saat itu amat berpengaruh hingga “membikin sejumlah besar ilmuwan alam kembali menggeluti bidang sejarah ilmu yang telah lama ditinggalkan”. Mereka kompak mengajukan sudut pandang yang relatif baru dalam memandang sejarah ilmu; perspektif eksternalisme, perkembangan ilmu-ilmu tidak dapat dilepaskan dari kondisi-kondisi di luar aktivitas keilmuan sendiri. Bagi para ilmuwan Soviet ini, justru sebaliknya, kondisi-kondisi di luar aktivitas keilmuan yang menjadi prasyarat bagi penemuan-penemuan ilmiah. Matematikawan Arnost Kol’man, misalnya, mengajukan reorientasi matematika di bawah terang kajian alam, atau diterapkan pada ekonomi terencana sosialis. Tanpa orientasi ini bagi Kol’man, matematika rawan terjerumus dalam rumusan formil.

Yang paling menarik adalah dari fisikawan Boris Hessen, “The Social and Economic Roots of Newton’s ‘Principia’. Di sana Hessen menguraikan beberapa konteks ekonomis-teknologis penemuan-penemuan Isaac Newton di abad 17. Menjadi menarik, salah satunya, karena tesis yang Hessen hasilkan dari kajian ini ternyata berbagi kesimpulan yang sama dengan makalah ekonom Henryk Grossman, “The Social Foundation of Mechanistic Philosophy and Manufacture” (1935) yang muncul bertahun kemudian. Apabila Hessen mengkaji konteks sosial penemuan Newton, maka Grossman memeriksa konteks historis filsafat mekanistik Descartes. Meski dilakukan dalam lokasi dan waktu yang berbeda, kesimpulan serupa yang dihasilkan keduanya dalam sejarah ilmu kemudian dikenal sebagai Tesis Hessen-Grossman.

Hessen menguraikan bagaimana seorang Newton yang hidup di dalam sebuah zaman peralihan. Zaman ketika kelas borjuasi (yang sebelumnya adalah anak bawang) sedang berusaha memenggal kepala bangsawan-bangsawan feodal. Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (1687) terbit ketika revolusi borjuasi 1649-1688 di Inggris berlangsung. Ketika para borjuasi revolusioner ini berusaha merebut negara, membebaskan desa-desa manorial dari keterisolasiannya, membuat kota-kota tumbuh, dan membikin para penggarap lahan semakin bergantung pada produksi dan uang dari perkotaan. Manufaktur-manufaktur dan kapital dagang lahir, berikut kebutuhan tinggi atas sumber-sumber ekonomi baru di luar lahan-lahan garapan feodal. Tuntutan ekonomis ini, Hessen tunjukkan, menghasilkan serangkaian masalah teknis. Lahir lonjakan kebutuhan atas peningkatan alat transportasi, kebutuhan atas pembukaan industri-industri baru, dan bersaman dengan itu, perang-perang yang makan banyak biaya.

Pertanyaan yang berputar di kepala borjuasi saat itu berkisar soal bagaimana cara membikin kapal-kapal yang bisa memuat barang lebih banyak tanpa sekaligus tenggelam; bagaimana cara menggali biji logam/emas yang terletak jauh di perut bumi; atau, bagaimana cara agar laju proyektil menuju mulut laras berlangsung lebih cepat. Semua pertanyaan yang bila diperhatikan tidak bisa dijawab borjuasi yang kepiawaiannya saat itu adalah berdagang. Mereka, sayangnya, saat itu juga tidak bisa meminta bantuan orang-orang universitas; universitas telah lama disodomi gereja, mereka, meminjam Louis Althusser, adalah “aparatus ideologis negara”. Abad pertengahan yang feodal meninggalkan pendidikan yang terbelakang dan ilmu-ilmu alam yang diajarkan hanya sejauh telah disaring oleh para pendeta. Masalahnya, keadaan ekonomi yang baru memerlukan kajian fisika dan matematika. Borjuasi memerlukan penemuan-penemuan mutakhir.

Bagi kaum revolusioner ini solusinya jelas; setelah menang secara ekonomis, ini saatnya perang ideologis. Bentuk komunitas-komunitas ilmiah di luar universitas yang siap melawan dekadensi universitas. Salah satunya adalah Royal Society di London dimana Newton adalah salah satu bagian. Komunitas ini yang ikut membantu Newton mempublikasikan ‘Principia’. Karya inilah yang menjadi pemecah kebuntuan teoretis, peletak pondasi mekanika klasik yang jadi dasar pemecahan masalah-masalah teknis yang lahir pasca tatanan feodal runtuh. Tidak pelak konteks historis dari penemuan Newton ini membuat Hessen menarik kesimpulan; perkembangan ekonomi menuntut pengembangan teknologi-teknologi baru, yang pada gilirannya merangsang kajian-kajian teoretis keilmuan.

 

Tabel hubungan faktor ekonomi, teknologi, dan ilmu yang melingkupi ‘Principia’ Newton[1]

hessen

Jadi alih-alih memandang pemikiran Newton sebagai hal yang lahir di ruang hampa, Hessen berupaya menunjukkan syarat-syarat historis kemunculan Mekanika Newton. Dengan ini Hessen, sebagai sejarawan ilmu, juga tidak hendak melangkah jauh seperti para relativis sejarah ilmu yang bermodal kajian historis, lalu menarik kesimpulan lintas-disiplin soal “relativitas pengetahuan”, “ketiadaan objektivitas”, dan sejenis-sejenisnya. Bukan ini yang disasar oleh Hessen. Yang ia sasar justru adalah pandangan otonomi ilmu yang absolut dari masyarakat. Ia tunjukkan, bahkan ilmu yang tampak jauh dari hiruk pikuk ekonomi dan politik seperti mekanika, nyatanya merupakan salah satu senjata pamungkas dalam perjuangan kelas yang tidak hanya terdiri dari paku dan pena, namun juga bayonet dan senapan.

Selain dicatut sebagai kajian pelopor dalam bidang sejarah ilmu, konsepsi eksternalis sejarah ilmu Hessen, sebagaimana hampir segala hal yang datang dari Soviet, juga kerap lekas di cap sebagai Marxisme yang vulger. Agaknya janggal mengatakan bahwa segala penemuan dan jerih payah seorang ilmuwan jenius nyatanya dikondisikan oleh hal-hal material ekonomi-teknologis yang dingin dan kering. Akar pemikirannya memang datang dari Marx sendiri di Preface (1859), soal “[c]ara produksi kehidupan material mengondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual dari masyarakat. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan sosialnya, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadarannya”. Namun lewat Hessen, sekurangnya bagi saya, hadir pemahaman bahwa tiap kali Marx bicara soal yang “material” atau “ekonomis-teknologis” hal itu tidak pernah dimengerti sebagai “benda-benda”. Sehingga materialisme adalah pandangan yang mengutamakan benda-benda di atas orang-orang. Bukan, bukan itu yang dimaksud oleh Marx dan Hessen. Baik bagi Marx atau Hessen, yang “material” lebih mengacu pada relasi-relasi kelas; hubungan-hubungan antar sesama manusia dan antara manusia dengan alam dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup, yang diperantarai oleh bentuk-bentuk kepemilikan privat. “Perubahan material” dalam era Newton sama artinya dengan usaha pembalikkan masyarakat dalam wujud perang sipil, para bangsawan yang menghadapi guillotine, lahan-lahan garapan di pedesaan yang dirampas, dan tampilnya borjuasi ke atas panggung sejarah. Jadi ketika Hessen mengajukan pandangan sejarah ilmu yang berbasis pandangan materialis, maka bukan berarti kita sedang menundukkan daya pikir umat manusia di bawah benda-benda. Yang terjadi seharusnya adalah pengertian bahwa ilmuwan (sebagai anggota dari spesies manusia) yang memiliki daya pikir, memiliki otak, juga memiliki lambung yang mesti diisi dengan cara berelasi dengan manusia satu sama lain. Artinya, ilmuwan juga terbagi dalam kelas-kelas. Newton boleh terkenal mati sebagai perjaka dan tidak mengenal perempuan seumur hidupnya. Namun sebagai anggota masyarakat manusia, ia mesti tergabung ke dalam kelas-kelas dan tidak kebal dari perubahan yang terjadi di dalamnya. Tak salah lagi karena itu bagi kita untuk mengungkapkan; sejarah dari semua ilmu yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.***

 

—————

[1] Sumber, Hessen [1931] dalam N. I. Bukharin., et al. Science At The Cross Roads. Frank Cass, 1971.

Cinta dan Ikhtiar

$
0
0

ENTAH ulamnya tiba atau tidak, pembaca pasti pernah mencintai pucuk. Syukur kalau pucuk dicinta ulam pun tiba. Kalaupun tidak, pernah mengalaminya saja bisa jadi suatu berkah. Cinta itu apa sih? Apakah cinta bisa diciptakan, ataukah seperti anugrah pada umumnya yang harus ditunggu saja kedatangannya? Apakah cinta itu abadi dan berada di bawah kendali hukum termodinamika ataukah cinta itu fana sefana ruang dan waktu menurut teori relativitas? Mungkin ini pertanyaan-pertanyaan paling ngawur yang pernah tayang di rubrik Logika. Tapi kata orang bijak, pertanyaan ngawur saja punya hikmah. Setidaknya menolong kita yang menyadari kengawurannya untuk bisa merumuskan pertanyaan bagus.

Kalau ditanya soal cinta, saya cuma bisa bilang bahwa cinta itu sesuatu yang kualitatif, imaterial, dan tak berdimensi. Sebagai yang kualitatif dan imaterial, bahkan intuisi subjektif kita saja tidak akan memberi tahu kita soal cinta yang sedang membara itu. Artinya, kalau kita ingin tahu seberapa besar, sebarapa dalam, seluas apakah, atau seberat apakah cinta kita, kita haruslah membuatnya material, berdimensi, dan dengan demikian bisa diukur. Mungkin ini tergolong perbuatan penistaan terhadap cinta. Betapa tidak, sesuatu yang polos murni tanpa noda keterkungkungan mesti dikotori oleh materi berdimensi. Bagaimana tidak mengotori, dengan membuatnya material dan berdimensi, kita memberangus cinta ke dalam hal-hal duniawi nan kasat mata. Tapi itulah kehidupan. Penuh kontradiksi. Sekali kita ingin tahu seberapa besar cinta kita, kita mau tak mau mesti mengkuantifikasinya. Dalam bahasanya Martin yang filsuf, sesuatu yang multak hanya bisa diketahui dengan mengenali negasinya, yaitu yang fana. Artinya, sesuatu yang kualitatif mesti dinegasi ke dalam yang kuantitatif.

Pertama-tama, materialisasikanlah cinta ke dalam kehendak di dalam tubuh karena satu-satunya yang paling dekat sekaligus material dengan sumber cinta itu ialah tubuh kita sendiri, bukan tubuh orang lain. Tapi sekadar kehendak mencintai tak akan membuat kita tahu keluasannya. Jangankan orang yang kita tuju, kita sendiri pasti masih meraba-raba seberapa dalam cinta kita padanya. Jadi, kehendak itu mesti diutarakan ke dalam tuturan fasih agar terdengar ke telinga yang dituju. Asumsikan saja bahwa tuturan fasih kita tak hanya didengar sambil lalu tapi juga disimak sungguh-sungguh dan kita pun jadian. Namun ini saja masih belum cukup. Kita baru tahu seberapa besar cinta kita hanya dari barisan kata-kata yang kita tuturkan saja. Apabila kita sungguh-sungguh ingin mengetahuinya, kita harus mengubah kehendak dan tuturan itu menjadi tindakan. Ambil contoh, kecengan meminta dijemput di bandara yang jaraknya 100 km padahal kita cuma punya motor butut keluaran 1980. Kalau kita menolak dengan alasan tersebut terlalu jauh, sedang sibuk, dan lain sebagainya, maka bisa diukurlah sebenarnya cinta kita tak sedalam lautan seluas samudra. Dalam timbangan (al-mizan) cinta, 100 km menjadi suatu beban amat berat manakala cinta kita begitu ringan. Apabila kita menerima permintaan 100 km itu, apalagi dengan hanya mengendarai motor butut keluaran 1980an, di tengah-tengah gerimis dan kemacetan Jakarta pula, maka baik kita maupun kecengan bisa mengukur bahwa beban itu tak seberat cinta yang kita punya. Ternyata kehendak mencintai kita cukup besar untuk menaklukkan 100 km macet dan gerimis.

Apakah itu semua cukup? Ternyata tidak. Karena cinta itu kualitatif, seberapa banyak pun upaya kita untuk mengkuantifikasikannya, kita tak akan pernah secara paripurna mengetahui kesublimannya. Cinta, seperti halnya ide berubah-ubah rentangannya. Toh ia imaterial tak berdimensi. Untuk mengetahuinya kita mesti mengubah hasil kuantifikasi yang sudah dijalankan kembali menjadi kualitatif. Dalam bahasanya Martin yang filsuf, negasi akan meng-aufhebung, negasi dalam rupa kuantifikasi itu akan mengangkat derajat cinta satu tingkat secara kualitatif. Ketika cinta naik satu derajat, perjalanan baru kuantifikasi baru dan pengkualitatifannya akan berulang lagi dan lagi. Boleh dibilang, tak seperti definisi di awal, alih-alih ‘sesuatu’ (a thing) cinta itu nyatanya ialah proses. Bagi mereka yang watak cintanya empirisis tentu sekadar ngajak jalan-jalan, belanja, atau jemput sudah cukup. Namun mereka tak paham bahwa cinta dialektis. Semakin tinggi taraf cinta yang telah terbuktikan, semakin berat beban kuantifikasi yang mesti dijalankan. Cinta tak selesai diukur hanya dengan menghitung ongkos jalan-jalan dan belanja. Jalan-jalan dan belanja, berkorban harta dan waktu, yang sifatnya kuantitatif itu haruslah menjalani operasi dialektika berikutnya, yakni negasi-atas-negasi. Ujungnya bukanlah suatu jalan buntu yang tak ada apa-apa di baliknya, tapi jalan baru lagi dan lagi.

Sampai sini tentu pembaca bertanya-tanya: apa hubungannya omongan tentang cinta dengan rubrik Logika yang selama diasuh Martin begitu mentereng isinya?

Sekecil apapun, semua Marxis pasti punya iman pada keruntuhan kapitalisme dan terbitnya fajar sosialisme sebagai bentuk penataan masyarakat yang paling baik. Terlepas dari iman itu dibumbui oleh ‘yang ilmiah’, tetap saja ia itu iman yang hakikatnya sekualitatif kehendak atau cita-cita. Iman, kehendak, atau cita-cita itu kualitatif, rohani, imateriil. Untuk tahu seberapa besar kehendak, tak cukuplah sekadar bayang-bayang di benak, gerutu di mulut, atau curhatan di Facebook. Ia mesti dimaterialisasi ke dalam tindakan. Kehendak revolusioner mesti dinegasikan menjadi tindakan revolusioner. Kalau kehendak revolusioner itu kehendak untuk mengganti, bukan sekadar menambal-sulam, tatanan kapitalisme, lalu apa itu tindakan revolusionernya? Tentu saja tindakan-tindakan yang menyulih kapitalisme dengan sosialisme. Tapi tindakan seperti apa yang menyulih kapitalisme dengan sosialisme itu? Apakah tindakan seperti Revolusi Maret 1848? Pendirian Komune Paris 1870an? Revolusi Soviet 1917? Ataukah seperti perang pembebasan Tiongkok 1940an? Revolusi Kuba? Atau Revolusi Kebudayaan Tiongkok 1970an?

Seperti cinta, kita tidak bisa mengandalkan rencana tindakan pada kisah-kisah telah lalu yang pernah dilakukan orang lain. Kisah-kisah lalu hanya sebagai sumber kita mengambil pelajaran, bukan resep siap pakai. Mengapa? Orang yang kita mintai saran belum pernah menjadi kita. Mereka menempati ruang-waktu yang berbeda dengan kita. Satu-satunya hal yang diambil dari kisah mereka ialah kerangka umum tindakan atau, dengan kata lain, teori. Dan itu artinya mensyaratkan abstraksi di sisi kita.

Seperti kehendak mencintai, kehendak revolusioner berada dalam semesta materiil-objektif yang spesifik. Boleh saja kisah cinta seseorang itu kita anggap sukses atau gagal. Tapi kesuksesan dan kegagalan bukanlah kategori universal. Seperti semua hal di dunia ini, mereka terikat pada ruang-waktu yang tidak direplikasi. Realitas itu tidak bisa disalin karena ia itu proses. Boleh saja kita abstraksikan ia ke dalam rumusan-rumusan tertentu. Tapi ingat bahwa di setiap abstraksi kita akan kehilangan rincian. Terutama aspek ruang-waktunya. Jadi, bukan langkah-langkah atau prosedur yang menghantar ke kesuksesan atau ke kegagalan itu yang mestinya dipetik menjadi hikmah karena meskipun telah kita sari dan dijadikan sepotong teori, tidak semua langkah itu niscaya berhasil di dalam ruang-waktu yang berbeda. Windu Jusuf boleh saja berkehendak menjadi pacarnya Raisa setelah meninjau kisah-kisah kesuksesan kawannya menjalin cinta. Namun, ada semesta materiil-objektif yang menentukan mungkin tidaknya kehendak dan teori itu tercapai. Tak cuma soal seberapa banyak pendapatan bulanan untuk mengongkosi makan malam di Singapura, bahkan untuk mendekat saja paling banter dia akan dianggap fans saja dan pertama-tama akan dihadapi manajernya. Boleh saja kehendak kita menggebu-gebu, tapi selusin pemuda-pemudi dengan bambu runcing tak akan mudah menang dalam peperangan melawan sebatalion pasukan kavaleri, hanya karena konon Bung Tomo mengalahkan pasukan Inggris dengan pasukan bambu runcing.

Apa yang pernah dilakukan orang-orang terdahulu tak bisa dijadikan resep revolusi. Paling banter catatan sejarahnya bisa menjadi bahan pelajaran bahwa revolusi itu mungkin. Soal seperti apa jalannya sekarang atau di masa depan, sejarah cuma bisa menyediakan bahan baku untuk dipungut lewat abstraksi pula. Kapasitas teoritis untuk menyari anasir-anasir apa yang bisa dipelajari, menjadi syarat mutlak landasan kehendak revolusioner. Lenin pernah bilang bahwa tak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Teori dan praktik bukanlah dua ranah yang berdiri sendiri. Sejarah revolusi memberi kita pelajaran bagaimana teori dipraktikkan, teori dimaterialisasi. Hasilnya, entah sukses ataupun gagal, mesti dijadikan bahan baku pokok dalam menyusun teori baru. Artinya, kehendak mestilah teoritis untuk menjadi tindakan, dan teoritis artinya kita mesti insaf bahwa senantiasa ada yang hilang dalam proses pembuatannya. Tak ada yang salah dengan kehendak menggebu-gebu. Tak salah pula meyakini kebenaran teoritis yang dirumuskan dari pengalaman masa lalu orang lain. Namun kehendak dan teori bukanlah realitas yang bisa mengada dalam dirinya sendiri. Mereka bertaut secara organik dengan praktik dan tindakan seperti halnya kehendak akan cinta mesti dikuantifikasi ke dalam tindakan, dan tindakan, pada gilirannya, mesti menjadi bahan baku mengangkat kualitas kehendak.***

 

Jatinangor 8-11-2016

Tiga Pengandaian Marx

$
0
0

TULISAN ini akan sedikit mendiskusikan paparan Maurice Godelier, seorang ilmuwan sosial asal Prancis dalam bukunya, Rationality and Irrationality in Economics (1972). Hal ini berkenaan dengan salah satu aspek dari apa yang dikenal sebagai “metode Marx” dalam Kapital I. Dengan kata lain, mengenai penerapan materialisme dialektis ke kajian ekonomi-politik. Diskusi ini penting untuk, sekali lagi, memahami sifat-sifat pemikiran Marx; misalnya, untuk mengerti bahwa sifat ilmiah itu bukan klaim para Marxis saja sehingga dapat dipelajari serta dimanfaatkan pula oleh kawan-kawan yang bukan Marxis.

Soal pertama yang mesti dihadapi ketika baru saja mengenal ekonomi-politik adalah sifat dari ilmu itu sendiri. Sebagai sebuah ilmu yang lahir sebelum mengenal corak pembagian keilmuan kontemporer—mengenal pembelahan ilmu-ilmu ke dalam sub-sub bidang yang makin sempit—ekonomi-politik terlihat megah. Di satu sisi ia kental dengan nuansa historis; “Ekonomi-politik adalah ilmu sosial dengan dimensi historis yang krusial”, kata sejarawan ekonomi Alessandro Roncaglia. Sedang di sisi lain, ekonomi-politik adalah ilmu kesejarahan masyarakat yang tampak begitu “filosofis”. Di dalamnya tidak ada deretan data-data sejarah lengkap dengan urutan kronologisnya. Tidak juga ada “ilmu sejarah” seperti yang dikenal sekarang ini. Yang akan terlihat adalah diskusi-diskusi mengenai konsep-konsep tertentu dalam suatu kerangka sistem teoretis lengkap dengan ilustrasi historisnya. Ibaratnya, filsafat+sejarah = ekonomi-politik.

Tegangan ini dijawab Marx lewat pemilahan prosedur formal antara method of inquiry (metode penyelidikan) dan method of presentation (metode penyajian). Jika dalam proses penyelidikan Marx memeriksa bahan-bahan historis yang jadi dasar bagi konsep-konsep teoretisnya, maka dalam penyajiannya Marx berupaya memaparkan hasil penyelidikan itu dalam bentuk sistem teoretis. Alat bantu yang digunakan oleh Marx dalam proses ini adalah abstraksi. Ia bekerja selayaknya seorang biolog dengan mikroskopnya yang mau menemukan sel-sel penyusun mikroba. Proses abstraksi karena itu adalah mikroskopnya ilmu-ilmu sosial. Abstraksi, kata Lenin, membantu mengenal realitas secara lebih dalam, lebih penuh, dan lebih tepat. Yang hadir dalam buku Kapital I karena itu bukan lagi sejarah lengkap detail-detail historisnya, melainkan jalinan konsep-konsep atau kategori-kategori teoretis. Karenanya bisa dipahami mengapa Karl Kautsky (1887), dalam buku yang ia bikin untuk mempopulerkan Kapital, mengatakan Kapital, “…Pada esensinya merupakan karya historis”. Kealpaan akan dimensi historis konsep-konsep Marx ini mestinya merugikan.

Langkah “deduktif-hipotetis” dijalankan untuk menjawab pertanyaan utama dalam kajian ekonomi-politik. Pertanyaan Marx bukan soal tinggi-rendahnya tingkat perkembangan produksi kapitalis; apakah ia berada dalam tahap pra-monopoli, tahap kapital-dagang, tahap imperialisme, dst,. Pertanyaannya juga bukan soal lokasi geografis produksi kapitalis; apakah produksi berada di negara Inggris atau di benua Asia. Pertanyaan yang ia ajukan dalam Kapital adalah mengenai hukum-hukum cara produksi kapitalis—untuk menyibakkan “hukum-hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern”, “hukum-hukum” yang memungkinkan naik-turun serta berpindah-pindahnya perkembangan produksi tersebut. Ia sendiri telah mengingatkan, meski terlihat banyak menggunakan data-data historis negara Inggris abad ke 18/19, data-data ini ia perlakukan semata-mata sebagai “ilustrasi historis” bagi sistem teoretis yang hendak ia bangun.

Dalam konteks arsitektur Kapital di atas ini, Godelier bicara soal tiga pengandaian yang Marx gunakan lewat metode deduktif-hipotetis. Seperti yang sudah ditunjukkan, pengandaian deduktif-hipotetis ini berasal dari proses penyelidikan historis yang dilakukan sebelumnya.

 

Hipotetis pertama adalah hipotetis yang diperlukan untuk menemukan fundamen cara produksi kapitalis. Saya terjemahkan sedikit kutipan dari Godelier;

Kapital sepenuhnya bersandar pada asumsi yang disederhanakan untuk membatasi secara a priori bidang analisis, agar bidang analisis tersebut disaat yang sama dapat ‘mengorganisasi dirinya sendiri’” (Godelier, 1972: 136).

Penyederhanaan ini terlihat paling kentara dalam pembagian cara produksi kapitalis kedalam dua kelas sosial proletariat-kapitalis, serta relasi ekonomisnya, yakni antara kerja-kapital. Kelas-kelas lain yang secara aktual juga hadir dalam masyarakat kapitalis (misalnya tuan tanah, “petani”, lumpen borjuasi, dst) hanya dihitung sejauh pendapatan mereka, keberadaan mereka, merupakan turunan dari relasi produksi proletariat-kapitalis, atau, ketika mereka “tereduksi” menjadi salah satu bagian dari kelas-kelas produksi kapitalis. Misalnya “petani” yang sebagian besar penghidupannya bergantung pada kerja-upahan maka dalam Kapital ia akan disebut sebagai proletariat atau pekerja-upahan.

Menarik mencermati bahwa Marx sepertinya memandang proses penyederhaan, atau pemurnian ini tidak terjadi hanya dalam teori melainkan juga dalam realitas itu sendiri. Kita bisa mengingatnya sejak Manifesto Partai Komunis di mana Marx menyatakan bahwa kelas-kelas lain seiring waktu akan terlempar ke dalam salah satu kelas utama dalam produksi kapitalis. Saya kembali menyadari hal ini ketika membaca cuplikan dari buku III yang dikutip Godelier berikut;

“Dalam teori, kita mengasumsikan bahwa hukum-hukum cara produksi kapitlais berkembang dalam bentuk murninya. Dalam kenyataan, hal ini hanya suatu penaksiran; namun penaksiran ini semakin akurat, seiring perkembangan cara produksi kapitalis dan semakin sedikit ia tercemar oleh kondisi-kondisi ekonomi terdahulu yang membikinnya bercampur-baur. (Ibid.)”

 

Hipotetis kedua, komoditas dipertukarkan sesuai nilainya.

Hipotetis kedua ini bisa kawan-kawan pahami dari halaman 257-260 diktat ekonomi-politik Asal-usul Kekayaan (Resistbook, 2016) karangan Martin Suryajaya. Saya hanya akan menambahkan sedikit hal dan mengajukan pertanyaan. Menurut Godelier, hipotetis ini adalah langkah operasional yang dibutuhkan Marx dalam analisisnya untuk koherensi teoretik dan bikin deduksi atas kategori-kategori ekonomi lanjutan. Jika Marx berangkat dari hipotetis ini maka pertanyaannya, “apakah komoditas paling utama dalam cara produksi kapitalis?” Jawabannya, adalah labour-power (tenaga-kerja)—kerja sebagai komoditas. Nah, konsekuensi logisnya, jika Marx mengandaikan komoditas dipertukarkan sesuai nilainya, jika ia mengandaikan bahwa kelas kapitalis sebagai pembeli tenaga-kerja, membayar buruh sesuai nilainya, maka dari mana kah asal-usul nilai-lebih?

 

Hipotetis ketiga, kategori-kategori ekonomi berelasi secara fungsional.

Di sini kategori-kategori ekonomi terjalin secara fungsional—saling mensyaratkan, menjelaskan, dan melengkapi satu sama lain. Tidak ada kategori-kategori ekonomi yang hadir tanpa dijelaskan terlebih dahulu syarat-syarat kehadirannya. Tidak ada kategori ekonomi yang berdiri sendiri, mendadak hadir secara ad hoc terlepas dari totalitas objek kajian. Kategori-kategori ekonomi yang lebih kompleks, misalnya teori krisis atau kapital finansial, selalu dijelaskan sebagai sebuah perkembangan logis (dialektis) dari kategori-kategori ekonomi sebelumnya yang lebih sederhana (sekaligus abstrak) yang jadi prasyarat kehadiran kategori-kategori lain yang lebih kompleks (sekaligus konkret). Sulit bicara soal “krisis kapital” misalnya, sebelum terang dahulu apa yang dimaksud dengan “kapital”, apa komponen yang menyusunnya, dan apa syarat-syarat keberadaannya.

Hipotetis ketiga ini bersandar pada hipotetis pertama dan kedua yang telah dibahas di atas. Meski memahami objek kajiannya sebagai suatu kesatuan yang tersusun oleh jalinan kategori-kategori yang saling terlengkapi identitasnya, Marx memaparkan relas-relasi ini lewat satu pondasi dasar yang dapat jadi titik pijak penjelas akan fenomena yang lebih kompleks, pondasi itu adalah teori nilai. Segala kategori ekonomi yang hadir di dalam Kapital, komoditas, uang, kapital, tenaga-kerja, akumulasi kapital, dlsb, hanyalah turunan dari teori nilai. Menurut Godelier, konsekuensi dari deduksi-hipotetis ketiga ini adalah kemungkinan pembangunan model kalkulasi matematis dari komponen-komponen kategori ekonomi Marx. Sepanjang Kapital I, hal ini, misalnya, terlihat lewat model rumus umum kapital, rumus tingkat nilai-lebih, rumus komposisi organik kapital, atau rumus tingkat-laba yang Marx hadirkan.

Satu aspek yang tidak didiskusikan oleh Godelier dalam paparannya adalah sifat dari relasi kategori-kategori ekonomi ini dalam analisis Marx. Menurut saya, sifat dari relas-relasi ini bukan (hanya) fungsional, melainkan dialektikal. Relasi-relasi ini bukan hanya saling mensyaratkan, menjelaskan dan melengkapi, tetapi juga saling menegasi satu sama lain. Segala perkembangan dari kategori-kategori ekonomi lahir dari kontradiksi komponen-kompenen penyusunnya. Satu contoh yang memperlihatkan hal ini dengan amat benderang adalah analisis Marx mengenai “Bentuk-nilai”. Di sana, hanya dengan berbekal komponen-komponen yang menyusun komoditas, Marx mampu memberi penjelasan akan lahirnya kategori uang-komoditas sebagai hasil perkembangan dari pertukaran komoditas. Ia berhasil menunjukkan bahwa uang hanyalah perkembangan logis dari meluasnya pertukaran komoditas.

Jika diringkas maka pengandaian pertama membantu menemukan esensi dari objek penelitian, pengandaian kedua menolong menemukan sebab dari perkembangan fenomena, dan pengandaian ketiga memperlihatkan kesalinghubungan sekaligus sifat sementara dari fenomena yang sama. Lewat pemahaman akan hal ini kita akan terbebas dari beberapa pertanyaan yang kerap menghiasi kepala ketika baru mengenal pemikiran Marx, semisal hubungan antara teori dan realitas yang aktual, soal berlakunya hukum penawaran-permintaan, atau hubungan konsep-konsep dalam ekonomi-politik Marx.

Kalau maksud tulisan ini tersampaikan dengan baik, satu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dalam pemikiran Marx, metode terkait erat dengan objek kajian; metode yang tepat adalah cara berpikir yang dapat menyalin dan merefleksikan kembali realitas di dalam kognisi secara tepat. “Metode Marx” dibedakan dari “Dogma Marx” sebab cara berpikir ini tidak berangkat dari formula-formula yang siap-sedia diterapkan secara universal, tidak juga lewat cara mencari-cari “prinsip cara berpikir Marxis” teks-teks Marx, melainkan selalu bertolak dari realitas, sehingga penerapannya juga selalu sensitif pada perbedaan-perbedaan kualitatif realitas yang dikaji. Justru realitas yang mengondisikan bagaimana cara paling tepat untuk berpikir. Dilihat dari sudut yang lain, kesimpulan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, soal batas-batas dari metode Marx; bidang atau objek apa yang tidak mampu dijelaskan oleh metode Marx? Kedua adalah sebaliknya, soal perluasan metode ini; mengapa cara berpikir Marx dapat diperluas hingga menjadi sebuah Weltanschauungsmarxismus (pandangan dunia Marxisme)? Saya sendiri belum mampu menjawabnya.***

Tantangan Arsitektur Partisipatoris

$
0
0

Foto Rumah Contoh di Kampung Tongkol

Catatan Diskusi Arsitektur Partisipatoris di Ruang Gerilya, Bandung, 11 November 2016

 

PADA akhir tahun 2015 dan awal 2016, sekelompok arsitek muda yang tergabung dalam Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) melakukan pendampingan arsitektur pada masyarakat Kampung Tongkol di tepi kali Ciliwung, Jakarta. Inisiatif datang dari warga. Posisi kampung yang terletak di tepi kali Ciliwung sekaligus membelakangi tembok benteng Belanda membuat Kampung Tongkol rentan menjadi target penggusuran. Mengantisipasi ancaman penggusuran inilah seorang tokoh penggerak masyarakat setempat yang akrab dipanggil Mas Gugun mengundang kawan-kawan ASF-ID untuk melakukan uji-coba penataan-ulang ruang hidup yang melibatkan warga. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa pemukiman urban di tepi kali dapat tumbuh dalam koeksistensi yang saling-menunjang dengan keadaan sekeliling dan, dengan demikian, menjadi lenyaplah rationale bagi penggusuran terhadapnya.

Demikianlah, akhirnya terjadi kerja bersama membangun rumah contoh di Kampung Tongkol yang konstruksinya selesai pada bulan Januari 2015. Dengan dana talangan yang berhasil dihimpun oleh Urban Poor Consortium (UPC) sebesar 160 juta rupiah, warga kampung berhasil membangun ulang sebuah rumah yang dihuni tujuh keluarga. Rumah contoh ini dirancang menjadi tiga lantai dengan dua lantai pertama dikonsepkan sebagai ruang hunian yang disekat-sekat, sedangkan lantai ketiga sedianya dimaksudkan sebagai ruang bersama.

Yang menarik dari proses ini bahwa keseluruhan pekerjaan merancang dan membangun dilakukan oleh warga sendiri. Peran para arsitek, dalam hal ini kawan-kawan ASF-ID, hanyalah untuk memberikan saran dan gagasan bandingan. Inisiatif awal dan keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan warga. Pendekatan semacam ini, seperti dinyatakan oleh Kamil Muhammad, salah seorang arsitek muda yang tergabung dalam upaya tersebut, merupakan pendekatan arsitektur partisipatoris.

 

Apa itu Arsitektur Partisipatoris?

Saya sendiri tidak mendalami kajian arsitektur. Namun berkat diskusi dengan kawan-kawan ASF-ID dan forum Rembuk! (yang merupakan asosiasi antar berbagai organisasi arsitektur alternatif), saya beroleh gambaran tentang apa yang menjadi isu-isu penting dalam arsitektur kontemporer. Salah satunya ialah peran dan posisi arsitek dalam membidani lahirnya perubahan sosial melalui kerja arsitektural. Profesi arsitek dan seni arsitektur itu sendiri dengan mudah dikooptasi oleh kepentingan industri yang hanya memperalat keindahan sekaligus mengerdilkan gagasan keindahan itu sendiri demi mendulang laba sebesar-besarnya. Masalah perubahan sosial dianggap bukan urusan arsitek. Arsitektur partisipatoris merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan tersebut.

Gagasan kunci arsitektur partisipatoris adalah bahwa seluruh kekuasaan penentu keputusan arsitektural berada di tangan warga. Persoalannya kemudian: siapakah yang dimaksud dengan “warga”? Baiklah kita coba artikan warga sebagai pihak yang berkepentingan terhadap konstruksi arsitektural yang akan dihasilkan lewat campur-tangan arsitek. Pengertian ini tentunya meliputi juga klien bermodal besar dalam praktik arsitektur konvensional. Dalam kerja-kerja arsitektur konvensional seperti membangun hunian mewah atau mall, bukankah arsitek kerapkali juga mesti menurut pada selera klien yang memegang kendali atas modal? Tidakkah visi pengembang macam Agung Podomoro Group atau Agung Sedayu Group ikut menentukan apa yang dirancang arsitek-upahan mereka? Dalam pembangunan piramida di Mesir Kuno, tidakkah keputusan Firaun ikut menentukan kerja para juru-bangun yang mengawasi para pekerja? Dengan kata lain, tidakkah sang klien bermodal besar atau sang penguasa itu ikut berpartisipasi dalam kerja arsitektural? Apakah itu yang dimaksud arsitektur partisipatoris? Kalau ya, maka bukankah setiap kerja arsitektural—dan seni arsitektur itu sendiri—secara inheren sudah berciri partisipatoris? Dan sudah jelas—dari visi Agung Podomoro Group ataupun Firaun—bahwa hal itu sama sekali tak berhubungan dengan cita-cita perubahan sosial. Apakah itu berarti tak ada hubungan yang niscaya antara partisipasi dan perubahan sosial dalam praktik arsitektur partisipatoris?

Dihadapkan pada persoalan ini, kita dipaksa untuk memeriksa kembali konsep “warga”. Mau tidak mau, konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris bukanlah konsep yang netral secara ekonomi-politik. Sebab kalau kita mengartikan “warga” sebagai siapa saja yang berkepentingan terhadap proyek arsitektural, yang kepadanya sang arsitek bekerja, maka gagasan tentang arsitektur partisipatoris itu sendiri akan menjadi sebanal arsitektur konvensional. Karena itu, kita mesti mengakui bahwa konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris itu dicirikan oleh struktur ekonomi-politik masyarakat. “Warga” mesti diposisikan sebagai kaum marginal, kaum yang tertindas oleh tata ekonomi-politik yang berlaku. “Warga”, dengan kata lain, mesti dipandang sebagai kategori politik. Tanpa pengertian itu, kita akan kembali pada business as usual. Dengan demikian, nampak bahwa arsitektur partisipatoris tak mungkin ingkar pada dimensi politisnya sendiri, bahwa kerja arsitektur partisipatoris adalah suatu kerja politik.

Persoalan kemudian muncul. Kalau ciri politis dalam arsitektur partisipatoris menuntut peran aktif sang arsitek dalam menyulut kesadaran politik dalam benak warga, tidakkah ini bertentangan dengan ciri partisipatoris dalam arsitektur partisipatoris yang meniscayakan sentralnya peran warga sebagai pengambil keputusan arsitektural utama, yang menempatkan warga sebagai pusat gravitasi seluruh kerja arsitektural?

 

Partisipasi versus Kompetensi

Warga dalam konsepsi arsitektur partisipatoris adalah pusat kebenaran. Namun arsitek yang setiap pada visi arsitektur partisipatoris, setia pada visi politik-nya, didorong oleh kewajiban untuk membantu membuka jalan menuju perubahan sosial yang sesungguhnya, yang barangkali belum disadari warga—jalan menuju perubahan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian, kita berhadapan pada dua kebenaran: kebenaran warga dan kebenaran arsitek. Di atas kertas, dalam permenungan intelektual, keduanya dengan mudah dapat disatukan: idealnya, warga dan arsitek tinggal berdialog saja maka akan tercapai kesatuan kebenaran. Namun di lapangan persoalannya sama sekali tidak sederhana. Tidak ada kondisi ideal di sana.

Problem ini juga nampak dalam kerja arsitektural yang didukung ASF-ID di Kampung Tongkol. Kamil bercerita, beberapa bulan setelah rumah contoh selesai dibangun, ia kembali berkunjung ke sana dan mendapati fakta bahwa common room yang diciptakan di lantai 3 ternyata sudah ditempati oleh satu keluarga baru dan ruang yang tersisa digunakan sebagai gudang. Kenyataan ini bukannya tak berkaitan dengan keyakinan kukuh warga sejak awal bahwa rumah yang akan dibangun harus distruktur oleh sekat-sekat yang akan menandai teritori milik masing-masing keluarga. Artinya, terdapat tendensi untuk mengorbankan pengorganisasian kolektif atas ruang demi kepemilikan privat atas ruang. Warga memang bukan malaikat (dan memang tidak seharusnya dipandang sebagai malaikat). Cara mereka berpikir dan bertindak dikondisikan oleh lingkungan sekitarnya dan struktur ekonomi-politik yang melatarinya, dalam hal ini lingkungan kebudayaan urban dan tata ekonomi kaum miskin kota Jakarta. Dalam suasana ini, wajar bila warga cenderung bersikap individualistik—itu sudah bagian dari metode mereka untuk bertahan hidup selama ini di perkampungan kumuh perkotaan yang keras.

Apa yang bisa disimpulkan dari sini? Menurut saya, itu menunjukkan adanya kontradiksi yang belum terpecahkan di ranah hubungan sosial. Membangun hunian baru yang lebih baik tidak serta-merta mengubah hubungan sosial menjadi lebih baik. Itu adalah dua jenis kerja yang berbeda, sekalipun terkait. Kaum miskin di tiap-tiap perkampungan kumuh kota besar tidak akan bertahan tanpa bersatu sebagai entitas kolektif. Berjuang sendiri-sendiri, dengan mengandalkan tenaga seorang diri atau satu keluarga saja, akan membuat mereka digulung oleh kenyataan ekonomi-politik urban. Mereka hanya mungkin bertahan sebagai kolektif. Masalahnya, kenyataan kebudayaan urban pula yang mendorong mereka ke arah individualisme, mencerabut mereka dari satu-satunya sarana untuk bertahan hidup. Ke manapun mereka menoleh, mereka melihat individu dengan barang miliknya sendiri. Ideologi inilah yang mendorong mereka untuk mempertahankan tanah sejengkal milik mereka sendiri, kalau perlu dengan cara baku-tikam dengan tetangganya.

Pertanyaannya buat sang arsitek partisipatoris: mesti bagaimana menghadapi warga semacam ini? Sang arsitek tahu bahwa mereka tidak akan selamat kalau terus mengekalkan kepentingan diri sendiri masing-masing. Sang arsitek tahu bahwa mereka hanya bisa selamat kalau mereka memupuk kesadaran kolektif dan kultur gotong-royong. Namun apa yang mesti dilakukan bila ternyata warga sendiri memilih membuang ruang-ruang kolektif demi mengamankan ruang privatnya sendiri dan dengan begitu, tanpa mereka sadari, pelan-pelan melenyapkan satu-satunya syarat keberadaan mereka sendiri? Haruskah sang arsitek, dengan tanggung-jawab politiknya pada visi arsitektur partisipatoris, mengintervensi warga dan menunjukkan jalan ke arah pengorganisasian ruang kolektif baru? Ataukah sang arsitek hanya bisa menyerahkan masalahnya pada mereka dengan anggapan bahwa toh bangunan sudah selesai, kerja arsitek sudah selesai? Haruskah sang arsitek partisipatoris menenangkan-diri dengan mengulang-ulang dalam hatinya “reorganisasi hubungan sosial bukan urusan arsitek”? Tapi bukankah masyarakat adalah seperti juga suatu bangunan—suatu bangunan hidup bersama—dan sang arsitek partisipatoris yang bertanggung-jawab mesti juga menjadi seorang “arsitek masyarakat”? Begitu banyak pertanyaan.

Sederhananya, pertanyaan pokok sang arsitek partisipatoris adalah ini: mestikah arsitek mengintervensi warga apabila dipandangnya ada gelagat ke arah yang kontra-produktif terhadap cita-cita jangka panjang partisipasi itu sendiri? Namun pertanyaan tersebut merupakan muara dari suatu pertanyaan purba.

Di sini kita sebetulnya berhadapan dengan sebuah teka-teki tua dalam sejarah pemikiran politik. Teka-teki itu dapat dirumuskan dalam sebaris pertanyaan: dapatkah rakyat keliru? Pertanyaan ini serupa sungai bawah tanah yang menghubungkan berbagai benua pemikiran politik sepanjang zaman, mulai dari fasisme, liberalisme, sosialisme hingga anarkisme. Dan tak hanya pemikiran politik, tetapi juga semua pemikiran yang beririsan dengan problem politik (termasuk pemikiran seni-budaya, yang di dalamnya terdapat pula arsitektur) dilatari oleh pertanyaan purba itu. Postulat demokratik mewajibkan kita mengukur benar-salahnya suatu tindakan politik dengan acuan pada kepentingan rakyat, dengan menjadikan kepentingan rakyat sebagai mistarnya kebenaran politik. Suatu tindakan politik adalah keliru apabila itu bertentangan dengan kepentingan rakyat dan benar apabila bersesuaian dengannya. Namun pertanyaan purba kita lebih tricky. Sungguhkah rakyat selalu benar sehingga bisa dijadikan acuan dalam mengukur segala fenomena politik? Jangan-jangan mistar kita salah dan butuh dikalibrasi ulang?

Di sini kita perlu teliti membedakan apa yang disebut “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat”. Kebenaran politik diukur dari keseuaian dengan “kepentingan rakyat”, dan itu tidak sama dengan “suara rakyat”. Rakyat bisa saja bersuara lantang mendukung fasisme. Tapi apakah itu sesuai dengan kepentingannya sebagai rakyat? Tentu tidak, sebab fasisme justru menghancurkan kepentingan rakyat dan menggantikannya dengan kepentingan sang pemimpin. Namun, apabila memang ada gap antara “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat” sehingga “kepentingan rakyat” bisa saja diamankan oleh seorang atau sekelompok orang yang menahkodai bahtera politik sekalipun itu bertentangan dengan “suara rakyat”, tidakkah ini membatalkan semangat dasar demokrasi itu sendiri, yakni bahwa rakyat lah yang seharusnya mengatur dirinya sendiri. Kalau begitu, apakah demokrasi adalah gagasan yang kontradiktif?

Orang bisa saja menggeser asumsi awalnya dengan menyatakan bahwa kebenaran politik tidak diukur berdasarkan kesesuaian dengan “kepentingan rakyat” tetapi dengan “suara rakyat” secara langsung, tanpa perantaraan. Tapi masalah segera mengemuka. Bagaimana kalau rakyat menyuarakan kehendak untuk menghancurkan dirinya sendiri, misalnya dengan mendukung fasisme? Di Tiongkok pada masa Revolusi Kebudayaan, atas dasar keyakinan demokratik pada rakyat, seluruh hierarki sosial dihapuskan, termasuk hierarki di rumah sakit antara dokter spesialis dan perawat magang. Akibatnya, tak terhitung berapa jumlah rakyat yang meninggal akibat malpraktek karena kurangnya pengetahuan kedokteran para perawat yang baru magang. Agaknya memang terdapat hierarki pengetahuan yang tidak bisa digantikan begitu saja dengan “kebebasan berpendapat” dan keyakinan pada kebenaran suara rakyat. Namun, kalau kita mengamini bahwa suara rakyat bisa salah sehingga dapat diwakili oleh suatu mesin aparatus negara yang mengklaim lebih tahu “kepentingan rakyat” daripada rakyat itu sendiri, apa bedanya kita dengan kaum ultra-konservatif pendukung monarki absolut dan para perindu otoritarianisme Orba?

Apabila mau dirumuskan secara ringkas, persoalan kita adalah tegangan antara partisipasi dan kompetensi. Semua pemikir anti-demokrasi di sepanjang zaman selalu memobilisir argumen soal kompetensi untuk mencampakkan klaim partisipasi. Pertanyaan pokok mereka: kompetenkah rakyat dalam mengetahui kepentingannya sendiri sehingga dapat mengatur dirinya sendiri? Sebaliknya, semua pemikir pro-demokrasi di seluruh sejarah selalu mengedepankan partisipasi di atas kompetensi. Pertanyaan pokok mereka: adilkah tatanan politik di mana partisipasi seluruh rakyat digantikan dengan klaim kompetensi segelintir elit dalam menerawang rahasia kepentingan rakyat dan memimpin tatanan politik berdasarkan terawangan itu?

Tapi apa hubungan ini semua dengan arsitektur partisipatoris? Gantilah istilah “rakyat” dalam beberapa paragraf di atas dengan istilah “warga” dan kita akan temui bahwa dilema kaum demokrat adalah juga dilema sang arsitek partisipatoris. Ini, bagi saya, adalah tantangan terbesar arsitektur partisipatoris pada tataran konseptual. Para arsitek partisipatoris mesti berpikir keras mengenai masalah-masalah partisipasi versus kompetensi, suara warga versus kepentingan warga dan semacamnya karena masalah-masalah itu pasti mereka hadapi di lapangan dalam berbagai manifestasinya.

 

Di Bawah Bayang-Bayang Negara

Ada satu catatan lagi berkenaan dengan tantangan arsitek partisipatoris. Sering kita dengar keluhan atau rerasan di antara arsitek partisipatoris, demikian pula di kalangan perupa partisipatoris, bahwa praktik-praktik partisipatoris seperti timbul-tenggelam dan tak pernah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan ke dalam skala yang lebih massif. Di seni rupa, misalnya, praktik seni partisipatoris sudah muncul pada tahun 1980-an oleh Moelyono tanpa perbesaran skala yang berarti sampai kemudian muncul bentuk baru seni partisipatoris sekitar 20 tahun kemudian oleh Jatiwangi art Factory. Ada kesan bahwa praktik-praktik partisipatoris dalam seni dan arsitektur hanya terjadi dalam skala kecil-kecilan dan sporadis. Padahal masing-masing praktisinya punya mimpi tentang perubahan sosial yang tentu saja melibatkan banyak variabel dan mau tak mau mesti berurusan setidaknya dengan pengaruh di tingkat nasional. Mengapa demikian?

Saya menduga akar persoalannya ada pada pendekatan yang dianut para praktisinya. Seni partisipatoris era 1980-an berkembang dalam lingkup pengaruh gerakan masyarakat sipil dan LSM yang ketika itu sedang gandrung pada visi “small is beautiful”. Ada semacam prasangka yang bersumber pada “hati nurani”. Misalnya kecemasan bahwa pembangunan skala makro akan melenyapkan ketahanan komunitas lokal yang otonom, ketakutan bahwa segala bentuk akumulasi akan membuat manusia jadi serakah, kekhawatiran bahwa pengorganisasian secara massif akan membawa birokratisasi dan alienasi. Sehingga muncul persepsi bahwa lebih baik membuat gerakan mikro di tingkat akar rumput, kecil-kecil, yang berorientasi pada subsistensi komunitas dan otonomi dari pengaruh kekuasaan. Biar kecil asal sesuai hati nurani—boleh jadi asumsi advokasi macam inilah yang membuat praktik seni partisipatoris tidak bisa berekskalasi hingga ke level nasional.

Namun sejarah menunjukkan: kapitalisme tidak bisa dilawan dengan berkebun di rumah sendiri, otoritarianisme tidak bisa ditumbangkan dengan olah raga dan imperialisme tidak bisa dihancurkan dengan ngopi-ngopi terpelajar. Kecil adalah kecil.

Praktik seni partisipatoris, termasuk juga arsitektur partisipatoris, rasanya perlu memeriksa kembali asumsi-asumsi dasarnya sendiri. Adakah kita terjebak dalam romantisasi gerakan kecil dan otonom? Adakah kita selama ini hanyut dalam nina-bobo hati nurani? Salah satu kisah pengantar tidur paling populer di kalangan aktivis sedap malam sampai sekarang adalah cerita hantu tentang negara. Konon, negara itu seperti makhluk raksasa angker dari dasar samudra dengan kepala menyerupai gurita dan punggung ditumbuhi sayap naga. Seperti Cthulhu dalam dongeng Lovecraft, negara merupakan personifikasi dari kedurjanaan paripurna. Cara kita memandang negara seperti ini, dalam banyak hal, memang dibenarkan oleh praktik negara Orde Baru yang sejak lahirnya ditandai dengan pembantaian dan penyiksaan jutaan orang. Dari pengalaman 32 tahun itulah kita mewarisi sikap berjarak tiap kali nama “negara” disebut. Untuk sebagian kasus, memang benar bahwa praktik negara yang represif itu masih berlanjut hingga kini. Inilah yang membuat sebagian praktisi seni partisipatoris kukuh memposisikan diri di luar negara dan, sebagai akibatnya, cenderung kembali merayakan toko kelontong pencerahannya sendiri.

Kita mesti mengubah sikap mental semacam itu. Mesti disadari bahwa tumbangnya Orde Baru juga membuka lapangan intervensi politik yang baru. Negara pasca-Orde Baru semestinya tidak lagi dilihat sebagai bangunan monolitik tempat bersemayamnya roh-roh jahat, tetapi sebagai situs kontestasi antar berbagai kelompok yang selalu dapat berubah wataknya seturut pasang-surut kekuatan kelompok-kelompok yang bertarung di sana. Tentu ada risiko kita terombang-ambing oleh apa yang dewasa ini sering disebut-sebut sebagai “pertarungan antar faksi elit oligarkis”. Hal itu wajar saja dan pembelajaran politik muncul dari situ. Artinya, para praktisi arsitektur partisipatoris menjajaki kemungkinan melibatkan anasir-anasir negara kalau memang mencita-citakan perluasan gerak yang signifikan. Contoh yang bisa saya berikan adalah apa yang dikerjakan oleh kolektif seniman di Jatiwangi art Factory. Dalam menggelar kerja seni partisipatorisnya, mereka dapat melibatkan satu desa (rekor skala terbesar praktik seni partisipatoris di Indonesia setahu saya) karena membangun hubungan dekat dengan kepala desa dan aparatur desa. Mereka melibatkan tentara, polisi dan sekolah-sekolah untuk menggelar Festival Musik Tanah Liat. Mereka tidak jijik pada aparatus ideologis dan aparatus represif negara yang diteorikan Louis Althusser. Mereka meninggalkan “prasangka kelas menengah” mereka tentang Negara dan berpikir konkrit untuk membesarkan keterlibatan warga. Ini contoh yang bagus.

Saya tidak punya ilusi bahwa negara dan para aktivis seni partisipatoris akan berjalan berdampingan secara harmonis menuju hari esok yang cerah. Dalam momen-momen tertentu, pada isu-isu tertentu, kita memang perlu menyatakan sikap melawan negara. Tapi sikap antagonistik ini tidak bisa digeneralisasi menjadi sikap umum terhadap negara, kecuali kita mau memencilkan diri sendiri. Para aktivis seni partisipatoris perlu melihat segala kemungkinan yang bisa digunakan untuk memperbesar skala operasinya: bangun jejaring dengan simpul seni partisipatoris lain, dari cabang seni lain, dengan gerakan sosial, bekerja dengan negara sejauh ada kepentingan gerakan yang bisa dimajukan, dan seterusnya. Dengan kata lain, bangun kekuatan terlebih dulu. Semua ini mensyaratkan pergeseran cara pandang terhadap negara dan politik secara keseluruhan. Dan ini memang tidak mudah. Itulah tantangan praktis yang dihadapi arsitektur partisipatoris.

Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua tantangan besar yang menghadang gerakan arsitektur partisipatoris (dan juga seni partisipatoris) di Indonesia. Yang pertama ialah tantangan konseptual untuk menempatkan secara jernih hubungan antara “suara warga” dan “kepentingan warga”, antara klaim partisipasi dan klaim kompetensi. Yang kedua ialah tantangan praktis untuk menempatkan negara sebagai situs kontestasi antar kepentingan bersifat cair dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perluasan skala gerakan arsitektur (dan seni) partisipatoris. Apabila kedua tantangan ini berhasil dijawab, maka masa depan arsitektur dan seni partisipatoris di Indonesia sungguh cerah.***

 

18 November 2016

 

Catatan: artikel ini pernah diterbitkan di situs ASF-ID dan Rembuk. Diterbitkan ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

Pernah Membaca Marx?

$
0
0

Kredit ilustrasi: https://thecharnelhouse.org

 

PEMBACA kemungkinan besar pasti pernah membaca nama “Karl Marx”. Setidaknya sekali seumur hidup pembaca pasti pernah membaca nama Marx, di buku-buku, media massa, atau di internet. Pemikirannya yang besar bertahan hingga zaman kita sekarang, jadi rentang bersandar isu ilmu-ilmu sosial paling aktual, menghubungkan krisis ekonomi-kebudayaan Eropa, kebangkitan Republik Rakyat Tiongkok, hingga dosa sejarah Bangsa Indonesia. Lebih dari semua itu, nama “Karl Marx” identik juga dengan cap “Komunis”. Tidak apa-apa, Karl Marx memang komunis.

Tapi pernahkah kita benar-benar membaca tulisan Marx? Pernahkah kita, membuka buku dengan nama Karl Marx di sampul depan? Membaca utuh satu saja karya tulisnya dari awal hingga tuntas? Sedikit saja menyisihkan waktu membaca, lalu mengernyitkan dahi demi memahami yang Marx tulis? Pernah, saya juga yakin, dan teks itu pasti bukan hanya “Sebelas Tesis Feuerbach”.

Setahun terakhir, saya membaca tulisan-tulisan Marx. Membaca, dan berusaha memahami apa yang sesungguhnya mau ia sampaikan. Saya beli satu buku ukuran Folio, saya catatkan hasil pemahaman saya tiap-tiap sehabis membaca Marx di sana. Tahun ini saya memilih buku Das Kapital sebagai buku yang mau dibaca, sebab Manifesto Partai Komunis sudah saya tuntaskan; isi dari catatan ini kebanyakan adalah kutipan-kutipan langsung, sebagian lagi tafsir saya atas teks, komentar atas tafsir orang lain, pertanyaan-pertanyaan, ilustrasi, bagan, sedikit sejarah ekonomi-politik, hubungan dengan teks Marx(is) yang lain, hingga komentar-komentar ngalor-ngidul. Pembacaan tahun ini bukan yang pertama, saya sudah pernah membaca Marx di Sekolah Perhimpunan Muda sebelumnya. Saya kembali membaca Marx sebab kurang puas dengan pemahaman sebelumnya yang sepotong-sepotong dan cenderung sloganistik, tentu akibat rendahnya kapasitas pribadi.

Setahun membaca Das Kapital, beberapa teks lain, sambil tetap melaksanakan rutinitas selayaknya pemuda normal, saya berhasil menutup tahun dengan mencapai halaman ke-200 dari buku Das Kapital terbitan Penguin Books terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Ben Fowkes. Sebuah pengantar dari Ernest Mendel, satu pengantar penerjemah, dan tujuh kata pengantar & penutup dari edisi-edisi Kapital 1 berbagai bahasa oleh Marx-Engels yang ikut disertakan dalam buku ini saya lewati sebelum berhasil mencapai paragraf-paragraf awal seksi “Sirkulasi Uang” dari Bab 3 yang berjudul “Uang, atau Sirkulasi Komoditas”. Beberapa tahun mengenal Marx sepintas dan setahun ini kembali membaca Das Kapital, bikin saya berani tarik kesimpulan; membaca Marx memang susah, tapi bukannya tidak tertembus.

Kendala pertama membaca Marx adalah kendala bahasa. Marx menulis dalam bahasa Jerman abad ke-19 yang bagi kita yang tak mampu berbahasa Jerman, mesti puas dibaca lewat terjemahan Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesianya. “Kendala bahasa” ini termasuk juga kesulitan yang timbul akibat latar sosio-kultural penulis. Marx ialah seorang pemikir raksasa dengan referensi bacaan yang sangat luas. Dalam halaman yang sama di tulisannya, kita bisa menemukan ia menggambarkan penjelasannya dengan sebuah analogi di ilmu biologi lalu kutipan langsung dari sebuah karya satir. Hal-hal ini kadang mengecoh, tapi seperti semua kendala bahasa, ia bisa dilalui hanya dengan membiasakan diri.

Kendala kedua, adalah kendala yang timbul sebab kita tidak terbiasa membaca sebuah buku teoretis. Pernahkah sebelumnya kita membaca buku teori? Yang saya maksud sebagai buku teori di sini bukan sebuah buku “Pengantar Teori X” yang jamak ditemukan di toko-toko buku. Buku teori adalah buku yang isinya disusun terutama dalam bentuk sistem konsep-konsep yang ketat. Konsep yang satu bukan hanya saling berhubungan dengan konsep-konsep lain, tetapi juga saling menjelaskan. Masalah ketika menghadapi jenis buku seperti ini ialah metode menghapal yang sering kita gunakan dalam belajar di bangku sekolah tidak banyak membantu, sebab definisi satu konsep tidak dapat habis dalam satu kalimat. Definisi satu konsep mesti dilihat lagi dalam hubungannya dengan konsep-konsep lain yang terkait dengannya. Contohnya begini, apa yang dimaksud dengan “Kapital” dalam ekonomi-politik Marx? “Kapital”, dapat dimengerti sebagai “Nilai yang dapat memperbanyak dirinya sendiri”, sekaligus sebagai “Relasi sosial yang bertumpu pada eksploitasi tenaga-kerja”. Hal ini sebabnya mengapa masalah kesabaran dan ketelitian dalam membaca buku teori penting. Ini juga sebabnya mengapa sebuah buku teoretis umumnya bertahan lama dalam dunia pemikiran. Konsep-konsep yang hadir bisa dibaca dan ditafsir ulang tergantung fenomena yang hendak dijelaskan. Lebih lagi ini juga sebab mengapa metode asal kutip dalam mendapat definisi konsep dari sebuah buku teori sulit dipertanggungjawabkan.

Berjumpa dengan konsep-konsep artinya juga mesti membiasakan diri dengan laku abstraksi. Bagi pembaca seperti saya yang dididik secara formal dalam ilmu empiris, masalah abstraksi ini agak merepotkan. Konsep-konsep abstrak seringkali berada di balik penampakan empiris, kita tidak bisa meraba atau meninjunya. Kita kerap juga sulit menyaksikannya, melihatnya. Konsep abstrak berada di luar pancaindera, padahal pancaindera adalah sumber pengetahuan utama manusia. Tapi jangan salah, konsep-konsep abstrak ini sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat-sangat nyata, ia justru esensi dari gejala-gejala yang bisa ditangkap pancaindera. Abstraksi konseptual digunakan sebab esensi dari kenyataan ini kerap berbentuk mekanisme-mekanisme. Kalau kapital bisa ditinju, ia pasti sudah lama K.O. dihajar Stalin.

Bagaimana dengan pembaca yang biasa dengan abstraksi, misalnya pembaca yang berlatar ilmu filsafat atau matematika? Saya yakin perkara yang abstrak-abstrak di atas jadi jauh lebih mudah. Tapi ada kendala terakhir, kendala yang paling besar dan paling sulit diatasi dalam membaca Marx. Tidak seperti dalam ilmu filsafat dan matematika, teori Marx pada dasarnya adalah teori mengenai kenyataan sosial yang spesifik. Di dalam tulisan-tulisannya ia sedang menyingkapkan ekploitasi, represi dan dominasi dalam masyarakat berkelas yang kita, para pembaca, tanpa terkecuali adalah bagian di dalamnya. Kita tidak bisa tidak adalah anggota dari satu kelas tertentu. Hal ini saya katakan paling berat sebab pada titik ini kita mesti sekaligus berhadapan dengan kesadaran penuh diri kita sendiri dan relasi-relasi sosial yang darinya kita hidup. Sadar untuk sadar, bahwa kesadaran individual kita yang kita kira unik, ternyata adalah bagian dari kesadaran sosial yang pada akhirnya (menurut saya ini bagian paling menyebalkan dari teori Marx) ditentukan oleh kondisi-kondisi material, oleh relasi-relasi kelas. Sulit sekali rasanya menerima pemikiran Marx sejauh kita tidak pernah memiliki, mengetahui, dan mengalami sendiri pengalaman kelas pekerja. Wajar sekali kalau kelas borjuasi anti-Marxisme. Yang penting disadari adalah mengapa kita yang bagian dari kelas pekerja juga mengalami kesulitan memahami Marxisme. Mengapa, meski sudah terlibat dalam perjuangan bersama rakyat, biar telah membaca Marx, kita tetap anti-sosialisme? Ini yang dapat diterangkan lewat teori hegemoni. Mengakui adanya hegemoni berarti mengakui kesadaran kelas pekerja pun dapat berada dalam lingkup ideologi kelas yang berkuasa, sekaligus dapat melepaskan diri darinya. Kita boleh sadar kelas sesaat ketika sedang khusyuk membaca Marx, tapi kesadaraan ini kemudian mesti terus menghadapi hegemoni harian lewat internalisasi nilai-nilai keluarga di rumah, dalam bincang-bincang ringan dengan kawan baik sehari-hari, dalam komentar-komentar santai di media sosial, belum lagi dari buku-buku pelajaran di sekolah, berita-berita media massa, ceramah di masjid, ketika menghayati lirik lagu band favorit, dan lain-lain sebagainya yang semuanya, dengan satu dan lain cara, menolak kesadaran baru kita yang tentu saja berlawanan dengan kesadaran sosial yang mainstream. Lihat, seberapa sering dan seberapa mudah gagasan “Semua manusia bersaudara”, atau “Kebenaran objektif tidak dapat dicapai oleh akalbudi manusia” kita lontarkan, terima, dan jadi patokan preferensi-preferensi sehari-hari dibanding menerima dan melontarkan gagasan “Buruh dan tani adalah sumber kekayaan masyarakat”?

Pemikiran Marx disebut revolusioner bukan hanya karena ia menulis kata “revolusi” yang banyak dalam tulisan-tulisannya. Pemikirannya bersifat revolusioner sebab ia menawarkan sudut pandang yang sama sekali berlawanan dengan kesadaran-kesadaran tatanan yang lama. Sebab pemikirannya menuntut kita, pembacanya, juga melakukan revolusi pemikiran. Yang terakhir ini adalah proses yang sama sekali tidak mudah sebab kita mesti berhadapan terus dengan kesadaran sosial sehari-hari yang justru lewatnyalah kita berelasi dengan orang lain. Oleh sebab itu proses ini tidak pernah berlangsung dalam sekali hentakkan. Ada rasa sakit dan tidak enak yang mesti dihadapi sendiri ketika kita mengalami mengalami “patahan-patahan pemikiran”, ketika kita memperoleh kesadaran baru yang menuntut kita meninggalkan (bahkan seringkali menentang) kebiasaan-kebiasaan berpikir yang lama. Marx sendiri juga mengalaminya ketika ia menentang kawan-kawan Hegelian Muda dan mentor sosialisnya P-J. Proudhon. Ini adalah proses normal dalam proses memahami pemikiran-pemikiran radikal. Jadi, kalau kita mengalami rasa kurang nyaman ketika mulai belajar memahami pemikiran Marx, tenang saja, itu tandanya kita di jalur yang benar.

Di luar kendala-kendala di atas, menurut saya desas-desus soal sulitnya Bagian Satu Das Kapital “Komoditas dan Uang” benar adanya. Pembaca yang baru pertama kali mengenal teks ini sangat disarankan untuk melompati bagian ini untuk langsung ke Bagian Dua, “Transformasi Uang Menjadi Kapital”. Saya sendiri dulu juga melewati bagian ini berkat dibimbing guru yang lebih berpengalaman. Saya hanya membaca dua seksi pertama yang menjelaskan relasi nilai-guna & nilai dan kerja-berguna dan kerja-abstrak untuk kemudian lompat ke Bagian Dua. Baru di pembacaan kali ini saya berani langsung masuk ke bagian-bagian angker itu. Hemat saya ini hanya kendala teknis yang mudah diatasi dan nyatanya tidak sesukar yang saya bayangkan sebelumnya. Marx menulis untuk kelas pekerja, bukan untuk anak indigo. Saya yang hanya bermodal waktu luang, rasa penasaran dan keberanian berpikir mandiri saja mampu melewatinya. Mereka yang serius mau tidak mau pasti mengembangkan disiplin, kesabaran, ketekunan, ketelitian, dan seperti yang dikatakan Ketua Mao, kejujuran dan kerendahan hati dalam petualangannya bersama Marx. Masalahnya hanya berani tidak membaca Marx?

Setahun membaca Das Kapital dan kesimpulan saya memahami Marx memang susah, namun bukannya tidak tertembus. Setahun membaca Das Kapital dan saya mendapat 200 halaman dengan pemahaman yang masih dangkal dan kemajuan yang lambat. Ribuan tahun membaca Marx dan mungkin pemahaman saya tak akan pernah seketat dan secanggih Martin Suryajaya. Tapi Marx sudah mati dan pemikirannya bukan lagi milik siapa-siapa. Kita semua bebas membaca dan menafsirkannya suka-suka. Mumpung di negeri ini Partai Komunis dilarang ada, mumpung membaca dan menafsirkan Marx belum berpengaruh ke nasib rakyat banyak.***

César Vallejo, Penyair yang Lapar

$
0
0

JAUH sebelum Roberto Bolaño, ada César Vallejo. Begitu kesan saya ketika membaca kumpulan puisi Vallejo yang diterjemahkan Gerard Malanga. Kedua penyair Amerika Latin itu dipertemukan oleh rentetan pengalaman dengan intensitas yang serupa: terbuang dari kampung halaman, menggelandang di Eropa, menulis puisi dengan rasa lapar menekan di ulu hati. Keduanya pun bekerja dalam lingkungan kebudayaan Kiri. Betul bahwa nasib Bolaño sedikit lebih mujur; menjelang masa tuanya ia dikanonisasi dan karya-karyanya dipuji banyak kritikus. Sedang Vallejo baru diakui—bahkan diagung-agungkan sebagai “penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa manapun” oleh kritikus Martin Seymour-Smith—jauh setelah mampus. Selain itu, puisi-puisi keduanya punya temperamen yang berbeda. Sajak-sajak Bolaño mengandung humor, suasana acuh-tak acuh dan omong besar tipikal pemuda sotoy, berkat pengaruh kuat dari Nicanor Parra, penyair sableng asal Chile. Sebaliknya, sajak-sajak Vallejo hampir seluruhnya muram dan pekat dengan penderitaan. Namun dalam keduanya kita temukan satu semangat yang saling mengiris, satu motif yang terus berulang: keberanian untuk merisikokan diri di jalan puisi. Di balik cengengesan Bolaño, kita bisa temukan kekerasan hatinya dalam mengambil sikap dan memperjuangkannya sampai mampus. Di balik Bolaño, kita temukan juga Vallejo.

Tapi itu rasanya bukan awalan yang baik untuk tulisan ini. Pembaca mungkin belum menangkap konteksnya. Jadi abaikan saja paragraf pembuka tadi dan mari kita mulai dari awal.

Sebagai penyair Peru yang dilahirkan pada tahun 1892, César Vallejo tak pelak memupuk semangat artistiknya dalam atmosfer Modernismo yang melanda benua itu pada peralihan abad ke-20. Sajak-sajak awalnya berada dalam lingkup pengaruh penyair modernis Uruguay Julio Herrera y Reissig dan penyair modernis Argentina Leopoldo Lugones. Pengaruh ini terbaca dalam kumpulan puisi pertamanya, Los Heraldos Negros (“Bentara-Bentara Hitam”; 1919). Tapi modernisme liris itu kemudian perlahan ia tinggalkan dengan serangkaian eksperimen yang mengarah pada ekspresi puitik avant-garde.

Vallejo sempat kuliah di Universitas Trujillo, tapi kemudian drop out karena kekurangan uang. Ia bekerja sebagai guru di perkebunan tebu untuk beberapa lama, melihat langsung peragaan eksploitasi manusia oleh manusia, kemudian setelah dana terkumpul ia kembali meneruskan kuliahnya hingga tuntas. Pada masa kuliah inilah ia mempelajari Marxisme secara intens sambil, pada malam hari, kelayapan di sarang opium dan warung remang-remang—memikirkan teori-teori Marxis dalam keadaan teler. Waktu itu, ia belum terlalu miskin.

Entah akibat belajar Marxisme entah pula akibat waham apa, Vallejo kembali ke kampungnya Santiago de Chuce, di lereng pegunungan Andes, dan terlibat dalam kerusuhan sosial yang mengakibatkan terbakarnya sebuah toko kelontong desa dan tertembaknya seorang pegawai negeri kelas teri. Polisi kemudian mencokoknya sebagai propagandis di balik aksi massa dan menjebloskannya ke tahanan selama tiga bulan. Setelah bebas ia menerbitkan buku puisi keduanya, Trilce (1922), yang banyak bereksperimen dengan sintaksis bahasa Spanyol dan dianggap sebagai contoh awal dari gerakan kesusastraan Vanguardia (avant-garde versi Amerika Latin). Sadar bahwa sidang perkaranya masih berlanjut dan nampaknya mengarah pada gelagat yang kurang baik, Vallejo kabur dari Peru menuju Eropa pada tahun 1923. Maka dimulailah penggelandangan César Vallejo di Eropa.

Kelaparan dan kemiskinan menyertai Vallejo kemanapun ia melangkah di Eropa. Ia akan mati pada tahun 1938. Tak dikenal orang, tanpa kerabat, ia mengawali tahun-tahun Eropanya di Paris—menulis artikel koran, bekerja serabutan asal bisa hidup—sebelum akhirnya diusir dari Paris karena kedekatannya dengan kelompok Marxis. Selama sisa hidupnya di Eropa ia sempat main ke Uni Soviet tiga kali, sempat mengikuti Kongres Internasional Penulis Dalam Solidaritas Dengan Uni Soviet dan menulis beberapa buku berisi ulasan positif tentang negeri itu. Setelah terusir dari Paris, ia menetap di Spanyol, merasakan kemiskinan bersama Pablo Picasso sewaktu si pelukis belum sukses berdagang lukisan abstrak. Pada tahun 1934 ia kembali ke Paris, menikah dengan Georgette Vallejo yang telah agak lama dekat dengannya. Empat tahun terakhir hidupnya, ia bertahan dalam keadaan rudin.

Ia menulis beberapa puisi patriotik yang mendukung perjuangan Partai Komunis Spanyol dan perlawanan kaum Republik melawan Franco. Seperti misalnya sajak berikut yang dicuplik dari kumpulan puisi anumerta berjudul España, Aparta De Mí Este Cáliz (“Spanyol, Renggutlah Cawan Ini Dariku”; 1937):

 

Dengan Telunjuknya Ia Menulis di Udara

 
Dengan telunjuknya ia menulis di udara:
“Panjang umur kawan-kawan! Pedro Rojas,”
dari kota Miranda di tepian Ebro, ayah dan manusia,
suami dan manusia. Pedro dan dua kematiannya.
 

 
Mereka membunuhnya, memaksanya mati,
seorang Pedro, seorang Rojas, si pekerja, si manusia, si orang
yang pernah sekali sesosok bocah memandang lurus ke angkasa,
lalu ia tumbuh, beralih merah,
dan bertempur bersama sel-selnya, tidaknya, belumnya, laparnya, serpih-serpihnya.
Mereka membunuhnya dengan manis
di sela-sela rambut istrinya, Juana Vasquez,
pada jam api, pada tahun peluru,
ketika ia baru saja hendak tiba pada semua.
 

Saya sendiri lebih menyukai kumpulan puisi lain yang juga diterbitkan secara anumerta oleh Georgette Vallejo, sebuah kumpulan puisi berjudul Poemas Humanos (“Puisi-Puisi Manusia”; 1939). Dalam kitab yang menghimpun sajak-sajak Vallejo antara 1923 sampai 1937 ini kita jumpai ekspresi jujur dari keruwetan hidupnya. Ia mengalami langsung kepercumaan sastra avant-garde di depan zaman yang begitu pusing untuk sekadar menyambung hidup. Sajak berikut ini tentunya akan mengingatkan kita pada Brecht, ditulis dua tahun setelah Pertanyaan-Pertanyaan Seorang Buruh yang Membaca:
 

Seseorang Berlalu dengan Sepotong Roti di Pundaknya
 
Seseorang berlalu dengan sepotong roti di pundaknya
Akankah aku lalu menulis tentang kembaran jiwaku?
 
Seorang lain duduk, menggaruk, mencuplik kutu dari ketiaknya, menumpasnya
Lantas kita bicara psikoanalisa?
 
Seorang lain merambah dadaku dengan pentung di tangannya
Mestikah aku bicara tentang Sokrates dan sang tabib?
 
Seorang cacat berjalan menggandeng tangan seorang bocah
Lalu aku mesti baca André Breton?
 
Seorang lain gemetar oleh demam, terbatuk, meludahkan darah
Akan mungkinkah kita bicara soal Diri sejati?
 
Seorang lain mencari-cari serpih tulang dan kerang di lumpur
Bagaimana bisa lalu aku menulis soal tak hingga?
 
Seorang kuli jatuh dari atap, mati sebelum sarapan
Lantas bagaimana aku mungkin memperbarui kiasan, metafora?
 
Seorang pedagang mengutip segram dari pembeli
Bagaimana aku bisa bicara soal dimensi keempat?
 
Seorang bankir memalsukan neracanya
Dengan wajah apa aku menangis di gedung pertunjukan?
 
Seorang terbuang lelap dengan kaki di belakang punggung
Akankah aku, kemudian, bicara soal Picasso?
 
Seseorang tersedu di sisi kubur
Bagaimana aku jadi anggota Akademi?
 
Seseorang melap senapannya di dapur
Dengan keberanian macam apa kita bicara soal dunia yang akan datang?
 
Seseorang berlalu sembari menghitung jumlah jemarinya
Bagaimana lalu bicara tentang si bukan-aku tanpa menangis meraung-raung?
 

Kesan paling kuat yang bisa kita tangkap dari sajak-sajak Vallejo barangkali adalah kebuntuan, perasaan tak tahu lagi mesti bagaimana. Kebuntuan itu begitu intens, seperti misalnya dalam sajak bertanggal 26 Oktober 1937 ini:

 
Amarah yang Memecah Orang jadi Bocah
 
Amarah yang memecah orang jadi bocah,
memecah bocah jadi burung-burung setangkup,
dan dari situ, jadi telur-telur kecil;
amarah si miskin
punya segenggam minyak melawan dua cuka.
 
Amarah yang memecah pohon jadi daun-daun,
daun jadi putik-putik tak setangkup,
putik jadi lurah yang jauh;
amarah si miskin
punya dua kali melawan laut-laut.
 
Amarah yang memecah kebaikan jadi kesangsian
dan kesangsian jadi tiga lengkung serupa
dan lengkung seketika jadi kubur-kubur tak terduga;
amarah si miskin
punya sebilah besi melawan dua belati.
 
Amarah yang memecah jiwa jadi tubuh-tubuh,
tubuh jadi organ-organ tak serupa
dan organ jadi nyanyi;
amarah si miskin
punya setitik api melawan dua kepundan.
 

Di situ ada campuran yang pelik antara getun, geregetan, tak tahu mesti berbuat apa dan—barangkali yang terpenting—kesiap-sediaan untuk berbuat apa saja. Kalau kita suatu hari bertemu dengan orang dengan suasana batin semacam itu di jalan, maka kita mesti waspada. Sebab orang yang tak bisa lagi kehilangan apa-apa, bisa melakukan apa saja. Deskripsi psikologis ini menarik buat saya sebab itu menggambarkan model subjektivitas revolusioner yang pasca-pengharapan, yang menatap sinis segala utopia, yang telah ditinggalkan oleh semua cita-cita, yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Amarah, amarah. Kilatan cahaya terakhir sebelum sunyi abadi.

*

Vallejo mati akibat suatu penyakit yang susah dikenali. Sebagian orang bilang ia mati karena sejenis malaria. Sebagian lain bilang ia mengalami infeksi kandung kemih. Dalam novela Monsieur Pain, Roberto Bolaño menyentuh secuplik episode kematiannya. Tapi novela itu lebih banyak bicara soal imajinasi Pierre Pain, protagonisnya, yang seorang ahli akupuntur, penggemar okultisme dan sibuk dengan pikirannya sendiri perihal apakah ia harus merawat Vallejo. Tak ada kejelasan soal sebab kematian Vallejo. Bolaño menggambarkannya terserang penyakit cegukan tanpa henti, barangkali akibat naiknya asam lambung karena penyakit maag kronis. Menurut saya, satu-satunya penyakit yang diidap Vallejo adalah kemiskinan. Dan rupa-rupanya Vallejo sendiri sudah bisa menebak akhir hayatnya. Dalam puisi tak bertanggal dalam kumpulan sajak Poemas Humanos (kumpulan puisi 1923-1937 yang terbit posthumous) ia nyatakan nujuman atas nasibnya sendiri:

 
Batu Hitam di atas Batu Putih
 
Aku akan mati di Paris, ketika badai,
di suatu hari yang telah kukenang.
Aku akan mati di Paris—dan aku tak melarikan diri—
mungkin di suatu Kamis, seperti hari ini, pada musim gugur.
 
Tentulah hari Kamis, sebab hari ini—Kamis—aku menulis
sajak ini dan membikin sakit tulang belikatku
dan tak pernah seperti hari ini aku berbalik
ke arah mana aku sendiri.
 
César Vallejo sudah mati, mereka menggebukinya,
mereka semua, dan demi sia-sia.
mereka menggebuknya keras-keras dengan pentung dan melecutnya
dengan seutas temali; saksi-saksinya adalah
hari-hari Kamis dan tulang-tulang belikat
kesepian, hujan, jalanan…

 
Dasar apes, nujumannya meleset. César Vallejo mati di Paris pada tanggal 15 April 1938, hari Jumat, di awal musim semi; suatu hari yang cerah.***

 

8 November 2016

Rashomon

$
0
0

RASHOMON adalah judul film Jepang keluaran 1950. Sutradaranya Akira Kurosawa yang legendaris itu. Film ini diadaptasi dari cerita pendek karya Ryunosuke Akutagawa bertajuk Yabu no Naka. Di antara lain-lain hal, alurnyalah yang membuat film ini termasyur di delapan penjuru mata angin. Intinya, film ini mengisahkan bagaimana orang-orang yang terlibat dalam satu peristiwa tak cuma punya versi masing-masing atas peristiwa tersebut, tapi bisa jadi versi-versi itu juga saling bertentangan satu sama lain. Peristiwa itu ialah matinya seorang samurai karena tusukan belati. Orang-orang yang terlibat adalah si bandit yang dituduh membunuhnya, si samurai yang tewas, dan istri si samurai. Selain ketiga orang yang secara langsung terlibat, ada juga pencari kayu yang menemukan jenazah samurai dan seorang biksu kampung yang konon sempat melihat si samurai berjalan di hutan bersama istrinya pada hari terjadinya pembunuhan. Cerita dimulai dengan obrolan tiga orang yang sedang berteduh dari derasnya hujan di bawah gapura kota, yakni seorang pencari kayu, seorang biksu kampung, dan seorang jelata, tentang berbagai versi cerita pembunuhan seorang samurai. Di pengadilan, ada tiga cerita berbeda.

Versi si bandit terdakwa: tergiur pedang antik si samurai, dia berupaya mendapatkannya. Si samurai tertipu dan berhasil diikatnya di pohon. Istri samurai mencoba melawan dengan menodongkan belati kepadanya. Alih-alih melawan, istri samurai malah kepincut padanya. Mereka pun berasik-masyuk. Karena malu, si istri samurai memintanya melepaskan si suami dan berduel untuk memenangkan dirinya. Dalam duel dia menang, dan si samurai tewas.

Versi istri samurai: si bandit memperkosanya lalu pergi tanpa pesan. Suaminya marah dan malu. Dia bujuk suaminya untuk memaafkan dan anggap saja kejadian barusan tak pernah terjadi. Suaminya tak terima. Kalau begitu bunuh saja si bandit, katanya. Entah bagaimana ceritanya, sewaktu terjadi duel antara suaminya dan si bandit, dia pingsan. Ketika terbangun, tahu-tahu dia sedang memegang belati berdarah dan menemukan suaminya sudah menjadi jasad.

Versi (arwah) samurai: setelah mengikatnya di pohon, si bandit memperkosa istrinya dan mengajaknya pergi bersama. Istrinya terima dan minta si bandit membunuhnya. Si bandit terkejut. Kepadanya si bandit memberi dua pilihan: maafkan dan biarkan istrinya pergi atau bunuh si istri saat itu juga. Dia maafkan. Istrinya kabur karena malu dan si bandit melepas ikatannya. Dia lalu bunuh diri dengan menancapkan belati istrinya ke dada. Lalu, kata si arwah samurai, ada orang yang mencabut belati itu dari dadanya.

Kembali ke gapura kota, pencari kayu bilang ke jelata bahwa ketiga cerita itu salah. Katanya dia menyaksikan sendiri pemerkosaan dan pembunuhan itu. Dia tidak bersaksi karena enggan terlibat kasus. Menurut versinya, si bandit meminta istri samurai menikahinya dan tinggalkan saja suaminya yang sedang terikat. Si istri menolak dan meminta suaminya dibebaskan. Mulanya si samurai tak berniat melawan duel bandit karena buat apa meresikokan hidupnya demi perempuan matre dan manja itu. Istri samurai mengejek suaminya dan si bandit, bilanglah mereka itu bukan laki-laki sejati karena kalau iya pasti mereka akan bertarung demi cintanya. Dia mendesak kedua laki-laki itu bertarung. Dalam duel si samurai tewas setelah sebelumnya memohon ampun pada si bandit. Si istri kabur. Setelah tak berhasil menangkapnya, si bandit mengambil pedang antik si samurai.

Setelah si pencari kayu menyelesaikan cerita versinya, ketiga orang di gapura kota itu dikejutkan oleh tangis bayi dalam keranjang. Si jelata mengambil kimono dan jimat yang ada dalam keranjang. Si pencari kayu mencela si jelata sebagai pencuri, tapi si jelata balik mencelanya. Menurutnya, alasan si pencari kayu tak berani jadi saksi di pengadilan ialah karena dialah yang mencuri belati yang tertancap di dada korban. Si jelata pergi dari gapura dan teriak bahwa semua orang hanya didorong oleh kepentingan-diri, seperti sedang membenarkan kelakuannya sendiri.

Di akhir film, si biksu yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, digambarkan sambil menggendong bayi, pilu hatinya. Setelah mendengarkan versi-versi berbeda yang bisa jadi benar dikarang demi kepentingan-diri masing-masing orang, ditambah kenyataan ada bayi dibuang entah oleh siapa, dan di depan hidungnya si jelata tega mengambil kimono dan jimat dari keranjang, keyakinannya pada nilai-nilai kemanusiaan sempat ambruk. Dia sempat curiga ketika pencari kayu hendak mengambil bayi di gendongannya dan bilang akan merawat seperti dia merawat enam orang anaknya sendiri. Kepercayaan kembali pulih ketika si pencari kayu dengan wajah sungguh-sungguh meyakinkannya. Dia serahkan si bayi. Si pencari kayu pulang sambil menggendong si bayi. Hujan berhenti dan awan gelap lenyap. Semburat cahaya mentari merobeknya dan hari pun kembali cerah.

Pembaca tentu pernah menonton film Rashomon. Apalagi kalau pembaca ialah sejenis manusia yang jenis kelaminnya film seperti Windu Jusuf, misalnya. Bertahun-tahun lalu, ketika jadi anak bawang di sebuah kelompok diskusi binaan perpustakaan swasta di Jatinangor, saya sering mendengar para pecinta posmo memuji-muji film itu. Saya yang buta seni tuna sastra berkerut kening mencoba untuk mengerti apa yang senior-senior saya perbincangkan. Kalau kita periksa alur kisah film Rashomon, kita tak akan mendapatkan jawaban soal cerita versi siapakah yang benar-benar benar. Selain kepastian bahwa kita masih bisa berharap benih-benih kemanusiaan di batin si pencari kayu yang rela mengangkat bayi buangan menjadi anaknya, pemirsa dibiarkan menebak-nebak tanpa juntrung yang tegas siapakah yang benar. Inilah hebatnya film ini, kata senior-senior berbudaya di kelompok diskusi binaan perpustakaan swasta di Jatinangor. Salah satu yang masih teringat sampai sekarang ialah bahwa hikmah kebijaksanaan paling sublim dari film itu ialah tak adanya kebenaran objektif karena tak ada pengetahuan objektif. Tak ada pengetahuan objektif karena secara hakiki tak ada realitas objektif. Semua realitas itu subjektif karena realitas yang boleh betul-betul ada ialah yang diketahui, dirasakan, dicerna subjek-subjek otonom berkesadaran. Di ujungnya, karena tak ada kebenaran objektif, sejatinya tak ada kebenaran sama sekali karena semua boleh benar. Kebenaran tak lebih dari relasi kuasa, kata mereka; sambil mengutip Foucault, tentunya. Kebenaran objektif itu tak lebih Narasi Agung yang angkuh, angan-angan para positivis, para robot tuli batin yang buta kesadarannya itu. Kebenaran objektif itu hanya cuap-cuap sainstisme. Karena sains tak lebih dari salah satu narasi di antara naras-narasi kebenaran yang lain, durhakalah kita bila memaksakan cara pandang sains untuk menemukan kebenaran. Sia-sia pulalah bila kita percaya ada yang namanya pengetahuan objektif atas realitas objektif yang bisa membawa kita ke kebenaran objektif.

Memang kalau kita hendak mengetahui bagaimana peristiwa yang benar-benar terjadi lalu bertumpu pada pandangan orang-orang tentang apa yang mereka tahu ihwal peristiwa tersebut, maka bisa jadi tak akan kita temukan kebenaran objektif. Apa pasal? Selalu ada jarak antara apa yang orang pikir mereka ketahui tentang suatu peristiwa dengan apa yang benar-benar terjadi. Apalagi kalau peristiwa itu menyangkut kepentingan diri orang-orang yang terlibat. William Rahtje, misalnya, melakukan penyelidikan tentang pola konsumsi warga kota di Amerika. Tujuan penelitiannya ialah sebagai kritik terhadap pendekatan emik (bertumpu pada apa kata orang) dalam studi sosial. Tim peneliti pertama diutusnya mewawancarai warga di rumahnya masing-masing. Apa yang mereka konsumsi dan seberapa banyaknya dicatat. Tim kedua diutusnya mengumpulkan sampah rumahtangga dari rumah-rumah tineliti. Apa saja yang mereka konsumsi dan seberapa banyaknya dicatat. Hasilnya dibandingkan. Ternyata apa yang orang katakan tentang apa yang mereka konsumsi dan seberapa banyak dibanding dengan apa yang betul-betul mereka konsumsi dan seberapa banyak, jomplang. Rata-rata warga mengaku hanya mengonsumsi 5 kaleng bir seminggu, sementara dari penyelidikan atas sampah rumahtangganya rata-rata seorang warga mengonsumsi 15 kaleng bir seminggu. Hasil ini bukan menunjukkan bahwa warga berbohong. Soalnya lebih dalam dari itu, yakni terkait dengan watak pikiran manusia yang mudah limbung menanggung beban fakta, entah karena kapasitas memori harian yang tak bisa mengingat semua hal secara rinci ataupun, seperti tokoh-tokoh Rashomon, karena kepentingan diri masing-masing. Kalaupun warga bohong, kita mestinya menyelidiki mengapa mereka bohong, bukannya memaksakan bahwa kebohongan warga itu narasi dari subjek otonom yang patut dihargai dalam konteks pluralisme kebenaran.

Sains dan materialisme punya sejarah panjang bersama. Perjuangan demi sains aslinya ialah perjuangan untuk membangun dan melanggengkan pandangan dunia materialis. Dua abad lalu ini artinya membatasi penyambatan daya-daya dan entitas-entitas spiritual dan imajiner untuk menjelaskan gejala teramati. Penjelasan ilmiah akan merujuk pada entitas yang dapat diamati dan mengukurnya makin lama makin sedikit menggunakan pancaindra langsung dan makin lama makin banyak menggunakan piranti yang memperluas cakupan daya indra dan meningkatkan ketepatan dan intersubjektivitasnya. Materialisme macam begini menekankan keberadaan suatu realitas yang terlepas dari kesadaran yang hanya bisa diketahui dengan berinteraksi dengannya; sebuah realitas yang tak bakal diketahui semurninya oleh imajinasi dan permenungan. Malah imajinasi punya kapasitas berbahaya yakni ia tak hanya sanggup untuk tapi juga senantiasa cenderung menciptakan bayangan yang membelokkan atau bahkan menampik realitas eksternal. Kalau realitas eksternal yang objektif dan tak akan lekang hanya oleh kehendak itu tidak ada, punah sudah manusia sedari dulu. Kalau benar tak ada realitas objektif, coba saja Anda terjun dari gedung berlantai 20 sambil membayangkan sedang menulis esai untuk IndoPROGRESS dan kita lihat hasilnya. Dengan kamera perekam berkecepatan tinggi dan satu tim ahli forensik saya akan mengamati peristiwa Anda jatuh dan hasil kejatuhan itu.

Hikmahnya, untuk sampai ke kebenaran objektif kita perlu sains, bukan kritik sastra. Dalam sains semua hipotesis harus terang-benderang, bisa diuji, dan terintegrasi ke dalam sistem penjelasan lebih luas. Metode-metode sains menyediakan cara unik dan berdaya kuat untuk menangkap realitas secara objektif. Sains perlu dikritik. Tapi tak lantas menampiknya dan memilih perdukunan atau khotbah sebagai gantinya. Dengan sains kita juga tak bisa mengandalkan pengetahuan pada apa yang orang pikirkan atau bayangkan tentang mereka dan dunia sekitar. Untuk sastra boleh-boleh saja kita gali apa yang orang rasakan dan apa pandangan mereka tentang dunia sekitar, tapi tidak untuk sains. Hanya karena 99 persen para pekerja merasa sejahtera, hidup nyaman, dan tidak pernah terbersitpun dipikirannya bahwa mereka dieksploitasi tak lantas eksploitasi itu tak ada.***


David Hume [1]

$
0
0

Kredit foto: www.telegraph.co.uk

 

DAVID Hume [1711-1776] lahir di Edinburgh, perbatasan Skotlandia, adalah salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial modern. Di lingkar intelektual Eropa di zamannya, Hume lebih dikenal sebagai seorang sejarawan, meski pemikirannya merentang pada bidang kajian yang sekarang disebut sebagai sosiologi, ekonomi-politik, etika, hingga kajian-kajian religi. Semua bidang kajian ini pada masa Hume merupakan cabang dari satu tubuh besar moral philosophy, ilmu mengenai hakikat manusia. Sahabatnya, Adam Smith, mengenang Hume sebagai seorang pribadi riang, pandai bergaul dan berpikiran terbuka yang selalu siap membantu orang-orang yang di sekitarnya. Mereka berdua memang saling mengenal dan kerap bertukar pikiran dalam diskusi-diskusi The Select Society, suatu kolektif diskusi seniman-intelektual yang turut membidani lahirnya era emas “Scottish Enlightenment”. Jauh sebelum mengenal Hume, Smith sendiri pernah dihukum di kampus Oxford tempatnya belajar akibat kedapatan membaca buku Hume, A Treatise of Human Nature, Being an Attempt to Introduce the Experimental Method of Reasoning into Moral Subjects [1739] di perpustakaan.

Tulisan ini, bagaimanapun, tidak akan mengikuti Adam Smith untuk membaca tiga jilid karya lengkap Hume di atas. Kita akan dibantu oleh duo J. M. Keynes dan Piero Sraffa yang di tahun 1938 menerbitkan sebuah “tulisan baru” berjudul An Abstract of a Treatise of Human Nature [1940]. Yang diterbitkan keduanya tak lain merupakan pamflet anonim yang ditulis Hume pasca penerbitan “A Treatise of Human Nature..” yang kurang sukses di pasaran. Meski singkat, pamflet ini adalah ringkasan argumen utama dari “A Treatise of Human Nature..” yang menurut kedua ekonom itu masih merupakan pengantar paling baik untuk menyelami esensi pemikiran Hume[1].

Refleksi Hume bertolak dari masalah bagaimana para filsuf mengajukan definisi-definisi mengenai hakikat manusia tanpa memberi bukti yang cukup memadai, tanpa derajat keakuratan yang cukup jelas. Misalnya ada seorang filsuf yang mengajukan pernyataan bahwa “esensi manusia sesungguhnya adalah mahkluk penuh dosa”, atau “manusia pada esensinya tidak menyukai kerja”. Apa buktinya? Tapi pertanyaan Hume bukan itu, ia bertanya lebih jauh; bagaimana cara membuktikannya? dan apa ukuran pembuktiannya?

Bagi Hume, jika kita bisa menjawab apa cara pembuktian terbaik bagi setiap pernyataan mengenai hakikat manusia, maka ilmu manusia yang ilmiah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh ilmu-ilmu alam, menjadi mungkin. Di masa Hume, ilmu mengenai masyarakat manusia yang akurat sedang amat dibutuhkan sebab pandangan-pandangan mengenai masyarakat, kerap bersaling-silang dengan pandangan-pandangan metafisik—pandangan-pandangan anti-ilmu kaum elit yang selalu jadi justifikasi dan selubung penindasan antar manusia.

Prinsip utama yang jadi landasan bagi penyelidikan Hume ialah pengalaman, sebagai alat yang darinya pernyataan-pernyataan ilmu dapat bersandar. Yang dimaksud dengan “landasan” berarti Hume memakai prinsip hemat asumsi, jika satu fenomena dapat dijelaskan dengan banyak prinsip, maka kita mesti mencari prinsip terdasar yang dari situ prinsip-prinsip lain dapat diturunkan. Sedangkan yang Hume maksud sebagai “pengalaman” mesti dimengerti dari definisi dasar yang ia ajukan sebagai berikut;

Persepsi, segala hal yang hadir di dalam pikiran manusia, baik yang diperoleh melalui penggunaan pancaindera, digerakkan oleh hasrat, olah nalar, atau refleksi.

“Persepsi”, lalu dibagi Hume lagi menjadi dua hal,

 Impresi, yaitu persepsi pikiran, yang diperoleh manusia melalui cerapan pancaindera mengenai berbagai macam perasaan, hasrat, semangat, emosi, atau objek eksternal, dan

Ide, yakni persepi yang diperoleh manusia tanpa cerapan inderawi, hasil dari refleksi manusia atas emosi, kejadian-kejadian, atau objek eksternal yang tidak hadir di depannya[2].

Perbedaan keduanya cukup jelas, kata Hume. Sejelas perbedaan antara merasa (feeling) dan berpikir (thinking).

Dari definisi-definisi ini Hume lalu mengajukan proposisi pertama sistemnya; segala jenis Ide berasal dari impresi, dan kedua, manusia tidak bisa memikirkan apapun yang belum pernah ia alami dan merasuk ke pikirannya.[3] “Impresi” berarti mendahului, dan merupakan satu-satunya gerbang menuju “ide”—dari impresi naik ke ide.

Ide-ide semacam ‘esensi’ atau ‘substansi’ yang banyak diajukan para filsuf sebab itu mesti dikonfrontasi dengan pertanyaan, “Dari impresi apa ide-ide itu berasal?” jika tidak bisa ditunjuk impresi mana yang merupakan asal dari ide tertentu, maka ide itu dapat dianggap gilba. Namun Hume juga menyadari bahwa yang kerap disebut sebagai “esensi” atau “substansi” tidak sekadar merujuk pada objek-objek sifatnya tetap atau stagnan. Sebaliknya, dalam pengertian itu kerap termuat pengertian yang memahami ‘esensi’ sebagai suatu proses. Dalam pengertian esensi sebagai proses ini, maka penalaran atas objek-objek yang jadi sandaran impresi mesti berurusan dengan ide mengenai kesalinghubungan (correlations) dan pada akhirnya, ide mengenai sebab-akibat[4]. Jika sebab mendahului akibat, maka ide mengenai ‘sebab’ inilah yang harus diselidiki. Demikian keyakinan David Hume. Dari situ ia mengajukan contoh yang sepertinya membenarkan testimoni Adam Smith bahwa sahabatnya itu adalah seorang riang dan pandai bergaul. Hume memberi kita penyelidikan mengenai ide ‘sebab-akibat’ lewat contoh permainan bola biliar.

Anggaplah meja biliar kita kosong, dan hanya ada Hume sebagai seorang master dengan tongkat biliar favorit, bola berwarna putih, dan bola berwarna merah. Setelah sedikit menghela nafas, Hume yang telah mengasah ujung tongkat biliarnya, kemudian mengambil posisi. Ia menarik kaki kirinya ke belakang, merendahkan punggungnya, menghimpit seperenam tongkat biliar di antara jari kanan yang telah ia renggangkan (ia kidal), sambil terus menatap bola merah dengan tatapan tajam khas seorang terpelajar. Satu, dua, kali Hume menarik tongkat di tangan kirinya, dan pada tarikan ketiga ia melepaskan sentukan. Plak! Bola merah hilang dari pandangan masuk ke lubang condong kiri dengan mulus.

Bola biliar putih (A) yang menabrak bola biliar merah (B) menghasilkan gerak bola merah (B’) yang mengarah menuju lintasan lubang condong kiri.

Bagaimana ini bisa terjadi? Tanya sang filsuf. Jelas saja. Ada Hume yang sedang bermain bola biliar. Ujar kita yang bukan filsuf. Tapi begitulah filsafat yang baik konon bekerja, segalanya hemat asumsi dan sederhana. Apa yang terjadi pada Hume sebagai objek penyebab dapat ditarik mundur terus jauh ke belakang—Hume yang ilmuwan, orangtua yang melahirkan Hume, leluhur Hume, berdiri tegaknya leluhur-leluhur Hume yang mirip primata, ganggang, mahkluk bersel satu, planet bumi, tata surya, dan seterusnya hingga menuju apa yang terjadi pada partikel atom terkecil di awal pembentukan alam semesta. Jadi dalam kerangka filsafat alam inilah contoh bola biliar Hume mesti dibayangkan. Lantas apa yang sesungguhnya terjadi?

Adanya gerak lintas B’ hanya dapat terjadi pertama-tama sebab ada persinggungan (contiguity) antara A dan B. Dalam persinggungan ini, tidak ada interval antara benturan dan gerak. Bukan hanya bola putih, dan bukan hanya bola merah, melainkan persinggungan bola putih (A) dan merah (B) lah yang menghasilkan gerak bola merah ke lintasan tertentu (B’). Artinya, persinggungan objek-objek dalam ruang dan waktu adalah prasyarat bagi beroperasinya ‘sebab’ peristiwa-peristiwa.

Selain persinggungan, dalam peristiwa itu juga ada prioritas (priority) dalam konteks waktu; persinggungan A-B lebih dahulu terjadi dibanding gerak B’. Dengan demikian, persinggungan dalam ruang dan waktu mendahului dan merupakan prasyarat dari gerak tertentu; persinggungan A dan B mengakibatkan bola B’ yang menuju lintasan tertentu.

Sebagai man of science, Hume kemudian melakukan serangkaian eksperimen. Ia mengganti warna bola biliar yang dipakai dalam pembuktiannya. Misalnya ia mengganti bola warna merah (bola B) dengan bola biliar berwarna biru. Dalam tahap eksperimen, ceteris paribus, pergantian warna bola biliar ternyata tidak menghasilkan perbedaan; persinggungan bola biliar A dan B tetap menghasilkan bola B’ yang menuju lintasan tertentu. Objek-objek empiris yang berbeda, artinya, akan selalu menghasilkan hubungan sebab-akibat yang sama “jika dan hanya jika” proposisi-proposisi dasarnya serupa—Hume menyebut ini sebagai konjungsi konstan (constant conjunction) antar sebab-akibat. Dari proses penyelidikan dan eksperimentasi ini maka dapat ditarik kesimpulan umum (inference) yang dapat dijadikan sebuah perampatan (generalization); “jika dan hanya jika proposisi-proposisi dasarnya serupa, pengalaman membuktikan bahwa persinggungan bola biliar A dan B selalu menyebabkan gerak bola B’ yang menuju lintasan tertentu”. Inilah yang terjadi dalam tahap eksperimen.

Jika yang terjadi pada gerak bola biliar ini sudah sedari kecil kita lihat, tonton, atau amati, maka dari impresi-impresi ini kita mendapat ide mengenai ‘sebab-akibat’; persinggungan bola A-B adalah sebab yang mengakibatkan gerak B’. Sedangkan mereka yang tidak memiliki pengalaman, tidak memiliki impresi-impresi akan gerak bola biliar, niscaya tidak akan memiliki gagasan ‘sebab-akibat’ yang sama, bahwa persinggungan bola A-B yang menghasilkan gerak B’. Dalam kerangka penalaran yang sama, seorang balita yang tidak memiliki pengalaman, tidak punya impresi akan api—menyentuhnya, menjilatnya—niscaya tidak akan memiliki ide sebab-akibat sederhana seperti “menyentuh api akan menyebabkan kulit terbakar”. Kita memiliki ide bahwa “menyentuh api menyebabkan kulit terbakar” sebab kita sudah memiliki impresi atas api dengan pernah menyentuhnya. Kalaupun tidak memiliki impresi langsung, ide-ide yang kita ketahui pada analisis terakhir tetap merupakan impresi-impresi, pengalaman-pengalaman orang-orang lain.

Dengan ini Hume telah berhasil membuktikan proposisinya; ide mengenai ‘sebab-akibat’ hanya dapat berasal dari impresi-impresi; dari pengalaman. Tidak ada ide yang tidak berasal dari pengalaman. Namun, ia melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa pengalaman, impresi-impresi, adalah satu-satunya alat yang dapat diandalkan oleh ilmu untuk menguji kesahihan ide-ide dalam bentuk apapun[5]. Ide-ide yang tidak dapat ditunjuk impresi yang mengasalkannya berarti kembali berpulang pada metafisika.

Dari sini Hume kemudian berpendapat sesuatu yang mesti diperhatikan baik-baik; jika semua ide hanya dapat bersandar dari pengalaman, dan pengalaman selalu bersandar pada cerapan inderawi, maka konsekuensinya manusia hanya dapat memastikan apa yang telah terjadi di masa lalu dan di masa kini. Mengapa? Sebab Tidak ada satupun dari kita yang dapat memastikan bahwa “persinggungan bola A-B selalu akan menghasilkan gerak B’”. Tidak ada jaminan, bahwa, jalannya alam akan selalu seragam[6]. Padahal ‘impresi-impresi’, pengalaman-pengalaman adalah satu-satunya sumber ide-ide.

Jika tanpa pengalaman kita bisa yakin bahwa hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan yang sama akan kembali terjadi, maka itu tak lain berasal dari kebiasaan dan adat-istiadat (custom) belaka[7]. Hanya kebiasaan dan adat-istiadat sajalah yang membuat kita yakin bahwa hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan yang sama akan tetap terjadi di masa yang akan datang. Sebagai buktinya, lagi-lagi contoh balita yang belum menyerap kebiasaan dan adat-istiadat dari tatanan masyarakatnya niscaya tidak akan memiliki ‘ide’ mengenai hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan antar peristiwa yang sama kembali terjadi di masa yang akan datang, baik dalam contoh bola biliar ataupun dalam contoh menyentuh api.

Apabila tidak ada jaminan bahwa hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan yang sama akan kembali terjadi di masa depan, maka penjelasan mengenai apa yang ada di masa depan hanya berstatus ‘mentak’ atau ‘boleh jadi’ (probable). Boleh jadi iya, boleh jadi tidak. Apa-apa saja yang bersifat ‘mentak’ problemnya tidak bisa dibuktikan ‘salah’ atau ‘benar’. Kalau kita bersikeras bahwa apa yang terjadi di masa yang akan datang dapat dibuktikan salah atau benarnya, maka kita akan kembali ke metafisika, sebab lagi-lagi, suatu ide tidak berasal dari impresi-impresi.

Dalam sejarah ilmu, apa yang diuji oleh Hume lewat penalaran bola biliarnya dikenal sebagai ‘problem induksi’. ‘Problem induksi’ inilah yang juga membawa Hume kepada kesimpulan ketidakmungkinan prosedur penjelasan deduktif dalam analisis ilmiah dalam ilmu-ilmu manusia. Sebabnya, prosedur penjelasan deduktif selalu berangkat dari keyakinan adanya ‘esensi’ atau ‘substansi’ objek kajian yang diandaikan memiliki “hubungan sebab-akibat atau konjungsi konstan di masa yang akan datang”, sementara Hume membuktikan bahwa hal tersebut tidak dapat dipastikan. Hal itu hanya boleh dalam status ‘boleh jadi’ jika ilmu tidak mau terjerumus kembali kepada metafisika. Tugas ilmu-ilmu mengenai masyarakat manusia yang baru sebab itu bukan lagi mencari ‘kepastian-kepastian’ determinatif yang jadi pembimbing sistem dan dari sana penjelasan-penjelasan lain dideduksikan. Tugas ilmu, hanyalah mengumpulkan dan menyelidiki ‘impresi-impresi’ mengenai peristiwa-peristiwa dan hubungan sebab-akibat. Dan Impresi-impresi yang memiliki derajat kekerapan paling tinggi adalah dasar untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa di masa lalu dan masa sekarang, dan dapat digunakan untuk prediksi-prediksi di masa yang akan datang. Sampai di sini, jika pembaca lalu mulai teringat mengenai suatu jenis ‘metode riset’ tertentu, itu sebab di awal tulisan ini saya mengatakan bahwa Hume adalah “salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial modern”.***

 

————-

[1] Saya memakai versi online tanpa halaman yang bisa diperoleh di sini: https://people.rit.edu/wlrgsh/Abstract.pdf

[2]He calls a “perception” whatever can be present to the mind, whether we employ our senses or are actuated with passion, or exercise our thought and reflection. He divides our perceptions into two kinds, viz.,

“impressions” and “ideas”. When we feel a passion or emotion of any kind, or have the images of external objects conveyed by our senses, the perception of the mind is what calls and “impression”—which is a word that he employs in a new sense. When we reflect on a passion or an object which is not present, this perception is an “idea.” “Impressions,” therefore, are our lively and strong perceptions; “ideas” are the fainter and weaker. This distinction is evident—as evident as that betwixt feeling and thinking.”

[3]“The first proposition he advances is that all our ideas, or weak perceptions, are derived from our impressions, or strong perceptions, and that we can never think of anything which we have not seen without us, or felt in our own minds.”

[4] “It is evident that all reasonings concerning matter of fact are founded on the relation of cause and effect, and that we can never infer the existence of one object from another unless they be connected together, either mediately or immediately. In order, therefore, to understand these reasonings we must be perfectly acquinted either the idea of a cause; an in order to that, must look about us to find something that is the cause of another”.

[5] “No matter of fact can be proved but from its cause or effect. Nothing can be known to be the cause of another but by experience”.

[6] “It follows, then, that all reasoning concerning cause and effect are founded on experience, and that all reasonings from experience are founded on the supposition that the course of nature will continue uniformly the same”.

[7] “We are determined by custom alone to suppose the future comformable to the past”.

Jin dan Pembaruan Rumus Umum Kapital

$
0
0

UNTUK adanya sama sekali kapital sebagai nilai yang dapat memperbanyak dirinya, kapitalis haruslah menceburkan nilai yang dipegangnya ke dalam kawah candradimuka proses produksi. Untuk itu, pertama-tama, kapitalis harus mencairkan nilai yang dipunyai dan mengubahnya ke dalam bentuk uang. Hanya dengan uang inilah mereka bisa memasuki pasar dan membeli bahan baku, menyewa lahan dan bangunan, membeli mesin-mesin dan segala tetek bengek peralatan produksi, serta mengupah pekerja. Ringkasnya, untuk bisa menciptakan nilai baru, nilai gandaan dari nilai semula, ada proses panjang yang harus dilalui kapitalis. Proses panjang ini bukanlah jalan lurus beraspal mulus selalu. Kadang kala kapitalis harus naik-turun dan mual mabuk perjalanan mengikuti topografi finansial global yang naik turun, kadang mereka terpaksa melambatkan kendaraan karena jalanan rusak oleh korupsi, atau malah harus berhenti sama sekali di tengah jalan sebelum pahala laba diraihnya karena mesin produksinya rusak atau dirampok. Menjadi kapitalis tak semudah membalikkan badan saat senam pagi. Selain medan kapitalisme yang berlendirkan persaingan dan mereka yang tak kokoh berpijak akan terpeleset dan jatuh ke jurang kebangkrutan, mereka harus juga menanggung tuduhan moral hina di mata orang kebanyakan. Mereka harus siap pula dituduh serakah, loba, tamak, dan tak pernah puas diri sehingga mustahil menjadi budha. Padahal, mereka sekadar hamba sahaya yang hidup-matinya ditentukan seberapa patuhnya mereka kepada perintah kapital. Semakin ngeyel dan mencoba berbisnis dengan hati nurani, semakin besar pula benturan kontradiksi yang harus dihadapi. Kapital akan melibas mereka. Kapital itu buta. Kapital bergerak karena hanya itu yang menjadi roh dalam modus keberadaannya di dunia. Ibarat tsunami, kapital akan menelan semua ke bawah kakinya dan menggilas menjadi puing-puing siapa saja yang tak berlari berselancar di atasnya. Intinya, menjadi kapitalis, menjadi hamba kapital yang senantiasa memaksa memperbanyak diri karena kodratnya itu, adalah perjuangan berat yang tak semua orang bisa melakukannya.

Secara formal, Marx merumuskan kapital sebagai proses yang berujung pada realisasi nilai beserta nilai gandaannya (U++). Semua kapitalis harus bisa mencapai puncak berkilau cahaya laba ini. Apabila gagal mencapainya, maka ia akan dihukum oleh pasar sebagai kapitalis tolol. Untuk sampai ke sana, kata Marx, pangkalnya dari nilai yang telah cair dari sudut pandang pasar, yakni uang (U). Dari situ nilai cair dibekukan kembali ke dalam bentuk komoditi-komoditi (K1). Artinya, untuk menghidupkan kapital, kapitalis harus mematikannya dulu dengan mengubahnya menjadi sarana produksi (SP) dan tenaga kerja (TK). Proses membekukan kembali ini bukanlah perkara mudah. Kadang kala sarana produksi sulit didapat, bahan baku mahal karena infrastruktur belum memadai atau karena tempat-tempat yang menjadi sumbernya dimonopoli. Kadang kala tenaga kerja mahal harganya. Pekerja meminta kenaikan upah terus-menerus. Untuk memurahkan harga tenaga kerja bukanlah perkara gampang. Mereka harus berserikat dan menghadapi serikat itu mereka harus juga punya kampiun-kampiun lobi dan juara-juara suap supaya orang-orang di lembaga legislatif dan pemerintahan melapangkan masuknya kepentingan mereka ke dalam legislasi.

Dengan dua jenis komoditi tersebut di tangan, barulah proses produksi komoditi bisa berjalan. Itupun tak semudah kedengarannya. Ada banyak kendala yang harus dihadapi dan dibereskan hingga komoditi-komoditi baru tercipta (K2). Di penghujung proses produksi, perjuangan kapitalis belum selesai. Amanat kapital kepada mereka bukanlah untuk menciptakan barang-barang yang berguna dan maslahat bagi banyak orang lalu mendapatkan pahala dari kegiatan itu. Amanat kapital ialah bahwa mereka harus berbisnis, dan dalam bisnis yang utama adalah laba. Untuk itu mereka harus mengubah nilai yang terkandung di dalam komoditi-komoditi kembali menjadi nilai. Bukan sekadar nilai seperti sedia kala, tapi sejumlah nilai cair seperti yang sebelumnya ditanamkan beserta gandaannya (U++). Untuk itu mereka harus bisa menjual komoditi-komoditi itu. Dalam proses inipun mereka harus putar otak bekerja keras bagaimana caranya merayu banyak orang menukarkan nilai cair atau uang mereka dengan komoditi; bagaimana caranya membuat banyak orang merasa barang-barang dagangan mereka memang dibutuhkan (padahal mungkin tidak).

Fuh! Dari rumus umum kapitalnya Marx, betapa melelahkannya menjadi kapitalis. Di dalam rumusan kapital seperti tertuang di dalam jilid pertama Das Kapital, Marx agak meremehkan proses kapitalis memperoleh nilai cair (U). Marx memulai rumusnya dari keberadaan U. Seolah-olah U ada begitu saja seperti buah khuldi yang tinggal petik. Dia mengesampingkan betapa berat beban derita kapitalis dalam memperoleh U dan memulai proses pelipatgandaan nilai. Mereka harus merendah-rendahkan diri di hadapan bankir-bankir, jungkir balik di depan meja para wali-wali dana parkiran di luar negeri, bahkan memohon-mohon kepada sekutu sekaligus pihak yang paling ingin mereka depak dari serambi bisnis (selain pekerja), yakni pemerintah, agar melonggarkan ikatan pajak dan tetek bengek yang merepotkan perolehan dana cair, investasi, dan repatriasinya. Tapi sebagai hamba, kapitalis harus patuh sepatuh-patuhnya kepada logika kapital. Apapun harus dilakukan apabila itu satu-satunya jalan ke puncak bertabur cahaya laba. Karena hanya labalah yang bisa melepaskan dahaga kapital akan dirinya sendiri. Setidaknya untuk sementara waktu karena dahaga itu melekat pada keberadaannya. Nah, dari erangan kritik para kapitalis soal peremehan atas proses mereka memperoleh dana segar di dalam rumus umum kapitalnya, Marx membuat rumus khusus kapital seperti digambarkan di dalam jilid ketiga Das Kapital. Marx menarik secara retrospektif apa yang terjadi sebelum U siap dioperasikan. Dalam rumus khusus itu Marx memasukkan variabel asal-usul dana cair dan evolusi apa yang disebutnya sebagai kapitalis finansial atau kapitalis yang posisinya sekadar membiayai proses produksi. Tentu beserta serba kontradiksi yang dimunculkan pembagian kerja baru di tubuh kapitalisme itu. Seperti yang sudah dialami dan masih dialami semua kapitalis di dunia, pemanjangan rumus umum kapital lebih ke awal menguak derita kapitalis ternyata jauh lebih berat dari yang dikira Marx sebelumnya.

Tapi hari ini para kapitalis bisa menghela nafas lega. Meski tak semuanya, setidaknya satu beban, yang selama ini diabaikan Marx dalam rumus umum kapitalnya, kini benar-benar bisa diabaikan. Tak hanya secara logis-formal, tapi empiris-aktual. Kini mereka tak harus merendahkan diri lagi. Cara baru mendapatkan dana cair telah ditemukan. Bahkan jauh lebih efektif dan efisien daripada yang selama ini ada. Untuk mendapatkan dana cair atau U dalam memulai atau mereproduksi proses produksi komoditi dan penciptaan nilai baru, cara baru dari luar pasar, jauh dari bayang-bayang bankir kikir, telah tercipta. Taat Pribadi dari Padepokan Dimas Kanjeng kini bisa menciptakan uang dan emas dari ketiadaan! Uang-uang dari balik jubahnya bisa ada tanpa PERURI dan restu Bank Indonesia!! Emas-emas batangan di peti-petinya bisa ada tanpa secuilpun turut campurnya PT. Freeport Indonesia!!!

Ibarat pepatah, panas setahun punah oleh hujan sehari. Derita puluhan tahun begelut dengan peroleh dana cair kini sembuh dengan tiba-tiba. Langkah optimis menjelang masa depan cerah kapitalisme kini kian terbuka lebar. Jin-jin kini bisa diintegrasikan ke dalam proses. Sudah saatnya bubarkan lobi-lobi perbankan. Sudah masanya kita pensiunkan para pialang forex karena Taat Pribadi tak hanya dapat menciptakan mata uang rupiah dalam sekejap mata, tapi juga mata-mata uang asing yang penting dalam pertukaran global.***

Boris Hessen dan Sejarah Ilmu

$
0
0

TENGAH tahun 1931, Nikolai Bukharin memimpin segerombolan ilmuwan garda depan Uni Soviet menuju London, Inggris. Di sana mereka akan menghadiri ‘Kongres Kedua Sejarah Ilmu dan Teknologi’, konferensi keilmuan yang mau membahas perkembangan ilmu lewat perspektif sejarah. Saat itu, analisis Marx belum banyak digunakan secara luas di luar jalur klasik ekonomi-politik. Bidang disiplin sejarah ilmu yang hendak dikaji juga belum luas masuk ke dalam institusi resmi. Pekerjaan menyelidiki sejarah perkembangan satu bidang keilmuan umum dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan pensiunan, atau sebagai sebuah kajian pendahuluan dari karya yang lebih besar.

Semula perspektif dominan yang dipakai melihat sejarah perkembangan ilmu hanyalah perspektif internalisme. Gagasan-gagasan keilmuan, dikaji melalui rekonstruksi rasional di dalam ruang lingkup sejarah ilmu itu sendiri. Kemunculan, atau perkembangan sebuah gagasan keilmuan, dipandang semata-mata hasil dari dialog atau kritik atas gagasan-gagasan yang lahir sebelumnya. Sudut pandang ini awalnya dinilai paling adil dalam menilai aktivitas para ilmuwan—sejarah ilmu, ya, dinilai lewat gagasan yang hadir di dalam sejarah ilmu saja. Tapi bukan keadilan kalau berat sebelah. Perspektif ini pelan-pelan dikritik sebab dianggap mempertahankan pandangan ilmu sebagai entitas yang berdiri bebas di luar kondisi-kondisi sosial. Memang aneh rasanya membayangkan seorang ilmuwan sebagai sejenis pertapa yang hidup mengambang di antara langit dan bumi.

P. G. Werskey mengenang kedatangan gerombolan Bukharin di konferensi sejarah ilmu saat itu amat berpengaruh hingga “membikin sejumlah besar ilmuwan alam kembali menggeluti bidang sejarah ilmu yang telah lama ditinggalkan”. Mereka kompak mengajukan sudut pandang yang relatif baru dalam memandang sejarah ilmu; perspektif eksternalisme, perkembangan ilmu-ilmu tidak dapat dilepaskan dari kondisi-kondisi di luar aktivitas keilmuan sendiri. Bagi para ilmuwan Soviet ini, justru sebaliknya, kondisi-kondisi di luar aktivitas keilmuan yang menjadi prasyarat bagi penemuan-penemuan ilmiah. Matematikawan Arnost Kol’man, misalnya, mengajukan reorientasi matematika di bawah terang kajian alam, atau diterapkan pada ekonomi terencana sosialis. Tanpa orientasi ini bagi Kol’man, matematika rawan terjerumus dalam rumusan formil.

Yang paling menarik adalah dari fisikawan Boris Hessen, “The Social and Economic Roots of Newton’s ‘Principia’. Di sana Hessen menguraikan beberapa konteks ekonomis-teknologis penemuan-penemuan Isaac Newton di abad 17. Menjadi menarik, salah satunya, karena tesis yang Hessen hasilkan dari kajian ini ternyata berbagi kesimpulan yang sama dengan makalah ekonom Henryk Grossman, “The Social Foundation of Mechanistic Philosophy and Manufacture” (1935) yang muncul bertahun kemudian. Apabila Hessen mengkaji konteks sosial penemuan Newton, maka Grossman memeriksa konteks historis filsafat mekanistik Descartes. Meski dilakukan dalam lokasi dan waktu yang berbeda, kesimpulan serupa yang dihasilkan keduanya dalam sejarah ilmu kemudian dikenal sebagai Tesis Hessen-Grossman.

Hessen menguraikan bagaimana seorang Newton yang hidup di dalam sebuah zaman peralihan. Zaman ketika kelas borjuasi (yang sebelumnya adalah anak bawang) sedang berusaha memenggal kepala bangsawan-bangsawan feodal. Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (1687) terbit ketika revolusi borjuasi 1649-1688 di Inggris berlangsung. Ketika para borjuasi revolusioner ini berusaha merebut negara, membebaskan desa-desa manorial dari keterisolasiannya, membuat kota-kota tumbuh, dan membikin para penggarap lahan semakin bergantung pada produksi dan uang dari perkotaan. Manufaktur-manufaktur dan kapital dagang lahir, berikut kebutuhan tinggi atas sumber-sumber ekonomi baru di luar lahan-lahan garapan feodal. Tuntutan ekonomis ini, Hessen tunjukkan, menghasilkan serangkaian masalah teknis. Lahir lonjakan kebutuhan atas peningkatan alat transportasi, kebutuhan atas pembukaan industri-industri baru, dan bersaman dengan itu, perang-perang yang makan banyak biaya.

Pertanyaan yang berputar di kepala borjuasi saat itu berkisar soal bagaimana cara membikin kapal-kapal yang bisa memuat barang lebih banyak tanpa sekaligus tenggelam; bagaimana cara menggali biji logam/emas yang terletak jauh di perut bumi; atau, bagaimana cara agar laju proyektil menuju mulut laras berlangsung lebih cepat. Semua pertanyaan yang bila diperhatikan tidak bisa dijawab borjuasi yang kepiawaiannya saat itu adalah berdagang. Mereka, sayangnya, saat itu juga tidak bisa meminta bantuan orang-orang universitas; universitas telah lama disodomi gereja, mereka, meminjam Louis Althusser, adalah “aparatus ideologis negara”. Abad pertengahan yang feodal meninggalkan pendidikan yang terbelakang dan ilmu-ilmu alam yang diajarkan hanya sejauh telah disaring oleh para pendeta. Masalahnya, keadaan ekonomi yang baru memerlukan kajian fisika dan matematika. Borjuasi memerlukan penemuan-penemuan mutakhir.

Bagi kaum revolusioner ini solusinya jelas; setelah menang secara ekonomis, ini saatnya perang ideologis. Bentuk komunitas-komunitas ilmiah di luar universitas yang siap melawan dekadensi universitas. Salah satunya adalah Royal Society di London dimana Newton adalah salah satu bagian. Komunitas ini yang ikut membantu Newton mempublikasikan ‘Principia’. Karya inilah yang menjadi pemecah kebuntuan teoretis, peletak pondasi mekanika klasik yang jadi dasar pemecahan masalah-masalah teknis yang lahir pasca tatanan feodal runtuh. Tidak pelak konteks historis dari penemuan Newton ini membuat Hessen menarik kesimpulan; perkembangan ekonomi menuntut pengembangan teknologi-teknologi baru, yang pada gilirannya merangsang kajian-kajian teoretis keilmuan.

 

Tabel hubungan faktor ekonomi, teknologi, dan ilmu yang melingkupi ‘Principia’ Newton[1]

hessen

Jadi alih-alih memandang pemikiran Newton sebagai hal yang lahir di ruang hampa, Hessen berupaya menunjukkan syarat-syarat historis kemunculan Mekanika Newton. Dengan ini Hessen, sebagai sejarawan ilmu, juga tidak hendak melangkah jauh seperti para relativis sejarah ilmu yang bermodal kajian historis, lalu menarik kesimpulan lintas-disiplin soal “relativitas pengetahuan”, “ketiadaan objektivitas”, dan sejenis-sejenisnya. Bukan ini yang disasar oleh Hessen. Yang ia sasar justru adalah pandangan otonomi ilmu yang absolut dari masyarakat. Ia tunjukkan, bahkan ilmu yang tampak jauh dari hiruk pikuk ekonomi dan politik seperti mekanika, nyatanya merupakan salah satu senjata pamungkas dalam perjuangan kelas yang tidak hanya terdiri dari paku dan pena, namun juga bayonet dan senapan.

Selain dicatut sebagai kajian pelopor dalam bidang sejarah ilmu, konsepsi eksternalis sejarah ilmu Hessen, sebagaimana hampir segala hal yang datang dari Soviet, juga kerap lekas di cap sebagai Marxisme yang vulger. Agaknya janggal mengatakan bahwa segala penemuan dan jerih payah seorang ilmuwan jenius nyatanya dikondisikan oleh hal-hal material ekonomi-teknologis yang dingin dan kering. Akar pemikirannya memang datang dari Marx sendiri di Preface (1859), soal “[c]ara produksi kehidupan material mengondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual dari masyarakat. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan sosialnya, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadarannya”. Namun lewat Hessen, sekurangnya bagi saya, hadir pemahaman bahwa tiap kali Marx bicara soal yang “material” atau “ekonomis-teknologis” hal itu tidak pernah dimengerti sebagai “benda-benda”. Sehingga materialisme adalah pandangan yang mengutamakan benda-benda di atas orang-orang. Bukan, bukan itu yang dimaksud oleh Marx dan Hessen. Baik bagi Marx atau Hessen, yang “material” lebih mengacu pada relasi-relasi kelas; hubungan-hubungan antar sesama manusia dan antara manusia dengan alam dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup, yang diperantarai oleh bentuk-bentuk kepemilikan privat. “Perubahan material” dalam era Newton sama artinya dengan usaha pembalikkan masyarakat dalam wujud perang sipil, para bangsawan yang menghadapi guillotine, lahan-lahan garapan di pedesaan yang dirampas, dan tampilnya borjuasi ke atas panggung sejarah. Jadi ketika Hessen mengajukan pandangan sejarah ilmu yang berbasis pandangan materialis, maka bukan berarti kita sedang menundukkan daya pikir umat manusia di bawah benda-benda. Yang terjadi seharusnya adalah pengertian bahwa ilmuwan (sebagai anggota dari spesies manusia) yang memiliki daya pikir, memiliki otak, juga memiliki lambung yang mesti diisi dengan cara berelasi dengan manusia satu sama lain. Artinya, ilmuwan juga terbagi dalam kelas-kelas. Newton boleh terkenal mati sebagai perjaka dan tidak mengenal perempuan seumur hidupnya. Namun sebagai anggota masyarakat manusia, ia mesti tergabung ke dalam kelas-kelas dan tidak kebal dari perubahan yang terjadi di dalamnya. Tak salah lagi karena itu bagi kita untuk mengungkapkan; sejarah dari semua ilmu yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.***

 

—————

[1] Sumber, Hessen [1931] dalam N. I. Bukharin., et al. Science At The Cross Roads. Frank Cass, 1971.

Cinta dan Ikhtiar

$
0
0

ENTAH ulamnya tiba atau tidak, pembaca pasti pernah mencintai pucuk. Syukur kalau pucuk dicinta ulam pun tiba. Kalaupun tidak, pernah mengalaminya saja bisa jadi suatu berkah. Cinta itu apa sih? Apakah cinta bisa diciptakan, ataukah seperti anugrah pada umumnya yang harus ditunggu saja kedatangannya? Apakah cinta itu abadi dan berada di bawah kendali hukum termodinamika ataukah cinta itu fana sefana ruang dan waktu menurut teori relativitas? Mungkin ini pertanyaan-pertanyaan paling ngawur yang pernah tayang di rubrik Logika. Tapi kata orang bijak, pertanyaan ngawur saja punya hikmah. Setidaknya menolong kita yang menyadari kengawurannya untuk bisa merumuskan pertanyaan bagus.

Kalau ditanya soal cinta, saya cuma bisa bilang bahwa cinta itu sesuatu yang kualitatif, imaterial, dan tak berdimensi. Sebagai yang kualitatif dan imaterial, bahkan intuisi subjektif kita saja tidak akan memberi tahu kita soal cinta yang sedang membara itu. Artinya, kalau kita ingin tahu seberapa besar, sebarapa dalam, seluas apakah, atau seberat apakah cinta kita, kita haruslah membuatnya material, berdimensi, dan dengan demikian bisa diukur. Mungkin ini tergolong perbuatan penistaan terhadap cinta. Betapa tidak, sesuatu yang polos murni tanpa noda keterkungkungan mesti dikotori oleh materi berdimensi. Bagaimana tidak mengotori, dengan membuatnya material dan berdimensi, kita memberangus cinta ke dalam hal-hal duniawi nan kasat mata. Tapi itulah kehidupan. Penuh kontradiksi. Sekali kita ingin tahu seberapa besar cinta kita, kita mau tak mau mesti mengkuantifikasinya. Dalam bahasanya Martin yang filsuf, sesuatu yang multak hanya bisa diketahui dengan mengenali negasinya, yaitu yang fana. Artinya, sesuatu yang kualitatif mesti dinegasi ke dalam yang kuantitatif.

Pertama-tama, materialisasikanlah cinta ke dalam kehendak di dalam tubuh karena satu-satunya yang paling dekat sekaligus material dengan sumber cinta itu ialah tubuh kita sendiri, bukan tubuh orang lain. Tapi sekadar kehendak mencintai tak akan membuat kita tahu keluasannya. Jangankan orang yang kita tuju, kita sendiri pasti masih meraba-raba seberapa dalam cinta kita padanya. Jadi, kehendak itu mesti diutarakan ke dalam tuturan fasih agar terdengar ke telinga yang dituju. Asumsikan saja bahwa tuturan fasih kita tak hanya didengar sambil lalu tapi juga disimak sungguh-sungguh dan kita pun jadian. Namun ini saja masih belum cukup. Kita baru tahu seberapa besar cinta kita hanya dari barisan kata-kata yang kita tuturkan saja. Apabila kita sungguh-sungguh ingin mengetahuinya, kita harus mengubah kehendak dan tuturan itu menjadi tindakan. Ambil contoh, kecengan meminta dijemput di bandara yang jaraknya 100 km padahal kita cuma punya motor butut keluaran 1980. Kalau kita menolak dengan alasan tersebut terlalu jauh, sedang sibuk, dan lain sebagainya, maka bisa diukurlah sebenarnya cinta kita tak sedalam lautan seluas samudra. Dalam timbangan (al-mizan) cinta, 100 km menjadi suatu beban amat berat manakala cinta kita begitu ringan. Apabila kita menerima permintaan 100 km itu, apalagi dengan hanya mengendarai motor butut keluaran 1980an, di tengah-tengah gerimis dan kemacetan Jakarta pula, maka baik kita maupun kecengan bisa mengukur bahwa beban itu tak seberat cinta yang kita punya. Ternyata kehendak mencintai kita cukup besar untuk menaklukkan 100 km macet dan gerimis.

Apakah itu semua cukup? Ternyata tidak. Karena cinta itu kualitatif, seberapa banyak pun upaya kita untuk mengkuantifikasikannya, kita tak akan pernah secara paripurna mengetahui kesublimannya. Cinta, seperti halnya ide berubah-ubah rentangannya. Toh ia imaterial tak berdimensi. Untuk mengetahuinya kita mesti mengubah hasil kuantifikasi yang sudah dijalankan kembali menjadi kualitatif. Dalam bahasanya Martin yang filsuf, negasi akan meng-aufhebung, negasi dalam rupa kuantifikasi itu akan mengangkat derajat cinta satu tingkat secara kualitatif. Ketika cinta naik satu derajat, perjalanan baru kuantifikasi baru dan pengkualitatifannya akan berulang lagi dan lagi. Boleh dibilang, tak seperti definisi di awal, alih-alih ‘sesuatu’ (a thing) cinta itu nyatanya ialah proses. Bagi mereka yang watak cintanya empirisis tentu sekadar ngajak jalan-jalan, belanja, atau jemput sudah cukup. Namun mereka tak paham bahwa cinta dialektis. Semakin tinggi taraf cinta yang telah terbuktikan, semakin berat beban kuantifikasi yang mesti dijalankan. Cinta tak selesai diukur hanya dengan menghitung ongkos jalan-jalan dan belanja. Jalan-jalan dan belanja, berkorban harta dan waktu, yang sifatnya kuantitatif itu haruslah menjalani operasi dialektika berikutnya, yakni negasi-atas-negasi. Ujungnya bukanlah suatu jalan buntu yang tak ada apa-apa di baliknya, tapi jalan baru lagi dan lagi.

Sampai sini tentu pembaca bertanya-tanya: apa hubungannya omongan tentang cinta dengan rubrik Logika yang selama diasuh Martin begitu mentereng isinya?

Sekecil apapun, semua Marxis pasti punya iman pada keruntuhan kapitalisme dan terbitnya fajar sosialisme sebagai bentuk penataan masyarakat yang paling baik. Terlepas dari iman itu dibumbui oleh ‘yang ilmiah’, tetap saja ia itu iman yang hakikatnya sekualitatif kehendak atau cita-cita. Iman, kehendak, atau cita-cita itu kualitatif, rohani, imateriil. Untuk tahu seberapa besar kehendak, tak cukuplah sekadar bayang-bayang di benak, gerutu di mulut, atau curhatan di Facebook. Ia mesti dimaterialisasi ke dalam tindakan. Kehendak revolusioner mesti dinegasikan menjadi tindakan revolusioner. Kalau kehendak revolusioner itu kehendak untuk mengganti, bukan sekadar menambal-sulam, tatanan kapitalisme, lalu apa itu tindakan revolusionernya? Tentu saja tindakan-tindakan yang menyulih kapitalisme dengan sosialisme. Tapi tindakan seperti apa yang menyulih kapitalisme dengan sosialisme itu? Apakah tindakan seperti Revolusi Maret 1848? Pendirian Komune Paris 1870an? Revolusi Soviet 1917? Ataukah seperti perang pembebasan Tiongkok 1940an? Revolusi Kuba? Atau Revolusi Kebudayaan Tiongkok 1970an?

Seperti cinta, kita tidak bisa mengandalkan rencana tindakan pada kisah-kisah telah lalu yang pernah dilakukan orang lain. Kisah-kisah lalu hanya sebagai sumber kita mengambil pelajaran, bukan resep siap pakai. Mengapa? Orang yang kita mintai saran belum pernah menjadi kita. Mereka menempati ruang-waktu yang berbeda dengan kita. Satu-satunya hal yang diambil dari kisah mereka ialah kerangka umum tindakan atau, dengan kata lain, teori. Dan itu artinya mensyaratkan abstraksi di sisi kita.

Seperti kehendak mencintai, kehendak revolusioner berada dalam semesta materiil-objektif yang spesifik. Boleh saja kisah cinta seseorang itu kita anggap sukses atau gagal. Tapi kesuksesan dan kegagalan bukanlah kategori universal. Seperti semua hal di dunia ini, mereka terikat pada ruang-waktu yang tidak direplikasi. Realitas itu tidak bisa disalin karena ia itu proses. Boleh saja kita abstraksikan ia ke dalam rumusan-rumusan tertentu. Tapi ingat bahwa di setiap abstraksi kita akan kehilangan rincian. Terutama aspek ruang-waktunya. Jadi, bukan langkah-langkah atau prosedur yang menghantar ke kesuksesan atau ke kegagalan itu yang mestinya dipetik menjadi hikmah karena meskipun telah kita sari dan dijadikan sepotong teori, tidak semua langkah itu niscaya berhasil di dalam ruang-waktu yang berbeda. Windu Jusuf boleh saja berkehendak menjadi pacarnya Raisa setelah meninjau kisah-kisah kesuksesan kawannya menjalin cinta. Namun, ada semesta materiil-objektif yang menentukan mungkin tidaknya kehendak dan teori itu tercapai. Tak cuma soal seberapa banyak pendapatan bulanan untuk mengongkosi makan malam di Singapura, bahkan untuk mendekat saja paling banter dia akan dianggap fans saja dan pertama-tama akan dihadapi manajernya. Boleh saja kehendak kita menggebu-gebu, tapi selusin pemuda-pemudi dengan bambu runcing tak akan mudah menang dalam peperangan melawan sebatalion pasukan kavaleri, hanya karena konon Bung Tomo mengalahkan pasukan Inggris dengan pasukan bambu runcing.

Apa yang pernah dilakukan orang-orang terdahulu tak bisa dijadikan resep revolusi. Paling banter catatan sejarahnya bisa menjadi bahan pelajaran bahwa revolusi itu mungkin. Soal seperti apa jalannya sekarang atau di masa depan, sejarah cuma bisa menyediakan bahan baku untuk dipungut lewat abstraksi pula. Kapasitas teoritis untuk menyari anasir-anasir apa yang bisa dipelajari, menjadi syarat mutlak landasan kehendak revolusioner. Lenin pernah bilang bahwa tak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Teori dan praktik bukanlah dua ranah yang berdiri sendiri. Sejarah revolusi memberi kita pelajaran bagaimana teori dipraktikkan, teori dimaterialisasi. Hasilnya, entah sukses ataupun gagal, mesti dijadikan bahan baku pokok dalam menyusun teori baru. Artinya, kehendak mestilah teoritis untuk menjadi tindakan, dan teoritis artinya kita mesti insaf bahwa senantiasa ada yang hilang dalam proses pembuatannya. Tak ada yang salah dengan kehendak menggebu-gebu. Tak salah pula meyakini kebenaran teoritis yang dirumuskan dari pengalaman masa lalu orang lain. Namun kehendak dan teori bukanlah realitas yang bisa mengada dalam dirinya sendiri. Mereka bertaut secara organik dengan praktik dan tindakan seperti halnya kehendak akan cinta mesti dikuantifikasi ke dalam tindakan, dan tindakan, pada gilirannya, mesti menjadi bahan baku mengangkat kualitas kehendak.***

 

Jatinangor 8-11-2016

Tiga Pengandaian Marx

$
0
0

TULISAN ini akan sedikit mendiskusikan paparan Maurice Godelier, seorang ilmuwan sosial asal Prancis dalam bukunya, Rationality and Irrationality in Economics (1972). Hal ini berkenaan dengan salah satu aspek dari apa yang dikenal sebagai “metode Marx” dalam Kapital I. Dengan kata lain, mengenai penerapan materialisme dialektis ke kajian ekonomi-politik. Diskusi ini penting untuk, sekali lagi, memahami sifat-sifat pemikiran Marx; misalnya, untuk mengerti bahwa sifat ilmiah itu bukan klaim para Marxis saja sehingga dapat dipelajari serta dimanfaatkan pula oleh kawan-kawan yang bukan Marxis.

Soal pertama yang mesti dihadapi ketika baru saja mengenal ekonomi-politik adalah sifat dari ilmu itu sendiri. Sebagai sebuah ilmu yang lahir sebelum mengenal corak pembagian keilmuan kontemporer—mengenal pembelahan ilmu-ilmu ke dalam sub-sub bidang yang makin sempit—ekonomi-politik terlihat megah. Di satu sisi ia kental dengan nuansa historis; “Ekonomi-politik adalah ilmu sosial dengan dimensi historis yang krusial”, kata sejarawan ekonomi Alessandro Roncaglia. Sedang di sisi lain, ekonomi-politik adalah ilmu kesejarahan masyarakat yang tampak begitu “filosofis”. Di dalamnya tidak ada deretan data-data sejarah lengkap dengan urutan kronologisnya. Tidak juga ada “ilmu sejarah” seperti yang dikenal sekarang ini. Yang akan terlihat adalah diskusi-diskusi mengenai konsep-konsep tertentu dalam suatu kerangka sistem teoretis lengkap dengan ilustrasi historisnya. Ibaratnya, filsafat+sejarah = ekonomi-politik.

Tegangan ini dijawab Marx lewat pemilahan prosedur formal antara method of inquiry (metode penyelidikan) dan method of presentation (metode penyajian). Jika dalam proses penyelidikan Marx memeriksa bahan-bahan historis yang jadi dasar bagi konsep-konsep teoretisnya, maka dalam penyajiannya Marx berupaya memaparkan hasil penyelidikan itu dalam bentuk sistem teoretis. Alat bantu yang digunakan oleh Marx dalam proses ini adalah abstraksi. Ia bekerja selayaknya seorang biolog dengan mikroskopnya yang mau menemukan sel-sel penyusun mikroba. Proses abstraksi karena itu adalah mikroskopnya ilmu-ilmu sosial. Abstraksi, kata Lenin, membantu mengenal realitas secara lebih dalam, lebih penuh, dan lebih tepat. Yang hadir dalam buku Kapital I karena itu bukan lagi sejarah lengkap detail-detail historisnya, melainkan jalinan konsep-konsep atau kategori-kategori teoretis. Karenanya bisa dipahami mengapa Karl Kautsky (1887), dalam buku yang ia bikin untuk mempopulerkan Kapital, mengatakan Kapital, “…Pada esensinya merupakan karya historis”. Kealpaan akan dimensi historis konsep-konsep Marx ini mestinya merugikan.

Langkah “deduktif-hipotetis” dijalankan untuk menjawab pertanyaan utama dalam kajian ekonomi-politik. Pertanyaan Marx bukan soal tinggi-rendahnya tingkat perkembangan produksi kapitalis; apakah ia berada dalam tahap pra-monopoli, tahap kapital-dagang, tahap imperialisme, dst,. Pertanyaannya juga bukan soal lokasi geografis produksi kapitalis; apakah produksi berada di negara Inggris atau di benua Asia. Pertanyaan yang ia ajukan dalam Kapital adalah mengenai hukum-hukum cara produksi kapitalis—untuk menyibakkan “hukum-hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern”, “hukum-hukum” yang memungkinkan naik-turun serta berpindah-pindahnya perkembangan produksi tersebut. Ia sendiri telah mengingatkan, meski terlihat banyak menggunakan data-data historis negara Inggris abad ke 18/19, data-data ini ia perlakukan semata-mata sebagai “ilustrasi historis” bagi sistem teoretis yang hendak ia bangun.

Dalam konteks arsitektur Kapital di atas ini, Godelier bicara soal tiga pengandaian yang Marx gunakan lewat metode deduktif-hipotetis. Seperti yang sudah ditunjukkan, pengandaian deduktif-hipotetis ini berasal dari proses penyelidikan historis yang dilakukan sebelumnya.

 

Hipotetis pertama adalah hipotetis yang diperlukan untuk menemukan fundamen cara produksi kapitalis. Saya terjemahkan sedikit kutipan dari Godelier;

Kapital sepenuhnya bersandar pada asumsi yang disederhanakan untuk membatasi secara a priori bidang analisis, agar bidang analisis tersebut disaat yang sama dapat ‘mengorganisasi dirinya sendiri’” (Godelier, 1972: 136).

Penyederhanaan ini terlihat paling kentara dalam pembagian cara produksi kapitalis kedalam dua kelas sosial proletariat-kapitalis, serta relasi ekonomisnya, yakni antara kerja-kapital. Kelas-kelas lain yang secara aktual juga hadir dalam masyarakat kapitalis (misalnya tuan tanah, “petani”, lumpen borjuasi, dst) hanya dihitung sejauh pendapatan mereka, keberadaan mereka, merupakan turunan dari relasi produksi proletariat-kapitalis, atau, ketika mereka “tereduksi” menjadi salah satu bagian dari kelas-kelas produksi kapitalis. Misalnya “petani” yang sebagian besar penghidupannya bergantung pada kerja-upahan maka dalam Kapital ia akan disebut sebagai proletariat atau pekerja-upahan.

Menarik mencermati bahwa Marx sepertinya memandang proses penyederhaan, atau pemurnian ini tidak terjadi hanya dalam teori melainkan juga dalam realitas itu sendiri. Kita bisa mengingatnya sejak Manifesto Partai Komunis di mana Marx menyatakan bahwa kelas-kelas lain seiring waktu akan terlempar ke dalam salah satu kelas utama dalam produksi kapitalis. Saya kembali menyadari hal ini ketika membaca cuplikan dari buku III yang dikutip Godelier berikut;

“Dalam teori, kita mengasumsikan bahwa hukum-hukum cara produksi kapitlais berkembang dalam bentuk murninya. Dalam kenyataan, hal ini hanya suatu penaksiran; namun penaksiran ini semakin akurat, seiring perkembangan cara produksi kapitalis dan semakin sedikit ia tercemar oleh kondisi-kondisi ekonomi terdahulu yang membikinnya bercampur-baur. (Ibid.)”

 

Hipotetis kedua, komoditas dipertukarkan sesuai nilainya.

Hipotetis kedua ini bisa kawan-kawan pahami dari halaman 257-260 diktat ekonomi-politik Asal-usul Kekayaan (Resistbook, 2016) karangan Martin Suryajaya. Saya hanya akan menambahkan sedikit hal dan mengajukan pertanyaan. Menurut Godelier, hipotetis ini adalah langkah operasional yang dibutuhkan Marx dalam analisisnya untuk koherensi teoretik dan bikin deduksi atas kategori-kategori ekonomi lanjutan. Jika Marx berangkat dari hipotetis ini maka pertanyaannya, “apakah komoditas paling utama dalam cara produksi kapitalis?” Jawabannya, adalah labour-power (tenaga-kerja)—kerja sebagai komoditas. Nah, konsekuensi logisnya, jika Marx mengandaikan komoditas dipertukarkan sesuai nilainya, jika ia mengandaikan bahwa kelas kapitalis sebagai pembeli tenaga-kerja, membayar buruh sesuai nilainya, maka dari mana kah asal-usul nilai-lebih?

 

Hipotetis ketiga, kategori-kategori ekonomi berelasi secara fungsional.

Di sini kategori-kategori ekonomi terjalin secara fungsional—saling mensyaratkan, menjelaskan, dan melengkapi satu sama lain. Tidak ada kategori-kategori ekonomi yang hadir tanpa dijelaskan terlebih dahulu syarat-syarat kehadirannya. Tidak ada kategori ekonomi yang berdiri sendiri, mendadak hadir secara ad hoc terlepas dari totalitas objek kajian. Kategori-kategori ekonomi yang lebih kompleks, misalnya teori krisis atau kapital finansial, selalu dijelaskan sebagai sebuah perkembangan logis (dialektis) dari kategori-kategori ekonomi sebelumnya yang lebih sederhana (sekaligus abstrak) yang jadi prasyarat kehadiran kategori-kategori lain yang lebih kompleks (sekaligus konkret). Sulit bicara soal “krisis kapital” misalnya, sebelum terang dahulu apa yang dimaksud dengan “kapital”, apa komponen yang menyusunnya, dan apa syarat-syarat keberadaannya.

Hipotetis ketiga ini bersandar pada hipotetis pertama dan kedua yang telah dibahas di atas. Meski memahami objek kajiannya sebagai suatu kesatuan yang tersusun oleh jalinan kategori-kategori yang saling terlengkapi identitasnya, Marx memaparkan relas-relasi ini lewat satu pondasi dasar yang dapat jadi titik pijak penjelas akan fenomena yang lebih kompleks, pondasi itu adalah teori nilai. Segala kategori ekonomi yang hadir di dalam Kapital, komoditas, uang, kapital, tenaga-kerja, akumulasi kapital, dlsb, hanyalah turunan dari teori nilai. Menurut Godelier, konsekuensi dari deduksi-hipotetis ketiga ini adalah kemungkinan pembangunan model kalkulasi matematis dari komponen-komponen kategori ekonomi Marx. Sepanjang Kapital I, hal ini, misalnya, terlihat lewat model rumus umum kapital, rumus tingkat nilai-lebih, rumus komposisi organik kapital, atau rumus tingkat-laba yang Marx hadirkan.

Satu aspek yang tidak didiskusikan oleh Godelier dalam paparannya adalah sifat dari relasi kategori-kategori ekonomi ini dalam analisis Marx. Menurut saya, sifat dari relas-relasi ini bukan (hanya) fungsional, melainkan dialektikal. Relasi-relasi ini bukan hanya saling mensyaratkan, menjelaskan dan melengkapi, tetapi juga saling menegasi satu sama lain. Segala perkembangan dari kategori-kategori ekonomi lahir dari kontradiksi komponen-kompenen penyusunnya. Satu contoh yang memperlihatkan hal ini dengan amat benderang adalah analisis Marx mengenai “Bentuk-nilai”. Di sana, hanya dengan berbekal komponen-komponen yang menyusun komoditas, Marx mampu memberi penjelasan akan lahirnya kategori uang-komoditas sebagai hasil perkembangan dari pertukaran komoditas. Ia berhasil menunjukkan bahwa uang hanyalah perkembangan logis dari meluasnya pertukaran komoditas.

Jika diringkas maka pengandaian pertama membantu menemukan esensi dari objek penelitian, pengandaian kedua menolong menemukan sebab dari perkembangan fenomena, dan pengandaian ketiga memperlihatkan kesalinghubungan sekaligus sifat sementara dari fenomena yang sama. Lewat pemahaman akan hal ini kita akan terbebas dari beberapa pertanyaan yang kerap menghiasi kepala ketika baru mengenal pemikiran Marx, semisal hubungan antara teori dan realitas yang aktual, soal berlakunya hukum penawaran-permintaan, atau hubungan konsep-konsep dalam ekonomi-politik Marx.

Kalau maksud tulisan ini tersampaikan dengan baik, satu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dalam pemikiran Marx, metode terkait erat dengan objek kajian; metode yang tepat adalah cara berpikir yang dapat menyalin dan merefleksikan kembali realitas di dalam kognisi secara tepat. “Metode Marx” dibedakan dari “Dogma Marx” sebab cara berpikir ini tidak berangkat dari formula-formula yang siap-sedia diterapkan secara universal, tidak juga lewat cara mencari-cari “prinsip cara berpikir Marxis” teks-teks Marx, melainkan selalu bertolak dari realitas, sehingga penerapannya juga selalu sensitif pada perbedaan-perbedaan kualitatif realitas yang dikaji. Justru realitas yang mengondisikan bagaimana cara paling tepat untuk berpikir. Dilihat dari sudut yang lain, kesimpulan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, soal batas-batas dari metode Marx; bidang atau objek apa yang tidak mampu dijelaskan oleh metode Marx? Kedua adalah sebaliknya, soal perluasan metode ini; mengapa cara berpikir Marx dapat diperluas hingga menjadi sebuah Weltanschauungsmarxismus (pandangan dunia Marxisme)? Saya sendiri belum mampu menjawabnya.***

Viewing all 163 articles
Browse latest View live