Quantcast
Channel: Logika – IndoPROGRESS
Viewing all 163 articles
Browse latest View live

Ini Soal Kelas, Bro!

$
0
0

 

ADA YANG bilang kalau istilah ‘kelas sosial’ itu identik dengan Marxis. Kalau tidak ada konsep kelas, tidak ada yang namanya Marxisme. Memang sih, kalau ditilik-tilik, konsep kelas itu ibarat priyayi di dalam analisis sosialnya Marxis. Siapa saja yang sanggup melihat bekerjanya logika kelas di dalam setiap hal, bahkan meski cuma sekelebat, dijamin dia itu Marxis tulen. Sebaliknya, kalau omongannya sama sekali tak mengungkat-ungkit soal kelas, kita mesti pertanyakan kadar Marxisme di dalam darahnya. Menyebut-nyebut soal kelas sama dengan menyebut-nyebut soal posisi. Posisi apa? Tentu saja posisi dalam peperangan kelas. Dan karena Marxisme bertalian darah dengan perlawanan anti-penindasan kelas, kata kuncinya, yakni kelas, menjadi tak hanya keren, tapi juga heroik. Semakin sering dipakai, semakin Marxis omongan kita. Ia menjadi semacam batas bawah yang wajib ditampilkan apabila seseorang hendak ditasbihkan sebagai Marxis yang kaffah. Tapi sebetulnya apa sih kelas sosial itu?

Sewaktu dikasih tahu bahwa meski sekarang identik dengan Marxisme, Marx sendiri pernah bilang kalau konsep kelas dipungutnya dari ekonom Klasik seperti Adam Smith dan, terutama, David Ricardo si pialang, tak perlu ada yang terkaget-kaget: “Masya Alloh, kalau begitu Marx itu babi pengkhianat! Bukannya dia itu mau membela kelas pekerja dan melawan borjuasi? Kenapa dia mencari hikmah dari dedengkot ekonomi borjuis?! Seharusnya dia mengambil pelajaran dari ekonom proletar!”. Kenapa kaget macam ini tak perlu? Selain karena ‘lebay’ juga karena ia ada urusannya dengan pengertian kelas itu sendiri menurut Marx.

Ada anak muda cendikia yang mengajarkan kepada saya begini: seperti halnya partikel, senyawa, evolusi, migrasi, nilai-lebih, pertama-tama kelas sosial itu realitas objektif. Konsep ‘kelas sosial’-nya sendiri tak lebih dari hasil tangkapan atas realitas objektif ini. Melalui apa yang disebut para ahli filsafat sebagai abstraksi. Artinya, sebagai konsep, kelas sosial ialah nama dari suatu gejala realitas sosial tertentu. Nah, karena realitas sosial tempat kelas berada lumrahnya disebut ‘masyarakat’, bolehlah kita mulai dari titik ini untuk beranjak ke pengertian kelas.

Anak muda Marxis mengajarkan kepada saya begini: masyarakat itu bukan sekadar realitas empiris kumpulan orang-orang, tapi realitas struktural yang keberadaannya tidak mengandaikan kesadaran orang per orang atasnya. Sebagai realitas struktural, ‘masyarakat’ ialah jejaring relasi-relasi sosial yang menautkan berbagai macam kategori sosial yang memungkinkan kemasukakalan kehidupan sosial di antara orang-orang. Masyrakat juga objektif dalam arti keberadaannya bukan ciptaan individu sekaligus juga tidak mengandaikan kesadaran orang-orang individual atasnya meski menuntun perilaku orang-orang tersebut. Apa pasal? Kehidupan sosial itu praktis. Tak akan ada orang yang mati kalau tidak memikirkan setiap langkah dalam kehidupan sehari-harinya. Mengikuti jalur-jalur kebiasaan yang ibarat peta jalan itu dalam kehidupan keseharian sudahlah cukup. Tak perlulah banyak dipikirkan kenapa kita harus begini dan begitu.

Lalu apa itu dan di manakah letak kelas di dalam masyarakat? Kalau masyarakat itu struktur, dan struktur itu jejaring relasi-relasi sosial yang menautkan kategori-kategori sosial tertentu, bolehlah kita pungut contoh kategori sosial yang sehari-hari, yakni ‘paman’ dan ‘keponakan’ dalam relasi ‘paman-keponakan’. Kategori ‘paman’ dan ‘keponakan’ ialah dua kategori sosial yang keberadaannya tak cuma saling taut tapi juga mengandaikan satu sama lain. Untuk adanya ‘paman’ sama sekali, mesti ada ‘keponakan’. Untuk bisa menyandang kategori paman, seorang laki-laki harus punya saudara kandung. Saudaranya itu harus kawin. Dan dari perkawinan itu haruslah ada anak. Apabila lelaki itu anak tunggal, kemungkinan satu-satunya untuk menyandang kategori paman ialah dengan menikahi perempuan yang punya saudara kandung dan saudaranya itu kawan dan punya anak. Apabila laki-laki itu anak tunggal dan jomblo sampai akhir hayat, maka dia tak akan pernah menyandang kategori sosial yang namanya ‘paman’. Kalau begini, apakah kategori paman lenyap dari muka bumi. Buat si laki-laki itu ya. Tapi tidak buat masyarakatnya (Hanya karena kita anak tunggal jomblo, tak lantas kategori paman lenyap dari muka bumi bro!). Secara struktural, kategori paman tetap ada dan tersedia ‘di sana’ bagi laki-laki lain yang nasibnya lebih beruntung. Kalau begitu, kategori ‘paman’ dan relasi ‘paman-keponakan’ yang menautkannya dengan kategori ‘keponakan’ itu objektif? Ya. Ia ada sebelum dan tanpa perlu persetujuan orang per orang. Suka atau tidak, ia ada bagi laki-laki yang punya saudara kandung dan saudara kandungnya punya anak.

Dari contoh di atas, relasi paman-keponakan setidaknya mengandaikan keberadaan relasi-relasi lain, yakni persaudaraan kandung, perkawinan, dan filial (relasi orangtua-anak). Artinya, relasi paman-keponakan hanya masuk akal selama ada di dalam jejaring relasi-relasi sosial lain di dalam struktur kekerabatan. Relasi sosial tidak bisa mengada dalam dirinya sendiri. Setiap relasi sosial mengandaikan relasi-relasi sosial lain.

Selain itu, suatu relasi juga hanya aktual dalam konteks tertentu saja. Di luar konteks strukturalnya, relasi itu tak punya arti. Paman-keponakan, misalnya, hanya aktual ketika Lebaran, arisan keluarga, atau ketika kita butuh bantuan. Meski tidak aktual di setiap detik kehidupan sosial, bukan berarti relasi ini tidak ada. Ia ada sebagai suatu tendensi; tersimpan di gudang kolektif yang biasanya disebut sosiolog ‘Masyarakat’.

Okei, terus apa urusannya tetek bengek paman dan keponakan ini dengan kelas sosial? Sebetulnya konsepsinya Marx perihal kelas sosial tidak pelik-pelik amat. Mirip dengan gambaran relasi paman-keponakan. Yang bikin runyam itu suara-suara bising di sekitarannya yang mencampurkan konsepsinya Marx dengan konsepsi lain. Intinya, buat Marx, kelas itu kategori-kategori sosial yang dipertautkan oleh relasi sosial produksi. Relasi sosial produksi sendiri diartikannya dalam kaitan dengan pemilikan dan penguasaan atas sarana untuk memproduksi syarat-syarat keberadaan dan keberlanjutan hidup orang-orang di dalam masyarakat sebagai suatu sistem. Di dalam masyarakat borjuis, ada satu relasi sosial produksi yang pokok, yakni ‘kapital’. Relasi kapital menautkan dua kategori sosial, yakni kapitalis dan proletariat. Kalau begitu, kapitalis dan proletariat itu bukan orang? Ya. Mereka adalah kategori sosial. Tapi, seperti halnya nilai komoditi tak mungkin maujud di dalam kehidupan sosial tanpa pertukaran (sebagai nilai-tukar), dan pertukaran tak mungkin maujud tanpa wujud fisik barang (sebagai nilai-guna), begitu pula kelas kapitalis. Meski bukan orang, tapi tanpa orang-orang, kelas ‘kapitalis’ tidak bisa aktual dalam kehidupan sosial. Tapi, karena kapitalis bukanlah orang, maka ia tidak melekat pada atau identik dengan orang-orang yang menyandang kategorinya. Ia bisa melekat pada orang (George Soros), badan hukum (korporasi), lembaga (CEO, komisaris, dll.) atau apa saja yang dalam relasi produksi berkedudukan atau mengoperasikan atau mengaktualkan kategori kapitalis (beserta kepentingan-kepentingan strukturalnya). Hal serupa berlaku pada ‘proletariat’.

Selain itu, di dalam kehidupan sosial aktual, orang-orang yang terkategori ke dalam dua kelas ini silih kait satu sama lain hanya dalam relasi kapital di dalam aktivitas produksi. Di luar arena produksi, bisa jadi kategori yang menyatukan atau mempertentangkan orang-orang bukan kelas, tapi, misalnya, perbedaan kekayaan dan gaya hidup (miskin, kaya), relasi kewargaan (negara vs warga), relasi etnis (Jawa vs bukan-Jawa), relasi keagamaan (umat, agamawan), identitas dan relasi jender (laki-laki vs perempuan), dan lain sebagainya.

Seperti halnya ‘paman-keponakan’, relasi kelas itu objektif. Entah sadar atau tidak, suka atau tidak, setiap mereka yang berada dalam relasi produksi akan terkategori sebagai anggota kelas. Seperti halnya ketika ada laki-laki anak tunggal yang jomblo sehingga dia sebagai individu tak bisa menyandang kategori ‘paman’ tidak lantas kategori itu lenyap dari muka bumi, begitu pula ketika George Soros meninggal dunia atau bangkrut, kategori kapitalis tidak akan lenyap dari kolong langit. Artinya, kategori kelas tidak melekat pada individu orang-orang, tapi pada struktur sosial. Kalau kita anggap memukuli orang-orang atau melempari gedung-gedung korporasi yang terkategori kapitalis menjadikan perlawanan kita terhadap penindasan kapitalistik punah, kita sebetulnya sedang memukul dan melempar bayang-bayang. Orang-orang, badan hukum, dan lembaga-lembaga itu, hanyalah perwujudan dari kategori sosial kapitalis di dalam struktur perekonomian kapitalistik yang ketika mereka sebagai individu mati, kategorinya tetaplah hidup.

Kalau kapitalis-proletariat bukanlah orang-orang, berarti eksploitasi lewat relasi kapital itu juga struktural? Kalau begitu abstrak banget ya, tak kasat mata? Memang begitu. Tapi, sekali lagi, untuk aktualnya relasi kapital yang eksploitatif—yang di dalamnya kategori kapitalis dan proletariat berlawanan kepentingan strukturalnya—ia mesti diwujudkan ke dalam bentuk-bentuk eksploitasi empiris. Bagaimana pun aktivitas produksi tak mungkin mengada tanpa orang-orang hidup yang hasil kerjanya dalam rupa nilai-lebih dihisap oleh orang-orang yang hidupnya dari menghisap nilai ini. Lantas, kalau begitu ke mana sasaran perlawanan mesti diarahkan? Apakah pada tampakan empiris-aktual ekslpoitasi yang kasat mata seperti penggusuran, pencaplokan lahan, UMR, atau PHK yang setelah dibereskan sesuai kehendak kita lalu dianggap dunia sudah baik-baik saja dan dengan senyum membubarkan front? Ataukah pada sistem kapitalis yang tak jelas bentuk cakar empirisnya terutama ketika ia membawa kemakmuran dan kenyamanan bagi sebagian besar orang, termasuk kita? Persoalannya bukan terletak di pemilihan antara perlawanan aktual-empiris atau perlawanan struktural-sistemik. Sebagai realitas historis, kapitalisme itu berlapis-lapis ranah perwujudannya. Menganggap tampilan empiris-aktualnya sebagai satu-satunya realitas kapitalisme, akan mudah tertipu karena eksploitasi lewat relasi kapital kebanyakan tersembunyi di balik yang tampak. Begitu pula sebaliknya ketika menganggap struktur sebagai satu-satunya realitas kapitalisme akan mudah menjebak kita ke dalam dunia akademik yang asketik jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari yang berdarah-darah. Soal sebenarnya, karena itu, bagaimana memadukan berbagai upaya perlawanan terhadap relasi kapital yang eksploitatif tersebut ke dalam satu kesatuan gerak.***

 

Jatinangor, 14 September 2015


Masih Soal Kelas Ya?

$
0
0

untuk dosennya Aal

DUA MINGGU lalu di kolom ini tampil tulisan soal kelas. Kelas tampaknya istilah yang sepertinya tak cuma sudah identik tetapi juga telah menjadi batas bawah identitas kemarxisan seseorang. Apakah yang dipaparkan kemarin itu sudah seratus persen benar dan tuntas mencakup seluruh konsepsi Marx tentang kelas sosial? Apa mau dikata, tentu tidak. Kolom Logika mah apa atuh, cuma kolom dengan 1000 kata lebih sedikit yang ditulis di sela-sela berbagai kerja penulisan lain oleh penulis yang bukan aktivis serikat buruh pula. Kalau begitu, perlu ada tambahan cerita minggu ini soal kelas dong? Ya, mau bagaimana lagi. Setidaknya untuk menghindari tuduhan sebagai “babi idealis macam apa yang menjelaskan soal kelas mulai dari kategori bukannya dari realitas materiil” yang memilukan hati setiap materialis yang sedang berusaha kaffah.

Baiklah, apa yang diceritakan di tulisan sebelumnya masihlah batas bawah apa yang Marx maksud dengan kelas. Di sana hanya dipaparkan kelas sebagai realitas objektif-struktural atau, dalam istilahnya Marx, kelas-dalam-dirinya. Seperti sudah disinggung, seperti halnya nilai komoditi yang untuk mengada dalam kehidupan sosial manusia-manusia hidup mesti berinkarnasi ke dalam nilai-tukar dan untuk bisa dipertukarkan nilai komoditi mesti menubuh ke dalam benda-benda material yang bisa dikunyah, dikenakan, atau dijalankan, begitu pula dengan kelas. Untuk aktualnya kategori dan relasi kelas dalam kehidupan sosial mereka mesti menubuh ke tubuh-tubuh orang-orang hidup dan tetek bengek benda materiil. Karena orang-orang hidup ini bukan cuma daging tanpa perasaan, tanpa kesadaran diri, dan tanpa kepentingan pribadi, dan kesemuanya ini belum tentu selalu selaras dengan kepentingan struktural dari kategori yang disandangnya, maka segi lain dari kelas ialah keberadaannya sebagai realitas subjektif atau, dalam istilahnya Marx, kelas-pada-dirinya. Yang dimaksud kelas-pada-dirinya tak lain dari aktualisasi kategori sosial yang disadari oleh orang-orang yang terkategori ke dalam kategori tersebut. Dengan kata lain, bicara kelas mestilah juga bicara soal ‘kesadaran kelas’.

Mahluk macam apa itu? Apa bedanya dengan kesadaran diri? Kata dosen psikologi, kesadaran diri itu kesadaran seseorang akan dirinya sendiri. Sementara kesadaran kelas itu pertama-tama ialah kesadaran seseorang sebagai bagian dari suatu kelas sosial; kesadaran akan kedudukannya sebagai anggota kategori dan relasi kelas di dalam struktur sosial. Kalau ‘pertama-tama’ berarti ada yang lain? Ya. Kesadaran kelas itu mestilah sosial. Artinya ia mesti dibagi bersama-sama dengan orang-orang lain. Ia mesti menjadi semacam imajinasi kolektif yang memungkinkan ‘aku’ menjadi ‘kita’ dan ‘kami’ dalam posisi berhadap-hadapan dengan ‘mereka’ yang beda kepentingan strukturalnya. Entah kesadaran ini mengarah ke tindakan bersama atau tidak, itu urusan lain yang mesti dibongkar dengan konsep yang lain pula. Pokoknya, seperti halnya kesadaran diri yang tidak niscaya muncul di diri setiap orang sejak dari rahim bundanya tapi melalui pengalaman berinteraksi dengan orang-orang di dunia sekitarnya, begitu pula kesadaran kelas hanya muncul ketika orang-orang yang secara objektif menyandang kategori kelas tertentu menyadari pertentangan (atau buat yang merasa Marxis tulen satu-satunya di dunia: kontradiksi) kepentingannya sebagai suatu kolektif melalui pengalaman aktual interaksinya dengan orang-orang di dunia sekitar.

Tapi, karena dunia sekitar yang tertangkap oleh mata berkacamata bukanlah realitas bugil tanpa tabir yang bisa dikenali langsung hanya dengan memelototinya, tapi dunia yang senantiasa berselubung kabut-kabut ideologis (yang bukan Marxis tulen biasa menyebutnya ‘kebudayaan’), untuk menjangkaunya diperlukan daya-upaya yang tak gampang. Itulah mengapa Marx sudi melakukan penelitian berpuluh-puluh tahun hanya untuk menemukan bentuk ‘kapitalisme’ beserta ‘tangan-tangan’ eksploitatifnya. Kenapa musti berselubung? Selagi kita hidup di dalam masyarakat yang di dalamnya segolongan kecil orang hidup dari menghisap nilai yang dihasilkan kerja orang lain yang jumlahnya lebih banyak, selama itu pula dunia atau kehidupan sosial mesti dibikin terlihat tanpa penghisapan, wajar, alamiah atau malah ilahiah. Sejenis imajinasi kolektif mesti ada bahwa dunia sedang baik-baik saja. Selubung ini tercipta oleh atau efek samping dari struktur sosial eksploitatif yang perlu reproduksi diri, bukan ciptaan orang per orang. Meski, tentu saja, untuk maujudnya selubung-selubung ini harus ada orang-orang yang tercurah badan dan pikirannya terlibat dalam memproduksi dan mereproduksinya baik sengaja ataupun tidak. Nah, menembus selubung yang seringkali berlapis-lapis ini dan bersentuhan langsung dengan realitas yang sebenarnya, bukan perkara mudah. Kenapa?

Marx pernah bilang—kalau tak keliru di Tesis Feuerbach—pada dasarnya kehidupan sosial itu praktis, tidak kontemplatif. Artinya setiap tindakan, gerak tubuh, serta gagasan orang-orang atasnya tidak selalu dipikirkan dahulu mengapa begini-begitu dan mesti bagaimananya. Karena itulah tidak setiap detik orang-orang bisa menyadari kategori kelasnya. Lagi pula, dalam kehidupan praktis, tampakan aktual-empiris kategori sosial lebih kentara ketimbang kategori sosialnya sendiri yang merupakan jantung tempat tampakan itu dipompa ke luar. Nah, karena kategori kelas hanya mengemuka dalam relasi produksi, dan karena relasi produksi hanya mengemuka ke kesadaran orang per orang dalam rupa—misalnya—kontrak kerja, aktivitas kerja dari jam sekian sampai sekian, transferan sejumlah uang sebagai upah bulanan, bonus lembur, mutasi, pemotongan tunjangan atau PHK yang bertalian dengan dunia pabrik atau kantor, maka tumbuhnya kesadaran kelas pada sekumpulan orang yang berkategori kelas sama tidaklah otomatis. Tidak niscaya semua orang yang hidupnya dari kerja-upahan menyadari kesamaan kategorinya sebagai proletariat dengan semua orang lain yang hidupnya dari kerja-upahan. Bisa jadi karena bekerja di kantor ber-AC dan bergaji belasan juta per bulan sehingga bisa bergaya hidup layaknya majikan mereka, seseorang bisa mengidentifikasi dirinya (dan dengan demikian kesadaran kelasnya) bukan-pekerja meski secara objektif dia termasuk proletariat atau pekerja-upahan.

Tambah lagi, selain kelas ada banyak sekali kategori sosial yang disandang dan dihidupi orang per orang dalam kehidupan sehari-harinya. Di dalam konteks kekerabatan kita punya paman-keponakan, adik-kakak, anak-orangtua, sepupu, ipar, dan sebagainya. Di dalam konteks ekonomi kita punya kategori dan relasi penjual-pembeli, produsen-konsumen, bankir-nasabah, debitur-kreditor, majikan-pekerja, kaya-melarat, dan sebagainya. Kalau dibikin daftar pasti seorang saja bisa menyandang ribuan kategori sosial dalam kehidupan hariannya. Jangankan kesadaran akan kelasnya, kesadaran sebagai anak saja biasanya hanya muncul dalam pengalaman aktual tertentu dalam rentang waktu tertentu pula seperti ditelpon emak yang lagi kangen, melayat bapak sakit, mudik Lebaran, butuh duit buat beli buku, atau pas ijab kobul. Tidak setiap detik kategori anak dan relasi filial itu aktual meski ia melekat semenjak kita diperanakan. Kelas sosial itu cuma salah satu di antara sekian ribu kategori yang ada di dalam masyarakat. Saking banyaknya, tak mungkinlah setiap orang terus-menerus menyadari identitas kelasnya dari bangun tidur hingga tidur lagi. Capek deh.

Pokoknya, kedudukan struktural kelas sekelompok orang tidak otomatis menumbuhkan kesadaran kelasnya dan dengan demikian pula tidak niscaya sekelompok orang itu akan bertindak menurut kepentingan kelasnya. Kalau ada kaitan otomatis antara kedudukan struktural dalam relasi kelas dengan kesadaran kelasnya, tentu tak perlu yang namanya pengorganisasian dalam perjuangan kelas. Justru karena kedudukan, kesadaran, serta tindakan kelas orang-orang tidak niscaya selaraslah politik diperlukan.

Kalau begitu, supaya antara kedudukan objektif sebagai kelas dan kesadarannya ada keselarasan, setidaknya ada dua tingkatan realitas yang mesti ditembus? Yoi. Pertama, tingkatan struktural yang menjelaskan relasi kelas antar kategori sosial ‘kapitalis dan proletariat’. Struktur kelas itu bekerja objektif. Maksudnya ia ada di luar dan tak bergantung pada kesadaran orang-orang atasnya. Belum tentu semua orang yang terkategori sebagai kapitalis dan proletariat menyadari keberadaannya. Paling banter kesadaran atasnya serba intuitif sebab struktur itu tak kasat mata dan tak selalu maujud ke dalam pengalaman aktual. Karena sekadar dengan memelototi transaksi jual-beli barang kebutuhan sehari-hari, proses teken kontrak kerja tiap tahun, atau surat keputusan PHK yang telah kita robek, struktur kapitalisme tak langsung menampak, ia memerlukan mata lain untuk melihatnya. Di sinilah ilmu dan teori diperlukan. Nah, satu-satunya ilmu yang punya mata untuk memelototi struktur dan kontradiksi kelas sebagai tulang punggung masyarakat kapitalisme ialah Marxisme.

Kedua, tingkatan pengalaman empiris-aktual yang mempertemukan dua kategori kelas di dalam interaksi keseharian. Normalnya dua kali seseorang mengalami kedudukan kelasnya sebagai pekerja-upahan. Pertama sewaktu melamar pekerjaan dan dipaksa mengikuti kehendak majikan dalam soal upah, serta kedua ketika dipecat. Ya, sesekali pengalaman kelas juga muncul sewaktu ada kondisi genting yang memaksa majikan memilih antara melanjutkan bisnis atau memecat pegawainya. Atau ketika beban persaingan bisnis memaksa majikan mengurangi porsi nilai-lebih untuk tunjangan pegawai. Selagi kondisi ekonomi lancar jaya, ketika gaji bulanan begitu menyamankan hidup sehari-hari, apalagi sampai bisa bergaya hidup selayaknya anak majikan, pengalaman kelas seperti lenyap dari muka bumi. Yang sebenarnya terjadi cuma lenyapnya pengalaman kelas dari kesadaran orang itu saja. Jadi boleh dibilang bahwa kesadaran kelas hanya muncul ketika kontradiksi (kepentingan) kelas meruncing dan maujud dalam bentuk tegangan-tegangan kepentingan yang menyodet kulit kehidupan orang per orang. Tapi untuk menjadi kesadaran kelas sama sekali, pengalaman konflik kepentingan di tingkat orang per orang yang berdarah-darah ini mestilah menjadi pengalaman kolektif. Pengalaman dan kepentingan kelas sehari-hari yang diorganisasi sedemikian rupa ini pun tak bisa lepas dari kodratnya sebagai bagian dari upaya menjelaskan kedudukan struktur kelas dalam kapitalisme yang hanya bisa diterangi oleh ilmu. Amal tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa amal itu buntung. Karena itu, dalam upaya membangkitkan kesadaran kelas pekerja melawan penindasan kapitalisme, Marxisme tak cukup berperan sebagai ilmu. Marxisme mesti menjadi amal kecuali kita puas hanya dengan gerutu dan uring-uringan di kolom Logika atau di warung kopi samping kampus.***

 

Jatinangor, 28 September 2015

Asap Kapitalistik

$
0
0

“The primary cause of environmental degradation is human disturbance”
(Jared Skye, Environmental Science).

JARED Skye itu siapa? Bukan siapa-siapa sih. Saya asal comot saja pernyataan di atas dari internet. Saya pikir pernyataannya bisa jadi contoh pandangan kebanyakan orang terpelajar soal biang keladi kerusakan lingkungan global saat ini. Kalau kita tanya sembarang orang sekolahan apakah betul manusia itu biang keladi kerusakan lingkungan, nyaris semua bakal bilang: ya. Tentu saja ada yang kasih tambahan bahwa alam juga sering merusaki dirinya sendiri. Hanya saja, sekarang kerusakan alam karena perilaku alam sendiri sering diperbrutal oleh kelakuan manusia yang tinggal di dalamnya. Saking besarnya peran manusia terhadap rupa dan dinamika alam di bumi, para cerdik pandai menamakan kala geologi yang dimulai sejak tahun 2000 dan seterusnya sebagai Kala Antroposen, kala yang penandanya ialah turut campurnya manusia dalam proses-proses alam di bumi secara masif.

Baiklah, tak perlu diperdebatkan lagi pernyataan bahwa manusia turut serta dalam kerusakan alam. Tapi, apakah yang dimaksud ‘manusia’ dalam pernyataan itu? tanya seorang kritis. Masya Alloh, masak tidak tahu sih siapa manusia. Manusia ya manusia. Semua orang juga tahu! Kenapa sih mesti tanyakan itu?

Jelas perlu diperdebatkan dong, kata seorang kritis. Persoalannya, katanya lagi, tetangga saya yang satpam perumahan juga bisa digolongkan sebagai manusia, tapi dia tidak ada urusan dengan kebakaran hutan Sumatra dan Kalimantan atau pencemaran laut di lepas pantai Kalifornia oleh minyak tumpah. Dia juga tidak ada kaitannya dengan terancam punahnya beruang kutub karena habitatnya meleleh oleh pemanasan global kecuali dari karbon monoksida yang dihasilkan hembusan asap rokok kreteknya. Apakah karena dalam benak saudara si satpam itu juga manusia lantas dia juga mesti turut bertanggung jawab atas hancurnya hutan hujan tropis, punahnya paus bungkuk, dangkalnya sungai-sungai di Kalimantan, dan lenyapnya pasokan air dari perbukitan Rembang? Jadi, memperjelas (si)apa itu manusia dalam kalimat ‘manusia penyebab kerusakan lingkungan’, penting diperjelas.

Kalau yang dimaksud ‘manusia’ ialah suatu kategori abstrak, yang biasa dipakai Aristoteles dalam membedakannya dengan keledai, pohon zaitun, atau koral; atau manusia sebagai ‘makhluk’ sebagai kutub seberang dalam relasi dengan kategori ‘Khalik’ seperti sering dipakai para rahib sewaktu menulis risalah soal manusia, jelas ‘manusia’ macam begini tidak punya kehendak dan tak berperbuatan selain di benak si filsuf. Toh ia cuma kategori abstrak saja yang adanya di pikiran. Bagaimana mungkin yang tak berkehendak dan tak berbuat, tak berdarah tak berdaging, ini membuat kerusakan lingkungan? Butuh pada sepiring nasi setiap hari saja manusia macam ini tidak, apatah lagi merusak lingkungan. Bisa saja dia merusak lingkungan, tapi lingkungan yang ada di imajinasi kita juga. Bukan di dunia nyata yang hiruk-pikuk ini.

Umpama kita mengartikan manusia yang ada dalam konteks ‘manusia merusak lingkungan’ itu sebagai manusia abstrak begini, maka tidak ada yang akan bisa ditunjuk hidung karena ‘manusia’ begini tak punya hidung. Orang-orang yang betul-betul telah aktif merusak hutan hujan Sumatra dan Kalimantan demi efisiensi produksi minyak sawit bisa bersembunyi di dalam kategori ini dan bisa turut jumpa pers di Jakarta memprotes kebakaran hutan. Manusia sebagai kategori abstrak ini serupa dengan ‘kepentingan umum’ yang lumrah dijadikan tempat sembunyi para pengusaha ketika menggusur lahan-lahan penghidupan orang Rembang dan mengeruk gunung kapurnya demi ekspansi produksi semen yang amat dibutuhkan dalam pembangunan kompleks properti di Jakarta. Dengan berbekal ‘manusia abstrak’ ini, komisaris perusahaan tambang mengongkosi anaknya yang gaul untuk bisa bergagah-gagah ria turut mengkritik, berkoar-koar tajam soal kebejatan manusia, dan menyerang betapa brengseknya manusia itu terhadap lingkungan. Tapi, karena yang diserang tak lebih dari kategori abstrak, maka tak perlu ada yang terluka.

Sebetulnya ada pengertian ‘manusia’ yang agak lebih realistik ketimbang manusia sebagai kategori abstraknya filsuf, yakni manusia sebagai individu-individu, sebagai orang-orang tunggal. Tidak seperti ‘manusia’ metafisiknya para filsuf, pengertian ‘manusia’ individualnya kaum liberal ini, seperti dalam dongeng kegemarannya Adam Smith cs, Robinson Crusoe, masih lebih masuk akal. Di situ terbayang manusia berdarah-berdaging, berpikir, berkehendak, dan mesti berinteraksi dengan alam dalam upaya memenuhi syarat-syarat material kehidupannya. Manusia nyata ini memerlukan sarana hidup yang nyata pula. Mereka perlu makan, minum, dan melindungi diri dari kondisi alam yang merugikannya. Karena manusia dan sarana hidupnya ini nyata, maka relasi manusia dan alam itu juga mestilah juga hal yang kasat mata, langsung, dan material. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mesti mengubah alam dengan mengambil, menggali, dan mengolahnya. Dalam pengertian ini bolehlah dikatakan ada andil manusia dalam kerusakan alam.

Persoalannya, manusia individual sebagaimana dikonsepsi cendikiawan borjuis ini tidak sepenuhnya nyata. Manusia ini setengah-nyata karena diandaikan ibarat atom-atom yang muncul entah dari mana dan hanya kemudian (karena kebetulan) mereka saling jumpa, berinteraksi menyepakati kehidupan bersama, dan menjadi sosial karenanya. Selain dari benak kreatif si liberal, pengandaian ini tidak punya landasan di dunia nyata sebagaimana dipotret oleh sains. Manusia itu hidupan yang hanya dapat hidup bersama sesamanya. Kesosialan manusia ini bagian dari kodrat biologisnya. Manusia bukan keturunan langsung kalajengking, tapi sekerabat dengan kera-kera Afrika yang juga sosial. Tak ada kera besar Afrika yang bertahan hidup hingga sekarang yang tak sosial. Soal perbedaan bentuk dan komposisi kelompok sosial di antara kera tidak membantah bahwa kesosialan itu lebih primitif, dalam arti sudah ada lebih dahulu, ketimbang individualitas.

Boleh dibilang, manusia individual universal yang dibayangkan riil oleh cendikia borjuis tak lebih dari kelanjutan mitos Abad Pertengahan bahwa Tuhan menciptakan manusia pertama seorang diri di surga. Ujung pengertian manusia sebagai individu ini sama dengan manusia sebagai kategori abstrak: kerusakan lingkungan diakibatkan oleh si A, si B, atau si C. Tak ada yang salah dengan tatanan sosialnya. Yang salah hanya oknum. Kalau kita hendak mencegah kerusakan lingkungan, ayo kita petuahi atau cegah si A, si B, si C, agar tidak merusak lingkungan. Atau kita hukum saja mereka yang secara kasat mata telah jelas-jelas merusak lingkungan. Soal tatanan sosial kapitalistik yang cuma tahu bahwa kapital mesti diakumulasi sebagai satu-satunya norma yang sah bagaimana? Tak perlulah kita merombak, toh kerusakan itu ulah oknum-oknum tertentu saja, bukan sistem. Tak ada yang salah dengan tatanan masyarakat kita karena yang bejat itu individu-individu. Lagi pula KUHP tak punya pasal yang bisa mengadili sistem sosial.

Baiklah, kalau pengertian manusia sebagai individu ini tidak realistik, lalu yang macam apa yang realistik? Hanya ada satu kemungkinan lain, yaitu pandangan bahwa manusia individu nyata di dunia yang nyata ini—beda dengan ‘manusia’ abstrak di dunia ide atau manusia individual yang entah ada di mana—menghadapi persoalan-persoalan hidup praktis dan berjuang untuk menghindar atau menyelesaikannya dengan siasat praktis serta sarana yang tersedia di dunia nyatanya itu juga. Persoalan praktis paling mendasar itu ialah kelangsungan hidup yang mesti dipenuhi dengan memenuhi syarat-syarat material keberadaan mereka sebagai yang hidup. Dalam praktiknya melangsungkan hidup, relasi-relasi sosial yang mengikat individu dengan sesama diperlakukan layaknya matahari terbit dari timur esok pagi, yakni sebagai fakta yang sudah sedemikian adanya sejak asali. Relasi-relasi ini bukan sesuatu yang secara sadar diketahui benak mereka. Bahkan bagi kita yang hidup jaman sekarang, kelangsungan hidup lewat rutinitas sehar-hari dimungkinkan karena kita merasa dunia wajar dan praktis keseharian saja adanya. Bangun pagi, berangkat ke tempat kerja, dan akhir bulan mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan jalan lumrah membelinya di pasar. Kita tidak perlu menyadari secara konseptual relasi kerja-upahan, relasi pajak, sistem pabrik, cara kerja bank, dan tetek bengek kehistorisan semua yang melandasi aktivitas praktis kita itu.

Begitu pula relasi metabolik manusia sosial alam (termasuk biologi manusianya). Alam itu satu-satunya gudang energi yang harus digali demi memenuhi kebutuhan hidup. Di dunia yang nyata, manusia nyata memerlukan daya dan sarana untuk dapat mengubah alam sesuai kebutuhan praktisnya. Daya dan sarana untuk memproduksi syarat-syarat material kehidupan manusia mesti diupayakan dengan kerja (labour). Dalam kehidupan nyata (yakni bahwa adanya manusia senantiasa di dalam sebentuk sosialitas tertentu), kerja bukanlah dan mesti dibedakan dari kerja-individual (work) atau aktivitas-aktivitas perseorangan dalam mengerahkan energi untuk memproduksi energi. Kerja, sebagai kondisi umum metabolisme manusia dan alam, merupakan suatu gejala sosial karena orang yang bekerja, yang tangannya bersentuhan langsung mengolah alam, tidaklah pernah sebagai individu terisolasi. Kita senantiasa berada sebagai seseorang yang berdiri di satu titik yang dipertautkan dengan titik-titik kategori lain lewat relasi sosial yang lantas membentuk struktur sosialitas tertentu yang dinamis. Pekerja sudah selalu dalam konteks sebagai individu sosial dalam relasinya dengan yang bukan-pekerja entah itu sebagai kerabat junior terhadap tetua dalam masyarakat perpuakan, hamba-penggarap terhadap tuan tanah dalam masyarakat feodal, budak belian terhadap pemilik budak dalam masyarakat perbudakan kuno, atau pekerja-upahan terhadap kapitalis dalam masyarakat kapitalis. Di sinilah salah kaprahnya materialismenya borjuis. Mereka pikir ada yang namanya manusia individual selain sebagai abstraksi dan bahwa relasi manusia dengan alam itu sifatnya langsung dan atomistik. Oleh karena itu, ‘materialisme’ mereka terjebak pada pemahaman tak realistik atas manusia. Apa yang tak realistik? Bagi mereka sosialitas paling-paling maujud dalam rupa kelompok atau sekumpulan orang-orang. Kelompok sosial, masyarakat misalnya, bukan sesuatu yang ada mandiri dari individu-individu. Masyarakat tak lain kumpulan orang-orang, individu-individu yang hidup dan berbagi lingkungan, cara pikir, cara pandang, dan kebiasaan yang sama. Masyarakat sekadar kelompok; sekadar agregat seperti halnya kentang-kentang dalam karung sekadar sekarung kentang-kentang.

Dari mana salah kaprahnya materialis borjuis itu? Dari realisme empiris seperti pandangan liberal yang dikritik di atas. Bagi merak sosialitas tidak punya keberadaan objektif. Masyarakat sekadar kumpulan orang-orang, individu-individu yang hidup dan berbagi lingkungan, cara pikir, cara pandang, dan kebiasaan yang sama. Yang ontologis cuma individu. Masyarakat sekadar agregatnya. Dari empirisme ini timbullah ilusi yang menjangkiti pandangan borjuis pada umumnya bahwa alam dan teknologi beserta interaksi manusia dengan alam lewat teknologi itu yang material dalam masyarakat karena kasat mata. Relasi, sebaliknya, tidak material karena tak kasat mata. Karena yang secara kasat mata Windu ketangkap basah membakar hutan untuk perluasan kebun sawit, maka dialah yang mestinya dihukum. Kalaupun mau heroik, tudinglah pemerintah tak becus urus negara. Tak ada urusan dengan sistem kapitalisme. Apalagi nilai persaingan serta norma efektif-dan-efisiennya yang secara buta mendorong siapa saja yang menjalankan kepentingan struktural kapital untuk selalu mencari cara memurahkan ongkos produksi minyak sawit dalam pertarungan bertahan hidup dan memperebutkan pasar sawit global. Termasuk membakar hutan yang cuma satu juta per hektar.***

Jatinangor, 12 Oktober 2015

Masya Alloh Lenin, Masih Soal Kelas?!

$
0
0

Gambar diambil dari ideologicalfightback.com

 

DI BEBERAPA tulisan sebelumnya (di sini dan di sini), saya sudah paparkan bahwa kelas itu kategori sosial yang dipertautkan relasi produksi di dalam suatu struktur sosial tertentu. Di dalam kapitalisme, relasi produksi itu ialah kapital dan kategori-kategori kelas yang dipertautkannya ialah kapitalis dan proletariat. Tak ada kelas lain di ranah produksi kapitalis. Kalau begitu, kapitalis dan proletariat itu bukan orang atau kumpulan orang-orang? Bukan. Kapitalis itu kategori sosial yang ada di ranah relasi produksi. Karena kapitalis bukan orang, maka kepentingan strukturalnya (yakni mengakumulasi nilai-lebih lewat produksi komoditi) bisa saja dijalankan oleh badan hukum (korporasi) atau lembaga (CEO, dewan direksi, RUPS). Tapi, berhubung kategori kapitalis hanya mungkin mengada di kehidupan sosial lewat orang-orang yang hidup di dalamnya, ibarat mesin, untuk bekerjanya kategori itu, mesti ada orang-orang yang menjalankannya. Nah, orang-orang yang menjalankan kepentingan struktural kategori kapitalislah (yang bertentangan dengan kepentingan struktural proletariat) yang biasanya kita rujuk sebagai ‘kapitalis’.

Apakah ini keliru? Tidak juga. Yang keliru ialah apabila kita menganggap bahwa kategori kapitalis itu melekat dari buaian sampai mati di tubuh sosial orang-orang yang menjalankan kepentingan struktural kategori kapitalis. Marx pernah bilang, saya lupa di mana, “Negro ya negro. Mereka menjadi budak hanya dalam relasi produksi tertentu”. Karena keberadaannya struktural, maka kelas kapitalis tak akan lenyap ketika Tuan Soros digebuki sampai mati atau perusahaannya bangkrut dan dia jadi loper koran. Kelas kapitalis juga tak punah ketika cara mengorganisasi eksploitasi nilai-lebih lewat produksi komoditi berubah dari sistem manufaktur sederhana seperti di jamannya Adam Smith, menjadi sistem perusahaan saham gabungan atau korporasi yang berlapis-lapis pemilikan legalnya seperti sekarang. Entah Tuan Soros mati atau bangkrut, atau organisasi produksi nilainya berubah sedemikian rumitnya, secara struktural tak ada perubahan sama sekali dalam bagaimana syarat-syarat material keberadaan masyarakat diproduksi dari jamannya Adam Smith sampai sekarang. Relasi produksi di bawah kapitalisme tetap menautkan dua kategori sosial berdasarkan kedudukannya terhadap sarana produksi dan pengambilalihan nilai-lebih dari produksi komoditi. Alih-alih revolusi, kapitalisme hanya berinvolusi. Strukturnya tetap, tapi lembaga-lembaganya kian merumit ke dalam atau bergeser titik pusarannya.

Sebagai realitas objektif, konsepsi kelasnya Marx sebetulnya tak rumit dimengerti. Yang bikin pelik campurannya. Campuran yang biasanya dituangkan ke dalam konsep kelasnya ialah status sosial dan pemeringkatan gaya hidup atau kekayaan ke dalam kelas. Di dalam struktur masyarakat, status sosial itu letaknya di persoalan nilai kultural yang dengannya anggota masyarakat memeringkat orang-orang ke dalam golongan-golongan berdasarkan kedudukan kulturalnya. Di dalam masyarakat feodal dahulu, misalnya, hanya ada dua kelas sosial: tuan tanah dan hamba-penggarap. Lho, di mana letak kaum bangsawan, ksatria, kaum agamawan, dan kaum tani? Bangsawan, ksatria, dan agamawan bukanlah kelas, tapi kelompok status. Di bawah kendali ideologi feodal, Tuhan memberi mandat kepada raja untuk mengelola bumi dan orang-orang yang tinggal di atasnya. Dalam upaya mulia ini mereka dikawani kaum agamawan yang paling paham apa maksud titah Tuhan itu dan kaum ksatria yang menjaga bumi dari tertib hukum. Karena nilai kesalehan pada titah Tuhan dianggap nilai tertinggi, status sosial kedua golongan ini tinggi. Meski status mereka berbeda, dalam relasi kelas, mereka menempati satu ruang yang sama, yakni tuan tanah, yang hidup dari menghisap hasil kerja para hamba-penggarap lewat relasi produksi bagi-hasil dan saluran-saluran ekstraksi surplus lainnya, seperti sewa, pajak, sedekah, persepuluhan, dan sebagainya. Meminjam perkataannya Marx, “agamawan ya agamawan, mereka menjadi tuan tanah dalam relasi produksi tertentu”. Jangan lupa, di zaman feodal Eropa, misalnya, gereja termasuk salah satu penguasa lahan terbesar.

Hal serupa juga berlaku pada masyarakat kapitalis. Hanya ada dua kelas dalam kapitalisme: kapitalis dan proletariat. Lho, kalau begitu di mana letaknya borjuis, orang kaya, kaum elite, dan sebagainya? Borjuis dan kawan-kawan itu bukan kelas, tapi kelompok status dengan gaya hidup tertentu. Dari asal istilah yang cuma berarti ‘orang kota’ yang dibedakan status legal dan kulturalnya dari kaum tani, bangsawan, dan agamawan di jaman feodal, kini istilah borjuasi melekat pada atau dianggap sama dengan kapitalis. Padahal keduanya merujuk pada gejala sosial yang beda, yang pertama kultural sementara yang kedua ekonomis. Para Marxis sering tidak bedakan kedua sebutan ini. Itu lumrah. Pertama, karena si Marx yang suka berbelas kasih pada pembacanya suka mencampuradukkan kedua istilah itu, seolah-olah keduanya merujuk realitas yang sama supaya gampang ditunjuk hidungnya. Kedua, memang sebagian besar kapitalis di jamannya Marx ialah dari golongan borjuasi yang naik pamornya ketika berhasil menggerakkan revolusi yang meruntuhkan wibawa dan kekuasaan bangsawan dan agamawan feodal. Tapi dalam proses lanjutannya, ketika revolusi politik diikuti oleh Revolusi Industri, golongan bangsawan dan agamawan pun ada yang turut menjalankan kepentingan kategori kapitalis dalam sistem perekonomian baru ini, sebagai penguasa sarana produksi dan pengambil alih nilai yang dihasilkan produksi komoditi. Emangnya siapa pemilik saham terbesar BP atau Shell?! Emangnya siapa pemegang saham mayoritas di bank-bank investasi di Luxembourg, Cayman Island, atau Swis?! Jadi, borjuis tidak identik dengan kapitalis, begitu pula sebaliknya. Meminjam perkataannya Marx, ‘borjuis ya borjuis, mereka menjadi kapitalis dalam relasi produksi tertentu’, ‘orang kaya ya orang kaya, mereka menjadi kapitalis dalam relasi produksi tertentu’.

Di dalam masyarakat kapitalis, kesertaan sebagai anggota kelas melekat sejak seseorang memasuki relasi produksi kapital. Tapi kedudukan kelas tidak selalu disadari orang-orang yang terkategori ke dalamnya. Salah satu alasannya karena kelas cuma satu dari sekian banyak kategori sosial yang bisa disandang dan disadari orang-orang dalam kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial pada dasarnya praktis. Sungguh melelahkan bila setiap tindakan direnungkan. Selain rahib yang tak usah pusing memikirkan besok makan apa karena Tuhan sudah menyediakannya, tak ada orang sanggup hidup kontemplatif terus-terusan. Tak ada yang sudi berlelah-lelah menelisik di balik pengalaman aktual setiap saat. Karenanya, kebiasaan dan pengalaman aktual yang langsung tercerap pancaindra dan kesadaran praktis lebih jadi panduan tindakan ketimbang pengalaman atas struktur sosial abstrak tempat kategori-kategori sosial yang kita sandang berada. Dan dari pengalaman aktual, status sosial dan gaya hidup orang-orang yang terkategori ke dalam kelas itulah yang paling bisa dipandang langsung dengan mata telanjang. Persoalannya, gaya hidup orang-orang yang terkategori kapitalis ini bisa jadi dibagi bersama dengan mereka yang secara kategoris bukan kelas kapitalis.

Karena kelas itu struktural, dan sebagai bagian dari struktur sosial ia tak bisa langsung dilihat dengan mata telanjang, maka kesadaran akan kedudukan kelas mensyaratkan pengetahuan gabungan antara pengalaman-aktual dan teoritis. Tapi tak semua orang punya waktu untuk berteori ria soal kehidupannya. Selain itu, karena kepentingan setiap orang tidak selalu selaras dengan kepentingan kelasnya akibat tak senantiasa aktualnya relasi kelas tempat kesadaran itu muncul, dan kalaupun selaras ia tak pernah lepas dari soal kepentingan diri orang per orang yang serba harian, maka mesti ada semacam upaya lain untuk menumbuhkan kesadaran kelas akan struktur eksploitatifnya kapitalisme. Perlu semacam gudang imajinasi kolektif yang fungsinya menyimpan ingatan bersama mereka yang terkategori ke dalam suatu kelas. Buat proletariat, gudang kolektif ini juga mestinya menjadi bagian dari tempat berangkat setiap upaya politik menyulih kapitalisme dengan sosialisme. Lenin menyebut gudang ini sebagai partai. Masalahnya, sebagai struktur sosial, kapitalisme sendiri tak mudah dilihat, diukur, dan dikumpulkan semua ceritanya. Kapitalisme itu ibarat karbon monoksida. Pengalaman orang atasnya terbatas pada efeknya. Orang mengalami kapitalisme sebagai penggusuran lahan demi tambang dan perkebunan, penyerobotan wilayah demi real estate, kerja kontrak tanpa tunjangan, kerja yang membosankan karena itu-itu saja, PHK, inflasi dan krisis matauang yang bikin pendapatan bulanan terasa makin tak cukup memenuhi kebutuhan hidup, dan seterusnya. Sementara struktur kimiawinya sendiri tak banyak diketahui dan tak perlu pula mengetahuinya, kecuali kita kerja di laboratorium kimia. Bukannya pengalaman akan efek kapitalisme ini tidak penting. Bagaimana pun cuma pengalaman ini yang memberi tahu kita ada yang tidak beres dengan kapitalisme. Namun bila kita bersandar pada pengalaman aktual saja dalam perjuangan melawan kapitalisme, maka perjuangan akan selesai ketika bukan penggusuran dan penyerobotan yang dilakukan pengusaha, tapi pembelian-pembelian legal, ketika kerja kontrak ditambahkan tunjangan hari tua dan bonus tahunan, ketika jalan-jalan rekreasi ke Pangandaran diadakan pengusaha supaya tak jenuh kerja, ketika tidak ada PHK, inflasi, atau krisis matauang yang membikin pendapatan bulanan terasa cukup.

Okelah, memang intelektuil jagonya bikin pelik penjelasan. Kalau betul kita mesti memilah realitas kapitalisme ke dalam dua ranah, berarti perjuangan melawannya juga mesti gabungan antara perjuangan empiris-aktual dan perjuangan struktural? Berarti perjuangan melawan penyerobotan lahan dan penggusuran, kontrak kerja, tunjangan, dan PHK, serta kerja membosankan itu mesti dibarengi oleh perjuangan mengubah struktur masyarakat kapitalis dan menghancurkan kategori-kategori sosial yang menyusunnya? Bagaimana bisa? Sebagai struktur abstrak tampaknya kapitalisme begitu perkasa. Saking perkasanya demo-demo anti penggusuran, pemogokan kerja, serta perjuangan demi upah dan jam kerja yang berhasil pun tak lantas mengubahnya. Oleh perjuangan harian bukannya runtuh, sistem malah makin dewasa mengeskploitasi dan menjinakkan perlawanan. Oleh karena itu perjuangan yang dibilang Lenin ‘ekonomis’ mesti dibarengi perjuangan ‘politik’. Hanya lewat perjuangan politik saja kelas pekerja bisa mengubah struktur. Memangnya apa yang diperjuangkan serikat bukan perjuangan politik? Buat Lenin sih bukan. Coba, katanya, bukankah selama ini kelas pekerja juga berjuang lewat serikat-serikat pekerja, tapi nyatanya negara tak kunjung bergeming melindungi kelas kapitalis dari setiap rongrongan atas kekuasaannya di ranah politik dan ekonomi? Lenin tak bilang perjuangan serikat pekerja itu keliru dan tak perlu, tapi dia cuma titip pesan bahwa perjuangan juga mesti diarahkan ke sesuatu yang lain.

Alih-alih menyasar perbaikan kondisi harian dan soal-soal politik kewargaan (dan identitas gaya hidup) melulu, kita mesti mengarahkan semangat perjuangan ke struktur sosial yang ekspoitatifnya. Kalau cuma mengurusi politik kewargaan, mereka yang menjalankan kepentingan kategori kapitalis juga warga yang juga punyak hak yang harus dilindungi negara. Kalau sudah begini, satu-satunya politik ialah mempengaruhi kekuasan negara borjuis, bukan menghancurkannya. Emangnya apa salahnya mempengaruhi kekuasaan? Tak ada yang salah selama kita andaikan itu satu-satunya jalan yang lumrah. Ia menjadi salah ketika kelas pekerja kege’eran bisa mempengaruhi anggota dewan yang doyan kekayaan. Jangankan mempengaruhi, membiayai negosiator yang bisa mengalahkan pelobi-pelobi dan lembaga-lembaga think tank kapitalis penyebar opini publik buat memasukkan kepentingan kelas pekerja ke dalam pasal-pasal legislasi saja sulitnya luar biasa.

Artinya, kata Lenin, politik proletariat kita juga mesti keluar dari kerangka negaranya borjuasi (: golongan yang dahulu pernah berjuang menghancurkan struktur feodal dengan kekerasan, bukan dengan doa, bujukan welas asih, atau pemilihan umum, dan mendirikan sistem politik demokrasi perwakilan lalu mengkhotbahkan ke mana-mana bahwa sistem politik macam begini satu-satunya demokrasi yang paling mungkin!) yang memang ada untuk memelihara struktur yang ada sekarang. Karena itu, masih kata Lenin, politik proletariat mestilah ditujukan pada pengubahan struktur sosial, alih-alih sekadar memperbaiki lembaga-lembaga sosial di dalam masyarakat borjuisnya saja. Dan revolusi tak akan maujud hanya dengan doa, bujukan welas asih, atau pemilihan umum. Dengan kata lain, politik proletariat mestilah revolusioner. Ya, kalau tak bisa revolusioner dengan tanganmu, revolusionerlah lewat lisanmu. Kalaupun revolusioner dengan lisan tak sanggup, setidaknya kamu masih punya pikiran dan cita-cita revolusioner. Begitu pesan Lenin.

Omong doang mah gampang, Len. Yang susah itu ikhtiarnya.***

 

Jatinangor, 26 Oktober 2015

Oknum Revolusioner Empirisis

$
0
0

SEBAGAI ilmu, materialisme historis berlandaskan pada realitas empiris. Meski begitu, tak lantas ia tunduk pada godaan empirisme. Malah, empirisme itu salah satu sasaran tembak paling awal ketika Marx dan Engels membangun tonggak-tonggak materialis untuk ilmu tentang masyarakat manusianya itu. Tak seperti anggapan kebanyakan orang, buat Marx dan Engels, bukan cuma lewat filsafat idealisme dan materialisme mekanistik saja kelas penindas melanggengkan daya tindasnya pada kelas pekerja, tapi juga lewat empirisme. Di tangan Lenin, urusan empirisme malah bukan sekadar soal filsafat pengetahuan semata. Urusan dengan empirisme Lenin anggap amat genting secara politik karena ia ada di jantung hidup-matinya gerakan revolusioner kelas pekerja. Karena itulah, alih-alih sibuk rapat konsolidasi kekuatan partai, merancang dan menyemangati pemogokan umum, atau debat di komite sentral soal posisi partai terhadap kaum tani, Lenin malah pelesiran ke Paris, ngendon di perpustakaan, membaca puluhan buku filsafat, dan menulis risalah serius ihwal empirisme.

Ada apa dengan empirisme? Kenapa Lenin begitu cemas padanya? Adakah hal-hal yang penting yang tak kita ketahui soal empirisme dan politik kelas pekerja? Coba kita tanyakan pada kaum empirisis. Di kamus filsafat, empirisme ialah sejenis faham filsafati bahwa satu-satunya realitas ialah yang menampak pada atau dialami oleh subjek. Dalam istilahnya pelajar filsafat, empirisis menyamakan antara keberadaan dan kehadiran. Karena satu-satunya realitas ialah yang menampak pada subjek, maka satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih ialah pencerapan indrawi dan pengetahuan yang benar mesti dimulai dari kesan-kesan indrawi subjek atas realitas.

Kalau begitu, pengetahuan yang bertopang pada faham empirisme itu subjektif? Konsekuensinya memang begitu. Tapi tenang, kata empirisis. Ada jalan keluar bersahaja supaya pengetahuan subjektif itu menjadi objektif: mengubah realitas empiris menjadi fakta yang objektif. Wah, gimana caranya tuh? Gampang sekali dik, kata empirisis. Kita tinggal rancang bersama suatu alat, lalu kita bikin alat-alat atau sarana itu yang dengannya kita bisa menangkap realitas sekaligus—tidak seperti alat tangkap yang melekat pada subjek manusia seperti mata, telinga, dan pikiran—tak punya perasaan sehingga pengetahuan yang didapat darinya bisa objektif. Dengan alat-alat itu kita memang masih subjektifis dalam ontologi bahwa pada dasarnya realitas itu adalah realitas subjektif, tapi setidaknya kita objektivis dalam epistemologi, dalam arti, pengetahuan kita bisa objektif karena telah menanggalkan anasir-anasir subjektif manusia, kata empirisis. Dengan alat-alat tak beperasaan itu, kita bisa dapat pengetahuan sahih tanpa harus khawatir perasaan kita turut campur dan membikin rusak susu sebelanga, lanjutnya. Gimana caranya? Contoh pengalaman akan suhu di Bandung. Apakah di Bandung itu dingin, sejuk, sedikit panas, atau malah panas, amatlah subjektif bila kita tanya pada orang-orang akan pengalaman mereka. Buat orang yang sejak lahir tinggal di Timbuktu, waktu pertama kali berkunjung mungkin dia mengalami suhu di Bandung itu dingin. Tapi buat orang yang lahir dan tinggal di Tibet sejak orok, waktu pertama kali berkunjung mungkin dia mengalami suhu di Bandung itu agak panas. Nah, daripada debat kusir soal pendapat mana soal suhu Bandung menurut itu yang benar, kita tanya saja pada alat tak berperasaan bernama termometer. Kalau jawabannya bahwa suhu Bandung itu 25 derajat celcius, maka suhu Bandung itu 25 derajat celcius, titik. Itulah fakta. Atau, kalau kita hendak tahu dari orang-orang kita bikin kuisioner saja soal suhu, lalu kita bagikan ke sebanyak mungkin orang yang ada di Bandung. Kalau dari sebaran jawaban kuisioner itu kita dapatkan bahwa 78 persen orang menyatakan bahwa mereka mengalami suhu di Bandung sebagai sejuk, itulah fakta. Cuma fakta-fakta macam begini yang bisa jadi objek ilmu. Selebihnya tidak bisa. Karena realitas itu subjektif (atau paling banter intersubjektif) dan yang bisa kita ketahui dari realitas itu tampakan pada perilaku orang-orang, maka tak ada struktur, tak ada mekanisme atau cara kerja realitas yang objektif, yang ada hanya agregat dari perilaku orang-orang saja.

Baiklah wahai kau intelektuil, sekarang apa urusannya filsafat empirisme dengan Marxisme dan gerakan kelas pekerja?! Jangan bisanya cuma ngotak-ngatik pikiran dan onani intelektual! Sekarang yang penting adalah bergerak: kerja-kerja-kerja! Sudah muak kami sama teori-teori-teori melulu!

Sebentar, saya tanya Lenin dulu. Lenin pernah bilang bahwa tak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Artinya, gerakan dan teori tak bisa dipisahkan, entah disadari ataupun tidak. Tak mungkin gerakan ‘bergerak’ sendiri karena, pertama-tama, gerakan mengandaikan 1) kejelasan apa yang dituju, 2) kejelasan bagaimana kita bergerak menuju tujuan. Nah, kata Lenin, teori empirisme sungguh tak revolusioner sejak dalam pikiran. Kenapa? Buat empirisis, eksploitasi itu urusan empiris dan karenanya subjektif. Tidak ada yang namanya realitas objektif bernama eksploitasi. Tak ada sistem eksploitatif karena yang ada hanya pengalaman (dan perasaan) subjek-subjek atas keadaan. Coba saja kita bikin kuisioner ke seluruh pekerja, dari pembersih WC sampai akuntan, dari buruh pabrik sampai wartawan bursa saham. Nah, kalau sebagian besar menyatakan bahwa mereka tidak mengalami dieksploitasi, maka tak ada yang namanya eksploitasi. Selagi kelas pekerja ‘mengalami’ hidup nyaman, selama proses produksi selalu diawali oleh kontrak sukarela antara pekerja dan majikan, selama pekerja ‘tak mengalami’ pemotongan gaji, selama tak ada penyerobotan lahan oleh korporasi demi pembangunan tapi pembelian-pembelian yang sama-sama ‘dirasa’ menguntungkan kedua belah pihak, selama masa depan terbayangkan begitu indahnya karena pertumbuhan ekonomi tinggi dan karenanya standar hidup juga ‘dialami’ bagus oleh kebanyakan orang, tak ada eksploitasi. Eksploitasi itu cuma rekaan para Marxis degil yang tak menghargai pengalaman harian! Kalau pun ada yang mengalaminya, itu cuma ‘oknum’. Tak ada urusannya dengan sistem, struktur sosial, dan tetek bengek yang tak kelihatan itu!

Lho, kalau ada yang mengalami, meski itu ‘oknum’, bukankah berarti eksploitasi itu ada? Memang, tapi kan itu berarti eksploitasi itu subjektif, urusannya orang per orang. Karena itu, tak perlulah kiranya kita ‘bergerak’ merevolusi kondisi masyarakat. Cukuplah kiranya kita petuahi si oknum. Kalau masih eksploitatif bisa kita seret si oknum ke pengadilan, dihukum, dan beres sudah. Yang perlu dilakukan ialah ‘bergerak’ memperbaiki keadaan yang ada, bukan menghancurkan apa yang ada. Pengusaha dan pekerja harus bekerja sama membangun kondisi yang membahagiakan semua pihak. Tak perlulah bergerak menghancurkan apa itu yang disebut para Marxis degil sebagai ‘sistem eksploitatif’, karena pada dasarnya tak ada sistem selain serangkaian aturan-aturan kelembagaan yang dibuat secara sadar guna menata kehidupan bersama. Kalau kita merasa ada yang keliru, kita perbaiki saja aturan-aturan kelembagaan itu secara demokratis melalui lembaga-lembaga yang sudah ada. Semua pihak berhak punya wakil di lembaga legislasi, bukan?

Singkat kata, buat revolusioner empirisis, kapitalisme itu bermasalah ketika secara empiris bermasalah. Ketika kapitalisme menelurkan otoritarianisme, ketika korporasi dan penguasa sewenang-wenang mengambil alih lahan, memotong gaji dan menghapus tunjangan buruh, memaksakan lembur pada mereka, dan semua kejadian yang membuat kita ‘mengalami’ eksploitasi, barulah kita bergerak. Ketika kita mengalami dunia baik-baik saja, kapitalisme is OK. Tak perlulah gerakan-gerakan untuk menyulihnya dengan sistem lain karena tak ada yang namanya sistem keliru secara objektif. Ingat, eksploitasi itu hanya tindakan oknum!***

Jatinangor, 9 Nopember 2015

Orang Sabar Disayang Tuhan

$
0
0

EDUARD Bernstein pernah bilang ajaran-ajaran politiknya Marx, yaitu bahwa satu-satunya cara untuk menyulih kapitalisme dengan sistem sosialis ialah revolusi, sudah usang. Apa yang Marx gembar-gemborkan tak berlaku karena didasarkan pada analisisnya atas kapitalisme abad kedelapan belas. Kapitalisme bukanlah anak kemarin sore yang selalu telat masuk kelas dan bolos sekolah. Kapitalisme, yang disokong kaum borjuasi terdidik yang berpikiran maju, akan selalu belajar dan kalau perlu mengubah tampilan dirinya ke arah yang lebih baik untuk semua orang. Kelak, kata Bernstein, kapitalisme tak hanya akan makin baik untuk kelas kapitalis, tapi juga buat kelas pekerja yang dieksploitasinya.

Ideal-ideal kebebasan individu, yang untuk membangunnya borjuasi harus memperjuangankannya, dan merupakan postulat kebebasan keberadaan dan gerak kapital dalam mengakumulasi diri tanpa halangan-halangan buatan, telah berhasil menghancurkan sistem paling eksploitatif sekaligus paling tebal selubung takhayulnya sepanjang sejarah manusia: feodalisme. Nah, dengan kekuatan ideal-ideal itu pula kelas pekerja bisa memenangkan apa yang telah dicapai kapitalisme lewat demokrasi. Apa sih yang dicapai kapitalisme?

Seperti Marx pernah bilang, kapitalisme itu sistem yang mampu menghasilkan kekayaan yang tak pernah ada tandingnya dalam sejarah manusia. Perbudakan hanya bisa menghasilkan piramida-piramida untuk para firaun. Feodalisme hanya bisa menciptakan katedral-katedral gothik untuk para padri dan rahib. Tapi coba lihat kapitalisme. Kapitalisme tak hanya bisa menghasilkan pulau-pulau buatan dengan menguruk laut lalu mendirikan kondominium atau menara tertinggi di dunia. Kapitalisme juga menciptakan sarana-sarana hidup yang bahkan pekerja pabrik biasa pun bisa menikmatinya di rumah. Kapitalisme tidak hanya menciptakan ‘piramida-piramida’ bagi orang-orang kaya, tapi juga menghasilkan HP, kulkas, atau motor murah yang bisa dibeli pekerja. Kapitalisme tak cuma bisa menghasilkan konser-konser musik klasik mewah buat yang kaya, tapi juga panggung organ tunggal buat yang tak punya uang. Kapitalisme tak hanya menghasilkan sekolah-sekolah elite bersarana lengkap nan mahal, tapi juga sekolah-sekolah untuk nyaris semua orang yang mau sekolah. Pokoknya, kapitalisme menghasilkan kemaslahatan hidup buat semua orang dalam takaran yang massal.

Bagaimana pekerja bisa memenangkan daya dahsyat yang terkandung di jantung kapitalisme beserta hasil-hasilnya itu? Tentu lewat sistem politik demokrasi, kata Bernstein. Lewat demokrasi, semua warga setara hak politiknya. Ibarat tangan buta yang tak berperasaan, demokrasi tidak pandang seberapa kaya atau miskinnya kita. Semua orang punyak hak setara di hadapan hukum. Ketika kapitalisme berkembang, maka salah satu syarat pentingnya, yaitu golongan pekerja, juga akan berkembang secara demografis karena mereka mesti diproduksi dan direproduksi demi beroperasinya akumulasi kapital. Semakin luas cakupan industrialisasi, tentu akan diiringi makin banyaknya golongan pekerja industrial. Nah, karena politik demokrasi mengandaikan satu orang satu suara, maka niscaya golongan pekerja akan bisa menguasai aparatus negara tanpa harus revolusi. Ketika aparatus negara dikuasai, karena kelas pekerja merupakan mayoritas warga negara, berbagai legislasi yang dikeluarkannya niscaya akan sejalan dengan kepentingan kelas pekerja. Satu-satunya persoalan yang mesti dibereskan kelas pekerja, dengan demikian, hanya bagaimana menguasai aparatus pengambil keputusan negara lewat lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Atau kalau kurang memadai bikinlah lembaga-lembaga baru, tentu dengan kesepakatan dengan golongan-golongan kepentingan lain di dalam masyarakat. Sudah bukan lagi masanya untuk mempercayai bekerjanya kepentingan kelas. Semua golongan itu sama. Tak ada kapitalis, tak ada pekerja. Semuanya adalah warga. Dan setiap warga secara asasi punya kekuatan politik sama terhadap negara. Jadi, alih-alih tetap revolusioner dan ketinggalan jaman, kita mestinya menjadi demokrat dan modern.

Begitulah kira-kira argumennya Bernstein.

Ada masalah dalam argumennya Bernstein di atas. Sebagai peniru orang Inggris yang baik, Bernstein percaya bahwa masyarakat dan kelas sosial tak lebih dari kumpulan atau jumlahan orang-orang. Masyarakat dan kelas sosial sama dengan populasi. Dengan asumsi empirisis macam begini, sebetulnya tak ada yang oleh Marx disebut struktur dan kelas sosial. Setidaknya secara ontologis struktur dan kelas tidak asli. Mereka ada selagi ada orang-orang yang bisa diidentifikasi sebagai satu kesatuan. Semakin besar jumlah orang-orang dengan kategori tertentu secara demografis, makin besar pulalah kekuatan politiknya. Persoalannya, kekuatan politik itu pertama-tama mensyaratkan kesadaran sosial. Dan kesadaran sosial yang menggerakkan populasi pekerja dalam politik ini tidak niscaya kesadaran kelasnya. Bisa jadi identitas atau kesadaran etnis, asal daerah, kebangsaan, atau agama yang mengemuka dan menggerakkan pilihan-pilihan politik. Kalau sudah begini tak ada jaminan besaran populasi pekerja industrial niscaya mengarah ke terbentuknya kesadaran kelasnya dalam politik. Dengan kata lain, tidak niscaya pekerja berdiri sebagai pekerja dalam politik kewargaan.

Masalah dalam argumen Bernstein, lagi-lagi, berasal dari empirisme yang tersirat di dalam caranya memandang masyarakat dan kelas. Ditambah sejumput Weberianisme (dan Weber adalah Kantian yang baik), selalu diandaikan bahwa negara itu kekosongan yang bisa diisi oleh apa saja. Upaya-upaya setiap oranglah yang membentuk lembaga-lembaga di dalamnya. Karena setiap orang bebas mengupayakan kepentingannya sebagai warga lewat demokrasi, maka mungkinlah rupa dan dinamika negara selaras dengan kepentingan populasi pekerja.

Pengandaian bahwa kepentingan pekerja senantiasa berpolitik dengan kesadaran akan kepentingan kelasnya agak bermasalah. Identitas dalam hubungan produksi bukanlah satu-satunya identitas sosial yang disandang orang per orang. Ada ribuan identitas sosial yang bisa menguasai kesadaran orang. Dan ada ribuan lagi yang bisa menggerakkannya. Tanpa persoalan dalam hubungan produksi (antara kapitalis dan proletariat), belum tentu kesadaran akan kelasnya mengemuka. Nah, persoalannya, masalah dalam hubungan produksi biasanya hanya mengemuka ketika terjadi krisis dalam perekonomian, ketika persaingan bisnis mempersempit kesempatan kapitalis individual untuk terus-menerus mengakumulasi kapital, ketika krisis meninggalkan hanya dua pilihan buat para penguasa sarana produksi: apakah melanjutkan model distribusi kekayaan yang sekarang ada dan dengan demikian tetap memelihara sejumlah tertentu golongan pekerja dengan semua fasilitas mereka peroleh selama ini, dan itu berarti porsi kekayaan yang bisa diakumulasi mengecil, atau menyelamatkan daya tumbuh kapital dengan membekukan atau memindahkan operasinya ke tempat dimana mereka bisa bertumbuh lebih tinggi dan dengan demikian menghancurkan standar hidup kelas pekerja? Tak ada pilihan ketiga. Tak bisa kapitalis melanjutkan pola distribusi seperti biasa tanpa dihancurkan oleh kapitalis lain yang tidak melakukannya. Ingat ya, kita ada di dunia bukan untuk beramal soleh, kita bisnis. Dan bisnis harus untung. Kalau lembaga-lembaga yang ada (sistem pengupahan, serikat pekerja, dan jaminan sosial pekerja, misalnya) kini tidak untung dan menghambat akumulasi kapital, kami berhenti saja menjadi kapitalis kalau tidak menghancurkannya!

Di sisi lain, ketika krisis produksi terjadi, pekerja yang terdepak dari hubungan produksi kapital atau menurun standar hidupnya karena kapitalis memilih menyelamatkan kapitalnya ketimbang standar hidup pekerja, tak serta merta menyadari ada yang tidak beres dengan tatanan sosial yang ada. Tak serta merta pekerja menyadari ada yang tak beres dengan sistem kerja-upahan dan dengan demikian dengan sistem kapitalis itu sendiri. Bisa jadi, yang mereka sadari langsung sekadar bahwa majikan-majikan kasat mata mereka, yang kebetulan dari etnis atau golongan sosial tertentu, atau secara imajiner dibayangkan berasal dari ‘negeri asing’, tak lagi bisa mempekerjakan mereka. Atau bisa jadi yang muncul ke kesadaran sekadar bahwa pemerintah tak becus membela kepentingan pekerja dengan asumsi bahwa negara netral sejak lahir.

Lagi pula, karena cakrawala politik kelas pekerja tak pernah lebih dari soal upah dan jaminan sosial (yang kedua-duanya mengandaikan negara yang tak netral itu), maka pilihannya hanyalah sabar menunggu membaiknya kondisi ekonomi seperti sedia kala (tentu sambil sesekali menekan pemerintah demokratis), lalu kembali bekerja-upahan seperti sedia kala pula. Tak ada masalah dengan tatanan sosial. Kalaupun kita kena masalah, seperti dipecat karena krisis atau turunnya standar hidup pekerja pada umumnya misalnya, itu tidak berasal dari relasi produksi kapitalis yang memang eksploitatif sejak dalam kandungan. Mereka barasal dari tindakan-tindakan keliru para elite ekonomi dan politik. Dengan demikian, untuk membereskannya mari kita diskusikan dengan kepala dingin; kita bangun kelembagaan baru atau memperbaiki yang sudah ada sehingga bisa mencegah kesewenang-wenangan segelintir oknum. Urusan dengan tatanan sosial, serahkan saja pada Tuhan.

Buat kawan Bernstein, seperti semua Weberian yang baik, sebagai warga negara yang baik, memang begitulah mestinya pekerja bertindak dalam politik negara. Ingat ya, orang sabar itu disayang Tuhan.***

 

Jatinangor, 23 Nopember 2015

Onani Intelektual Marxis

$
0
0

SEWAKTU saya sedang belajar ‘onani intelektual’, seorang tukang ‘onani intelektual’ yang sudah lebih dulu belajar mengajarkan kepada saya bahwa sebagai ideologi politik, Marxisme didasarkan pada ilmu. Marxisme itu bukan klenik atau keimanan, dan Marx bukanlah ahli nujum atau nabi pembawa kabar baik. Marxisme dibangun di atas dasar pikiran bahwa masyarakat itu bukan sekadar sekumpulan orang-orang beserta pikiran, ucapan, dan tindakan-tindakannya. Kehidupan sosial tak secentang-perenang kelihatannya secara kasat mata. Apa yang oleh mata terlihat centang perenang, sebetulnya terstruktur sedemikian rupa membentuk satu kesatuan jalinan yang mustahil dipisah-pisahkan. Mencari dan memahami struktur inilah tujuan dari ilmu Marxisme. Dalam berilmu, tentu saja kita butuh kesederhanaan. Untuk itu kita harus pisah-pisahkan berbagai segi dan unsur penyusun realitas dan menguncinya ke dalam konsep-konsep. Namun pemisahan itu hanyalah bagian dari cara berilmu; cara untuk menangkap realitas yang ada di balik tampakannya. Seperti semua representasi, pemisahan dan hasilnya, yakni konsep dan teori, bukanlah realitas, hanya perwakilannya yang digunakan dalam ‘onani intelektual’ memahami rupa dan dinamika masyarakat. Seperangkat konsep dan teori yang Marx-Engels bangun ini kemudian dikasih nama ‘materialisme historis’.

Demi berlanjutnya kenikmatan ‘onani intelektual’, saya lalu bertanya soal apa yang dimaksud ‘materialisme’ dalam materialisme historis itu. Pertanyaan ini saya ajukan karena, dalam pikiran saya, pengertian yang pertama terbersit dari materialisme ada kaitannya dengan hura-hura, senang-senang, tumpuk-tumpuk harta, dan kepercayaan bahwa di dunia ini yang ada hanya materi, tak ada jiwa, roh, dan tetek-bengek yang dipercaya orangtua sebagai adi-alami. Sebagai anak muda yang ingin kelihatan garang, tentu saja saya tak berminat sama sekali pada materialisme kalo begini artinya. Bagaimana tidak. Saya punya cita-cita; semacam ideal-ideal yang menurut saya baik dan hendak, kalau bisa, diwujudkan dalam menjalankan hidup dengan segala daya upaya. Salah satunya ialah bahwa masyarakat harus berubah sedemikian rupa menjadi suatu masyarakat yang tak hanya makmur, tapi juga adil, yang di dalamnya tak ada penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia.

O bukan itu maksudnya, kata juru onani intelektual yang sudah ahli itu. Katanya, ‘materialisme’ merujuk pada dasar pikiran yang Marx kembangkan bahwa kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi material dari produksi dan reproduksi syarat-syarat keberadaan masyarakat mengondisikan rupa dan dinamika masyarakat secara umum, termasuk bentuk-bentuk relasi politik dan pandangan dunia. Artinya, segala sesuatu yang oleh kebanyakan orang dianggap wajar tanpa perkecualian berlaku di dalam masyarakat, termasuk pandangan tentang manusia yang baik, keluarga yang baik, atau sistem politik yang baik, misalnya, sebetulnya dikondisikan oleh rupa dan dinamika kekuatan-kekuatan produksi syarat-syarat keberadaan masyarakat. Bukan kesadaran sosial ini yang menentukan keberadaan sosial orang-orang, tapi sebaliknya.

Kalau ditengok ke urutan keberadaan, untuk adanya sama sekali masyarakat, tentu haruslah ada orang-orang hidup di dunia ini yang berpikir dan bertindak terhadap satu sama lain. Karena orang-orang hidup ini bukanlah roh, dan dunia tempat hidup mereka juga bukan surga, tentu mereka membutuhkan sarana hidup. Karena sulap, sihir, atau mukjizat tidak bisa menciptakan makanan, pakaian, dan lainnya yang dipersyaratkan untuk hidup sebagai raga secara berkelanjutan, maka kumpulan orang-orang itu haruslah memproduksinya. Dalam memproduksi sarana hidup ini mereka mau tak mau berhadapan dengan alam sebagai satu-satunya sumber daya. Dalam relasi berhadap-hadapan dengan alam dan sesama inilah masyarakat menciptakan sarana-sarana sekaligus relasi-relasi sosial produksi dalam mengelolanya.

Dalam memproduksi sarana hidup ini juga mereka mau tak mau berhadapan dengan sesama lewat relasi sosial produksi tertentu. Sekarang, misalnya, ada orang-orang yang bisa tetap hidup tanpa langsung berhadapan dengan alam dengan tangan mereka. Karena mereka itu mahluk hidup, meski mereka tak perlu kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tinggal leha-leha ke Bali tiap pekan, mereka tak akan bisa tetap hidup tanpa ada orang-orang lain yang berhadapan langsung dengan alam lewat kerja mereka. Kedua pihak terikat satu sama lain ke dalam satu relasi. Relasi sosial mereka dengan orang-orang yang bekerja memproduksi sarana hidup ini, menurut Marxis, ialah relasi produksi. Relasi produksi ini bukanlah sesuatu yang sejak azali ditentukan oleh kekuatan ilahiah, tapi dikondisikan oleh kekuatan material produksi yang tersedia. Bukan pula ditentukan oleh kehendak dan keinginan orang per orang. Ketika daya kekuatan material masihlah rendah, yakni ketika teknologi masih begitu sederhananya sehingga nyaris tak ada surplus yang bisa dihasilkan, bukan pilihan atau kehendak oranglah bila mereka bekerja sama satu sama lain untuk memproduksi sarana hidupnya. Tapi ketika daya dari kekuatan material produksi begitu besar sehingga surplus melimpah, bukan pilihan atau kehendak orang-oranglah bila orang-orang kemudian terpilah lewat pembagian-pembagian kerja yang konsekuensinya pada distribusi hasil kerja dari golongan yang bekerja. Hanya pada taraf ketika surplus melimpah dan limpahan ini kemudian disalurkan lebih banyak ke golongan yang tidak bekerjalah kemungkinan untuk adanya orang-orang yang bisa hidup tanpa bekerja, tapi dengan mengambil alih hasil kerja pihak lain.

Perubahan dalam daya kekuatan produksi menjurus ke perubahan relasi produksi. Perubahan relasi mengubah kedudukan orang-orang ke dalam lingkup-lingkup dunia tertentu yang berbeda. Dunia-dunia tertentu inilah yang mengondisikan bagaimana orang memandang dan bertindak atas diri dan orang lain. Jadi, ‘materialisme’ dalam materialisme historis merujuk pada cara pandang atas kekuatan-kekuatan apa yang membentuk rupa dan dinamika masyarakat beserta lembaga dan pandangan dunianya. Bagi materialis, bukan lembaga-lembaga sosial, kesadaran, dan pandangan dunia yang ada di dalam masyarakat atau kelompok-kelompok sosial tertentu yang menentukan rupa dan dinamika relasi material dan relasi produksi, tapi sebaliknya. Karenanya pula, perjuangan orang-orang di ranah material inilah yang menjadi kunci perubahan masyarakat seluruhnya.

Itulah pelajaran pertama yang saya peroleh ketika pertama kali belajar onani intelektual Marxis dari ahlinya.

Waduh, setelah dipikir-pikir, ternyata onani inetelektual lama juga ejakulasinya ya. Kalau teori-teorian macam begini yang dionani oleh para intelektual Marxis yang tak pernah susah payah rapat komite berjam-jam sampai subuh mempersiapkan unjuk rasa serikat buruh, yang tak pernah berkeringat dan berdarah-darah mengoordinasi perlawanan atas upah murah, bukannya nikmat yang didapat, tapi pusing yang diraih. Bagaimana tidak, seperti onani pada umumnya, yang bisa diperbuat cuma membayang-bayangkan realitas lewat konsep-konsep abstrak. Tak seperti persetubuhan yang asli, tukang onani hanya bisa mencumbu struktur dan tendensi eksploitasi kapitalistik yang tak kasat mata, bukan panas tubuh berboroknya yang langsung terindra. Lagi pula, dari pembayangan selama proses onani inetelektual itu, yang dihasilkan hanyalah bayangan-bayangan baru di benak yang keberadaannya hanya bisa dinikmati dengan pembayangan baru juga. Tentu saja ada pertukaran hasil-hasil pembayangan ini di antara para intelektual. Tapi tetap saja yang dihasilkan dari pertukaran ini tak lebih dari bayang-bayang, meski mungkin lebih memerinci realitas yang sedang dibicarakan. Lagi pula, tak ada pelajaran langsung yang bisa disumbangkan kepada proses persetubuhan langsung dengan kapitalisme kecuali konsep-konsep dan teori-teori abstrak. Padahal, buat mereka yang menyetubuhi langsung, yang diperlukan bukanlah konsep dan teori, tapi resep manjur untuk praksis-praksis yang bisa mengubah letak tubuh kapitalisme supaya pas dengan kepentingan kelas pekerja.

Jadi, sebetulnya apa sih pentingnya onani inetelektual? Kalau ditimbang-timbang, tak ada secuil pun sumbangsih yang bisa diambil dari kegiatan onani intelektual selama kita percaya bahwa kapitalisme itu tak lebih dari peristiwa yang berlangsung dihadapan mata telanjang kita; bahwa tak ada yang namanya struktur atau mekanisme eksploitatif di balik tindak-tanduk orang-orang yang melampaui dan tak bergantung pada kesadaran orang per orang. Selama kita percaya satu-satunya realitas kapitalisme ialah realitas yang kasat mata yang bisa langsung kita setubuhi, tentu onani intelektual hanyalah kegiatan buang-buang waktu para pengecut yang tak jelas juntrungnya buat kemenangan perjuangan kelas pekerja.***

 

Jatinangor, 7 Desember 2015

Tantangan Osamu Dazai

$
0
0

SETIAP kali kita berbicara tentang Marxisme dalam hubungannya dengan kesusastraan, ingatan kita selalu terbetik pada ‘realisme sosialis’, atau lebih tepatnya apa yang biasa kita artikan sebagai ‘realisme sosialis’. Tanpa kita sadari, kita mengasosiasikan—bahkan mengidentikkan—kesusastraan Marxis dengan karya-karya sastra yang menggambarkan penderitaan kelas buruh, tani atau ‘kaum yang lapar’, dan perjuangan mereka mengganyang kapitalisme serta membangun tatanan masyarakat sosialis. Tak jarang karya-karya tersebut dibubuhi dengan idealisasi kuasi-mitis tentang profil kelas tertindas—dengan tubuh kekar dan jiwa yang dibimbing oleh sikap moral yang mulia. Dengan begitu, ‘realisme sosialis’ sebetulnya mengandung tegangan konstitutif, yakni tegangan antara imperatif untuk menggambarkan kenyataan (imperatif realisme) dan imperatif untuk mengimajinasikan tatanan masyarakat ideal (imperatif sosialisme). Dengan kata lain, tegangan antara menggambarkan dan mengangankan.

Dalam bentuknya yang buruk (dan jamak ditemukan), karya-karya bernafaskan (atau punya pretensi) realisme sosialis mengemuka sebagai penindasan kenyataan oleh angan-angan, subordinasi apa-yang-ada oleh apa-yang-seharusnya-ada, penundukan realisme oleh visi tentang sejenis ‘sosialisme’ (sosialisme yang dibayangkan dari dalam kalbu sang pengarang, alih-alih direkonstruksi dari kenyataan). Namun kelirulah anggapan bahwa realisme sosialis dapat dikecilkan menjadi karya semacam itu dan karenanya kelirulah juga anggapan yang menyamakan realisme sosialis sebagai ‘sastra propaganda’.

Realisme sosialis yang baik adalah realisme sosialis yang tak melupakan akar ‘realis’-nya.Yang saya maksudkan di sini dengan istilah ‘realis’ dan ‘realisme’ tidak sekadar karya-karya beraliran realis seperti novel Tolstoy yang menggambarkan dunia fiksional secara terperinci sehingga nampak seperti dunia empiris yang kita lihat sehari-hari. Yang saya maksudkan lebih longgar dari itu, yakni realisme sebagai kemawasan akan kenyataan, terlepas dari betapapun subjektif dan pskilogisnya kenyataan tersebut. Sebab toh dunia batin pribadi tetaplah bagian dari kenyataan, bukan? Realisme sosialis yang baik mesti mampu menjawab tantangan yang muncul dari dunia batin pribadi, betapapun absurd pergulatan psikologis itu. Pengarang Marxis tidak semestinya menghindari deskripsi keruwetan batin individual dengan melarikan diri ke ranah deskripsi dunia penampakan yang bersih dari ambiguitas. Ia tak boleh bersembunyi di balik kategori-kategori umum seperti kelas dan revolusi tanpa mengungkapkan terlebih dahulu konflik-konflik absurd dalam relung batin yang paling privat. Basis ekonomi mengkondisikan superstruktur psikologis? Tentu saja, tapi perlihatkan dalam semesta fiksimu bagaimana persisnya hubungan pengkondisian itu terjadi. Yang pribadi tak pernah lepas dari yang politis? Tentu saja, tapi perlihatkan dalam semesta fiksimu bagaimana yang politis itu menubuh dalam yang pribadi. Di situlah terletak tantangan kesusastraan Marxis.

Dalam konteks inilah saya ingin berbicara tentang Osamu Dazai.

Nama Osamu Dazai bukanlah nama yang asing bagi para mahasiswa jurusan sastra Jepang. Di Jepang, karya utamanya, Ningen Shikkaku (1948), konon menempati urutan kedua dalam daftar novel yang paling banyak dicari sampai hari ini (setelah novel Kokoro karya Natsume Soseki). Akan tetapi, di kalangan penikmat sastra kita, agaknya Dazai praktis tak dikenal. Kita mengenal Ryunosuke Akutagawa, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Junichiro Tanizaki, Kenzaburo Oe dan Murakami (baik Haruki maupun Ryu), tetapi kita tidak mengenal Osamu Dazai.

Sampai dengan kematiannya pada tahun 1948 di usia 39 tahun, Dazai tidak terlalu banyak menghasilkan karya. Ningen Shikkaku adalah novel ketiga sekaligus terakhir yang ia terbitkan sebelum menenggelamkan diri ke sungai bersama pacarnya, Tomie Yamazaki. Novel (atau mungkin lebih pas novela) semi-otobiografis itu kerap dipandang sebagai puncak kesusastraan Dazai. Di dalamnya, Dazai berkisah tentang penggalan kecil riwayat hidup Oba Yozo, putra dari seorang tuan tanah dan anggota parlemen Jepang yang menjalani masa-masa kuliah dan dewasanya di Tokyo pada tahun-tahun 1930-an. Ia membagi waktunya di antara kedai-kedai tuak, rapat-rapat sel komunis dan rumah-rumah bordil. Novela itu bercerita tentang kesia-siaan menjadi manusia. Judul Ningen Shikkaku secara harfiah berarti ‘Terdiskualifikasi sebagai Manusia’ (walaupun penerjemah Inggris, Donald Keene, mengartikannya sebagai No Longer Human).

Sebagian besar novela itu terdiri dari potongan-potongan memoar yang dituturkan dari sudut pandang orang pertama (Oba Yozo) dan dibingkai dengan kisah tentang seorang penulis anonim yang menerima memoar tersebut dari ibu pemilik kedai kopi tempatnya menghabiskan waktu suatu malam untuk mencari inspirasi. Oba Yozo menggambarkan dirinya sebagai seorang yang, dari lubuk hatinya yang terdalam, individualis dan antisosial. Masyarakat, baginya, adalah beban. Begitu banyak ekspektasi orang-orang yang mesti dipenuhi: wajib berbasa-basi dengan tetangga, wajib menghormati orang tua, wajib bersolidaritas dengan kawan dan rentetan kewajiban lainnya. Yozo, singkatnya, menentang tradisi. Sampai di sini, profilnya serupa dengan Holden Caufield dalam Catcher in the Rye. Keduanya sama-sama pemuda manja, anak orang kaya, yang membenci kemapanan dan kepalsuan masyarakat. Namun cara Dazai mengolah profil psikologis ini berbeda dengan Salinger. Apabila Salinger menghadirkan Holden sebagai sosok ekstrovert yang cerewet, Dazai justru sebaliknya. Holden terkesan seperti bocah nakal, sementara Yozo mengandung kesan seperti anak iblis. Oba Yozo menghadirkan dirinya sebagai pemuda riang, jago melucu dan banyak kawan, untuk menyembunyikan kebenciannya yang tak tertahankan pada semua orang, termasuk dirinya sendiri. Karena narasi Yozo ini dituturkan dalam sudut pandang orang pertama, kita bisa bayangkan potret segelap apa yang muncul (justru makin kelam dalam kontrasnya dengan deskripsi perilaku sehari-hari Yozo yang periang).

Kawan dekatnya, Horiki, adalah seorang mahasiswa yang hidup pas-pasan. Berkat Horiki, ia berkenalan dengan seluk-beluk dunia pelacuran, alkoholisme dan Marxisme. Paradoksnya, karena pintar melawak, Yozo dengan cepat jadi populer di antara anggota kelompok diskusi Marxis. Ia bahkan dipilih menjadi ketua gerakan mahasiswa Marxis Tokyo tengah—katakanlah, menjadi semacam anak LMND. Dengan demikian, ia adalah seorang individualis anti-sosial yang dipercaya banyak orang (tanpa mereka sadari betul, tentu saja) menjadi pimpinan organisasi mahasiswa komunis. Yozo mengisahkan bahwa banyak pemuda Tokyo dekade 1930-an menjadi Marxis bukan hanya karena Marxisme itu membawa pesan moral yang mulia (pembebasan kaum tertindas). Sebagian orang, seperti Horiki, malah tertarik dengan Marxisme hanya karena itu terkesan ‘modern’ dan karenanya dandy. Lain halnya dengan Yozo. Ia tertarik dengan Marxisme bukan karena aliran politik itu hendak mengemansipasikan masyarakat ataupun terkesan modern, melainkan karena Marxisme itu irasional. Dalam dunia yang hendak ditata secara rasional, semua yang dianggap irasional akan dipinggirkan. Dan Yozo merasa bisa berempati dengan itu semua—dengan mereka yang mubazir, yang tak punya tujuan, yang hidup sempoyongan tak tahu mesti berbuat apa—sebab ia sendiri merasa dirinya bagian dari mereka. Marxismenya, dengan demikian, adalah Marxisme yang ganjil, yang cenderung sinis dan ironis. Mungkin ini mirip dengan hipster-hipster yang mendengarkan dangdut atau menonton sinetron just for the sake of irony.

Demikianlah Yozo menjalani masa mudanya dengan kekosongan pekat dalam dadanya, yang ia selalu bungkus rapi dalam pembawaan penuh lawakan. Namun sesekali kekosongan itu membludak keluar. Dari suatu dorongan yang impulsif, ia memutuskan untuk bunuh-diri bersama dengan Tsuneko, pelacur yang akrab dengannya. Keduanya melemparkan diri dari atas tebing yang menghadap ke arah laut. Tsuneko mati, tapi Yozo selamat. Karena usaha bunuh-diri itu jadi skandal di koran-koran, ayahnya yang anggota parlemen gusar. Kiriman uang dihentikan dan Yozo pun pontang-panting. Ia bekerja sebagai kartunis di koran-koran lokal. (Ini adalah kali pertama dalam sejarah sastra Jepang, setidaknya sebatas yang saya ketahui, seorang juru gambar manga menjadi tokoh utama novel.) Ia pun menikah dengan Yoshiko, seorang gadis naif yang menaruh perhatian besar pada Yozo dan membantunya terbebas dari alkoholisme. Untuk sementara waktu, Yozo memperoleh kestabilan hidup seperti orang normal. Namun, suatu ketika, Yoshiko diperkosa oleh seorang om-om pedagang di ruang tamu rumahnya sendiri. Yozo hanya menatap mereka, lalu beranjak kembali ke kamarnya. Beberapa hari kemudian, ia menenggak puluhan obat tidur dan sekarat selama tiga hari. Tapi ia terus hidup. Hidupnya kembali morat-marit; jarang pulang ke rumah; minum-minum dan melacur sampai bengkak. Ia juga mulai keranjingan morfin. Suatu hari, saking sakawnya, Yozo sampai menawarkan diri untuk bersetubuh dengan nenek-nenek pemilik kios obat kecil yang tak berlisensi demi memperoleh morfin. Persetubuhan dengan manula ini jadi makin sering seiring dengan meningkatnya dosis morfin yang ia butuhkan. Sementara itu, di indekos yang disewakan oleh ayahnya, Yozo diperkosa beberapa kali oleh nenek-nenek yang bekerja sebagai pembantu rumah tangganya. Ia mulai memperlihatkan gejala TBC—penyakit universal para poètes maudits—dan beberapa kali batuk darah. Memoar itu berakhir saat ia berusia 27 tahun, dengan rambut ubanan yang mengesankan usia 40-an.

Suasana kacau-balau dan kecamuk batin yang ditekan dan ditutup-tutupi semacam itulah yang dipotret Dazai dengan begitu baik. Tengok saja bagian pembukaan novela ini. Di situ dikisahkan oleh sang penulis anonim kesan yang timbul dari beberapa lembar foto yang terselip dalam buku memoar yang baru saja ia dapat. Ia menggambarkan beberapa potret wajah Yozo itu sebagai potret sosok yang “sepenuhnya tak punya substansi”, sosok yang sama sekali tak memiliki “kepejalan hidup” seperti layaknya manusia, sosok dengan senyum yang begitu palsu, tak punya bobot apa-apa, seringan bulu merpati. Dengan kata lain, sesosok wajah yang “sama sekali tidak bisa diingat”, yang “tak punya individualitas”, tanpa keunikan pribadi, seperti halnya tembok, tungku perapian atau seperti ekspresi kosong seekor kuda. Profil psikologis yang dihadirkan Dazai dalam Ningen Shikkaku membekas dalam kesusastraan Jepang. Ia berhasil menggambarkan interioritas manusia yang begitu mentah, seperti jeritan yang tertahan atau tangisan yang lenyap ditelan hiruk pikuk orang-orang di jalan. Dalam urusan ini, Dazai lebih kuat bahkan dibandingkan Kawabata dan Mishima. Bandingkan saja No Longer Human dengan Thousand Cranes atau Snow Country-nya Kawabata, atau dengan After the Banquet-nya Mishima (tak perlu membandingkannya dengan Norwegian Wood-nya si Marzuki Harakiri, sudah tentu jauh).

Novel psikologis macam Ningen Shikkaku lazimnya dianggap sebagai jenis kesusastraan yang berlawanan dengan ‘realisme sosialis’. Sebabnya jelas, yang lebih banyak dibicarakan adalah konflik batin personal ketimbang masalah-masalah sosial-politik yang eksplisit. Namun saya pikir di situlah juga tantangan yang dihadirkan Dazai bagi kesusastraan Marxis. Osamu Dazai sendiri adalah anggota Partai Komunis Jepang dan sempat dipenjara karena pada masa itu (seperti halnya di Indonesia sekarang) menjadi anggota partai komunis adalah perbuatan kriminal. Tentu ia bukan Marxis sebagaimana lazimnya. Konon ketika didesak ayahnya (yang menjabat sebagai anggota parlemen) untuk keluar dari partai dengan ancaman tak akan lagi diberi uang saku, Dazai pun dengan enteng keluar dari partai komunis. Dalam dirinya mengalir perpaduan yang ganjil antara Komunisme dan Dekadentisme (ia adalah semacam “Ulises Lima” dalam gerakan Buraiha yang merayakan kesusastraan avant-garde, alkohol dan narkoba). Pergulatan batin yang ia tuliskan dalam Ningen Shikkaku hampir semuanya ia alami sendiri. Seperti Oba Yozo, ia pernah melompat dari atas tebing tepi laut di Kamakura bersama seorang pelacur kesayangannya, Shimeko Tanabe. Shimeko mati, Dazai tidak. Seperti Oba Yozo, ia pernah berusaha bunuh diri dengan menenggak puluhan obat tidur dan jatuh sekarat tanpa sungguh mati. Seperti Oba Yozo, ia mengidap TBC dan kecanduan morfin. Tapi, tak seperti Oba Yozo, ia pada akhirnya berhasil bunuh-diri. Dengan kata lain, melalui karyanya, Dazai menghadirkan kenyataan telanjang tentang hidupnya sendiri, dan secara tak langsung tentang generasinya sendiri—generasi pemuda Jepang yang hidup di bawah fasisme. Ningen Shikkaku adalah gambaran tak langsung tentang jiwa masyarakat Jepang di alam fasisme.

Dirumuskan secara lebih sistematis, tantangan Dazai bagi kesusastraan Marxis—atau bagi para sastrawan yang percaya pada Marxisme—adalah memberikan pemerian yang terperinci dan tak dipoles tentang kenyataan batin, menghadirkan potret personal dari tata ekonomi-politik tertentu, tanpa dengan gampangan mereduksi problem personal itu pada kategorisasi besar dan kesimpulan-kesimpulan umum. Dazai menantang para sastrawan Marxis untuk berani bermain dengan kunci-kunci minor yang tak lekas-lekas disimpulkan dalam sebuah skema emansipasi universal di mana, pada akhirnya, segala sesuatunya ditebus. Ia menantang kita untuk tak hanya piawai menghadirkan kenyataan-luar, tetapi juga kenyataan-dalam, kenyataan yang dialami secara halusinatoris dalam diri manusia—isi jeroan manusia—tanpa tendensi untuk memoralisasi atau mengemasnya dalam didaktika solutif yang cepat-saji. (Sebab kesusastraan, tidak seperti ilmu alam dan logika, walau bagaimanapun mesti bersetia pada ranah kesan-kesan indrawi dan perasaan.) Hanya dengan memperlonggar dan memperkaya pengertian “kenyataan” lah realisme sosialis bisa diselamatkan dari kritik yang menciutkannya pada karikatur buruh binaragawan dan petani-petani selibat. Dalam kerangka “realisme” yang diperkaya inilah, saya rasa, kita mesti mengartikan pernyataan Gabriel Garcia Marquez dalam wawancaranya di Paris Review. Ia katakan bahwa apa yang dilabelkan orang tentang karyanya (realisme magis) adalah, menurut dirinya sendiri, suatu eksperimen dalam realisme sosialis, atau usaha menghadirkan “realisme sosialis yang sesungguhnya”.***

 

21 Desember 2015


Li Ta-Chao dan Kelompok Belajar Marxis

$
0
0

MEMPELAJARI Marxisme di awal abad-21 sebenarnya memiliki banyak keuntungan. Dibanding generasi para Marxis pertama misalnya, kita punya hampir semua karya Marx-Engels yang bebas dan gratis diperoleh dari internet. Lenin-Yang-Agung saja belum mengenal Grundrisse sampai akhir hayatnya. Ditimbang dari generasi Aidit dan Njoto, kita sekarang punya terjemahan Das Kapital dan karya-karya Marx lain dalam bahasa Indonesia. Ini berarti jika dibanding generasi Marxis terdahulu, kita jauh lebih kaya secara tekstual untuk mempelajari Marxisme.

Namun, kekayaan kita berhenti sampai di situ. Perbedaannya dengan mudah teridentifikasi ketika pertanyaan tentang ruang belajar tatap muka tempat gagasan-gagasan yang telah diperoleh dari teks diartikulasikan dan dibincangkan bersama diajukan; ‘belajar Marxisme? sama siapa?—Ketemuannya di mana?’ Jangankan membayangkan memiliki pusat pendidikan, penelitian, dan pusat arsip mewah seperti Institut Marx-Engels pimpinan Riazanov di awal berdirinya Uni Soviet dulu. Akademi Ilmu Sosial Aliarcham yang pernah gagah berdiri saja tak lagi ada. Mempelajari Marxisme di Indonesia awal abad-21, akhirnya jadi pekerjaan yang menuntut banyak inisiatif. Apalagi kalau sudah menginsafi bahwa kampus-kampus atau acara-acara ‘diskusi’ tak banyak membantu. Harapan terakhir mungkin terletak pada organisasi Kiri. Tapi saya sendiri tak punya pengalaman belajar di sana, sehingga tak bisa bicara banyak.

Dalam tulisan ini karenanya saya mau berbagi satu kisah saja dari negeri China soal pengalaman belajar Marxisme. Kisahnya berasal agak jauh dari awal abad-20. Kebetulan tokohnya bukan dari jenis aktivis, tapi dari seorang pustakawan bernama Li Ta-Chao.[1]

China awal abad-20 sekilas mirip Indonesia sekarang. Ide-ide revolusioner Marxisme soal kritik atas kapitalisme dan kemungkinan pelampauannya, jamak dikenal dan diterima kaum terpelajar yang punya akses pengetahuan lebih. Penerimaan ini, bagaimanapun, sifatnya instingtif. Maksudnya, kesimpulan-kesimpulan khas Marxis soal emansipasi kelas pekerja diterima sebelum metode dan argumentasi yang menghantar kepada kesimpulan tersebut benar dimengerti. Hanya ada potongan teks Manifesto Komunis yang diterjemahkan eksil-eksil China di Jepang tahun 1910. Kondisi ini berlainan, misalnya, dari kaum revolusioner Eropa dan Rusia di era yang sama yang sudah mewarisi tradisi sosial-demokratik di negerinya dan umumnya menghabiskan waktu pendidikan bertahun-tahun sebelum berkomitmen pada ide emansipasi Marxisme.

Li Ta-Chao muda adalah anak zaman ini. Ia tumbuh di zaman revolusioner ketika Dinasti Qing yang sudah berkuasa lebih dari duaribu tahun akhirnya runtuh berganti Republik China. Zaman ketika cara produksi kapitalis berhasil mendobrak sekat isolasi ekonomi feodal. Masa yang sama ketika pemikiran Modern mulai diterima luas sebagai respon kritis pada nilai-nilai konfusianisme yang dianggap sebagai pondasi ideologis tatanan lama. Ragam jenis pemikiran Modern dari Demokrasi sampai Sosialisme, mulai sering didiskusikan oleh muda-mudi di kedai-kedai minuman. Li yang seorang anak petani desa dan dididik dengan nilai-nilai Konfusian di rumah, ikut aktif dalam suasana baru ini. Sejak sekolah menengah, ia aktif dalam jurnal seperti Masyarakat Kajian Politik dan Hukum Peiyang, yang rutin menerbitkan tulisan-tulisan tentang masalah sosio-politik rakyat. Gabungan dua tradisi berpikir yang ia terima di rumah dan di sekolah ini yang kemudian hari dikenang Li banyak membentuk jatidiri politiknya; daripada melihat sebagai sebuah jalur karir, Li cenderung memandang politik sebagai jalan pengabdian dan pelayanan atas rakyat yang mesti dijalani tanpa pamrih.

Politik juga yang membawa Li melanjutkan sekolah ke Jepang tahun 1913. Sebenarnya dibanding sebagai mahasiswa, Li lebih melihat dirinya sebagai seorang eksil. Di sana ia mengorganisir kelompok Masyarakat Kajian China (Shen-chou hsϋeh-hui), yang selain menjadi pusat berkumpulnya para intelektual eksil China di Jepang, juga merupakan pusat mobilisasi perlawanan terhadap kediktatoran Yϋan Shih-k’ai. Di Jepang pula Li mulai mengenal dan mempelajari teori ekonomi-politik marxis secara serius. Ia terutama terpengaruh tulisan-tulisan ekonom Marxis Kawakami Hajime yang amat populer, terutama tentang imperialisme yang, menurut Li, paling tepat membaca keadaan negerinya.

Bekal pengetahuan tentang Marxisme ini membawa Li kembali ke China tahun 1916 tanpa menyelesaikan kuliahnya. Ia diundang oleh kenalannya sewaktu kuliah di Jepang, Chen Tu-Hsiu (Chen Duxiu), untuk menjabat sebagai profesor ekonomika dan ilmu sejarah di Universitas Peking. Selain menjabat profesor, Li juga ditugaskan mengepalai perpustakaan Universitas. Di ruang kelas sebagai seorang pengajar Li dikenal bukan hanya sebagai seorang guru dan mentor politik. Ia juga sering jadi tempat berkeluh-kesah para muridnya, dari masalah pribadi sampai masalah keuangan. Saking ringan tangannya dalam soal yang terakhir ini, istri Li konon sampai perlu mendatangi petinggi kampus untuk mengeluh keadaan rumahtangganya yang kekurangan uang hanya karena Li terlalu sering memberi pinjaman bagi para muridnya.

Namun kegiatan Li yang paling menarik bukan terjadi dalam ruang-ruang kelas, tapi di perpustakaan yang ia kepalai. Di ruang-ruang perpustakaan inilah Li bersama beberapa mahasiswanya memulai Masyarakat Kajian Marxis (Ma-k’-e-shih chu-i yen-chiu-hui), sebuah kelompok belajar yang mengkhususkan diri mempelajari karya-karya Marx. Kelas-kelas kelompok ini biasa dimulai sore hari dalam selang-seling antara suasana sunyi ketika pembacaan teks dimulai, lalu riuh ketika perdebatan kecil yang mengiringi tafsir atas teks terjadi. Pertemuan pertama kelompok ini diawali sebuah presentasi Li tentang Das Kapital. Li berperan sebagi mentor, namun ia sengaja membatasi perannya dengan hanya duduk di pojok ruangan sambil sesekali memberi komentar. Layaknya para pemikir pencerahan, Li memang sengaja mendorong para muridnya untuk biasa berpikir mandiri. Ia jarang memberi monolog penuh jawaban dan lebih sering mengajukan pertanyaan yang mengajak muridnya berdialog. Kegiatan Li ini kadang mendapat tentangan dari beberapa petinggi Universitas. Apalagi setelah rangkaian artikelnya tentang dasar-dasar Marxisme dan Revolusi Bolshevik di majalah politik populer Pemuda Baru (Hsin ch’ing-nien) direspon baik pembaca luas. Beruntung, Li terus dibela oleh murid-muridnya yang sudah muak dengan para pengajar-birokrat dan ruang-ruang kelas formal yang hampa. Kelompok belajarnya bertahan, bahkan terus menarik murid-murid baru yang mendengarnya dari telinga ke telinga.

Salah seorang pegiat kelompok belajar Li yang paling rajin saat itu adalah pemuda bernama Mao Tse-Tung. Pemuda satu ini baru saja pindah dari kampungnya di Hunan dan memerlukan pekerjaan yang selain bisa menghidupi dirinya di kota besar, juga memberinya ruang untuk terus membaca dan menulis. Oleh guru sekolahnya, Yang Changji, Mao direkomendasikan melamar pekerjaan sebagai asisten pustakawan membantu Li. Kerja Mao adalah mencatat nama pengunjung perpustakaan yang membaca suratkabar dengan gaji 8$ sebulan. Sebagai pemuda resah, Mao mulanya lebih tertarik pada varian pemikiran sosialisme lain seperti anarkisme. Ia kebetulan berbagi ketertarikan yang sama dengan Li pada pemikiran Peter Kropotkin. Tapi kelas-kelas belajar Li, buku Perjuangan Kelas-nya Kautsky, dan terutama kemenangan Bolshevik di Rusia tahun 1917 diingat Mao sebagai hal-hal yang membawanya pada Marxisme. Sejak saat itu Mao bersama beberapa kawannya, seperti Teng Ching-hsia, Chang Kuo-t’ao, Lo Chang-lung, Ho Meng-hsiung, dan Liu Jen-ch’ing mulai menginisiasi kelompok-kelompok belajar baru di luar perpustakaan merah Li. Mao membangun kelompok pegiat literasi bernama Masyarakat Kajian Rakyat Baru (Hsin-min Hsueh-hui), yang selain mengorganisir kelompok belajar Marxis juga melakukan pengajaran, membuka tokobuku, serta perpustakaan keliling. Di luar kelompok Mao ini, ada kelompok Masyarakat Kesejahteraan Sosial, Korps Suara Edukasi Massa, Korps Komunis Muda, Korps Pemuda Sosialis, Kebangkitan Masyarakat, serta puluhan kelompok lain yang mulai terbentuk, berjejaring, dan saling berkomunikasi lewat tulisan-tulisan yang dimuat di majalah Pemuda Baru yang didirikan Chen Tu-Hsiu. Jaringan mereka merentang dari Wuhan, Changsa, Chinan, Hangchow, sampai kota-kota lain di China yang segera bertransformasi menjadi pusat pegiat-pegiat literasi komunis. Kelompok-kelompok ini juga yang kemudian jadi simpul dalam Gerakan Empat Mei yang kemudian berhasil menggulingkan para birokrat fasis Republik China.

Dari perian biografi Li Ta-Chao oleh sejarawan China seperti Meisner, setidaknya ada beberapa hal penting yang menarik dari inisiatif kelompok belajar yang dimulai Li Ta-Chao. Pertama, kelompok-kelompok belajar Li adalah ruang paling awal tempat para muda-mudi terpelajar di China membaca dan mempelajari secara langsung karya-karya Marx. Dengan kata lain, perpustakaan merah Li adalah situs lahirnya generasi pertama kaum Marxis di China yang akan banyak berperan besar dalam sejarah China modern. Kedua, kelompok belajar Li adalah katalis bagi menjamurnya puluhan kelompok belajar sejenis yang tumbuh di berbagai kota, basis sosial dari lahirnya Partai Komunis China kemudian. China masa itu, yang tidak memiliki tradisi sosial-demokratik sebelumnya, berhasil membangun Partai Komunis dengan bersandar pada jejaring informal kelompok belajar yang dimulai oleh Li dan diperluas oleh muridnya seperti Mao. Bagaimana ini mungkin? Besar kemungkinan karena telah tercipta semacam persatuan epistemik, sebuah “penyatuan metode berpikir tentang kenyataan”, sebuah pandangan-dunia yang sama yang memudahkan para murid Li bersepakat dalam pandangan ekonomi-politik. Ini juga yang dapat menjelaskan mengapa dalam Kongres Pertama di Shanghai tahun 1921, Li Ta-Chao bersama Chen Tu-Hsiu lah yang diangkat oleh para muridnya seperti sebagai duo pendiri Partai Komunis China.

Dari awal abad-21, kita kini bisa memotret kelompok belajar Marxis yang dimulai oleh Li Ta-Chao sebagai pupuk bagi bibit-bibit bentuk relasi sosial baru yang akan mekar di bawah Revolusi Kebudayaan Mao Tse-Tung. Di masa jauh sebelum China menguasai dunia, jauh ketika Partai Komunis dan perang Geriliya berkobar, ada seorang Li Ta-Chao sang pustakawan yang mengorganisir kelompok-kelompok belajar yang melahirkan pemimpin-pemimpin besar seperti Mao. Kalau kembali pada pertanyaan di muka soal ‘belajar Marxisme dari mana?’ saya pikir jalan Li Ta-Chao dan para muridnya—membangun kelompok belajar Marxis mandiri, layak dicoba.***

 

Yogyakarta, 3 Januari 2016

 

———–

[1]Materi tulisan ini sebagian besar berasal dari buku Maurice Meisner (1967), Li Ta-Chao and The Origins of Chinese Marxism. Harvard University Press.

Marxisme dalam Semesta Bolaño[1]

$
0
0

DI AWAL abad ke-20, kesusastraan avant-garde adalah hamparan stepa luas, langit yang seperti selalu biru muda dan terbuka, pulau-pulau terpencil yang memikat siapa saja yang punya nyali untuk melenyapkan diri dalam petualangan tak berujung-pangkal. Di penghujung abad ke-20, apalagi di dekade kedua abad ke-21, kesusastraan avant-garde jadi semacam papan-papan reklame, materi-materi workshop penulisan kreatif dan senda-gurau di kafe-kafe unyu. Barangsiapa hendak menulis tentang kesusastraan avant-garde abad ke-21 tentulah akan mendapati dirinya menulis sebuah kisah sedih. Demikian halnya Marxisme.

Gerakan sastra avant-garde memang seperti saudara kandung gerakan Marxis. Keduanya didorong oleh impuls yang serupa, semacam dorongan liar untuk menjadi kontemporer. Dorongan ini terekam dengan baik dalam lirik lagu Internasionale yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ki Hajar Dewantara: kesadaran untuk menggulung “adat dan faham tua” berkejaran dengan kesadaran bahwa “dunia telah berganti rupa”. Dalam lirik asli Internasionale karangan Eugène Pottier pun dapat kita kenali kekerabatan antara semangat avant-garde dan Marxisme. Lagu tersebut bersuara tentang kaum tertindas sebagai “kaum terkutuk” (les damnés de la terre). Imajinasi tentang subjek sebagai orang terkutuk semacam ini dapat pula kita temukan dalam riwayat kesusastraan avant-garde, khususnya tentang para “penyair terkutuk” (poète maudit) yang hidup terkatung-katung di jalanan, menyimpang dari adat-istiadat kesusastraan yang mapan, seringkali juga jauh dari kesuksesan (atau bahkan subsistensi) finansial. Dalam banyak hal, sastra avant-garde dan kemiskinan nyaris sinonim. Sastrawan avant-garde adalah “kaum yang lapar” (les forçats de la faim). Dorongan ke arah kebaruan dan kekinian juga membuat para sastrawan avant-garde kerapkali menjauhkan diri dari patokan-patokan agama. Mereka bertualang di dunia tanpa Tuhan dan Moralitas—mengembara lepas, bereksperimen dengan bahasa dan mencoba menciptakan tata dunia baru dalam kata-kata tanpa mengandalkan GPS teologis, ojek moralitas ataupun pemandu sorak adat-istiadat. Dengan kata lain, seperti dalam lirik Pottier: “Tiada juru selamat tertinggi / Tiada Tuhan, tiada kaisar, tiada hakim” (Il n’est pas de sauveurs suprêmes / Ni Dieu, ni César, ni tribun). Kesusastraan avant-garde, seperti halnya Marxisme, digerakkan oleh impuls untuk “menjebol dan membangun”.

Lebih dari semua itu, kesusastraan avant-garde dan gerakan Marxis mekar pada era yang kurang-lebih sama: akhir abad ke-19 sampai dengan akhir abad ke-20. Dalam rentang waktu itulah semua ini terjadi: Alfred Jarry menuliskan naskah drama dan novel eksperimentalnya, Friedrich Engels bergulat dengan naskah-naskah Marx yang penuh cakar ayam, petualangan Stephen Dedalus dan Leopold Bloom dimulai pada sebuah hari yang paling panjang dalam sejarah sastra, kapal Aurora melepaskan salvo pertamanya atas aba-aba Lenin dan meletuslah Revolusi Oktober, empat manifesto Stridentisme diterbitkan, Mao Tse-Tung bersama puluhan ribu komunis melakukan long march dari Jiangxi ke Shaanxi, Raymond Queneau mendirikan Oulipo sebagai subkomite dalam Collège de ‘Pataphysique, Jakarta Operation bergulir di Chile dan Allende dikudeta oleh semacam Suharto, kesusastraan avant-garde menyusut jadi sebuah tema dalam mata kuliah sejarah sastra, Uni Soviet runtuh. Literary dan political vanguardism tumbuh bersama dan sekarat bersama. Yang satu merupakan alegori dari yang lain. Kepeloporan partai dan kepeloporan sastra—keduanya kini menjadi bagian dari silabus sejarah dan gurauan singkat di tengah malam. Namun apa yang sebetulnya ikut lenyap dengan sekaratnya kedua aliran pemikiran itu? Sungguhkah tak ada yang bisa diselamatkan dari keduanya sebagai warisan bagi angkatan mendatang?

Jika saya kemudian bicara soal Roberto Bolaño, itu karena kekhasan sudut pandang yang ia gunakan dalam mengangkat tema Marxisme dan, terutama, sastra avant-garde. Alih-alih mengangkat tentang sastra avant-garde pada masa kejayaannya—katakanlah di era 1930-an—Bolaño memilih untuk menuturkannya dari sudut waktu yang lebih pelik, yakni antara akhir dekade 1970-an sampai dengan 1990-an. Ia berkisah tentang nasib kesusastraan avant-garde di tahun-tahun penghabisannya. Salah satu faktor yang membuat prosanya terasa mengejutkan, setidaknya buat saya, adalah karena kisah yang sebetulnya menyedihkan itu ia tuturkan dengan begitu riang, begitu polos, begitu sarat akan optimisme—dan dengan begitu memperparah kesedihan yang terpendam di balik semuanya. Ia bercerita tentang persaudaraan sastrawi di antara muda-mudi liar yang percaya pada kekuatan sastra untuk membikin rontok dunia dan mendesain ulang suatu dunia baru—kekuatan sastra untuk menjebol dan membangun—pada masa ketika hal-hal itu sudah dibuat jadi nyaris tak mungkin. Ia berkisah tentang les enfants terribles, anak-anak yang mengerikan, dari zamannya sendiri, yakni mereka yang percaya pada sosialisme, mendukung Allende, percaya pada kesusastraan Kiri eksperimental di luar pakem realisme sosialis, menyimpang dari pakem puisi lirik gaya Pablo Neruda dan Octavio Paz ataupun pakem prosa realisme magis yang sudah dipatenkan oleh Gabriel Garcia Marquez dan Isabel Allende, diasingkan oleh segenap literary establishment Amerika Latin, dikutuk untuk menjadi gelandangan sastra (sebelum akhirnya menjadi gelandangan betulan) dan mati sebagai “bukan siapa-siapa”, sebagai pengedar narkoba di perkampungan kumuh, sebagai buruh cuci-setrika di kota kecil, sebagai tukang palak di kota-kota asing, atau lenyap ditelan bumi.

Novel-novel Bolaño membentuk sebuah semesta rekaan bersama yang dihuni oleh tokoh-tokoh (atau setidaknya halusinasi) yang sama. Novela Amulet (1999) merupakan jalan paling mudah untuk memasuki semesta Bolaño (kecuali Anda mau segera mendaki ngarai-ngarai curam prosa-puisi Antwerp). Novela ini berkisah tentang Auxilio Lacouture, seorang perempuan paruh baya asal Uruguai yang menganggap dirinya sebagai “ibu puisi Mexico”. Dalam pendudukan Universitas Otonom Nasional Mexico (UNAM) oleh tentara pada 1968, ia sedang berada di toilet kampus itu dan karenanya mesti terus menyembunyikan diri di sana sampai 13 hari, ditemani buku puisi Pedro Garfias. Di sanalah ia mengenang pertemuan pertamanya dengan Arturo Belano, penyair muda Mexico asal Chile, ketika sang penyair masih culun dan belum akrab dengan miras. Auxilio lah yang mengajarinya wawasan kesusastraan dunia. Novela ini dituturkan dari sudut pandang pertama secara halusinatoris. Misalnya, Auxilio tengah berbicara tentang suatu peristiwa di tahun 1970-an lalu mendadak sudut pandangnya kembali ke hari-harinya di dalam toilet UNAM pada tahun 1968. Dalam narasi halusinatoris inilah sang “ibu puisi Mexico” itu memperoleh penglihatan tentang sekelompok anak muda—Arturo Belano, Ulises Lima dan kawan-kawannya—berbaris dengan gagah berani ke depan, tanpa mereka ketahui bahwa di depan sana hanya ada jurang gelap tanpa dasar. Mereka melangkah maju sambil menyanyikan lagu-lagu yang menebalkan semangat. Nyanyi-nyanyian itulah yang kemudian disebut sebagai “azimat” (amulet) oleh Auxilio—azimat masa muda, mantra petualangan menuju hari esok yang kosong, di mana gairah penciptaan gulung-menggulung dengan kekecewaan yang akan datang.

Suasana yang terbangun dalam novela itulah yang diwujudkan secara lebih kolosal dalam The Savage Detectives (1998). Novel setebal 600-an halaman ini bercerita tentang petualangan sastrawi tiga saudara seperguruan: Arturo Belano, Ulises Lima dan si anak baru, Juan Garcia Madero. Nama perguruan itu ialah “realisme jeroan” (visceral realism). Anggotanya sekitar belasan remaja yang gemar berbuat onar di acara-acara kesusastraan yang dibikin para ambtenaar sastra Amerika Latin era 1970-an. Yang paling radikal dari semua ababil itu ialah Belano dan Lima.

Novel itu terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, bertajuk Orang-Orang Mexico Tersesat di Mexico, memuat narasi dari sudut pandang Madero pada tahun 1975 tentang inisiasinya ke dalam kelompok realis jeroan. Ia bertutur tentang kenakalan-kenakalan Belano dan Lima, serta diskusi tentang akar ideologis realisme jeroan pada gerakan kebudayaan Stridentisme di Mexico era 1930-an, khususnya tentang sosok penyair perempuan misterius bernama Cesárea Tinarejo yang sajaknya berisi gambar-gambar aneh, semacam puisi konkrit. Bersama Belano dan Lima, Madero memutuskan untuk mencari tahu keberadaan sang penyair avant-garde dari era 1930-an itu, pada suatu tempat di padang gurun Sonora. Pada saat yang bersamaan, mereka mesti menyelamatkan Lupe, seorang pelacur remaja, dari kejaran germo dengan kemaluan sebesar pisau komando, Alberto. Maka beranjaklah mereka berempat, menunggangi sedan Impala pinjaman, terseok-seok menyusuri padang gurun Sonora.

Bagian kedua yang begitu panjang, bertajuk Detektif-Detektif Liar, diisi dengan narasi dari sekurang-kurangnya 40 narator dengan suara yang khas seperti laiknya novel-novel William Faulkner (bandingkan As I Lay Dying dan The Sound and The Fury). Apabila bagian pertama tadi bertutur dalam lingkup tahun 1975, bagian kedua ini merentang dari tahun 1976 sampai dengan 1996 dan memuat kesaksian orang-orang tentang kembalinya Belano dan Lima dari padang gurun Sonora, pengembaraan mereka di Eropa, kepulangan mereka ke Mexico dan lenyapnya mereka dari skena kesusastraan Amerika Latin. Tak ada kabar sama sekali tentang Madero. Dari kesaksian 40-an orang itulah kita dapat merangkai suatu gambaran yang patah-patah tentang kehidupan dua tokoh realisme jeroan; Belano dan Lima sendiri tak pernah angkat bicara sebagai narator. Keduanya menggelandang di berbagai negeri di Eropa, masing-masing sendirian. Belano jadi tukang palak di Jerman, Lima jadi bandar narkoba kecil-kecilan, Belano jadi wartawan di daerah konflik Afrika, Lima terdampar di Tel Aviv. Beberapa waktu setelah kepulangannya ke Mexico, Lima diikutkan ke dalam kontingen sastrawan Mexico yang diberangkatkan ke Nikaragua sebagai tanda dukungan atas revolusi Sandinista. Sebagai seorang realis jeroan, ia asing terhadap kubu sastrawan Kiri tradisional—apa yang disebut di novel sebagai “para penyair petani”. Namun, pada tahap ini, Lima tak lagi peduli pada apapun, ia menjalani hari-harinya seperti orang yang baru saja dilobotomi. Menjelang kepulangan ke Mexico, para sastrawan itu baru menyadari bahwa Ulises Lima tidak lagi bersama mereka. Lima lenyap di Nikaragua. Sementara itu, di Barcelona, Belano menantang seorang kritikus dalam sebuah duel pedang di tepi pantai yang berakhir remis.

Pada bagian ketiga, berjudul Padang Gurun Sonora, peran narator kembali ke Juan Garcia Madero, kali ini dalam lingkup tahun 1976. Di sana Madero berkisah tentang petualangannya bersama Belano, Lima dan Lupe mencari Cesárea Tinarejo di kota-kota kecil sekitar Sonora. Setelah sekitar sebulan berkeliling padang gurun, mereka menemukannya: seorang nenek tua berbadan gemuk yang sedang berjongkok mencuci baju bersama dua buruh cuci lainnya. Sehari kemudian Alberto, si germo, beserta seorang polisi upahannya menemukan mereka. Belano berhasil membenamkan pisau ke dada si germo, tetapi Cesárea menerima peluru yang ditujukan sang polisi ke Ulises Lima. Cesárea mati, sang polisi mati. Kemudian yang hidup menguburkan yang mati dan berpisah di pagi buta: Belano dan Lima kembali ke Mexico, Madero dan Lupe memutuskan untuk tinggal di gurun Sonora. Pada entri-entri terakhir catatan hariannya, Madero menuliskan beberapa nama kota dan menggambar beberapa kotak yang tak jelas artinya.

Struktur cerita The Savage Detectives dengan begitu halus membingkai hikayat murung tentang avant-gardisme—kemubaziran sekaligus keniscayaannya. Kita memperoleh potret yang begitu jelas tentang degenerasi semangat muda, dari api pemberontakan yang meluluh-lantakkan segala kemapanan ke remah-remah abu yang dilupakan orang. Para sastrawan avant-garde macam Belano dan Lima dikutuk untuk menjalani kembali nasib Cesárea Tinarejo: mereka menggelandang lepas di negeri-negeri asing, dikucilkan oleh para ambtenaar sastra, terseok-seok mencari puisi. Dalam kumpulan draft cerita yang tak sempat diterbitkan sampai ajal menjemput Bolaño pada 2003, kita dapat menemukan sepotong cerpen berjudul Death of Ulises (dalam kumcer The Secret of Evil). Di sana dikisahkan kepulangan kesekian Belano ke kota Mexico, setelah 20 puluh tahun melanglang buana dan mulai memperoleh ketenaran sebagai penulis. Ia mengunjungi kosan lama Ulises Lima. Betapa terkejutnya ia ketika tiga pemuda pengangguran kini mendiami kamar itu. Kata mereka, Lima menghabiskan waktunya dengan mabuk-mabukan sebelum akhirnya mati diterjang sedan Impala hitam. Kepada Belano, mereka mengaku sebagai “murid terakhir Ulises Lima”. Ketiganya mendirikan rock band bernama El Ojete de Morelos yang mereka klaim meneruskan semangat pemberontakan Ulises Lima. Dengan begitu, berarti tinggal Belano seorang diri sebagai penyintas terakhir kesusastraan avant-garde Mexico.

 

gedeRoberto Bolano. Kredit foto, http://www.archiviobolano.it

 

Peran Belano tak berhenti sampai di situ. Dalam proyek novel terakhir yang sudah nyaris selesai ketika Bolaño mati, Belano kembali berperan. Novel itu ialah 2666, sebuah karangan dengan tebal nyaris 900 halaman yang berkisah tentang lima hal yang hampir tak berhubungan satu sama lain. Novel itu dibuka dengan uraian tentang empat kritikus sastra dari berbagai negeri di Eropa sama-sama mengejar seorang novelis misterius bernama Benno von Archimboldi. Mereka memburu setiap rumor tentang penulis itu sampai mereka tiba di padang pasir Sonora, di sebuah kota kecil bernama Santa Teresa, dan pulang dengan tangan hampa. Bagian kedua novel bercerita tentang Amalfitano, seorang dosen filsafat yang sempat menemani para kritikus sastra mencari Archimboldi di Sonora. Amalfitano kerap sibuk dengan pikiran atau imajinasinya sendiri semenjak ditinggal pergi istrinya. Bagian ketiga berkisah tentang Oscar Fate, seorang wartawan kulit hitam yang bekerja pada sebuah surat kabar di New York. Suatu ketika ia diminta untuk meliput pertandingan tinju di Santa Teresa, Mexico. Selama di sana, Fate mendengar keresahan warga tentang pembunuhan berantai yang memakan korban banyak perempuan. Ia kemudian mewawancarai seorang narapidana yang dianggap pelaku pembunuhan, seorang asal Jerman bernama Klaus Haas. Bagian keempat bercerita tentang ratusan kasus pembunuhan terhadap perempuan di Santa Teresa yang dideskripsikan satu per satu secara terperinci sepanjang hampir 300 halaman. Sampai akhir bagian itu kita tidak mendapat kejelasan final tentang siapa pembunuh sebenarnya. Bagian terakhir mengisahkan riwayat hidup Hans Reiter, seorang pemuda desa di Jerman yang tumbuh pada era Perang Dunia, menyukai sastra dan mengadopsi nama pena Benno von Archimboldi. Kisah ini berakhir dengan permintaan Lotte, adik perempuan Reiter, untuk menjenguk dan menolong Klaus Haas, putra Lotte satu-satunya, yang meringkuk akibat tuduhan palsu di penjara Santa Teresa, Mexico. Lalu di mana peran Belano? Di lembar manuskrip yang tak diterbitkan, Bolaño memberikan petunjuk bahwa narator dari seluruh kisah ini adalah Arturo Belano dan pada lembar paling akhir manuskrip itu, Bolaño menambahkan keterangan “untuk akhir novel 2666”: “Begitulah, teman-teman. Aku telah melakukan semuanya, aku telah menghidupi semuanya. Kalau saja aku masih punya tenaga, aku akan menangis. Selamat tinggal semuanya, Arturo Belano.”

Novel 2666 tak pelak lagi merupakan suatu alegori raksasa tentang ketersesatan, tentang pikiran yang ling-lung, tentang kesusastraan avant-garde yang jadi nyaris identik dengan racauan tanpa tujuan. Novel itu seperti mau berkata: dalam suatu dunia yang kacau-balau, dengan kesusastraan yang menghamba pada uang dan pakem-pakem lirisisme gurih yang mudah dipasarkan dan gampang dikemas dalam musikalisasi-musikalisasi yang menguras air mata kelas menengah, dengan prospek politik emansipasi yang madesu dan amburadul, kesusastraan avant-garde hanya dimungkinkan sebagai halusinasi. Dalam situasi semacam itu, Bolaño seperti mau berkata, apa yang kita perlukan adalah keberanian untuk berhalusinasi. Realismenya adalah suatu realisme halusinatoris. Inilah yang ia nyatakan dalam manifesto yang ditulisnya ketika ia masih menjadi penyair bohemian, seperti halnya Arturo Belano, pada tahun 1976:

“Chirico mengatakan: pikiran mesti menjauh dari apapun yang disebut logika dan akal sehat, menjauh dari segala rintangan manusia demikian rupa sehingga hal-ihwal tampil dalam penampakan baru, seakan-akan dicerahi oleh sebuah konstelasi bintang yang menampak untuk pertama kalinya. Kaum infrarealis mengatakan: Kita akan membenamkan hidung kita ke dalam seluruh rintangan manusia, demikian rupa sehingga hal-ihwal mulai bergerak ke dalam diri kita—suatu visi halusinatoris tentang umat manusia.”

Dalam Manifesto Infrarealisme itu Bolaño tampil sebagai Belano, sebagai musuh tradisi kesusastraan yang telah mapan di Amerika Latin, yang direpresentasikan dalam sosok Octavio Paz dalam puisi liris dan Garcia Marquez dalam prosa realisme magis. Ia tampil sebagai pemuda pemarah yang menantang zamannya untuk maju lebih jauh lagi.

Sebagai seorang pemuda, Bolaño punya cukup nyali untuk menentang literary establishment yang bercokol kuat di belantika dunia persilatan sastra Amerika Latin. Dan ia sadar akan risikonya: dikucilkan, jauh dari pengakuan, apalagi dari kesuksesan finansial. Sehari-hari, ia bekerja serabutan sebagai pelayan restoran, tukang cuci piring, tukang sampah dan berbagai pekerjaan yang perlu ia jalankan untuk bisa terus hidup dan menulis puisi. Kebesaran namanya datang jauh belakangan, jauh terlambat, beberapa tahun sebelum ia meninggal, khususnya setelah ia menulis prosa. Salah satu puisinya dari tahun 1990, Karir Sastraku, merekam pergulatan itu:

Penolakan-penolakan dari Anagrama, Grijalbo, Planeta, tentu juga dari Alfaguara,
Mondadori. Kata tidak dari Muchnik, Seix Barral, Destino… Semua penerbit… Semua pembaca…
Semua manajer penjualan…
Di bawah jembatan, selagi hujan, kesempatan emas
untuk melihat diriku sendiri:
seperti seekor ular di Kutub Utara,
tetapi menulis.
Menulis puisi di negeri orang dungu.
Menulis dengan putraku di lututku.
Menulis sampai malam jatuh
dengan guntur seribu iblis.
Iblis-iblis yang akan membawaku ke neraka,
tetapi menulis.

Bolaño telah mengalami semuanya. Kemarahan-kemarahan Arturo Belano, kegamangan-kegamangan Ulises Lima, halusinasi-halusinasi Auxilio Lacouture, racauan-racauan ratusan tokoh yang ia ciptakan sepanjang karirnya sebagai prosais. Roberto Bolaño adalah semua itu.

Prosanya puitis, tapi tidak dalam pengertian liris—tak ada rima yang mudah dilagukan, tak ada ekspose yang mendayu-dayu, tak ada melodrama filosofis. Prosanya puitis dalam arti mengagetkan secara citrawi dan memiliki ritme yang membikin kepala berdenyut. Contohnya adalah monolog Urrutia Lacroix, seorang romo Jesuit yang menjadi tutor privat Pinochet mengenai Marxisme dalam novela By Night in Chile. Narasi sang romo yang acuh-tak acuh tentang proses kejatuhan Allende mencerminkan ideologi konservatif yang dihadirkan secara sama sekali tidak vulgar.

“Biarlah kehendak Tuhan terjadi, kataku. Aku akan membaca lagi para pengarang Yunani. Demi menghormati tradisi, aku memulai dengan Homer, kemudian beralih ke Thales dari Miletus, Xenophanes dari Colophon, Alcmaeon dari Croton, Zeno dari Elea (bagus sekali), kemudian seorang jenderal pro-Allende dibunuh dan Chile mengembalikan hubungan diplomatik dengan Kuba dan sensus nasional mencatat jumlah keseluruhan 8.884.746 orang Chile dan episode perdana opera sabun Hak untuk Dilahirkan disiarkan di televisi, dan aku membaca Tyrtaios dari Sparta dan Archilochos dari Paros dan Solon dari Athena dan Hipponax dari Ephesos dan Stesichoros dari Himnera dan Sappho dari Mytilene dan Anakreon dari Teos dan Pindar dari Thebes (satu di antara kesukaanku), dan pemerintah menasionalisasi tambang tembaga, kemudian industri nitrat dan baja, dan Pablo Neruda memenangkan Hadiah Nobel dan Diaz Casanueva memenangkan Hadiah Sastra Nasional dan Fidel Castro datang berkunjung dan banyak orang mengira ia akan tinggal selamanya di Chile dan Perez Zujovic sang mantan menteri Kristen-Demokrat dibunuh dan Lafourcade menerbitkan Burung Dara Putih dan aku memberinya resensi yang baik, kau bisa katakan aku menyambutnya dalam kata-kata berkilau, walaupun di hatiku aku tahu itu buku yang buruk, dan demonstrasi anti-Allende pertama diorganisasikan, dengan orang-orang menabuh panci dan wajan, dan aku membaca Aeschylus dan Sophocles dan Euripides, semua tragedi, dan Alkaios dari Mytilene dan Aesop dan Hesiod dan Herodotus (raksasa di antara para pengarang), dan di Chile terjadi kelangkaan dan inflasi dan pasar gelap dan antrian panjang atas makanan dan tanah milik Farewell disita dalam Reforma Lahan beserta banyak tanah yang lain dan Biro Urusan Perempuan didirkan dan Allende pergi ke Mexico dan mendatangi kantor PBB di New York dan ada serangan teroris dan aku membaca Thucydides, peperangan panjang Thucydides, sungai-sungai dan dataran, angin dan lembah-lembah yang melintasi halaman Thucydides yang digelapkan oleh waktu, dan orang-orang yang ia gambarkan, para pejuang dengan lengan mereka, dan warga sipil, memetik anggur, atau memandang cakrawala jauh dari lereng gunung, cakrawala di mana aku hanyalah satu dari jutaan makhluk yang masih akan lahir, cakrawala begitu jauh yang diintip Thucydides dan aku di sana gemetar tanpa bisa dibedakan, dan aku juga membaca ulang Demosthenes dan Menander dan Aristoteles dan Plato (yang tak bisa kita baca terlalu sering), dan ada pemogokan-pemogokan dan sang kolonel dari resimen tank mencoba melakukan kudeta, dan seorang kameramen merekam kematiannya sendiri dalam film, dan perwira angkatan laut Allende dibunuh dan terjadi kerusuhan, makian, orang-orang Chile mengeluarkan sumpah serapah, melukis pada tembok-tembok, lalu nyaris setengah juta orang berbaris mendukung Allende, kemudian terjadilah kudeta, pemberontakan militer, pemboman istana La Moneda dan ketika pemboman berhenti, sang presiden bunuh-diri dan itu mengakhiri segalanya. Aku duduk dalam diam, dengan jari di antara halaman untuk menandai tempatku, dan aku berpikir: akhirnya perdamaian.”

Membaca kalimat panjang seperti itu, pikiran kita seperti diseret untuk masuk ke dalam halusinasi apatis sang romo Jesuit dalam memandang kejatuhan Allende. Bolaño menghadirkan isi jeroan seorang reaksioner—lengkap dengan segenap prasangka dan snobisme sastrawinya—ke dalam pikiran pembaca. Prosanya kuat tanpa harus heroik seperti “para penyair petani” ataupun mendayu-dayu seperti para penyair lirik ataupun mendongeng seperti template yang banyak dipakai para prosais dari mazhab realisme magis.

Lantas bagaimana menempatkan Marxisme dalam semesta Bolaño? Seperti sudah disinggung sebelumnya, Marxisme kurang-lebih dapat dipertukarkan dengan kesusastraan avant-garde. Hal ini berlaku dalam semesta Bolaño. Ia tetaplah seorang sastrawan avant-garde biarpun ia menyajikan kisah tentang hal itu dalam nada yang murung dan tak jarang juga disertai olok-olok. Demikian pula dalam hal Marxisme. Ia tetap seorang pengarang yang percaya pada Marxisme. Dalam sebuah wawancaranya di jurnal Turia, ia mengaku selamanya berada di Kiri. Mula-mula ia merupakan seorang Trotskyis karena tidak suka melihat keseragaman yang penuh ketaatan khas “kaum rohaniawan komunis”. Kemudian ia meninggalkan Trotskyisme karena alasan yang sama, bahwa di kalangan Trotskyis juga ada kaul ketaatan dan keseragaman semacam itu. Makanya ia beralih jadi anarkis. Namun ia jengah juga dengan kaum anarkis karena alasan yang sama. “Setiap kali aku menyadari bahwa seluruh dunia bersepakat tentang sesuatu,” kata Bolaño, “setiap kali aku melihat seluruh dunia mengecam sesuatu secara bebarengan, bulu kudukku merinding dan ini membuatku menolaknya.” Itulah yang membuatnya ogah menjadi Stalinis, Trotskyis ataupun anarkis. Namun, ia mengaku, ia selalu berada di Kiri. Sebabnya sudah bisa kita duga. Menjadi Kiri di masa sekarang sama sulitnya seperti menjadi avant-garde. Justru karena itu nyaris mustahil maka itu layak diperjuangkan.

Dengan demikian, seluruh acuan tentang realisme jeroan dan beragam gerakan kesusastraan avant-garde dalam semesta Bolaño dapat dibaca juga sebagai acuan tentang Marxisme—lebih tepatnya, tentang betapa sulitnya menghadirkan Marxisme. Tapi kemustahilan punya pesonanya sendiri. Keterpesonaan pada yang mustahil, ketahanan untuk menolak tunduk pada pakem usang, keberanian untuk menghalusinasikan dan mewujudkan tatanan baru—inilah warisan berharga kesusastraan avant-garde dan Marxisme. Di situlah juga terletak pesona Bolaño bagi generasi kita. Ia adalah pemuda yang tumbuh dewasa di era pasca-Boom sastra Amerika Latin, ia menyaksikan ideal-ideal Kiri gugur di hadapan kerasnya mesin kapitalisme global, ia mengalami sendiri kebuntuan eksperimentasi avant-garde di hadapan rezim kesusastraan yang mapan. Namun ia terus menghumbalangkan diri ke depan, ke masa depan yang tak dikenal, seperti preman kampung yang sesumbar menantang bandar judi kelas kakap. Ia tak takut, sebab ia tahu, dalam genggamannya ada oncor yang menyala-nyala, yang tak akan padam walau diguyur air mata lirisisme, yang tak akan padam walau ditenggelamkan dalam rawa-rawa kapitalisme. Dan oncor itu adalah kegilaan kita.***

 

18 Januari 2016

————-

[1] Saya berterima kasih pada Yusi Avianto Pareanom yang telah memperkenalkan karya Roberto Bolaño pada saya beberapa bulan lalu.

Kebaruan Kapital

$
0
0

APABILA ada yang bertanya, apakah bukti atau dimana letak situs kelahiran Marxisme sebagai sains? Tampaknya tidak keliru kalau kita menunjuk Kapital, sebagai jawabnya. Sebuah adikarya dari sang pendiri, guru dari semua guru sebuah tradisi pemikiran dan politik yang bersetia dengan metode berpikir dan temuan-temuan revolusionernya; Karl Marx. Hanya dalam karya ini kita bisa menjumpai Marxisme sebagai sains utuh yang merentang mulai dari pertanyaan, metode, penyelidikan empiris, pembangunan kategori konseptual, perampatan hukum-hukum, dan terutama pendirian sistem logis yang merangkum keseluruhannya. Konon, hanya dalam detail-detail empirisnya saja kita—yang tidak sedang berupaya membangun sistem pemikiran baru—bisa menambal kekurangannya tanpa merevisi atau menjadikannya eklektik. Membaca Kapital, karena itu akan menjadi pengalaman yang sangat berbeda dari pengalaman kita sebelumnya membaca buku pengantar teori atau hasil penelitian tertentu yang sekarang banyak bermuara pada teori tingkat menengah yang cakupan penjelasannya lebih terbatas. Dalam Kapital yang akan kita temui bukan poin-poin kesimpulan soal apa sains marxis itu, melainkan runtutan penjelasan soal bagaimana sains itu dibangun.

Karya ini, seperti kita tahu belum begitu dikenal di Indonesia. Penerbitan terjemahannya hadir duabelas tahun silam di tahun 2004, terpisah satu setengah abad dari kelahiran pertamanya di Jerman. Ini adalah pencapaian hebat jika kita membandingkan dengan nasib karya-karya tokoh Ekonomi-Politik Klasik lain seperti Adam Smith atau David Ricardo yang hingga kini tak akan kita temui di pasar buku di Indonesia. Jadi, hal pertama yang harus diingat bagi para pembaca Kapital di Indonesia adalah kenyataan bahwa kita memiliki sebuah karya dengan sub-judul “Kritik atas Ekonomi-Politik”, tanpa Ekonomi-Politik yang justru dikritiknya. Kedua, karya ini sudah benar bila dikatakan sebagai ‘karya puncak’ Marx. Namun arti ‘karya puncak’ disini akan lebih jelas bila kita menyadari bahwa Kapital adalah satu-satunya karya yang lahir dari proyek seumur hidup Marx; Kritik atas Ekonomi-Politik. Ia adalah karya puncak, sekaligus satu-satunya karya utuh yang lahir dari proyek ini. Dengan pembacaan kronologis seperti ini, karya Marx yang lain mesti dilihat sebagai proses pematangan (dan penyisihan) gagasan-gagasan yang nantinya akan tertuang dalam Kapital dan bukan sebaliknya.

Sulit mencari keterangan kapan tepatnya karya ini pertamakalinya hadir di Indonesia. Kemungkinan pertama,Kapital bersama teks-teks Marxis lain kemungkinan besar telah hadir sejak awal abad-20 dalam bahasa Belanda. Kemungkinan kedua, ia hadir menjelang Agustus 1945, ketika banyak literatur Marxis dikirim lewat laut. Pengiriman ini menurut Sudharsono (2009) dilakukan dengan cara memasukkan teks-teks itu ke dalam kaleng-kaleng makanan dari Belanda lewat cara dititipkan ke pelaut-pelaut Indonesia yang banyak bekerja di kapal-kapal Belanda. Bagaimanapun, Marxisme yang dikenal di Indonesia zaman kemerdekaan adalah Marxisme yang belum begitu akrab dengan teori. Hal ini terlihat misalnya dari pernyataan Njoto di era itu;

“selama seperempat abad sedjak berdirinja, Partai kita sebagai Partai di salah satu negeri djadjahan, hampir-hampir tidak bisa beladjar teori sama sekali. Baik kaum kolonialis Belanda maupun kaum fasis Djepang mengadakan blokade dan embargo jang rapat terhadap setiap lektur progresif. Sampai-sampai bibliotik museum jang dikatakan ‘obyektif’ dan ‘ilmiah’ tidak boleh mempunjai buku-buku Marx dan Engels. Demikianlah buku-buku klasik ketika itu hanja bisa dihitung dengan djari tangan sebelah, sebagai hasil dari usaha-usaha penjelundupan…” (Sudharsono, dalam Chambert-Loir (peny.), 2009: 701)

Kekurangan ini dikemudian hari ditanggulangi dengan dibentuknya Komisi Penerjemah Partai dan Yayasan Pembaruan sekitar tahun 1950-51. Banyak karya Marx-Engels yang diterjemahkan oleh kedua badan ini, namun tidak ada keterangan yang bisa didapat tentang kapan persisnya penerjemahan Kapital dimulai. Hasil terjemahan Kapital jilid 1 yang belum rampung malah hadir pertamakali dalam bentuk stensilan di masa-masa pelarian setelah peristiwa’65. Terjemahan ini menurut Sudharsono, dikerjakan oleh eks-mahasiswa yang dulu berada di Eropa Timur (ibid: 712).

Di luar usaha penerjemahan, menarik mencatat peran Semaun, melalui beberapa karyanya di tahun 1960-an terutama yang berjudul Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin. Karya ini adalah buku yang diterbitkan setelah beliau diangkat sebagai Doktor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Ekonomi di Universitas Padjadjaran tahun 1961. Selama masa pembuangannya di Uni Soviet, Semaun memang pernah mengenyam pendidikan ilmu ekonomi Marxis di Universitas Taskent dan perguruan tinggi Vostokowedjenjia. Bekal ini yang menurut beliau menjadi dasar penulisan karyanya yang dilatarbelakangi oleh dua hal, alasan keilmuan dan alasan sosio-politis. Dalam bidang ilmu, Dr. Semaun merasa cukup prihatin dengan ketimpangan isi buku-buku ajar ilmu ekonomi zaman itu yang amat didominasi oleh buku-buku ‘ekonomi liberal’. Sedang alasan sosio-politiknya ialah upaya untuk menyumbang pemikiran teoretis yang bisa menjadi landasan Usdek Bung Karno.

Jika menengok paparan yang tersaji dalam Tenaga Manusia, kita akan segera menyadari bahwa buku ini adalah karya ilmiah pertama di Indonesia yang mendasarkan diri secara kritis terhadap Kapital Marx. Hal ini terlihat misal dari daftar isi buku berikut:

 

table

Di dalam Tenaga Manusia, Semaun berusaha mendekati persoalan Ekonomi Negara melalui kategori-kategori konseptual khas Marxis. Semaun juga sedikit membahas metode Marx yang disebutnya menggunakan metode induksi (hal. 124). Selain itu beliau juga mengajukan beberapa penemuan baru mulai dari rumusan mengenai perbedaan besar-kecilnya upah pada umumnya sampai teori asal-usul perlengkapan materiil dan persenjataan negara sebagai pecahan nilai-lebih. Satu hal yang sedikit mengganjal dalam penemuan Semaun ini adalah soal beliau yang tampak menolak teori nilai Marx ketika menyatakan bahwa “segala hal atau faktor yang pada jarak dan jangka waktu antara tempat-tempat membikin (memproduksi) dan tangan konsumen harus harus diperhitungkan dan dimasukkan dalam nilai, dan juga dalam nilai perlebihan yang merupakan sumber keuntungan itu” (hal. IV & 116). Sumbernya saya kira berasal dari pembahasan beliau sebelumnya mengenai nilai-lebih ketika menyatakan “Jadi, nilai perlebihan sebagai sumber keuntungan dapat diperoleh hanya sesudah barang yang diprodusir itu dipakai oleh konsumen, dan tidak melulu dari tempat membuatnya barang itu”. Sepertinya disini beliau mengelirukan antara sumber nilai komoditi—yang bersumber dari curahan kerja manusia—dengan realisasi nilai komoditi yang memang berada dalam aras sirkulasi dan konsumsi.

Kembali ke masalah penerjemahan, saya menemukan sebuah catatan kaki menarik dari artikel Fritjof Tichelman, “Marx and Indonesia: Preliminary notes” (1983). Disitu diungkapkan bahwa satu salinan terjemahan awal Kapital jilid 1, diterima oleh Institut Sejarah Sosial (Institute of Social History), Amsterdam tahun 1979 dengan label “non-resmi”. Dari wawancaranya dengan Dr. Go Goen Tjwan (April 1983), dikatakan bahwa terjemahan dilakukan di sebuah desa terpencil di Cina, menggunakan edisi Rusia dan Hungaria yang kemudian di cek lagi dengan edisi Jerman (MEW, 23). Dalam kopian itu para penerjemah juga menyertakan biografi pendek Marx yang ditulis Lenin dan meminta maaf atas kekurangtahuan mereka baik dalam aspek bahasa maupun aspek keilmiahan. Keterangan ini setidaknya menambkan sedikit soal aspek penerjemahan Kapital yang bisa kita tahu berasal dari penerjemah ulang dan final ketiga jilid buku Kapital, Oey Hay Djoen. Oey menuliskan “Kapital buku pertama ini diterjemahkan—oleh team penejemah ‘teman-teman di Eropa’—dari bahasa Hongaria dan Rusia. Kemudian dicocokkan dan disesuaikan dengan edisi bahasa Jerman…”. Tidak ada informasi soal waktu penerjemahan, namun dalam keterangannya Oey Hay Djoen mengatakan mencocokkan lagi terjemahan yang sudah ada dengan satu lagi edisi Kapital berbahasa Belanda serta dua edisi berbahasa Inggris (Foreign Languages Publishing, Moscow & Penguin Classics).

Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik, pada akhirnya benar-benar terbit dengan utuh di tahun 2004 berkat penerbit Hasta Mitra. Buku jilid kedua dan ketiga juga segera menyusul di tahun-tahun setelahnya. Pasca penerbitan ini, sejauh yang saya ketahui baru lahir tiga buku kajian mandiri yang sampai saat ini saya kira agak didiamkan dan kurang mendapat apresiasi yang layak, Kapitalisme: Perspektif sosio-historis, (Ultimus: 2010), Genealogi Kapital (Resistbook: 2012), dan Asal-usul Kekayaan (Resistbook: 2014) oleh Dede Mulyanto dan Martin Suryajaya. Ketiganya bila kita periksa adalah kelanjutan tradisi kajian mendalam atas Kapital yang telah dimulai sejak era Semaun. Bersama dengan Tenaga Manusia, karya-karya ini belaka yang bisa jadi ‘pengantar’ kita untuk berkenalan langsung dengan keluasan pemikiran Ekonomi-Politik Marx.

Demikian catatan terbatas soal Kapital dan penerimaannya di negeri ini. Seperti yang bisa dilihat, karya ini dapat dibilang produk kontemporer yang lahir di awal abad-21. Ia lahir tidak begitu jauh, barangkali hanya sama ‘kuno’-nya dengan masa ketika kita pertama kali mengenal Friendster.***

 

2 Februari 2016

Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris

$
0
0

ESTETIKA sebagai disiplin filsafat seni telah mengalami banyak perubahan sepanjang abad ke-20.[1] Sejak kemunculannya sebagai pendekatan berkat Alexander Baumgarten di abad ke-18 sampai dengan akhir abad ke-19, estetika cenderung dimaknai sebagai filsafat keindahan atau setidaknya filsafat seni yang berorientasi pada klarifikasi atas tetek-bengek keindahan. Masalah-masalah yang dibahas cenderung terbatas pada tiga hal ini:

  • Nilai estetis karya seni (utamanya keindahan dan kesubliman)
  • Pengalaman estetis (dalam menghasilkan dan mencerap keindahan)
  • Evaluasi estetis (dalam mengapresiasi karya seni secara ‘tanpa pamrih’)

Dari bentangan masalah itu, terlihat bahwa model estetika tradisional cenderung menempatkan problem pengalaman dan pengetahuan dalam bingkai keindahan dan kesubliman. Pengalaman estetis menjadi ihwal yang sangat pribadi sifatnya. Tak jarang disangkut-pautkan dengan ilham suci yang diterima seniman. Sementara pengetahuan estetis yang menjadi pangkal evaluasi karya seni menjadi sesuatu yang sangat elitis, yakni hanya dimiliki oleh sekelompok orang tertentu yang standar seleranya telah terberadabkan. Cara pandang semacam ini dibuat jadi bermasalah sejak abad ke-20, yakni ketika praktik seni rupa tak lagi berkutat pada urusan keindahan dan kesubliman belaka, tetapi kian merambah masuk ke masalah-masalah hubungan sosial dan intervensi ke lingkungan sekitar.[2]

Tulisan ini akan berusaha mencatat peralihan praktik seni rupa yang semakin meninggalkan pakem estetika tradisional. Hal-hal yang dimunculkan oleh karya seni kontemporer bukan lagi ihwal keindahan semata, melainkan perubahan sensibilitas dalam memandang kenyataan (misalnya dalam seni rupa konseptual sejak 1960-an) dan penciptaan hubungan sosial yang baru (misalnya dalam street art dan berbagai praktik seni rupa komunitas). Muaranya adalah perubahan sosial. Bersamaan dengan itu, bergeserlah juga pengertian seniman sebagai subjek seni maupun karya seni sebagai objek seni ke arah yang lebih partisipatoris. Oleh karena karya seni sesungguhnya tak lain daripada sejumput hubungan sosial, maka setiap orang yang bekerja melakukan perubahan hubungan sosial atau penciptaan hubungan sosial yang baru adalah seniman. Dengan begitu, praktik seni menjadi lebih bersifat partisipatoris. Pergeseran ini, tentu saja, menuntut suatu cara pandang estetik yang baru. Model estetika yang lebih sesuai dengan praktik seni rupa kontemporer inilah yang akan coba kita sarikan pada akhir makalah ini. Untuk itu, kita perlu membaca dengan lebih teliti perubahan praktik keseni-rupaan kontemporer dan mengamati dampaknya pada pergeseran pengertian tentang objek dan subjek seni. Kita akan mengawalinya dengan memeriksa dilema yang kerap muncul manakala praktik seni dikaitkan dengan masalah perubahan soial.

 

Dilema Seni Emansipatoris

Seni dan perubahan sosial adalah salah satu topik paling lawas yang pernah dibicarakan dalam sejarah teori-teori estetika. Tema itu bahkan sudah diperdebatkan pada zaman Yunani Klasik, sekitar 500 – 300 SM. Orang-orang pada masa itu lazimnya beranggapan bahwa karya seni yang baik adalah karya seni yang mengajarkan nilai-nilai moral yang baik. Jadi kesenian dipersepsi secara didaktis sebagai sarana untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik. Dalam kerangka didaktis semacam ini, keindahan tidak dapat dievaluasi terpisah dari kegunaan sosial. Suatu karya yang indah mesti juga berguna secara sosial. Di situ, perkara kesenian dan perkara perubahan sosial bukanlah dua hal yang terpisah. Dalam tradisi didaktisis semacam inilah sejarah seni di Eropa berkembang sampai dengan masa Renaisans di abad ke-16.

Konsensus ini dibongkar sejak masa Romantik (abad ke-18 dan 19). Pada masa itu, timbul sejumlah pendapat yang mau melepaskan aspek keindahan karya seni dari seluruh aspek kegunaannya. Karya seni yang baik adalah karya seni yang indah kalau dipersepsi secara ‘tanpa pamrih’ (disinterested). Pemikir estetika seperti Earl of Shaftesbury, Immanuel Kant, Théophile Gautier dan Oscar Wilde dipersatukan oleh kesamaan pendapatnya akan hal ini. Sejak saat itu muncullah dilema khas estetika Modern:

  • Tegangan antara keindahan dan kegunaan
  • Tegangan antara bentuk dan isi
  • Tegangan antara otonomi dan keberpihakan

Beragam pemikiran estetika yang bermuara pada tradisi Modernis akan menekankan keindahan, bentuk dan otonomi seni di atas segalanya. Inilah yang tercermin dalam estetika formalis dan gerakan estetisisme (yang bersemboyan ‘seni untuk seni’). Sementara pemikiran estetika yang berada di luar tradisi Modernis, yakni para penganut estetika realis, sisa-sisa penganut tradisi Klasik dan sebagian penganut estetika Marxis, akan lebih mementingkan kegunaan, isi dan keberpihakan seni. Demikianlah, sejak abad ke-18 tercipta suatu jurang antara seni dan perubahan sosial—sebagian mencoba menjembataninya, sebagian lain justru merayakannya.

Tradisi Modernis dalam estetika menekankan pentingnya evaluasi formal atas karya seni. Hal-hal yang tidak muncul dari ‘kekhasan wahana’ cabang seni terkait dianggap tak perlu disertakan dalam evaluasi estetis. Makna dan acuan mimetik, misalnya, dikesampingkan dari ranah evaluasi seni lukis (Clive Bell dan Clement Greenberg). Lirik dan moral, contoh lainnya, dikesampingkan dari ranah evaluasi seni musik (Eduard Hanslick). Ideologi, pesan dan konteks disingkirkan dari ranah evaluasi kesusastraan (René Wellek dan Austin Warren). Di berbagai cabang seni, aspek-aspek isi, kegunaan dan keberpihakan sang seniman dianggap sebagai elemen-elemen yang asing terhadap karya seni itu sendiri. Tradisi semacam ini biasanya dibarengi dengan ‘kultus keindahan’, yakni suatu keyakinan yang nyaris religius bahwa karya seni hanya berurusan dengan keindahan. Keyakinan inilah yang dirangkum dalam slogan estetisis abad ke-19: seni untuk seni. Tradisi itu juga lazimnya disertai dengan kultus terhadap kemurnian seni dan seniman: karya seni dipandang sebagai hasil kontemplasi murni (tanpa pamrih) dari seorang seniman jenius yang demikian sublim sampai tak bisa dikenali oleh masyarakat biasa. Di sini, ada pemisahan tegas antara ‘benda seni’ dan ‘benda non-seni’ serta antara ‘seniman’ dan ‘orang biasa’—dengan sendirinya juga, antara pengalaman estetis dan non-estetis serta pengetahuan estetis dan non-estetis.

Sebaliknya, tradisi yang kritis terhadap Modernisme biasanya berangkat dari pengertian Klasik bahwa kesenian sudah selalu jalin-jemalin dengan perkara moral, politik dan seluruh pengaruh ekonomis atau sosio-kultural. Keinsyafan akan keterjalinan itu memungkinkan para pemikir yang kritis terhadap estetika Modernis untuk mengapresiasi aspek kegunaan, isi dan keberpihakan seni. Di sini, kita dapat memilah dua varian yang sama-sama kritis terhadap Modernisme. Yang pertama bisa kita sebut tradisi ‘anti-Modernis’, yakni para estetikawan yang lebih mementingkan aspek ekstrinsik ketimbang intrinsik dalam evaluasi karya seni. Pemikir seperti Auguste Comte menciutkan peran seni menjadi sekadar sarana untuk mendorong kemajuan moral masyarakat. Sementara birokrat seperti Andrei Zhdanov mewajibkan setiap karya seni untuk menghadirkan penderitaan rakyat pekerja dalam kapitalisme dan kegembiraannya dalam sosialisme serta bertumpu pada mimesis atau penyalinan yang sempurna atas kenyataan indrawi sekaligus idealisasi terhadapnya.

Namun, di samping itu, ada varian kritis kedua yang bisa kita sebut tradisi ‘Modernisme dialektis’. Inilah yang mengemuka dalam pemikiran estetika Georg Lukacs, Walter Benjamin, Frederic Jameson dan Terry Eagleton. Pemikiran mereka dipersatukan oleh gagasan bahwa aspek intrinsik dan ekstrinsik dalam setiap karya seni sejatinya saling terhubung dan tak bisa dipisahkan. Bentuk artistik tertentu, seperti misalnya novel, merupakan konsekuensi dari perkembangan sejarah dan karenanya dikondisikan oleh isi artistik. Hubungan timbal-balik yang mempersatukan elemen intrinsik dan ekstrinsik karya seni inilah yang menyebabkan karya seni tetap bisa bermutu secara formal tetapi juga sekaligus mengandung daya emansipatoris.

Apa yang disampaikan sejauh ini masih terbatas pada perkara evaluasi karya seni, belum menyentuh aspek produksi karya seni. Tradisi ‘Modernisme dialektis’ yang berkembang hingga era 1960-an memang berhasil menyelesaikan dilema klasik dalam perkara evaluasi karya seni. Kendati begitu, tradisi ini belum berhasil menyuguhkan suatu pendekatan praktik artistik yang memungkinkan penciptaan karya seni yang dapat dipertanggung-jawabkan secara estetik sekaligus mampu memberikan sumbangan bagi perubahan sosial. Upaya penyelesaian dilema seni pada aras produksi itulah yang berupaya dijawab oleh para pemikir estetika sesudah era 1960-an. Kita dapat memeriksa perkembangan upaya tersebut dengan mengamati pergeseran-pergeseran yang terjadi pada dua ranah sekaligus: pergeseran arti ‘karya seni’ dan pergeseran arti ‘seniman’.

 

Pergeseran Objek Seni

Akibat kemajuan teknologi, bergeserlah makna ‘karya seni’. Dalam esai klasiknya di tahun 1936, Walter Benjamin telah mencermati gejala lenyapnya ‘aura’ karya seni akibat kemungkinan untuk direproduksi secara mekanis sampai tak hingga. Lenyapnya aura berarti lenyapnya singularitas atau keunikan benda seni. Kemajuan teknologi kamera dan percetakan telah menjalankan desakralisasi atas benda seni. Sebelum adanya teknologi reproduksi citrawi, setiap benda seni seakan mengandung kesan misterius dan suci seperti pusaka yang dikeramatkan dalam kepercayaan religius dikarenakan fakta bahwa benda itu cuma ada satu dan karenanya unik. Kemajuan teknologi reproduksi membuyarkan suasana keramat itu. Berlawanan dengan tafsiran yang lazimnya dijumpai di Indonesia, Benjamin tidak mengartikan hilangnya aura ini sebagai sesuatu yang buruk atau perlu disesali. Justru sebaliknya, ia merayakan itu karena dengan begitulah karya seni bisa diakses oleh masyarakat luas dan dari situ terjadi pensosialan atas pengalaman estetis.[3] Demistifikasi benda seni ini justru memperlihatkan bahwa karya seni bukanlah hasil ritual artistik seorang seniman sublim yang sepenuhnya lain dari kerja ‘masyarakat awam’. Dengan kemungkinannya untuk direproduksi secara mekanis, terbuktilah bahwa kerja seorang seniman bisa disetarakan dengan kerja orang biasa—keduanya sama-sama bertumpu pada keahlian (skill) yang bisa dipelajari dan sama sekali tak ada mistiknya.

Makna karya seni pun bergeser. Karya seni tak lain daripada pencurahan sejumlah tenaga-kerja yang ditubuhkan dalam objek tertentu. Karena itu, esensi karya seni tidak terletak dalam kesubliman benda seni itu sendiri, melainkan dalam sistem pembagian kerja yang memungkinkan produksi benda tersebut. Akar sosial dari definisi karya seni ini ditekankan lebih lanjut oleh para teoretisi seni institusional seperti Arthur Danto dan George Dickie. Mereka berpandangan bahwa sebuah benda menjadi karya seni karena diakui demikian oleh konsensus di kalangan publik seni. Jaringan kolega seniman, kurator, pemilik galeri, kritikus, kolektor—singkatnya semua anggota ‘dunia-seni’ (artworld)—secara bersamaan memberikan pengesahan pada status seni sebuah benda. Dengan begitu, jadi kelihatan bahwa karya seni bukan lagi terjangkar pada bendanya, melainkan pada hubungan sosial yang mensituasikan benda tersebut dan membaptis benda itu jadi karya seni. Inilah yang menjelaskan mengapa urinoir yang dipamerkan Marcel Duchamp atau boks Brillo Warhol menjadi karya seni.

Dari kesadaran yang berkembang bahwa karya seni tak lagi bisa diartikan sebagai benda tetapi lebih terutama sebagai himpunan relasi sosial di balik benda, kemudian muncullah dorongan untuk membaca hubungan antara seni dan perubahan sosial secara baru. Konsepsi lama yang mereduksi pengertian karya seni pada aspek bendawinya telah menghasilkan dilema antara bentuk dan isi, antara aspek intrinsik dan ekstrinsik. Dengan terjadinya pergeseran ke konsepsi baru yang mengartikan karya seni tak lebih dari hubungan sosial yang meliputi sebuah benda, tak ada lagi dikotomi yang bisa dibangun antara aspek intrinsik dan ekstrinsik. Oleh karena karya seni adalah soal konsensus sosial tentang suatu benda, maka aspek intrinsik benda tersebut (seluruh aspek formal-komposisionalnya) tidak lain daripada perwujudan aspek ekstrinsiknya (seluruh sistem pembagian kerja yang mendorong terbentuknya segala aspek formal-komposisional tersebut). Begitu disadari bahwa karya seni tak lebih daripada produk konsensus sosial, maka yang-intrinsik menjadi efek dari yang-ekstrinsik. Situasi ini mendorong terwujudnya hubungan yang baru antara seni dan perubahan sosial.

Dengan bertumpu pada kesadaran baru itu, kini karya seni tidak lagi dipertentangkan dengan perubahan sosial. Tak ada lagi pertentangan antara seni sebagai instrumen atau sarana perubahan sosial dan seni sebagai wilayah aktivitas yang otonom. Karena suatu benda hanya bisa menjadi karya seni sejauh ada hubungan sosial yang menempatkannya pada posisi tersebut, dan hubungan sosial tak pernah steril dari ideologi dan kepentingan ekonomi-politik, maka otonomi seni adalah isapan jempol. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, seni adalah bagian dari proses perubahan sosial. Di sini kriteria evaluasi atas mutu karya seni pun bergeser. Kita tak bisa lagi memakai kriteria evaluasi yang sepenuhnya formal untuk membaca karya seni, sebab begitu diakui bahwa karya seni adalah produk dari suatu proses pembentukan konsensus dalam masyarakat, maka persoalan keindahan estetik menjadi amat sekunder dan tergantung pada konsensus yang membentuk selera estetik dalam publik seni terkait. Kriteria utama yang kini lebih banyak mengedepan dalam evaluasi karya seni adalah sejauh mana karya tersebut dapat mendorong terciptanya hubungan-hubungan sosial yang baru, menciptakan kenyataan sosial baru. Karena karya seni pada hakikatnya adalah sebentuk hubungan sosial, maka kriteria evaluasi paling intrinsik terhadapnya adalah sejauh mana karya tersebut mampu menghadirkan pengalaman yang paling intens akan hubungan sosial.

Di Barat, inilah kecenderungan yang mengemuka pasca-seni konseptual di era 1960-an. Sementara di Indonesia, kecenderungan ini mulai nampak sesudah Gerakan Seni Rupa Baru era 1970-an. Banyak karya seni konseptual, semisal karya-karya Barbara Kruger, yang mendorong pemirsanya untuk memikirkan segala apa yang diketengahkan oleh karya dan karenanya mendorong pemirsa itu untuk menginterogasi kembali keyakinannya selama ini sehingga berdampak pada terbentuknya hubungan sosial yang baru. Street artist seperti Banksy bekerja dengan cara yang serupa: menghadirkan persepsi baru tentang kenyataan di tengah-tengah ruang publik sehingga persepsi ini akan mendorong timbulnya hubungan sosial baru. Demikian pula dengan ‘seni rupa komunitas’ yang dipraktikkan oleh Moelyono di Tulungagung dan Arief Yudi di kecamatan Jatiwangi, yakni mengubah kenyataan sosial di sekitar melalui praktik seni partisipatoris yang melibatkan warga (walaupun perbedaan pengertian ‘partisipasi’ dalam kedua praktik itu cukup signifikan, seperti akan kita perika nanti). Ditambah pula dengan praktik jurnalisme warga yang dikedepankan Forum Lenteng melalui akumassa. Bedanya adalah bila seni konseptual dan street art masih menempatkan pemirsa sebagai konsumen benda seni yang kemudian ditransformasi menjadi agen perubahan dalam masyarakat, seni rupa komunitas menempatkan pemirsa sejak mula sebagai pencipta ‘karya seni’, yakni kenyataan sosial yang baru. Terlepas dari perbedaan corak aktif atau pasif, partisipatoris atau non-partisipatoris, praktik-praktik kesenian baru pasca-1960-an umumnya semakin mengalami pergeseran dari yang mulanya kontemplatif menjadi transformatif.

 

martnFoto diambil dari https://arissetyawanrock.wordpress.com

 

Pergeseran Subjek Seni

Perubahan arti objek seni juga terjadi bebarengan dengan pergeseran pengertian tentang subjek seni atau ‘seniman’. Wawasan peninggalan zaman Romantik yang mengkultuskan seniman sebagai sosok pencipta yang sublim dan adiluhung sudah banyak ditinggalkan dalam praktik seni kontemporer. Pergeseran ini juga turut dimungkinkan oleh meningkatnya kesadaran tentang akar sosial dari setiap karya seni. Begitu karya seni dipandang sebagai produk pengakuan sosial dan karenanya dikondisikan oleh hubungan sosial tertentu, status seniman sebagai pencpta pun tergusur. Yang menciptakan karya seni bukanlah seniman, melainkan masyarakat atau publik seni secara bebarengan. Seniman hanya menghasilkan benda—tetapi publik kemudian membaptis benda itu jadi karya seni. Dengan begitu, tumbanglah konsepsi usang tentang seniman sebagai creator.

Dengan pergeseran itu, terjadilah suatu demokratisasi atas proses produksi artistik. Penciptaan karya seni bukan lagi hak privilese seniman, melainkan setiap anggota masyarakat. Dari sinilah timbul kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman. Kesadaran ini mengemuka dengan mencolok antara lain dalam estetika partisipatoris Augusto Boal berkenaan dengan seni teater. Melalui analisis sejarah seni, Boal memperlihatkan bahwa sistem teater yang bertopang pada representasi ketokohan dalam sosok protagonis individual bukanlah sesuatu yang alamiah atau ada sejak mula. Sistem tersebut baru diciptakan oleh Thespis di abad ke-6 SM. Sebelumnya lakon teater tidak dipentaskan oleh aktor-aktor individual, melainkan dinarasikan dan dinyanyikan secara kolektif oleh paduan suara (chorus). Apabila kita mundur lebih jauh lagi ke awal praktik seni teater, menurut Boal, kita tak akan menjumpai perbedaan antara pemain dan pemirsa sama sekali. Sistem yang memisahkan seniman teater dari pemirsa, baik dalam sistem choral maupun protagonis, hanya dimungkinkan oleh suatu pembagian kerja artistik antara seniman dan pemirsa. Kenyataannya, bagi Boal, praktik seni teater paling awal tidak mengenal pembagian kerja semacam itu. Apa yang disebut pertunjukan teater mulanya adalah pesta rakyat di mana semua orang menyanyi, bermain peran dan minum anggur bersama.[4] Dengan demikian, Boal menunjukkan bahwa pada hakikatnya setiap orang adalah seniman karena distingsi antara seniman dan pemirsa, antara sang ‘ahli seni’ dan ‘masyarakat awam’, bukanlah suatu keniscayaan historis.

Berdasarkan kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman, kemudian Boal mengembangkan praktik seni yang dikenal sebagai ‘teater forum’ di mana panggung menjadi tempat diskusi antara aktor dan pemirsa tentang cara-cara yang mesti ditempuh agar menghasilkan akhir cerita yang lebih baik. Di sana, tak ada distingsi tegas antara pemain teater dan pemirsa karena setiap pemirsa dapat menginterupsi pertunjukan dan memberikan saran ataupun terlibat memerankan tokoh dalam pertunjukan. Pada era 1990-an, Boal mempraktikkan pengembangan lanjutan dari praktik artistik semacam itu ke ranah pengambilan kebijakan politik—suatu ‘teater legislatif’. Apabila teater forum mengubah pemirsa menjadi aktor, teater legislatif mengubah warga negara menjadi legislator. Ketika ia menjabat sebagai walikota Rio de Janeiro, ia menyiapkan panggung teater khusus tempat setiap warga dapat mengajukan usulan undang-undang dengan jalan mementaskan suatu pertunjukan teatrikal yang mengedepankan usulan tersebut. Ada belasan undang-undang yang berhasil disahkan Boal dari praktik teater legislatif ini, misalnya ketentuan bahwa tanggal 7 Desember akan diperingati sebagai Hari Solidaritas Rakyat Timor Leste.

Apabila setiap orang adalah seniman, lalu apa fungsi yang tersisa bagi seniman profesional? Perannya adalah sebagai organizer. Jika setiap orang adalah pencipta karya seni, dan setiap karya seni tidak lain adalah hubungan sosial, maka tugas seniman profesional hanyalah menjadi penghubung yang mengkoordinasikan massa, sebagai para pencipta karya seni, sehingga menciptakan sehimpun hubungan sosial yang baru dan, dengan cara itu, kenyataan sosial yang baru. Gagasan semacam ini belakangan diteorikan dalam tajuk ‘estetika relasional’, antara lain oleh Nicolas Borriaud. Menurut paradigma estetika semacam ini, praktik kesenian sejatinya tertanam dalam ruang sosial sehari-hari dan tidak terkunci dalam ruang khusus seperti layaknya yang dibayangkan oleh para penganut teori seni institusional sekalipun—ruang elit yang tercipta dari hubungan antara seniman, kurator, pemilik galeri dan kolektor. Berbeda dari ruang khusus semacam itu, ruang sosial sehari-hari berarti ranah interaksi sosial yang lazim terjadi di masyarakat, bisa ruang-ruang urban seperti venue hipster, perkampungan kumuh kaum miskin kota, atau bisa juga ruang-ruang komunitas di tingkat desa. Di ranah umum seperti itulah praktik kesenian kontemporer yang partisipatoris terjadi.

Intervensi seniman dalam mentransformasi ruang sosial dan segenap hubungan sosial di dalamnya tidak diwujudkan berdasarkan suatu aspirasi avant-garde yang berpretensi menjadi agen perubahan dan lalu menggurui massa agar mengubah relasi sosialnya. Pendekatan khas pejabat dan pemuka agama itu tak berlaku dalam estetika relasional sebab estetika ini berangkat dari asumsi bahwa semua orang adalah agen perubahan sosial sehingga kapasitas transformasi sosial bukanlah privilese seorang seniman tercerahkan yang ‘turun ke bawah’, melainkan kapasitas kolektif massa itu sendiri. Sang seniman terlibat dalam proses musyawarah bersama, memberikan saran dan ikut bekerja bersama mewujudkan agenda-agenda kolektif masyarakat setempat. Produknya bisa apa saja, mulai dari yang masih berkaitan dengan ‘benda seni’ (misalnya pameran seni di tingkat kampung seperti yang dilakukan kolektif Hysteria di kampung Bustaman, Semarang, dalam event ‘Bok Cinta’) sampai dengan bentuk kegiatan yang tak ada sangkut pautnya dengan ‘benda seni’ (misalnya gerakan ekonomi mandiri yang resisten terhadap hubungan sosial-produksi kapitalis). Ada/tidaknya ‘benda seni’ tak lagi menjadi tujuan dari praktik kesenian relasional sebab praktik ini dilandasi oleh kemawasan bahwa seni pada dasarnya adalah hubungan sosial dan karenanya tak bisa direduksi pada benda. Kalaupun praktik seni nir-benda semacam itu mau dipamerkan dalam event seni konvensional (seperti pameran tunggal atau biennale), maka yang dipamerkan lebih sering adalah dokumentasi dari proses kolektif itu.

 

Menuju Estetika Partisipatoris

Dengan demikian, kita sudah saksikan bagaimana terobosan dalam produksi artistik yang dimunculkan dalam praktik-praktik seni semacam itu telah berhasil menjawab dilema klasik seputar seni emansipatoris. Karya seni tak lagi bisa dipandang sebagai ‘benda seni’, tetapi lebih terutama sebagai himpunan relasi sosial yang baru. Seniman tak lagi bisa dipandang sebagai ‘pencipta’, tetapi lebih cenderung sebagai seorang organisator yang bekerja di tengah masyarakat. Kedua jenis pergeseran ini, pada aras objek maupun subjek seni, memperlihatkan bagaimana dilema klasik antara bentuk dan isi, antara keindahan dan kegunaan, serta antara otonomi dan keberpihakan, diselesaikan dalam praktik. Dalam praktik produksi artistik semacam ini, bentuk merupakan konsekuensi logis dari isi. Bentuk artistik dipilih sejauh ada keperluan untuk menyatakan sesuatu dalam konteks sosio-historis yang spesifik. Pilihan mengapa kolektif seni di Jatiwangi memilih wahana tanah liat sebagai wahana utama proses artistiknya dijawab oleh latar sosio-historis khas Jatisura sebagai desa produsen genting dari tanah liat secara turun-temurun. Pilihan mengapa produk seni yang diwujudkan dari wahana tanah liat itu adalah alat musik juga dijawab oleh latar kebutuhan para pemuda desa yang gemar main musik. Jadi bentuk artistik tidak direka-reka berdasarkan inspirasi sublim sang seniman soliter, melainkan diwujudkan sebagai jawaban atas kebutuhan sosio-historis masyarakat setempat.

Berdasarkan pembacaan kita sejauh ini, dapat kita sarikan tiga aspek pergeseran penting dalam praktik seni rupa kontemporer:

  • Pergeseran pengertian subjek seni: Dari seniman sebagai creator ke seniman sebagai organizer
  • Pergeseran pengertian objek seni: Dari karya seni sebagai benda ke karya seni sebagai hubungan sosial
  • Pergeseran pendekatan estetika: Dari pilihan bentuk artistik berdasarkan pertimbangan formal-komposisional ke pilihan bentuk artistik sebagai perwujudan dari kebutuhan sosio-historis masyarakat

Ketiga tonggak dalam praktik seni rupa kontemporer ini menerbitkan kebutuhan untuk melakukan pemaknaan baru atas estetika, khususnya berkenaan dengan dimensi pengalaman dan pengetahuan.

Ketiga pergeseran ini memiliki benang merah pada perkara partisipasi. Dengan sendirinya, hal itu menuntut suatu estetika yang juga partisipatoris. Pada pangkalnya, pengertian soal pengalaman estetis dan pengetahuan estetis pun berubah. Oleh karena seniman tak lagi bekerja sebagai pencipta artifak seni, melainkan lebih terutama sebagai organizer hubungan sosial, maka pengalaman estetis pun terdemokratiskan—tak lagi terbatas pada pengalaman estetis dalam benak seniman dan segelintir pengunjung pameran, tetapi praktis menyentuh masyarakat luas yang ikut dilibatkan dalam praktik-praktik seni kontemporer. Demikian pula dengan pengetahuan estetis yang menjelma ke dalam evaluasi atas karya seni. Di situ tak lagi berlaku evaluasi teknis atas keindahan komposisional suatu karya, melainkan evaluasi atas pengaruhnya bagi kehidupan orang banyak. Pengetahuan estetis, dengan begitu, bukan lagi suatu ilmu khusus yang ditopang oleh postulat tentang ‘indra seni’ atau ‘standar selera yang tercerahkan’ (seperti terjadi pada praktik estetika sebelum abad ke-20), melainkan menjadi bagian dari wawasan umum masyarakat dalam mengupayakan perbaikan kenyataan sosial di sekelilingnya. Dimensi keterlibatan yang menandai pengetahuan dan pengalaman estetis inilah yang menjadi dasar dari estetika partisipatoris.

 

Penutup: Dilema Seni Partisipatoris

Namun dilema seni emansipatoris juga masih menghantui seni partisipatoris. Dikotomi antara bentuk dan isi rentan timbul kembali dalam rupa dikotomi antara aspek ‘seni’ dan aspek ‘partisipasi’ dari praktik seni partisipatoris. Tegangan ini bersumber dari dua arus yang secara tradisional berlawanan, yakni arus ‘seni murni’ dan arus ‘aktivisme sosial’. Masing-masing eksponen dari kedua arus tersebut sering mengajukan dua pertanyaan berikut:

  • ‘Mana seninya?’
  • ‘Mana partisipatorisnya?’

Dua pertanyaan inilah yang lazim diutarakan berkenaan dengan praktik seni partisipatoris kontemporer. Pertanyaan pertama lazim diajukan oleh para penghayat ‘seni murni’, sementara pertanyaan keduanya biasanya dilontarkan oleh para aktivis gerakan sosial.

Dari perspektif penghayat ‘seni murni’, apa yang dilakukan Moelyono dan Arief Yudi bukanlah praktik kesenian, melainkan praktik advokasi sosial yang lazim dijalankan oleh para aktivis LSM. Seni, dalam pandangan tradisional ini, selalu berhubungan dengan produksi benda seni dengan seluruh elemen formal-komposisionalnya yang dapat dievaluasi secara estetis. Namun pendapat semacam ini mudah disanggah-balik. Pendapat itu masih bertopang pada asumsi bahwa karya seni identik dengan benda seni dan bahwa seniman adalah seorang creator benda seni. Dan asumsi semacam itu sudah kadaluarsa akibat pergeseran praktik kesenian sesudah era 1960-an. Anggapan semacam itu lazimnya muncul dari para pegiat seni yang mengandalkan galeri komersial dan penjualan karya secara konvensional. Secara ekonomi-politik, pandangan semacam itu bisa bertahan karena semaraknya pasar seni rupa yang dengan sendirinya memprioritaskan benda seni—sebab hanya ‘benda seni’ lah yang bisa dikomodifikasi dengan cepat, bukan hubungan sosial.

Namun bukan berarti hubungan sosial kebal terhadap proses integrasi ke dalam rantai kapitalisme. Justru landasan konsolidasi kapital, yakni hubungan kerja-upahan, merupakan bentuk hubungan sosial paling awal yang diserap ke dalam tatanan kapitalis. Dalam konteks seni partisipatoris, masalahnya cuma waktu. Pasar butuh waktu untuk membiasakan diri dengan produk seni non-bendawi seperti hubungan sosial. Jika suatu saat nanti hubungan-hubungan sosial yang tercipta dari praktik seni partisipatoris dapat dikapitalisasi seperti halnya pasar seni rupa mainstream saat ini, barangkali saat itulah seni rupa partisipatoris baru akan diterima dalam kanon ‘seni murni’ dan diakui oleh para pemilik galeri komersial dan kolektor. Jadi, sebelum saat itu tiba, para seniman partisipatoris mesti memutar otak untuk menyiasati jebakan batman para tengkulak seni. Mereka mesti mencari celah untuk mengubah hubungan sosial-produksi kapitalis sehingga terhindar dari gempuran kapitalisme. Dengan kata lain, para seniman partisipatoris pada akhirnya akan semakin didorong untuk kritis terhadap kapitalisme bila mereka hendak bertahan sebagai seniman partisipatoris dan bukan peliharaan kolektor. Radikalisasi praktik seni partisipatoris cuma soal waktu.

Dari perspektif aktivis gerakan sosial dan politisi progresif yang tak sabaran, apa yang dilakukan para seniman partisipatoris kerap juga dipertanyakan: ‘Di mana dimensi partisipatorisnya?’ Terlepas dari asumsi soal kesetaraan estetis yang diandaikan dalam praktik-praktik seni partisipatoris dewasa ini, masih perlu diperiksa lagi bagaimana hal itu terwujud secara konkrit. Apabila kita menyelenggarakan suatu pekan kesenian di kampung dan mengundang para seniman kontemporer untuk memamerkan karyanya di sana, lantas sungguhkah ada peran partisipatoris warga setempat selain sebagai penonton yang duduk termangu memandangi citra visual yang demikian asing di matanya? Kalau cuma berpartisipasi sebagai penonton, rumput juga berpartisipasi. Kalau kita menyelenggarakan suatu pentas musik dengan membawakan lagu-lagu Frank Zappa atau Jaco Pastorius di sebuah desa yang hanya mengenal lagu dangdut dan pop Nusantara, lantas sungguhkah ada peran partisipatoris warga setempat selain sebagai partisipan ‘gegar budaya’? Kalau cuma bikin gegar budaya, FPI juga bikin gegar budaya. Kalau cuma bikin situasi awkward, Kodim juga bisa bikin situasi awkward. Contoh-contoh ekstrem ini hanya untuk menunjukkan bahwa tidak semua yang ‘turun ke bawah’ itu otomatis partisipatoris—masih harus diperiksa lagi strategi partisipasi yang ditawarkan.

Di balik praktik seni berbasis komunitas selalu ada risiko ‘gentrifikasi estetis’ atau ‘pengkelas-menengahan selera estetis’ seperti yang dicontohkan tadi. Risiko ini dengan sendirinya mengarah pada kecenderungan avant-gardisme yang sebetulnya mau ditampik oleh praktik seni partisipatoris. Seni avant-garde selalu punya pretensi menggurui, menjadi yang terdepan dan mencerahkan mereka yang secara kultural tertinggal di belakang. Karena itu, kalaupun seniman avant-garde punya kecenderungan untuk ‘turun ke bawah’, artikulasinya kerap kali mewujud dalam patronase kultural baru. Inilah yang membedakan praktik seni Moelyono dan Arief Yudi. Dalam praktik seni Moelyono, masih ada pretensi untuk memberikan ‘penyadaran’ pada massa (karenanya estetikanya disebut ‘seni rupa penyadaran’) dan oleh sebab itu masih terbaca jejak pengaruh avant-gardisme di sana. Lain halnya dengan Arief Yudi dan kolektif Jatiwangi Art Factory yang sudah bermain di wilayah post-avant-garde. Dalam hal ini, seniman partisipatoris mesti belajar lagi dari sejarah gerakan Proletkult di Rusia era 1920-an. Dengan seluruh pretensi avant-garde-nya, para seniman suprematis dan Modernis di Rusia turun ke desa dengan membawa lukisan-lukisan yang sepenuhnya asing bagi warga desa yang hanya mengenal ragam hias tradisional. Para seniman ini menampilkan karya-karya seni modern itu sebagai buah kebudayaan Rusia baru yang maju secara intelektual. Dengan itu, mereka berpretensi menciptakan kebudayaan komunis yang baru, yang terbebaskan dari segala pengaruh tradisi kolot dan paham tua. Gerakan Proletkult ini dikritik keras oleh Lenin yang beranggapan bahwa kebudayaan baru tak bisa dihasilkan dari inspirasi sublim segelintir seniman garda-depan, melainkan hanya bisa dirakit dan disuling dari praktik-praktik kultural masyarakat yang ada.[5] Kritik Lenin ini masih relevan untuk menangkal risiko ‘gentrifikasi estetis’ atau ‘avant-gardisme lupa daratan’ dalam praktik seni partisipatoris kontemporer.

Sebagai praktik seni yang memusatkan perhatiannya pada perubahan kenyataan dan hubungan sosial yang menopang kenyataan itu, pada akhirnya praktik seni partisipatoris mesti menjawab tantangan perubahan itu sendiri. Pada aras debat estetika, tantangan ini masih membelenggu estetika relasional—jenis estetika yang selama ini dipandang selaras dengan praktik-praktik seni partisipatoris. Nicholas Bourriaud, pencetus estetika semacam itu, masih berteori dalam jejak-jejak avant-gardisme. Karya seni diposisikan sebagai wahana untuk mengubah kenyataan melalui penyadaran atas hubungan sosial yang baru. Bedanya dengan para avant-gardiste awal abad ke-20 (semisal Proletkult) hanyalah bahwa dalam estetika relasional, tak ada kepastian tentang tujuan akhir dari hubungan sosial yang hendak dibentuk—tak ada tatanan utopis yang diidamkan. Inilah yang dijelaskan Bourriaud dengan meminjam konsep Louis Althusser, suatu ‘materialisme acak’ (random materialism) atau pandangan atas semesta material yang digerakkan oleh daya-daya non-teleologis (tanpa tujuan final). Kendati begitu, pendekatan semacam ini bukannya bebas dari kritik. Claire Bishop (Bishop 2004: 65) mempersoalkan, antara lain, hubungan baru yang diklaim Bourriaud tengah dimunculkan dalam karya-karya relasional: hubungan macam apa, hubungan untuk kepentingan siapa? Praktik-praktik seni yang diklaim relasional oleh Bourriaud, seperti karya-karya Rirkrit Tiravanija, tetap berkisar pada ruang pameran dan karenanya hanya melibatkan golongan elit pemirsa seni (art dealer, pemilik galeri, kritikus, dll.) yang mawas teori-teori seni kontemporer (Bishop 2004: 67). Apa yang ditekankan oleh estetika relasional Bourriaud adalah komunitas dan harmoninya. Namun di alam kapitalisme kontemporer ini mustahil rasanya ada komunitas yang tak mengandung antagonisme kelas, yang bebas dari hubungan kuasa yang timpang. Karena itu, tantangan terbesar seni partisipatoris kemudian adalah memikirkan dan menguji-cobakan praktik perubahan sosial yang betul-betul mendasar, bukan sekadar pulasan. Sehingga yang diubah bukan hubungan sosial pada aras permukaan saja (seperti pola interaksi di ruang makan dalam salah satu karya Tiravanija), melainkan hubungan sosial terdasar yang menstruktur hubungan-hubungan sosial lain dalam sebuah masyarakat. Hubungan sosial apakah itu, bagaimana cara mengubahnya dan dalam bentuk seperti apakah perubahan itu diartikulasikan—ketiganya adalah tantangan yang mesti dihadapi para seniman partisipatoris dewasa ini.***

 

Kepustakaan:

Bell, Clive. 1914. Art. New York: Frederick A. Stokes Company.

Benjamin, Walter. 2007. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. In Walter Benjamin. Illuminations, trans. Harry Zohn. New York: Schocken Books, 217-251.

Bishop, Claire. 2004. “Antagonism and Relational Aesthetics”. In OCTOBER 110, Fall 2004, 51–79.

Boal, Augusto. 2008. Theatre of the Oppressed, trans. Charles A. McBride, et.al. London: Pluto Press.

Bourriaud, Nicolas. 2002. Relational Aesthetics, trans. Simon Pleasance, et.al. Dijon: Les Presses du Réel.

Danto, Arthur C. 1964. “The Artworld”. In The Journal of Philosophy, Vol. 61, No. 19 (Oct. 15, 1964), 571-584.

Greenberg, Clement. 1999b. “Modernist Painting”. In In Charles Harrison and Paul Wood, ed. Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 754-760.

Lenin, V.I. 1999. “On Proletarian Culture”. In Charles Harrison and Paul Wood, ed. Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 383-384.

Lukacs, Georg. 1974. Soul and Form, trans. Anna Bostock. Cambridge, MA: The MIT Press.

—————-

[1] Tulisan ini pernah diterbitkan sebagai salah satu artikel dalam buku perayaan satu dekade Jatiwangi art Factory bertajuk Paririmbon Jatiwangi (Majalengka: Yayasan Daun Salambar), 2016.

[2] Kendati begitu, pengertian yang menyempitkan estetika menjadi urusan ‘filsafat keindahan’ masih dipakai dalam beberapa diktat estetika di tanah air, misalnya Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan (Kanisius, 1993), atau yang lebih baru, Matius Ali, Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan (Luxor, 2009).

[3] Pandangan yang nostalgis atas hilangnya aura benda seni, menurut Benjamin, justru dianut oleh para pendukung ide ‘seni untuk seni’: “The secular cult of beauty, developed during the Renaissance and prevailing for three centuries, clearly showed that ritualistic basis in its decline and the first deep crisis which befell it. With the advent of the first truly revolutionary means of reproduction, photography, simultaneously with the rise of socialism, art sensed the approaching crisis which has become evident a century later. At the time, art reacted with the doctrine of l’art pour l’art, that is, with a theology of art. This gave rise to what might be called a negative theology in the form of the idea of ‘pure’ art, which not only denied any social function of an but also any categorizing by subject matter.” (Benjamin 2007: 224)

[4] “‘Theatre’ was the people singing freely in the open air; the theatrical performance was created by and for the people, and could thus be called dithyrambic song. It was a celebration in which all could participate freely. Then came the aristocracy and established divisions: some persons will go to the stage and only they will be able to act; the rest will remain seated, receptive, passive – these will be the spectators, the masses, the people. And in order that the spectacle may efficiently reflect the dominant ideology, the aristocracy established another division: some actors will be protagonists (aristocrats) and the rest will be the chorus – symbolising, in one way or another, the mass. Aristotle’s coercive system of tragedy shows us the workings of this type of theatre.” (Boal 2008: xxiii)

[5]Marxism has won its historic significance as the ideology of the revolutionary proletariat because, far from rejecting the most valuable achievements of the bourgeois epoch, it has, on the contrary, assimilated and refashioned everything of value in the more than two thousand years of the development of human thought and culture. […] Adhering unswervingly to this stand of principle, the All-Russia Proletcult Congress rejects in the most resolute manner, as theoretically unsound and practically harmful, all attemts to invent on’s own particular brand of culture” (Lenin 1999: 383-384).

Marxisme dan Epikureanisme

$
0
0

DALAM perbincangan sehari-hari, Marxisme punya hubungan yang agak aneh dengan hedonisme. Di satu sisi, ada orang kebanyakan yang setidaknya pernah mendengar bahwa Marxisme didasarkan pada apa yang disebut filsafat ‘materialis’. Dalam pengertian ini, materialisme identik dengan sikap mementingkan ‘materi’, sebagai sikap yang tidak mengindahkan nilai-nilai luhur, sebagai sifat orang yang hanya mementingkan kesenangan diri sendiri. Di sisi lain, ada juga yang sedikit banyak sudah mengenal materialisme Marx. Yang ini biasanya yang paling cepat tanggap kalau dalam perbincangan sehari-hari mendapati ada yang menyematkan konotasi hedonis dalam istilah materialisme. Di antara kedua tanggapan ini, menurut saya, kita tidak bisa abai begitu saja terhadap hedonisme. Nyatanya Marx memang pernah punya hubungan dengan kaum hedonis. Tapi, ia bukan seorang hedonis dalam pengertian baik yang diterima atau ditolak dari ilustrasi di atas. Ia adalah seorang pemikir dari dunia Yunani Kuno, namanya Epikuros.

Dalam klasifikasi filsafat gaya hidup masa kini, Epikuros memang kerap dikelompokkan sebagai seorang pemikir hedonis. Sebagai pribadi, figurnya cukup disenangi oleh ideal-ideal urban kontemporer. Ia tidak menikah dan tidak punya anak, ia adalah seorang vegetarian, ia tidak berpolitik, dan sekolah filsafatnya berupa taman-taman dengan beberapa murid yang berdedikasi. Dalam sistem filsafatnya, hedonisme sebenarnya hanya salah satu turunan, persisnya cabang etika. Sebagai seorang naturalis, Epikuros percaya bahwa apa yang baik adalah apa yang selaras dengan alam. Kenikmatan, baginya, adalah keadaan ketika manusia bisa menyelaraskan diri dengan alam. Hal ini ditandai dengan tiadanya penderitaan; sebagian bersifat fisik (aponia) dan sebagian lagi bersifat mental, berupa kedamaian jiwa (ataraxia). Yang terakhir ini jauh lebih penting semenjak kenikmatan/penderitaan fisik hanya terkait apa yang hadir langsung, sementara kenikmatan (sekaligus penderitaan) mental/pikiran terkait dengan apa yang terjadi di masa lampau, masa kini, dan apa yang dibayangkan di masa depan. Ataraxia, lebih penting dari aponia. Pertanyaannya, bagaimana cara menyelaraskan diri dengan alam? Menurut Epikuros pertama-tama dengan menjadi masuk akal, alias menyesuaikan pikiran kita dengan apa yang Ada. Sebabnya setiap penderitaan berasal dari kekeliruan penilaian, atau tidak sesuainya pikiran dengan keadaan. Menjadi nikmat atau bahagia, adalah menjadi masuk akal atau sesuainya pikiran dengan ke-Ada-an. Ini sedikit yang dimaksud dengan etika hedonis Epikurean.

Ada dua teks utama yang bisa jadi rujukan ketika membicarakan hubungan Epikuros dan Marx. Teks pertama berasal dari disertasi Doktoral Marx yang ia rampungkan di usia duapuluh tiga tahun. Judulnya Perbedaan antara Filsafat Alam Demokritos dan Epikuros (1841). Demokritos, seperti Epikuros juga adalah seorang filsuf naturalis. Teks kedua, adalah catatan belajar Marx mengenai filsafat Epikuros yang merupakan bahan mentah disertasinya (1839). Dalam pengantar, Marx mengatakan bahwa disertasinya hanyalah karya pemanasan sebelum ia akan memeriksa secara detail kesalinghubungan antara filsafat Epikuros, kaum Stoik, dan kaum Skeptis dalam hubungannya dengan seluruh filsafat Yunani Kuno. Ini rencana yang tidak pernah Marx rampungkan. Namun terkait ketiga filsafat ini menarik juga melihat surat Marx ke Lassale jauh hari kemudian (tahun 1857), di mana ia mengatakan bahwa alasan utamanya untuk mempelajari ketiga filsafat ini adalah demi alasan politis, bukan filosofis [MECW, 40: 226]. Ini yang bisa menerangkan mengapa Marx mengatakan bahwa ketiga sistem filsafat ini jadi menarik karena bentuk subjektif dalam isi filsafatnya. Apa maksudnya?

Mari kita buka dengan Demokritos, “Dasar pertama dari alam semesta hanyalah atom dan ruang kosong, hal lain sekadar opini, sekadar penampakan” (MECW, 1: 79). Di antara dua jalan ini, baik filsafat alam Demokritos maupun Epikuros berangkat dari pengakuan atas atom dan kekosongan sebagai prinsip permulaan kajian alam semesta. Keduanya sama-sama mengakui atom sebagai substansi esa di permulaan alam semesta, sebelum adanya sifat indrawi (mahkluk hidup) dan nalar (manusia). Mudahnya, bayangkan saja sebuah titik di atas kertas kosong. Titik atau atom inilah yang jadi titik pijak bersama dalam menjelaskan alam semesta. Semua penjelasan harus bisa diturunkan dari titik pijak bersama ini. Itu kenapa filsafat keduanya bisa diperbandingkan. Sebutlah ini prinsip A. Titik pijak kedua yang merangkul filsafat mereka adalah pengakuan atom sebagai entitas yang tidak bisa di tangkap oleh pancaindra karena sebagai unsur terdasar semesta fisik, ia begitu kecil. Keduanya sepakat bahwa pancaindra kita amat terbatas dalam menjelaskan kenyataan secara utuh, dalam hal ini menangkap atom. Oleh sebab itu, pengetahuan kita atas atom, atas kenyataan, hanya bisa didapat lewat penalaran, lewat abstraksi, lewat konsep yang berangkat dari serapan indrawi. Sebut saja ini sebagai prinsip B. Lewat kedua prinsip ini coba kita lihat bagaimana keduanya menjelaskan atom sebagai dasar realitas.

 

hedon

 

Karena atom tidak dapat digapai pancaindra, maka pengetahuan dimulai dari manifestasinya, dari cara ia mengada, yakni sebagai gerak. Mengenai gerak, Demokritos dan Epikuros setidaknya sepakat tentang dua jenis gerak. Pertama adalah gerak jatuh dalam sebuah garis lurus; kedua gerak tolak menolak dari sejumlah atom. Bagaimana gerak ini dijelaskan? Agar sesuai dengan prinsip A, gerak mesti dijelaskan lewat kualitas inheren dari atom itu sendiri, dimana keduanya sepakat mengenai ukuran (magnitudo) dan bentuk (figura) sebagai kualitas inheren dari atom. Perbedaannya, kedua kualitas ini menurut Epikuros belum cukup menjelaskan gerak, ia hanyalah penjelasan lanjutan. Bentuk gerak pertama, gerak jatuh dalam sebuah garis lurus (atau atom sebagai ukuran) bermasalah dalam dua sebab. Sebab pertama, ia harus mengandaikan entitas atau atom lain yang menjadi penyebab gerak, berubahnya titik tunggal menjadi garis. Kedua, bila gerak ini tidak mengandaikan entitas atau atom lain, maka ia tidak memberi penjelasan soal gerak, atau malah mengubah atom itu sendiri menjadi garis. Menyamakan esensi dengan eksistensi. Jenis kedua, gerak tolak menolak dari sejumlah atom (atom sebagai bentuk), jelas-jelas mengandaikan adanya atom-atom lain dan dengan ini (lagi-lagi) menggagalkan prinsip keesaan atom. Dengan kata lain, kedua penjelasan ini melanggar prinsip A dan Demokritos belum mampu menjelaskan gerak dari berpegang hanya pada atom itu sendiri. Untuk menyelesaikan problem ini, Epikuros menambahkan satu lagi kualitas inheren dari atom, yakni bobot (pondus). Dengan adanya bobot, maka dalam prinsip yang ada hanya atom dan kekosongan, konsep gerak dapat dijelaskan dari atom itu sendiri. Apabila dua kualitas atom dan dua bentuk gerak yang diterima oleh Demokritos mengandaikan entitas lain, menjadikan gerak relatif atau tergantung pada entitas (i)material yang lain, maka kualitas bobot dalam atom dapat menjadi penjelas bagi gerak atau perkembangan dari dalam dirinya sendiri, sebagai negasi langsung atas ruang hampa. Adanya perkembangan atau gerak, jadi tidak relatif dengan entitas lain.

Dalam Demokritos, karena ia tidak mampu menjelaskan gerak dari dalam atom itu sendiri, dari kualitas yang inheren di dalamnya, maka sistem pengetahuannya mau tidak mau hanya dapat berhenti dalam penjelasan soal relasi antar fenomena-fenomena, soal ukuran-ukuran dan bentuk-bentuk. Kepada hal-hal ini sajalah seharusnya pengetahuan manusia diarahkan. Meski awalnya percaya bahwa atom adalah penyusun dasar realitas yang tidak dapat diketahui hanya bersandar pada cerapan indrawi, dan karena itu hanya ada dalam bentuk idea, ia kemudian menjadikan cerapan indrawi, yakni relasi antar fenomena, sebagai realitas itu sendiri. Menjadikan atom atau esensi realitas hanya sebagai konsep, sambil membuat cerapan indrawinya sendiri sebagai realitas; mereduksi kenyataan pada opini-nya tentang kenyataan. Ketika yang indrawi menjadi esensi realitas, maka cerapan indrawi seperti keniscayaan juga ditanamkan ke dalam realitas. Dengan ini, Demokritos menanam benih-benih empirisisme dan positivisme yang kini kita kenal sebagai paradigma dominan ilmu pengetahuan. Ini mengapa Cicero menyebutnya sebagai Manusia Sains. Tapi ini juga kenapa ia berkelana ke seluruh dunia mengumpulkan pengetahuan (belajar geometri ke Mesir, menemui Kaldean di Persia, berguru pada para Gymnosofia di India) dan kenapa kemudian di akhir hayat ia memutuskan membutakan matanya sendiri hanya agar cerapan indrawi tidak menghalangi ketajaman pemikirannya.

Di lain pihak, ada Epikuros kita yang berhasil menjelaskan gerak dari dalam atom itu sendiri. Ia tahu bahwa cerapan indrawi kita amat terbatas untuk mengetahui atom, dan karenanya seperti Demokritos, ia tahu bahwa kita hanya bisa mengetahui atom lewat pikiran, melalui abstraksi semata. Karena atom hanya ada dalam konsep, dan perkembangannya dijelaskan dari kualitas inherennya sendiri, maka ia tidak mengelirukan objek pengetahuan dengan objek riil, antara teori dan sejarah. Penjelasan yang utuh atas atom, atas kenyataan, tetap ia kunci sebagai objek pengetahuan dalam bentuk teoretis. Pengetahuan yang utuh atas realitas tertentu, karena itu, bagi Epikuros, hanya mungkin dalam bentuk sistem teoretis murni. Ia tidak mengubah pengetahuan atas kenyataan menjadi kenyataan itu sendiri. Ia tidak tertarik mencari hubungan kausalitas antar fenomena, dengan kesejarahan objek, karena dalam objek riil yang ada baginya hanya peluang. Dalam perbandingan yang sama dengan Demokritos, barangkali ini sebab kenapa Epikuros sang filsuf tak pernah jauh-jauh mencari pengetahuan. Sampai akhir hayatnya hanya sesekali ia keluar dari sekolah Taman untuk mengunjungi kawan lamanya. Ia, menurut Marx, tercukupi dan terberkati oleh filsafat. Menjelang ajal, daripada membutakan mata sendiri hanya agar tak terganggu cerapan indrawi seperti Demokritos, Epikuros memilih berendam di air hangat, meminta segelas anggur terbaik, lalu berpesan pada murid-muridnya untuk terus percaya pada kekuatan akalbudi menggapai dasar kenyataan.

Kalau diperhatikan, ada hipotesis kecil yang mau saya ajukan dari hubungan Marx dengan Epikuros ini, terutama bagi pembaca yang sedang mengkaji Kapital Marx. Dalam pengantarnya, Marx menulis begini “titik pijak saya—yang melaluinya perkembangan formasi ekonomi masyarakat dilihat sebagai suatu proses sejarah alam…”, kalimat ini menurut saya jelas menyatakan bahwa Marx sejak disertasinya sampai karya puncaknya masih bergerak dalam tradisi yang sama, tradisi naturalisme (lihat juga Manuskrip Paris). Kedua, yang paling penting, pembacaan Marx atas sistem teoretis Epikuros dan Demokritos terlihat sebangun dengan perbedaan antara metode analisis Marx dengan Ekonomi-Politik Klasik (dan dengan demikian tradisi sains modern dan karenanya Demokritos), dengan pembedaan antara metode penyelidikan dan metode penyajian dalam Kapital, antara struktur dan peristiwa, antara teori dan sejarah.***

 

01 Maret 2016

Estetika Orde Baru

$
0
0

Gambar diambil dari https://lh5.googleusercontent.com

 

KETIKA Suharto turun dari tampuk kekuasaan, medan seni lukis di Indonesia sama sekali lain bila dibandingkan dengan sewaktu ia merebut kekuasaan dari tangan Sukarno.[1] Ketika ia meraih kekuasaan, estetika Modernis sedang gencar-gencarnya dimajukan oleh para pelukis Indonesia, lukisan abstrak menjamur di mana-mana dan seni lukis menjadi ujung tombak seni rupa. Ketika ia mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan, estetika pascamodern sedang ramai-ramainya diwacanakan, beragam praktik kesenirupaan sudah berkembang jauh melampaui bidang dua-dimensi dan seni lukis bukan lagi paradigma utama seni rupa. Apa yang terjadi dengan medan seni lukis kita selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru? Apa yang menjelaskan pergeseran dari modernisme ke pascamodernisme dalam estetika seni rupa kita? Apa sebetulnya akar dari estetika seni lukis yang berkembang pada masa Orde Baru? Namun sebelum masuk ke pertanyaan-pertanyaan besar itu, kita akan periksa terlebih dulu suatu pertanyaan awal yang bisa memantik diskusi kita: bentuk estetika seni lukis macam apakah yang selaras dengan kepentingan politik kebudayaan Orde Baru?

 

Mentari Pirous, Lukisan Abstrak dan Politik Kebudayaan Orde Baru

Bambang Bujono pernah menulis bahwa pembubaran Lekra merupakan peristiwa seni rupa Indonesia terpenting sejak dibentuknya Persagi (Bujono 2004: 67). Dengan tumbangnya Lekra, berakhir pulalah suatu tradisi estetika seni lukis yang punya wawasan dan sikap sosial-politik yang eksplisit. Naiknya Orde Baru berarti juga menyeruaknya keperluan akan suatu rezim estetika yang memuja segala yang serba-samar dan ambigu dalam perkara politik. Keperluan inilah yang dengan leluasa diisi oleh seni lukis abstrak. Tentu saja, tradisi seni lukis abstrak, atau setidaknya abstraksionis, di Indonesia tidak dimulai pada masa Orde Baru. Lukisan semacam itu sudah bisa kita temukan jejaknya sejak transformasi dari lukisan-lukisan kubistis ke abstraksionis yang bercorak geometris pada dekade 1950-an dalam karya para pelukis seperti But Muchtar, Mochtar Apin dan Srihadi Sudarsono. Namun dalam lukisan abstraksionis, masih bisa kita temukan sosok, ilusi representasi dan karenanya subject matter. Tidak demikian halnya dengan lukisan abstrak, seperti misalnya “Komposisi Abu-Abu” (1966) karya G. Sidharta atau “Komposisi Dengan Emas” (1967) karya Sadali. Permulaan masa Orde Baru ditandai dengan merebaknya lukisan abstrak semacam itu.

Bersamaan dengan tumbuh-kembangnya gaya lukis abstrak di Indonesia pada dekade 1960-an dan 1970-an berkembanglah suatu tradisi estetik yang disebut Sanento Yuliman sebagai lirisisme. Dalam lukisan-lukisan abstrak terkandung corak lirik sejauh setiap lukisan semacam itu, tulis Sanento, “merupakan bidang ekspresif, tempat seorang pelukis seakan-akan ‘memproyeksikan’ emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya. Bidang lukisan itu dipandang sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri” (Yuliman 1976: 40). Dalam hal ini, kita perlu membedakan antara lirisisme yang dikandung dalam lukisan abstrak seperti diidentifikasi Sanento dengan ekspresionisme yang muncul dalam generasi awal pelukis Indonesia modern seperti Sudjojono dan Hendra Gunawan. Landasan pemikiran dari gaya ekspresionis, seperti diungkap Sudjojono, adalah bahwa lukisan merupakan ungkapan jiwa—suatu ‘jiwa yang kelihatan’ (jiwa ketok). Walau begitu, ‘jiwa’ ini baru akan kelihatan setelah dihadapkan dengan kenyataan. ‘Jiwa’ dalam pengertian perupa ekspresionis itu berarti kacamata untuk membaca kenyataan. Itulah sebabnya Sudjojono masih bisa berbicara soal kebenaran dalam seni lukis.[2] Lain halnya dengan para pelukis abstrak era 1960/1970-an. Dalam tradisi lirik, apa yang penting bukanlah kebenaran intuisi akan kenyataan, melainkan kekayaan semesta imajinasi yang cukup-diri.

Maka itu, tak aneh bila Sudjojono menentang keras gaya lukis abstrak. Dalam salah satu tulisannya di majalah terbitan ISI pada tahun 1985, Sudjojono menyebut para pelukis abstrak itu “munafik”, “sok suci” dan “makin tidak dimengerti, makin bangga”.[3] Pasalnya, lirisisme abstrak itu seperti hendak menghapuskan tautan antara seni dan kenyataan, membuat lukisan menjadi bidang dua-dimensi yang sepenuhnya swa-acu dan cukup-diri tanpa punya kaitan dengan kenyataan di luarnya. Lukisan abstrak dipandangnya seperti pelarian-diri ke alam privat sembari mengabaikan konteks yang membidani lahirnya seni lukis Indonesia modern, yakni pengalaman penjajahan dan perjuangan melawan penjajahan. Konteks inilah yang mencirikan dengan sangat kuat seni lukis ekspresionis generasi Sudjojono dan membedakannya dari kecenderungan individualis dalam seni lukis abstrak di awal Orde Baru. Di sini kerangka estetik dari seni lukis abstrak lah yang sejatinya dipertanyakan Sudjojono—kerangka estetika seni Modernis.

Modernisme seni adalah sebuah paham estetik yang muncul sejak akhir abad ke-19 lalu mendapatkan ungkapan paripurnanya dalam tulisan-tulisan archmodernist Clement Greenberg di era 1950/1960-an. Pada tahun 1914, Clive Bell telah memberikan landasan teoretis bagi Modernisme seni dalam rupa estetika formalis. Baginya, titik berangkat dari segenap kenyataan artistik adalah perasaan dan emosi. Lukisan mengandung dalam dirinya sendiri bentuk-bentuk bermakna (significant forms), yakni seluruh elemen formal dalam karya yang menimbulkan sensasi emosional, terlepas dari muatan naratif atau acuan representasional yang mungkin dibawanya (Bell 1914: 8). Karya seni yang baik, dalam kerangka estetika formalis ini, adalah karya seni yang murni mengandalkan bentuk bermaknanya ketimbang berhutang pada asosiasi linguistik atau citrawi untuk membangkitkan perasaan keindahan. Itulah sebabnya ia menganggap ‘lukisan deskriptif’ (segala bentuk lukisan representasional) sebagai karya seni yang buruk karena segala aspek formal yang terkandung di dalamnya “tidak digunakan sebagai objek emosi, melainkan sebagai sarana mendorong emosi atau mengantarkan informasi” (Bell 1914: 16).

Kerangka estetika formalis inilah yang membidani lahirnya Modernisme dalam seni rupa. Perupa akhir abad ke-19, James Whistler, adalah salah seorang pelopor gerakan seni tersebut. Karyanya, Nocturne in Black and Gold (1874), atau karyanya yang lebih terkenal, Arrangement in Grey and Black No. 1 (1871), merupakan pembuktian kerangka estetika formalis dalam praktik. Segala acuan representasional dalam karya tersebut, jika pun masih ada, sepenuhnya dikebawahkan pada pertimbangan formal-komposisional. Melalui kerangka estetika macam inilah Greenberg membangun teorinya tentang ‘lukisan Modernis’. Greenberg menegaskan kembali pengertian ‘modern’ dengan acuan pada Kant dan tradisi filsafat modern, yakni kemawasan akan metode. Seni lukis Modernis, karenanya, dibangun di atas kesadaran akan pentingnya menyadari kekhasan metode lukis itu sendiri—pemaparan visual dalam batas-batas bidang dua-dimensi.[4] Bidang kanvas yang dua-dimensional merupakan syarat kemungkinan sekaligus batas-batas seni lukis. Karena itu, tidak seharusnya pelukis menciptakan ilusi kedalaman—melalui teknik lukis perspektif—sebab ini berarti mengkhianati wahana dua-dimensional itu sendiri. Inilah yang dimaksudnya sebagai ‘kekhasan wahana’ (medium specificity) (Greenberg 1999b: 558). Pengkhianatan atas kekhasan wahana akan menurunkan derajat karya seni menjadi kitsch atau produk desain yang bercorak populer dan diproduksi massal tanpa nilai estetis yang mendalam. Oleh sebab itu, apa yang boleh diandalkan para pelukis Modernis hanyalah seluruh aspek formal dari karya. Dalam Modernisme seni, singkatnya, kita menemukan kedaulatan sintaksis atas semantik yang dibangun melalui peminggiran sistematis atas segala yang dianggap kitsch sebagai ‘bukan seni’.

Kecenderungan estetika formalis ini dapat dilihat juga dari cara publik seni merespon karya seni, misalnya dalam tinjauan-tinjauan pameran lukisan yang dibuat di awal Orde Baru. Popo Iskandar, misalnya, menulis dalam harian milik ABRI, Berita Yudha, tentang pameran Sadali bulan Desember 1972: “Hilangnya unsur-unsur penuturan pada seninya Sadali, maka karya-karyanya adalah pertemuan antara renungan-renungan kontemplatif si seniman dan materi yang minta dibentuk di atas kanvas, jadinya ia merupakan sensasi untuk mata yang menggugahkan rasa keindahan badani. Lukisan-lukisan Sadali adalah cantik, dekoratif menyenangkan, yang dengan sendirinya membutuhkan proses pengerjaan yang meminta konsentrasi, kesabaran dan kecermatan” (Iskandar 2012: 203). Kesadaran estetika formalis dalam menjauhi kitsch juga nampak dalam pandangan Fadjar Sidik. Ketika karya-karya abstraknya dianggap ‘lari dari kenyataan’ oleh para perupa Lekra, Fadjar Sidik membalas dengan mempertanyakan secara retoris mengapa para perupa Lekra itu tak menggambar sepeda motor, mesin cuci atau kulkas saja sekalian—toh itu ‘kenyataan’ yang ada sekarang. Fadjar Sidik kemudian menjawab sendiri pertanyaan retorisnya dengan menyatakan kalau mereka melukis hal-hal itu, hasilnya tentu bukanlah karya seni, melainkan reklame semata (Bujono 2004: 72). Pengandaian estetika semacam ini kentara sekali bedanya dengan estetika Lekra seperti tercermin dalam laporan Misbach Tamrin atas pameran seni grafis Lekra di Harian Rakyat tanggal 23 Agustus 1964—laporan yang memberikan perhatian pada aspek sosial-politik dari praktik seni grafis sejajar dengan perhatian pada aspek formal-komposisionalnya, serta tidak mengecilkan arti wahana seni yang bisa diproduksi massal sebagai kitsch yang rendahan.[5]

Kemenangan Orde Baru atas Orde Lama berarti juga kemenangan estetika formalis di atas paham-paham estetik lain yang tumbuh-kembang di era Sukarno (realisme, didaktisisme, fungsionalisme/instrumentalisme). Estetika formalis yang tercermin dalam lukisan-lukisan abstrak dengan cepat dipandang selaras dengan proyek politik kebudayaan Orde Baru. Dalam bukunya bertajuk Strategi Kebudayaan (1978), Ali Moertopo menulis bahwa “Orde Baru adalah sebuah proses kebudayaan” (Jones 2005: 136). Konsolidasi kapitalisme-negara pada zaman Orde Baru mensyaratkan konsolidasi kebudayaan nasional. Dalam konteks kesenian, Orde Baru membutuhkan jenis praktik kesenian yang tidak kritis pada pemerintah, yang tak mencampuri urusan politik—singkatnya, yang sibuk sendiri. Estetika formalis dengan pas menjawab kebutuhan ini. Dengan membuat seniman sibuk pada ‘kekhasan wahana’-nya sendiri, formalisme memberikan legitimasi bagi pengasingan dunia seni dari semesta politik. Sementara sanggar-sanggar seni komunis dan nasionalis dibubarkan, para senimannya dibekuk dan dikebumikan-paksa, para seniman di luar kubu itu diarahkan untuk asyik sendiri dengan mistik keindahan formal. Dari sini, dengan cepat lukisan abstrak menjadi identik dengan ‘lukisan pembangunan’, yakni jenis lukisan yang begitu selarasnya dengan semangat pembangunan Orde Baru sampai-sampai segera memenuhi rumah-rumah kelas menengah atas serta kantor-kantor pemerintah dan perusahaan swasta (Siregar 2010: 105-106).

Keterkaitan erat antara pengarus-utamaan gaya lukis abstrak dengan estetika formalisnya dan politik kebudayaan kapitalisme bukanlah fenomena khas Indonesia saja. Di Amerika Serikat, gaya lukis dan estetika semacam itu telah lama disinyalir punya hubungan kerabat dengan CIA. Dalam jurnal Artforum tahun 1974, Eva Cockcroft menulis artikel klasik bertajuk Abstract Expressionism, Weapon of the Cold War. Di sana Cockcroft menunjukkan intervensi CIA antara lain melalui lembaga seni berpengaruh, Museum of Modern Art (MoMA). Jabatan ketua dewan pembinanya pernah diisi oleh John Hay Whitney, seorang mantan pejabat OSS (lembaga pendahulu CIA). Lewat lembaga inilah serangkaian pameran lukisan abstrak-ekspresionis digelar di Eropa di akhir dekade 1950-an yang karya-karyanya, dalam ungkapan sejarawan seni Alfred H. Barr, Jr. dalam katalog pameran tersebut, merupakan “demonstrasi simbolik atas kebebasan dalam dunia di mana kata ‘kebebasan’ berasosiasi dengan sikap politik tertentu” (Cockcroft 1985: 131).[6] Lewat lembaga inilah perupa abstrak-ekspresionis Jackson Pollock memperoleh nama besarnya dan digadang-gadang sebagai seniman terbesar Amerika Serikat pada dekade 1950-an. “Dengan memberikan penekanan individualis dan menghapuskan pokok ihwal yang kentara dari lukisan mereka,” tulis Cockcroft (1985: 132), “para perupa abstrak-ekspresionis berhasil menciptakan gerakan seni baru yang penting. Mereka juga punya sumbangan, entah mereka sadari atau tidak, bagi suatu fenomena politik, yakni perceraian antara seni dan politik yang dengan sempurna melayani kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dingin.”

Dengan begitu, terlihat bagaimana laju kapitalisme dibuat demikian rupa sehingga bergerak sebaris dengan seni lukis abstrak. Dalam konteks Indonesia, keseayunan gerak itu terjadi antara kapitalisme-negara yang dikonsolidasikan Orde Baru dan hegemoni gaya lukis abstrak. Yang tertusuk pada Suharto, berdarah pada para pelukis Modernis Indonesia. Karena itulah mereka dengan riang merespon kejatuhan PKI dan Sukarno. Lukisan Mentari Setelah September 1965 (1968) karya A.D. Pirous adalah salah satu contohnya.

 

pirous
Mentari Setelah September 1965
cat minyak di atas kanvas, 135 x 150 cm, 1968
(direproduksi dari George 2005: 165)

 

Karya ini pertama kali dipamerkan dalam sebuah pameran bersama Pirous dan Gregorius Sidharta bertajuk “Dharta-Pirous: Pameran Patung dan Lukisan Dua dari Sebelas Seniman Bandung” pada tahun 1968 di Balai Budaya, Jakarta. Lukisan ini terhitung langka sebab Pirous sendiri nyaris tak pernah mengangkat topik politik sebagai pokok ihwal karya-karyanya. Lukisan ini adalah satu dari dua lukisan Pirous yang mengangkat persoalan politik (yang satunya adalah lukisan ekspresionis Menggapai Kebebasan yang diselesaikan tahun 1966).

Astri Wright, seorang profesor sejarah seni Asia Tenggara di Cornell University, menafsirkan karya tersebut sebagai ekspresi perlawanan atas Orde Baru. Bentuk-bentuk dalam lukisan tersebut ia tafsirkan sebagai sosok laki-laki dan perempuan yang menunduk lesu ke arah tanah, sembari membelakangi matahari yang bersinar terik (George 2005: 25). Namun tafsiran semacam ini telah dibuktikan kekeliruannya oleh antropolog Kenneth George berdasarkan wawancara dengan Pirous pada tahun 1994. Tak dapat dilupakan adalah fakta bahwa Pirous termasuk penanda-tangan Manifes Kebudayaan. Ia jengah dengan iklim kesenian tahun-tahun 1960-an yang diwarnai dengan kritik para seniman Lekra terhadap gaya lukis abstrak sebagai “gaya neokolonial dan imperialis”. Kendati para anggota Lekra memang banyak bicara soal ‘realisme sosialis’, tetapi faktanya Lekra tidak pernah mengharuskan pengadopsian gaya realisme sosialis sebagai satu-satunya gaya berkesenian yang sah. Trubus dan Gambiranom, misalnya, adalah dua pelukis Lekra yang karyanya lebih banyak berupa lukisan potret ketimbang penggambaran adegan-adegan kerakyatan (Bujono 2004: 73). Apa yang ditekankan Lekra hanyalah agar para seniman memiliki simpati pada perjuangan rakyat. Inilah yang tak bisa diterima Pirous. Ketika ditanya tentang keengganannya terlibat dalam partai politik, ia menyatakan: “Tidak, saya ingin menjadi seorang pelukis, titik. Saya tidak ingin terlibat dalam politik. […] Saya tidak ingin melukis tema-tema tersebut” (George 2005: 34). Tak heran, ketika Sukarno jatuh, PKI dan Lekra diuber sampai ke liang kubur, dan Suharto naik ke tampuk kekuasaan, ada kelegaan yang merebak dalam diri Pirous.

Dalam konteks inilah lukisan Mentari Setelah September 1965 diciptakan. Pirous menceritakan dalam wawancaranya dengan George arti penting lukisan tersebut ketika dipamerkan pada tahun 1968. Ia katakan bahwa lukisan tersebut adalah “primadona”, “titik pusat dari seluruh lukisan-lukisan saya”, “fokus saya” dan “[sebuah ekspresi dari] rasa terima kasih tentang situasi saat itu” (George 2005: 39). Ia kisahkan juga pada George bahwa seumur hidup ia tak akan mau menjual karya itu. Pasalnya, Mentari Setelah September 1965 merupakan, tutur Pirous, “sebuah peringatan tentang yang ini, matahari ini yang membawa kebahagiaan setelah ’65 … Adalah hal yang spiritual, yang bisa Anda sebut, sekadar catatan spiritual saya, rekaman spiritual saya” (George 2005: 40-41). Dengan demikian, karya tersebut tak bisa ditafsirkan sebagai simbol pesimisme atau kejengahan terhadap Orde Baru, melainkan justru ekspresi rasa syukur pada Suharto. Dalam wawancaranya, Pirous bahkan merasa sangat terganggu dengan tafsiran yang menyatakan karya tersebut sebagai ungkapan ketidaksukaan pada Orde Baru.[7] Simpatinya pada Orde Baru tidak ambigu. Ketika ditanya pada tahun 1994 apakah seni lukis Indonesia suatu saat nanti dimungkinkan untuk mengungkapkan penderitaan mereka yang terbantai dalam pembasmian komunis, ia menyatakan:

“Mungkin akan lama sebelum hal ini terjadi. Bila suatu saat pemerintahan Soeharto mencapai puncaknya dan kemudian jatuh, atau bila ada orang-orang yang ingin menodai sejarah Indonesia dengan kebohongan, atau dengan sesuatu yang tidak merefleksikan kepentingan mayoritas, [kemudian mungkin] lukisan-lukisan tentang mereka yang terbunuh akan menjadikan mereka pahlawan kembali. Bukankah sejarah selalu seperti itu? Namun untuk sekarang, hal itu belum akan terjadi.” (George 2005: 49; garis bawah dari penulis)

Dalam hal ini, bisa kita lihat, persepsi Pirous atas pembasmian komunis sebetulnya tak jauh beda dari persepsi mereka yang diwawancarai dalam film The Act of Killing. Di situ bisa juga kita lihat bagaimana lukisan abstrak bukannya steril dari politik. Dalam sosok Pirous, komitmen politik itu bahkan terlihat dengan terang benderang.

Pembaca yang kritis bisa saja lantas menyimpulkan bahwa dalam sikap diamnya atas pembantaian ’65, seni lukis abstrak pada awal Orde Baru punya pengandaian estetik yang membedakannya dari seni lukis abstrak di Barat. Di Amerika Serikat, seperti telah kita lihat, seni lukis abstrak difungsikan untuk mensterilkan seni dari politik. Di Indonesia pasca-pembantaian ’65, seni lukis abstrak mendapatkan fungsi lain, yakni untuk mengubur setiap pewacanaan estetik tentangnya (menutup kemungkinan bagi pengambilan tema pembantaian ’65 sebagai subject matter karya seni) dengan jalan menghasilkan ragam karya yang mempersulit, kalau bukan malah memustahilkan, setiap perbincangan politik—karya-karya abstrak non-figuratif. Jika sebelum ’65 estetika formalis berfungsi untuk menandingi Lekra, setelah ’65 estetika tersebut berfungsi untuk mengubur pembicaraan tentang pembantaian ’65. Demikianlah seni lukis Modernis di Indonesia tumbuh dan berkembang di sekitar kuburan massal.

 

Suasana Batin dan Seni Lukis Awal Orde Baru

Namun Modernisme bukanlah satu-satunya pengandaian estetik yang berlaku dalam riwayat seni lukis modern di permulaan masa Orde Baru. Di balik itu, ada juga percampuran dengan suatu tendensi estetik yang dalam terminologi sejarah estetika Eropa akan disebut sebagai ekspresivisme (bedakan dengan ‘ekspresionisme’ yang merupakan aliran dalam seni lukis). Ketika Oesman Effendi mendefinisikan ‘seni lukis modern’ dalam makalahnya di tahun 1969 yang kontroversial dan memicu debat soal keberadaan ‘seni lukis Indonesia’, ia mengartikannya dalam kerangka yang akan dikenali di Eropa sebagai ekspresivis. Ia mendefinisikannya seperti ini:

“seni lukis sebagai hasil ekspresi dari seorang individu yang penuh cita ingin menyampaikan impuls hatinya, hasrat pernyataan atau manifestasi keakuan sebagai kehadirannya di tengah-tengah masyarakat, tanpa campur tangan dari kehendak di luar dirinya.” (Effendi 2007: 9)

Dalam definisi seni lukis modern semacam ini, sama sekali tak dapat kita kenali jejak estetika formalis. Apa yang kita temukan adalah visi estetik yang jamak ditemukan di akhir abad ke-19 dalam sebuah periode kultural yang biasanya disebut pasca-Romantik (atau kadang juga ‘Romantik akhir’ atau Late Romantic). Estetikawan seperti Nietzsche dan, di awal abad ke-20, Benedetto Croce serta R.G. Collingwood dikenal sebagai teoretisi ekspresivisme. Dalam kerangka estetika ini, karya seni merupakan ungkapan atau ekspresi dari kehidupan batin sang seniman. Collingwood pernah menulis: “Sebuah karya seni dalam pengertian yang sesungguhnya bukanlah suatu artifak, bukan benda fisik dan teramati yang dihasilkan oleh sang seniman, melainkan sesuatu yang ada semata di kepala sang seniman, hasil imajinasinya sendiri” (Collingwood 1938: 305).

Dalam khazanah seni lukis di Indonesia, pengertian yang diberikan Oesman Effendi tadi punya akarnya pada ungkapan legendaris Sudjojono, juru bicara Persagi. Formulanya sudah sering dikutip: “Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian ialah jiwa-kétok. Jadi kesenian ialah jiwa” (Sudjojono 1946: 69). Namun rumusan Oesman bukan cuma remah-remah dari penyataan Sudjojono; Oesman membelokkan pengertian Sudjojono. Apabila Sudjojono mengakarkan ‘kredo ekspresivis’-nya dalam pandangan-dunia anti-kolonial dan karenanya menyimpan dorongan politik (sehingga ia bisa bicara soal ‘kebenaran’ dalam seni lukis), Oesman mengisolasi ‘kredo ekspresivis’ tersebut. Oesman mengesampingkan dimensi politik pernyataan Sudjojono itu dan lebih menekankan dimensi individualnya. Apabila dalam Sudjojono perangnya adalah antara pelukis-sekaligus-aktivis bangsa jajahan melawan kolonialisme dan menggempur benteng kebudayaannya, dalam Oesman perangnya dipersempit menjadi antara aku-seniman versus masyarakat. Dalam makalah yang sama, ia mengkritik tendensi politis dalam dunia seni lukis menjelang era Orde Baru. Ia katakan:

“Seni lukis Indonesia mulai salah arah. Kalau selama ini—lepas dari nilainya—ia bertolak dari impuls hati, dari gerak dalam jiwa rasa, belakangan, faktor-faktor dari luar banyak ikut menentukan arahnya. […] Percobaan hidup yang pertama dari seni lukis … adalah bagaimana ia menyelesaikan diri dalam konstelasi kehidupan seni yang mulai diwarnai oleh politik […]. Karena ia mesti membawakan motif tertentu dan mesti diselesaikan dalam corak tertentu pula, sadar tak sadar si pelukis berkhianat kepada hasrat impuls diri yang ingin menyatakan keakuannya sebagai produk dari tuntutan zamannya.” (Effendi 2007: 11-14)

Sudjojono tidak berbicara tentang ‘keakuan’ sebagai ‘keakuan’. Dalam salah satu tulisan klasiknya, ia memperlihatkan keterkaitan yang erat antara ‘jiwa’ dan ‘nationaliteit’, atau secara lebih umum lagi aspek kedirian seniman dan cakrawala sosial-politiknya.[8] Ia tidak memisah-misahkan seni dari politik; ia tak mengenal distingsi antara ‘sikap estetik’ dan ‘sikap politik’. Oesman, sebaliknya, sangat menekankan pemisahan itu. Dalam posisi Oesman lah kita temukan ekspresivisme yang lebih menyerupai pandangan estetikawan Eropa pasca-Romantik di muka, yakni suatu ekspresivisme yang tertanam dalam pandangan-dunia individualis.

Ekspresivisme individualis Oesman, sebagaimana ekspresivisme Collingwood, dapat ditarik akarnya pada alam pikir Romantik tentang seniman sebagai sesosok jenius sublim yang tak bisa dimengerti masyarakatnya. Dengan demikian, ekspresivisme semacam itu bertopang pada prakonsepsi tentang sosok seniman sebagai entitas yang secara fundamental berbeda dari ‘orang awam’ atau ‘masyarakat biasa’. Ini adalah gejala yang telah muncul sejak lama dalam sejarah seni lukis di Indonesia. Dalam artikelnya di majalah Budaya Jaya tahun 1975, Sudjoko sudah mempersoalkan perkara yang ia sebut ‘individualisme romantik’ ini. Ia mengutip sepotong puisi karya penyair Belanda, Herman Gorter, untuk menggambarkan kredo yang banyak diyakini para pelukis Indonesia: “Seni adalah ungkapan individual dari emosi individual” (Kunst is de allerindividueelste expressie van de allerindividueelste emotie) (Sudjoko 2012: 217). Pengandaian ekspresivis semacam ini cocok dengan pathos eksistensialis yang melanda para intelektual dan seniman Indonesia era 1960/1970-an. Hasilnya adalah cara pandang moralis tentang seni, yakni bahwa seni adalah perkara kejujuran pada diri sendiri dan karenanya menuntut keberjarakan terhadap politik, bahwa politik itu kotor, bahwa seniman yang terlibat dalam politik atau mengangkat persoalan politik adalah seniman yang tidak jujur pada seninya sendiri. Dalam segi itulah pengandaian ekspresivis ini klop dengan estetika formalis yang tadi diuraikan. Di sinilah terwujud sinergi antara ‘keakuan’, ‘komposisi’ dan ‘pembangunan’.

 

GSRB, Pascamodernisme Avant La Lettre dan Gugatan atas Politik Kebudayaan Orde Baru

Hubungan yang harmonis antara seni lukis awal Orde Baru dan ‘Pembangunanisme’ yang dianut rezim Suharto dengan cepat membiakkan imaji tentang kemapanan. Sehingga pada awal dekade 1970-an, praktis seluruh pelukis menghasilkan lukisan abstrak ataupun dekoratif (berdasarkan olahan atas ragam hias tradisional) yang bisu secara politik. Perbincangan seni rupa—tak pelak lagi dimonopoli oleh isu seputar seni lukis—dipenuhi dengan pembahasan tak habis-habisnya atas pilihan warna, tekstur, bentuk dan aspek-aspek formal-komposisional lainnya. Tak ada ruang untuk membahas kaitan antara seni dan masyarakat, apalagi tentang isu-isu politik. Karena itu, kemapanan ini segera berubah jadi kemandekan. Pada tahun 1970, Indonesia berpartisipasi dalam acara perayaan 25 tahun PBB yang digelar di New York. Untuk itu, sejumlah karya dipilih oleh sekelompok juri yang ditunjuk oleh pemerintah. Pilihan juri ini kemudian menimbulkan keresahan tersendiri sebab banyak karya lama—antara lain lukisan Kusnadi dari tahun 1957—yang dipilih ketimbang karya-karya baru (Sumartono 2001: 23). Ini menunjukkan dekadensi yang timbul akibat kemapanan autistik yang diderita seni rupa Indonesia.

Kejengahan terhadap suasana mapan yang suam-suam kuku itulah yang meledak dalam kontroversi seputar Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Praktis seluruh karya yang terpilih sebagai pemenang bersama dalam sayembara itu adalah karya para pelukis senior dengan gaya lukis yang itu-itu juga, yakni lukisan-lukisan A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam dan Abas Alibasyah. Keputusan inilah yang digugat lewat Pernyataan Desember Hitam yang ditanda-tangani oleh empat belas seniman, rata-rata merupakan mahasiswa dari ISI, ITB dan IKJ. Pernyataan ini menyatakan bahwa kerangka pikir yang dianut para juri, mewakili rezim seni rupa yang ada, adalah kerangka pikir yang usang. Selain itu, ditekankan juga pentingnya kemawasan seniman akan dimensi sosial, budaya, politik dan ekonomi, dalam menghasilkan karya seni. Di situ, bisa kita lihat, bagaimana perlawanan atas rezim estetika Orde Baru dinyatakan: menolak kerangka pikir formalistik dengan menanamkan kembali kesenian pada kenyataan sosial-politik.

Perlawanan yang tak diduga-duga ini menimbulkan reaksi yang amat keras di ISI. Seluruh mahasiswa ISI yang terlibat menanda-tangani pernyataan tersebut diskors. Direktur ISI, Abas Alibasyah, pelukis dekoratif yang juga pemenang sayembara kontroversial itu, menyatakan bahwa orientasi sosial-politik dalam manifesto Desember Hitam itu semestinya datang dari mahasiswa jurusan sospol, bukan mahasiswa seni. Kemudian ia mengatakan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu bertentangan dengan “pembangunan nasional” dan dapat membahayakan “kesatuan, integritas dan stabilitas nasional” (Sumartono 2001: 24). Tersiar juga kabar bahwa pernyataan Desember Hitam itu mengandung ‘bahaya laten komunis’, sampai-sampai Pangkowilhan (Panglima Komando Wilayah Pertahanan) IV Jawa-Madura, Letjen Widodo mengaku resah dengan perkembangan yang terjadi di ISI. Delapan bulan setelah kontroversi Desember Hitam, dideklarasikanlah Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang antara lain beranggotakan Jim Supangkat, FX Harsono, Muryoto Hartoyo dan didukung oleh paus kritik seni Indonesia, Sanento Yuliman. Di sinilah bermula apa yang Jim Supangkat sebut sebagai ‘seni rupa pemberontakan’ (Supangkat 1993: 13).

Gejolak yang dihasilkan GSRB amat krusial dampaknya bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Dalam semangat GSRB, semesta kesenian tak lagi asing dari semesta politik. Seniman tak lagi memposisikan-diri secara moralis di luar konstelasi politik, bak pertapa suci yang jauh dari tetek-bengek kehidupan duniawi dan berfokus hanya pada kontemplasi estetis atas bentuk-bentuk murni dalam pikirannya sendiri. Seniman mulai aktif menginterogasi kenyataan di sekelilingnya. Kegiatan seni jadi tak bisa dipisahkan dari kegiatan politik. Dalam semangat semacam inilah muncul kontroversi di seputar pameran bertajuk “Kepribadian Apa?” di Galeri Senisono, Yogyakarta. Pameran yang melibatkan para seniman muda eksponen Desember Hitam dan GSRB ini menggugat konstruksi ideologis pemerintah Orde Baru tentang ‘identitas nasional’. Pada hari pertama pameran, kapten polisi Wahjoeno segera melarang penyelenggaraan pameran karena mendapati adanya karya pornografis dan pada hari kedua ia menunjuk adanya dua karya yang ‘berbahaya’, yakni Hotel Tower of Asia karya Bonyong Munny Ardhi dan Kartu Remi indonesia karya Slamet Ryadhi (Sumartono 2001: 27). Karya yang pertama merupakan instalasi yang mengangkat isu kesenjangan ekonomi dengan menampilkan pengemis tertidur di emperen hotel berbintang, sementara karya yang kedua menggambarkan karta remi dengan wajah Suharto.

Pada tahun 1979, Jim Supangkat merangkum lima pokok pikiran GSRB. Pada kelimanya kita menjumpai pandangan-dunia baru yang tak mungkin kita temukan dalam tulisan dan karya para pelukis awal Orde Baru. Kelima pokok pikiran itu bisa diringkas seperti ini (Supangkat 2007: 125-126):

  1. Menolak skema klasifikasi seni rupa ke dalam seni lukis, patung dan grafis, serta menentang pembatasan karya rupa sehingga tidak diciutkan pada salah satu dari wahana seni yang ada.
  2. Menolak avant-gardisme yang memposisikan seniman sebagai sosok jenius subtil yang “tidak dimengerti masyarakat” serta “percaya pada masalah-masalah sosial yang aktual sebagai masalah yang lebih penting untuk dibicarakan daripada sentimen-sentimen pribadi.”
  3. Menolak hubungan patronase yang menundukkan seniman muda pada seniman tua (cantrikisme) dan membuka “kemungkinan berkarya” seluas mungkin.
  4. Menolak pandangan yang mengatakan “seni adalah universal” dengan kembali menginterogasi sejarah seni rupa Indonesia dan mencari konteks historis spesifiknya yang membuatnya tak bisa seutuhnya ditangkap lewat kategori-kategori yang didapat dari teori-teori seni di Barat.
  5. Memperjuangkan seni rupa yang hidup di tengah masyarakat.

 

Lima poin ini mengartikulasikan perubahan paradigmatik yang sangat mendasar. Poin pertama tiada lain adalah sebuah pukulan telak bagi iman formalis yang menjadi sokoguru Modernisme seni. Dengan itu, GSRB menolak doktrin ‘kekhasan wahana’ yang sangat puritan seperti dalam estetika Clive Bell, Roger Fry dan Clement Greenberg dan dipraktikkan oleh para pelukis abstrak dan dekoratif kala itu. Poin kedua adalah penolakan atas ekspresivisme yang melanda seniman modern Indonesia pasca-Sudjojono. Dengan itu, GSRB memposisikan diri berlawanan dengan doktrin ‘individualisme romantik’ yang antara lain mengemuka dalam pendirian Oesman Effendi. Dua poin pertama ini saja sudah merepresentasikan suatu balikan cara berpikir seni yang sangat fundamental di Indonesia. Itu masih ditambah lagi dengan penekanan pada eksperimentasi (poin ketiga), pada pembacaan-ulang atas sejarah Indonesia (poin keempat), serta pada ketersituasian seni dalam medan sosial-politik (poin kelima). Dengan kelimanya, GSRB menjadi mimpi buruk bagi rezim estetika Orde Baru.

GSRB membuka cakrawala baru dalam imajinasi artistik seniman Indonesia, khususnya di kalangan muda. Ia menjadi pintu masuk bagi sejumlah kesadaran estetis baru, misalnya kesadaran bahwa seni lukis bukanlah paradigma utama seni rupa dan bahwa seniman bukanlah entitas yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Dua kesadaran penting ini direalisasikan lebih lanjut dalam karya Moelyono pada tahun 1985, Kesenian Unit Desa (KUD). Karya yang merupakan bagian dari proyek advokasi kerakyatan di Tulung Agung ini ditolak oleh para penguji di ISI ketika Moelyono menghadirkan karya tersebut sebagai bagian dari tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Alasan penolakan ini mencerminkan masih kuatnya pengandaian estetika formalis di benak para pengajar ISI. Subroto, asisten dekan fakultas seni murni, menyatakan: “Jelas bahwa KUD tidak termasuk lukisan. […] Alasan untuk menolaknya ikut ujian akhir adalah karena ia tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah lukisan. Persyaratan itu antara lain menyebutkan bahwa karya mesti menempati bidang datar dan punya aspek-aspek lukisan tertentu” (Sumartono 2001: 31). Argumen asisten dekan ini jelas merujuk lagi pada doktrin ‘kekhasan wahana’ dan penekanan pada flatness sebagai syarat dan batas seni lukis Modernis dalam kacamata Greenberg. Dengan demikian, nampak bahwa kendati tumbuh kesadaran baru yang radikal di kalangan perupa muda, tetapi birokrat kampus tetaplah berpegang pada kaidah estetika lama. Konflik antara keduanya dan ketiadaan ruang bagi seniman-seniman muda untuk menampilkan karyanya inilah yang mendorong munculnya galeri-galeri alternatif seperti galeri Cemeti (1988).

Kendati GSRB telah berhasil menjebol penjara estetika Modernis dan membangun suatu estetika yang berorientasi sosial, mawas sejarah dan kontekstual, tetapi hegemoni estetika Modernis masih kuat juga. Salah satu sebabnya adalah bahwa estetika tersebut dipegang teguh oleh para pejabat di kampus atas dukungan pemerintah. Sinergi antara para pelukis Modernis dan Orde Baru memang tak dapat dipungkiri. Salah satu syarat wajib penyerahan tugas akhir di ISI pada era 1980-an, misalnya, adalah bahwa karya yang diajukan “mesti berdasarkan Pancasila” (Sumartono 2001: 31). Namun hegemoni estetika ini juga diperkuat oleh fenomena di luar kampus, yakni pasar seni lukis yang memang tengah mengalami ledakan pada era 1980-an. Mula-mula para kolektor dan pembutuh mencari karya-karya old masters seperti Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan dan sebagainya, kemudian beralih ke generasi pelukis yang lebih muda dan akhirnya sampai ke karya-karya abstrak dan dekoratif. Akibatnya, melalui intervensi pasar inilah muncul apa yang disebut Sanento sebagai ‘pemiskinan’ dalam dunia seni lukis Indonesia, yakni pembatasan atas kosa lukis (pengutamaan atas wahana kanvas dan cat minyak daripada kertas dan arang, misalnya) yang mendorong makin miskinnya pengalaman visual kita (Yuliman 2012: 517-518). Jadi mengapa hegemoni estetika Modernis itu tak juga goyah bahkan sampai penghujung dekade 1980-an, antara lain, disebabkan karena pasar seni lukis yang tengah mengalami boom dengan segala pemiskinan pengalaman visual yang dibawanya.

GSRB sering dipersepsi sebagai awal kemunculan estetika pascamodern dalam sejarah seni rupa Indonesia. Nyatanya, identifikasi semacam ini baru muncul pada Biennale Seni Rupa Jakarta IX, tahun 1993. Dalam biennal bertajuk ‘Post-Modernisme’ ini, Jim Supangkat membaptis GSRB sebagai gerakan yang diinspirasikan oleh pascamodernisme. “Seni Rupa Era ’80, yang tampil dalam Bienniale Seni Rupa Jakarta 1993 ini, adalah seni rupa pasca-pemberontakan itu: tidak lagi menentang modernisme, tapi meninggalkannya. Seni rupa ini dikenal pula sebagai seni rupa pasca-modern” (Supangkat 1993: 13). Pembaptisan ini dianggap berlaku surut—mencakup fenomena kesenian yang terjadi sejak dekade 1970-an. Dengan begitu, pembaptisan ini terjadi nyaris 20 tahun setelah gerakannya sendiri berjalan.

Di sini muncul fenomena yang agak janggal. Pertama, GSRB justru bubar saat Lyotard menerbitkan buku yang mempopulerkan pascamodernisme dalam kajian kebudayaan, La condition postmoderne (1979). Artinya, gerakan seni itu berkembang tanpa dibimbing oleh kemawasan teoretis atas pascamodernisme, lebih khusus lagi pascastrukturalisme Prancis. Tentu saja, GSRB dipengaruhi oleh gerakan seni kontemporer di Barat, seperti seni konseptual Fluxus, Dada, seni pop dan sebagainya. Namun beragam praktik seni itu tercipta tanpa bimbingan teori-teori pascastrukturalis atau pascamodernis. Yang terjadi adalah justru sebaliknya: teori-teori pascamodernis dalam banyak hal justru dihasilkan dari pembacaan atas perkembangan seni-budaya di Eropa pasca-Perang Dunia kedua. Jadi menganggap GSRB berpegang pada filosofi posmo berarti merancukan sebab sebagai akibat. Barangkali benar bahwa dalam kerangka pascamodernisme lah para seniman yang bersimpati pada GSRB memperoleh pembenaran teoretis atas praktik mereka selama ini. Namun pembenaran ini sebetulnya tak lebih dari pencocok-cocokan yang tak sepenuhnya pas. Para eksponen GSRB tidak punya urusan dengan Descartes atau Kant; gara-gara dilabeli posmo, mereka sekarang seperti terpaksa harus berurusan dengan Descartes dan Kant (dua sosok yang mungkin baru mereka dengar namanya). Padahal apa yang mereka lawan adalah para dedengkot seni lukis Modernis di tanah air. Dan seni lukis Modernis di Indonesia, seperti telah kita lihat, tidak sama dengan ‘seni lukis Modernis’ dalam definisi baku Modernisme seni Eropa (yang hanya mengakui estetika formalis sebagai dasarnya). Seni lukis Modernis kita juga bercampur dengan paham Romantik seperti ekspresivisme dengan segala spekulasi mistiknya tentang jiwa dan rasa.

Kedua, banyak kecenderungan GSRB dan turunannya yang tidak sama dengan apa yang digambarkan dalam teori-teori pascamodern. Semangat GSRB untuk mengakarkan praktik seni pada praktik sosial-politik, misalnya, justru berlawanan dengan kecenderungan teori-teori pascamodern yang cenderung menempatkan politik dalam bingkai wacana politik. Banyak kritik politik dan aktivitas politik GSRB dan turunannya yang dengan tajam menyasar pada permasalahan ekonomi-politik (instalasi Hotel Tower of Asia karya Bonyong Munny Ardhi dan lukisan-lukisan Dede Eri Supria, misalnya). Radikalisasi atas tendensi politik GSRB juga bisa kita lihat dalam terbentuknya kolektif seni Taring Padi pada 21 Desember 1998. Perlawanan artistik yang menitik-beratkan pada masalah-masalah ekopol ini asing dari tradisi pascamodern yang lebih mengedepankan perkara kultural ketimbang ekonomi-politik; masalah-masalah seputar politik identitas dan politik pengakuan adalah tipikal masalah-masalah yang ditangani teoretisi pascamodernis, bukan masalah kontradiksi ekonomi kapitalis. Tendensi aktivisme GSRB membuatnya lebih dekat dengan, misalnya, pemikiran para perupa avant-garde Soviet pra-realisme sosialis (era 1920-an) ketimbang dengan pemikiran para budayawan pascamodern. Perbedaan ini diperkuat lagi oleh fakta bahwa tak semua pemikir pascamodern memiliki pandangan yang selaras dengan GSRB. Lyotard, sang ‘bapak posmo’ itu sendiri, malah mengedepankan doktrin ‘kekhasan wahana’ dalam bukunya tentang estetika seni rupa, Figure, Discourse. Di sana ia justru menekankan ketaktereduksian visualitas khas seni rupa pada pewacanaan verbal-sastrawi (Lyotard 2011: 7). Karena itu, Lyotard masih bisa bicara tentang keindahan dan kesubliman. Dalam hal itu, estetikanya justru berakar pada Modernisme Greenberg. GSRB jelas lebih gahar ketimbang para pemuja kebagusan kontemporer semacam itu.

Ketiga, tidak semua eksponen GSRB sepakat bahwa gerakan pemberontakan seni itu berlandaskan pada nilai-nilai pascamodern ataupun dapat dijelaskan berdasarkan kerangka teori pascamodern. FX Harsono, misalnya, menyangsikan upaya untuk menafsirkan perkembangan seni rupa Indonesia berdasarkan lensa teoretis dari Barat (Sumartono 2001: 68). Dalam hal ini, kita harus ingat bahwa poin keempat deklarasi GSRB menyebutkan soal pentingnya praktik kesenian yang dilandasi oleh kemawasan atas sejarah seni Indonesia dan kemauan untuk menggali terus-menerus dari sejarah tersebut. Dengan itu, ditekankan konteks khas dari perkembangan seni sejauh setiap praktik kesenian sesungguhnya bersumber dari geliat hidup masyarakat yang konkrit. Jadi penggunaan label dan kerangka berpikir pascamodern, dengan riwayat debatnya sendiri di Eropa, untuk membaca sejarah seni rupa Indonesia, dengan riwayat debatnya sendiri sejak Hindia Belanda, justru bertentangan dengan salah satu prinsip dasar gerakan itu sendiri. Latar historis perjuangan antikolonial yang membidani kelahiran seni rupa modern Indonesia tak bisa diciutkan pada kerangka politik wacana pascakolonial yang merayakan ‘hibriditas’ seperti dikembangkan teoretisi posmo macam Homi Bhabha. Konteksnya lain.

Fakta historis bahwa kemudian GSRB dan berbagai praktik seni rupa alternatif sesudahnya dipersepsi dalam terminologi dan kerangka teori pascamodern punya dampak yang tak sederhana bagi perkembangan estetika seni rupa Indonesia. Salah satu dampak yang paling fatal adalah bahwa patahan terhadap warisan estetika Orde Baru—Modernisme estetik yang bersimbiosis dengan kapitalisme—tidak berhasil diwujudkan secara tuntas.

 

Warisan Orde Baru bagi Wacana Estetika Hari Ini

Orde Baru berakhir dengan pengunduran-diri Suharto, bukan penggulingan Suharto. Fakta ini sangat krusial bagi perkembangan politik sampai hari ini. Dengan mengundurkan diri, Suharto memotong akselerasi kontradiksi sosial-politik dan ekonomi sebelum memuncak. Pengorganisasian-diri rakyat belum sampai pada tahap konfrontasi terbuka terhadap seluruh warisan Orde Baru. Dengan mengundurkan diri, Suharto membuat kontradiksi yang sedang menajam menjadi pecah ke dalam pertarungan antar elit kelompok kepentingan. Akibatnya, sebagian dari logika kultural Orde Baru masih bisa terselamatkan. Kultur oligarki masih bertahan hingga kini. Cara pandang moralis yang menempatkan gerakan mahasiswa sebagai agen pembaharu, terpisah dari rakyat biasa, masih terus berpengaruh. Struktur ekonomi-politik yang menopang Orde Baru sejak mula belum terjamah sama sekali. Dalam suasana ketaktuntasan konfrontasi atas kebudayaan Orde Baru inilah seni rupa kontemporer Indonesia melangkah hingga hari ini.

Dominasi wacana pascamodernis dalam perbicangan seni rupa era Reformasi juga punya peran dalam memupuk suasana seperti itu. Kita memang tak bisa memungkiri aspirasi emansipatoris yang terkandung dalam berbagai teori pascamodernis. Derrida, misalnya, berbicara tentang pengakhiran atas cara berpikir yang membangun dikotomi dan hierarki serta menekankan pentingnya menyelamatkan yang-lain dari kungkungan penyeragaman. Lyotard menekankan pentingnya merayakan keragaman narasi lokal yang partikular dan mewanti-wanti setiap upaya yang hendak menundukkan keragaman itu pada suatu narasi besar yang berpretensi merangkum semuanya. Namun kerapkali kerangka berpikir semacam itu diketengahkan dalam rumusan yang amat abstrak dan jauh dari kenyataan, jauh dari kekonkritan sejarah. Kita mesti membela ‘yang-lain’—tentu saja. Tetapi bagaimana bila ‘yang-lain’ itu Hitler? Kita mesti menghargai wawasan lokal yang partikular—tentu saja. Tetapi bagaimana bila tradisi di suatu tempat mengharuskan seorang perempuan untuk ikut bakar-diri ketika suaminya mati, atau kepatuhan penganut kepercayaan minoritas pada penganut kepercayaan mayoritas sudah menjadi tradisi dan kebudayaan setempat? Dalam kasus-kasus seperti itu, logika kulturalis pascamodern tak bisa memberikan jawaban yang masuk akal. Meera Nanda sudah menunjukkan bagaimana cara berpikir semacam itu membuahkan justifikasi, atas nama tradisi, bagi masyarakat yang berkasta dan terstruktur oleh hierarki gender di India. Tradisionalisme semacam ini adalah masalah klasik yang diakibatkan oleh pascamodernisme.

Lebih jauh lagi, dengan mengecam cara berpikir keilmuan sebagai “warisan Pencerahan yang mengantarkan kita ke Auswitczh”, pascamodernisme sebenarnya bisa dilihat sebagai kelanjutan dari semangat zaman Romantik. Akibat dari pencampakan cara berpikir rasionalis dan ilmiah itu adalah munculnya gelagat kultural untuk kembali ke intuisi, ihwal rasa-merasa dan kepekaan batin. Dalam varian pascamodernisme yang dekat dengan New Age dan mistisisme, gelagat semacam itu mencolok sekali. Dampaknya bagi diskusi estetika adalah kembalinya gambaran tentang seniman sebagai sosok perenung yang menciptakan karya dari permenungan, pergulatan batin dan eksplorasi tubuhnya sendiri. Ke-adiluhung-an seniman dan proses kreatif kembali dimistikkan seperti halnya para pelukis Modernis di awal masa Orde Baru. Walaupun karyanya boleh jadi terkesan kontemporer, dalam rupa instalasi misalnya, tetapi suasana batinnya mirip dengan suasana batin para pelukis abstrak era 1960-an. Dalam obsesi pada yang serba-sublim dan serba-subtil ini, dimensi sosial dari praktik artistik cenderung surut ke belakang. Kalaupun dimensi sosial ini muncul, itupun seringkali terjadi lewat pencomotan dangkal atas idiom-idiom teori pascamodernis—mungkin juga dilakukan ‘atas instruksi bapak kurator’—semata demi terkesan up-to-date dan mendalam. Usaha-usaha untuk mengakarkan praktik seni pada lingkup kehidupan sosial yang menjadi motor GSRB seperti terasa usang bagi para seniman jenis ini.

Suasana batin semacam itu menunjukkan kuatnya konsepsi tentang seniman sebagai creator alih-alih sebagai organizer. Dalam kesadaran yang telah dibukakan GSRB bahwa seniman tak berbeda jenis dari rakyat biasa dan implikasinya bahwa setiap orang adalah seniman, maka peran seniman profesional semakin didorong untuk menjadi sosok yang mengorganisasikan masyarakat ketimbang menjadi pemasok nilai-nilai estetis yang sublim dan berjarak dari mereka. Karena setiap orang adalah seniman, maka setiap kenyataan sosial adalah karya seni. Implikasinya produk yang dihasilkan sang seniman profesional, bekerjasama dengan masyarakat, semestinya adalah kenyataan sosial yang baru, bukan sekadar ‘benda seni’. Kesadaran tentang seniman sebagai organizer ketimbang creator semacam itu hidup dalam beberapa kolektif seni di tanah air (inisiatif seni di Jatiwangi, berbagai gerakan street art dan seni video partisipatoris, misalnya). Namun mayoritas seniman Indonesia saat ini, khususnya yang berpameran di galeri komersial dan menjual karyanya secara konvensional, sepertinya masih berada dalam batas-batas prakonsepsi seniman sebagai perenung yang menciptakan karya berisi renungan moral tertentu sebagai ‘catatan kritis’ terhadap hiruk-pikuk kenyataan.

Boom seni rupa era 2000-an turut memberi warna pada wacana estetika warisan Orde Baru. Selama 2000-2010, tak kurang dari 37 galeri komersial baru bermunculan di kota-kota besar (Hujatnikajenong 2015: 194). Peran kolektor dan galeri dalam mengarahkan, via kurator, jenis karya yang mesti dihasilkan seniman sangat besar. Dalam laporannya tentang sebuah pameran lukisan di Magelang tahun 2001, Aminudin Siregar mencatat betapa praktik artistik seniman Indonesia kontemporer semakin diarahkan oleh para kolektor.[9] Di tangan para kolektor, karya seni tak ubahnya seperti tanah, yakni komoditas yang punya nilai investasi tinggi apabila dirawat dan ‘digoreng’ dengan tepat. Dalam suasana seperti ini, hanya karya seni yang mewujud dalam benda seni saja lah yang akan menjadi sorotan dunia seni—sebab hanya karya semacam itulah yang bisa dijual. Sementara karya seni yang mewujud dalam hubungan sosial dan kenyataan sosial yang baru—jenis karya dan praktik seni yang sebetulnya berakar pada pemberontakan seni GSRB—tak punya peran dalam medan seni rupa Indonesia yang telah terintegrasi dengan pasar itu. Dengan demikian, dalam dunia seni rupa kontemporer mainstream di Indonesia ada semacam pembalikan ke sejenis formalisme baru yang berakar pada estetika formalis Orde Baru, yakni sejenis estetika yang menciutkan karya seni pada aspek kebendaannya dan berbicara tentang keindahan dan kesubliman dalam batas-batas benda seni itu sendiri. Semua itu menunjukkan bahwa kita sebenarnya belum selesai membuat perhitungan dengan Orde Baru.***

 

Kepustakaan:

Bell, Clive. 1914. Art. New York: Frederick A. Stokes Company.

Bujono, Bambang. 2004. “Sejumlah koleksi, sepotong sejarah dan perubahan”. Dalam Enin Supriyanto & JB Kristanto, ed. Perjalanan Seni Lukis Indonesia: Koleksi Bentara Budaya. Jakarta: KPG, 67-130.

Cockcroft, Eva. 1985. “Abstract Expressionism, weapon of the Cold War”. Dalam Francis Frascina, ed. Pollock and After: The Critical Debate. New York: Harper and Row, 125-133.

Collingwood, R.G. 1938. The Principles of Art. Oxford: Clarendon Press.

George, Kenneth M. 2005. Politik Kebudayaan di Dunia Seni Rupa Kontemporer: A.D. Pirous dan Medan Seni Indonesia, diterjemahkan oleh Fadjar I. Thufail dan Atka Savitri. Yogyakarta: Cemeti Art Foundation dan Retorik Press.

Effendi, Oesman. 2007. “Seni lukis di Indonesia: dulu dan sekarang”. Dalam Ugeng T. Moetidjo dan Hafiz, ed. “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada”. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 8-19.

Greenberg, Clement. 1999a. “Modernist Painting”. Dalam Charles Harrison dan Paul Wood, ed. Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 754-760.

——– . 1999b. “Towards a Newer Laocoon”. Dalam Charles Harrison dan Paul Wood, ed. Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 554-560.

Hujatnikajennong, Agung. 2015. Kurasi dan Kuasa: Kekuratoran dalam Medan Seni Rupa Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri.

Iskandar, Popo. 2012. “Seni melalui virtuositas: suatu potret tentang Ahmad Sadali”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 201-206.

Lyotard, Jean-François. 2011. Figure, Discourse, trans. Antony Hudek dan Mary Lydon. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Saunders, Frances Stonor. 1999. The Cultural Cold War: The CIA and the World of Arts and Letters. New York: New Press.

Siregar, Aminudin TH. 2010. Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran S. Sudjojono. Tangerang dan Jakarta: S. Sudjojono Center dan Galeri Canna.

——– . 2012. “Seni rupa Yogyakarta: gemuruh pasar yang tidak mencerdaskan”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 545-548.

Sudjojono, S. 1946. Seni Loekis, Kesenian dan Seniman. Yogyakarta: Indonesia Sekarang.

——– . 1985. “Seni Rupa yang Menjawab Tantangan Masa Kini”. Dalam majalah SANI, 28 Juni 1985, 35-38.

——– . 2007. “Menuju ke Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru”. Dalam Ugeng T. Moetidjo dan Hafiz, ed. “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada”. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 28-31.

Sudjoko. 2012. “Kita Juga Punya ‘Romantic Agony’”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 211-220.

Sumartono. 2001. “The role of power in contemporary Yogyakarta art”. Dalam Outlet: Yogyakarta within the Contemporary Indonesian Art Scene. Yogyakarta: Cemeti Art Foundation, 17-62.

Supangkat, Jim. 1993. “Seni rupa era ‘80”. Dalam Katalog Bienniale Seni Rupa Jakarta IX 1993, 13-27.

——– . 2007. “Lima jurus gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Dalam Ugeng T. Moetidjo dan Hafiz, ed. “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada”. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 123-124.

Thamrin, Misbach. 2004. “Pameran nasional grafik Lembaga Seni Rupa Indonesia Lekra”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 151-153.

Yuliman, Sanento. 1976. Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

——– . 2012. “Mendung pengiring boom”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 517-521.

 

————–

[1] Artikel ini pernah dipresentasikan sebagai makalah diskusi dalam simposium OK. Video bertajuk Cara Orde Baru Menciptaken Manusia Indonesianya (2015).

[2] “Kebagusan dan kebenaran ialah satu. Kebenaran bagaimana juga tentu bagus, asal saja keluarnya kebenaran tadi tak berdusta pada hati sendiri. Dari itu tak heran kita mengapa anak kecil yang lari-lari telanjang di tengah jalan, kelihatan segala-galanya, toh tetap bagus. Dan muka mereka meskipun penuh ingus toh simpatik. Sebab apa? Sebab barès [terus terang], sebab tak berlagak, sebab benar dan dengan sendirinya bagus. Tetapi bagus yang hendak bagus saja yang tidak mengandung kebenaran di dalamnya, biasanya malah tidak bagus. Kalau pembaca tidak percaya, cobalah anak tuan yang baru berumur 6 bulan, tuan pangkas, tuang potong polka, lalu tangannya tuan tolak-pinggangkan, dan tuan tengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sebagai mandor besar kebun mengontrol pekerjaan kuli-kulinya, tuan terkejut akan efeknya. Tuan ketawa melihat anak tadi. Sebab ‘kebagusan’ tadi tidak mengandung kebenaran. Jadi kebenaran zonder [tanpa] bermaksud mencari ‘bagus’ saja tetapi mencari kebenaran sebagai kebenaran, tentu tetap bagus. Kebagusan zonder kebenaran sebaliknya: jelek, njeléhi [menyebalkan], mentertawakan [menggelikan].” (Sudjojono 1946: 40)

[3] “Kalau Barat, yang sudah menguasai materi, lalu kemudian jadi bosen dan muak pada materi lalu terus pergi ke abstrak, dll, itu saya mengerti. Tetapi kok di Indonesia yang baru saja keluar dari kekerasan 350 tahun cawe-cawe [ikut serta] juga ke abstrak, ini kira-kira sebab apa? Kapan kita gablek [mempunyai] materi, kok sudah jadi bosan materi? Malah kalau yang rakus materi saya lebih sering lihat dan baca. Jadi dalam praktek, yang muak materi saya betul-betul nggak pernah lihat, tapi di seni lukis le muak materi koq koyo ya-ya-o [rasa muaknya atas materi kok seolah sudah yang paling tak tertahankan]. Jadi kalau ada teori bahwa seni adalah gambar dari zamannya, maka satu-satunya kesimpulan adalah bahwa seni lukis sekarang di Indonesia adalah pemantulan dari kehidupan yang munafik; sok suci, tapi sebenarnya butuh daging bauk, kalau gelap mek-mek brutu. Kadang-kadang malah saya dengar pelukis ini omong besar: ‘saya modern, saya kontemporer. Kalau kamu tidak mengerti, kamu sudah tidak punya nomor lagi. Kamu kolot, kamu ketinggalan zaman. Kamu hanya mengerti yang kasat mata saja. Hanya orang-orang tertentu mengerti saya.’ Ini kok macam ilmu klenik! Makin tidak dimengerti, makin bangga, dan merasa tinggi sekali kedudukan kastanya!” (Sudjojono 1985: 37-38)

[4]That visual art should confine itself exclusively to what is given in visual experience, and make no reference to anything given in other orders of experience, is a notion whose only justification lies, notionally, in scientific consistency. Scientific method alone asks that a situation be resolved in exactly the same kind of terms as that in which it is presented – a problem in physiology is solved in terms of physiology, not in those of psychology; to be solved in terms of psychology, it has to be presented in, or translated into, these terms first. Analogously, Modernist painting asks that a literary theme be translated into strictly optical, two-dimensional terms before becoming the subject of pictorial art – which means its being translated in such a way that it entirely loses its literary character.” (Greenberg 1999a: 758)

[5] “A. Manap, tampil dengan surprise melalui cukilan kayunya Aksi Tani. Tema dan pengungkapannya adalah sederhana sehingga massa secara sepintas lalu akan mudah memperoleh kesan. Hal yang menarik di samping itu, dalam ruang-tangkap (scope) dari bidang cukilannya yang terisi penuh di mana ia cukup menciptakan suasana yang megah dari suatu barisan raksasa kaum tani.” (Thamrin 2004: 153)

[6] Bandingkan juga pengamatan Frances Stonor Saunders atas strategi kebudayaan Amerika Serikat dalam ‘membungkus’ para maestro Modernis lain sehingga terlihat menguatkan posisi AS dalam Perang Dingin: “The art and sculpture exhibition was curated by James Johnson Sweeney, art critic and former director of New York’s Museum of Modern Art, which was contracted to organize the show: Works by Matisse, Derain, Cezanne, Seurat, Chagall, Kandinsky and other masters of early twentieth century modernism were culled from American collections and shipped to Europe on 18 April, aboard the appropriately named SS Liberté. Sweeney’s press release made no bones about the propaganda value of the show: as the works were created ‘in many lands under free world conditions’, they would speak for themselves ‘of the desirability for contemporary artists of living and workinginan atmosphere of freedom’” (Saunders 1999: 119).

[7] “Dalam percakapan kami, sang pelukis tetap menekankan bahwa setia orang bebas untuk melihat ada gambarmanusia atau pemandangan alam dalam Mentari Setelah September 1965. Hal itu tak jadi masalah. Hal yang mengganggunya adalah penafsiran yang tak tepat mengenai posisi politik karya tersebut. […] Seperti yang ia katakan, dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia: ‘It is too much’.” (George 2005: 42)

[8] “Jadi sebelum gambar burung itu jadi, hal itu harus pergu dahulu dengan sendirinya ke jiwa kita. Sebab jiwa itu mempunyai watak yang lain-lain, umpamanya; rasa hidup filsafat, perasaan warna, perasaan indah itu lain-lain dan sebagainya. Karena nationaliteit mereka, maka buah proses yang ada pun akan lain pula. Dan di sinilah terjadi corak dan stijl gambar itu.” (Sudjojono 2007: 29)

[9] “Ini berupa peristiwa nyata, yakni lemahnya posisi tawar seniman, terjadi dalam sebuah pameran Not Just Political pada 10-17 November 2001 di Museum Widayat, Mungkid, Magelang. […] Pameran itu menggelar pula aksi melukis seniman yang berpameran. Panitia menyiapkan potongan kanvas, cat minyak, atau akrilik. Melalui mikrofon Oei Hong Djien dan Widayat memanggil-manggil nama seniman untuk tampil dan menunjukkan kebolehanna melukis. Maka pelukis Entang Wiharso, Yuswantoro Adi, Alfi, Nurkholis, Made Sukadana, Made Palguna, Nasirun, dan beberapa nama lain, langsung duduk di depan kanvas dan mulai menyabetkan kuas. Setelah lukisan selesai, paniia berharap Widayat member semacam penilaian, misalnya: apik! bagus! nilainya 8! Adapun Oei Hong Djin di mikrofon seenaknya menanyakan harga jual.” (Siregar 2012: 547)

Metode Kapital: Kasus Lassalle

$
0
0

BEBERAPA tahun sebelum Kapital terbit, Marx pernah berbincang dengan Engels tentang karya salah satu kawan mereka, Ferdinand Lassalle, seorang sosialis veteran aktivis Revolusi 1848. Dalam karya ekonomi-politiknya, Lassalle berupaya melakukan hal yang sekilas amat mirip dengan yang Marx lakukan dalam adikaryanya kelak, mengkaji ekonomi-politik via asas filsafat negasi Hegel; “yang Ideal adalah yang Riil” dan “yang Universal adalah yang Partikular”. Hasilnya, Lassalle menyimpulkan dalam ekonomi; “emas adalah uang, dan uang adalah nilai”. Emas benar adalah uang, kata Marx, namun uang bukanlah nilai. Jauh sebelum Marx, barisan ekonom-politik Klasik sudah membuktikan hal ini dan justru hal ini yang jadi poin perlawanan teori nilai-kerja Klasik terhadap para pemikir-pedagang merkantilis. Mengomentari upaya kawan seperjuangannya ini, Marx mengatakan pada Engels,

Ia akan menemukan dalam usahanya bahwa adalah satu hal bagi sebuah kritik untuk membawa ilmu pengetahuan ke titik penyajian dialektis, dan hal lain untuk menerapkan sebuah sistem logika abstrak, siap-pakai, untuk menaksirnya secara samar”. [1]

Metode Marx, bukan penerapan sistem Hegel ke kajian ekonomi-politik. Metodenya, bukan sebuah “sistem logika abstrak, siap-pakai” tertentu.

Dalam proses pembuatan Kapital, Marx memang mengaku memperoleh bantuan amat besar setelah membaca ulang Ilmu Logika Hegel.[2] Ia bahkan dengan bangga menyatakan diri sebagai murid dari “sang pemikir besar”. Hutang pemikiran ini dikenali oleh Lenin kemudian ketika ia sengaja menghabiskan waktu mempelajari Ilmu Logika Hegel dan agak merepotkan kita dengan menyatakan mustahil memahami Kapital tanpa membaca dan memahami seluruh Ilmu Logika Hegel.[3] Makanya tak heran banyak penafsir Kapital kontemporer yang berwatak Hegelian, seperti kelompok Bentuk-Nilai (Value-Form) dan neue Marx-Lektüre yang populer di Jerman beberapa tahun terakhir.

Problem Lassalle pada dasarnya adalah ia kurang selangkah materialistik lagi untuk jadi revolusioner. Lassalle melupakan bahwa Marx sejak awal, ‘Marx muda’, adalah seorang materialis. Segala penghormatan dan hutang atas Hegel oleh ‘Marx matang’ harus mengingat bahwa formasi pemikirannya pertama-tama justru dilakukan lewat kritik serta perlawanan atas Hegel dari titik pijak seorang materialis. Membaca, menafsirkan, atau mengkaji ekonomi-politik tanpa menyadari hal ini, rentan membawa pada problem Lassalle; mengidentikkan nilai dengan harga, menyamakan ekonomi-politik dengan filsafat.

Pertama-tama, baik mengingat bahwa Kapital disusun dengan amat strategis. Metode dialektis yang Marx maksud dalam Kapital tidak lebih dari metode penyajiannya (method of presentation). Jadi ini yang akan kita temukan ketika membuka Kapital. Ini differentia specifica analisis Marx dibanding pemikir ekonomi-politik sebelumnya. Dengan ini cara produksi kapitalis dianalisis dalam totalitasnya, dalam koherensi internalnya, dari kategori-kategori yang diturunkan secara logis dari bentuk konkrit hubungan produksinya sendiri. Strategi penyajian ini penting karena dengan ini Marx mampu memperlihatkan arah gerak perkembangan cara produksi kapitalis tanpa terpengaruh tinggi-rendahnya tingkat perkembangan kapitalisme. Negara Inggris abad-19 yang ia pakai sebagai data empiris hanyalah ilustrasi historis.[4] Lewat strategi penyajian dialektis Marx mau menunjukkan kapitalisme bukan semacam konspirasi jahat satu kelas terhadap kelas lain, melainkan membuktikan bagaimana kapitalisme dituntun oleh logika, oleh hukum gerak, yang tidak ada hubungannya dengan moral atau kesadaran dari kelas-kelas itu melainkan malah membentuknya. Makanya, kita bisa bilang bahwa kritik Marx terhadap kapitalisme bersifat struktural, a-normatif, dan karenanya objektif.

Lassalle sang kawan seperjuangan, agaknya juga lupa kalau Marx dalam karyanya mengingatkan ada perbedaan antara metode penyajian dan metode penyelidikan (method of inquiry).[5] Ini pemilahan dua metode yang biasa digunakan dalam kajian ekonomi-politik. Sebagai perbandingan, pemikir Pencerahan Adam Ferguson (1769),[6] ekonom liberal James Mill (1865),[7] dan ekonom Marxis, Ernst Mandel (1968),[8] sama-sama memilah dua metode ini dalam kegiatan ilmiah. Metode penyelidikan (atau analitik, dalam istilah Ferguson) adalah momen ketika sang peneliti mengajukan pertanyaan awal, memeriksa fakta-fakta mentah, membuat kategori, memeriksa kesalinghubungannya, dan dari situ merumuskan hukum-hukum yang mengatur fenomena. Artinya metode ini berangkat dari fakta untuk menemukan hukum-hukum umum. Corak argumennya a posteriori. Sedang metode penyajian persis kebalikannya. Argumennya a priori. Ini adalah momen pengujian hasil penyelidikan yang sudah dijalankan—hukum-hukum umum dibuktikan pada kasus khusus lewat fakta-fakta. Jadi yang pertama berkenaan dengan alur penemuan hukum-hukum sejarah, sedang yang kedua berkaitan dengan alur pembuktian hukum-hukum sejarah. Dengan kata lain, cara penyajian bersandar pada cara penyelidikan. Ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum mampu menyajikan analisis atas cara produksi kapitalis secara dialektis. Syarat ini tak lain adalah metode penyelidikan materialis yang Marx warisi dari pemikir sebelum dirinya, yakni dari tradisi naturalis Yunani Kuno, sains modern, dan ekonomi-politik Klasik.[9]

Ilmu Ekonomi-politik bagi Marx, dimulai oleh William Petty, diteruskan oleh Adam Smith, dan mencapai puncaknya pada David Ricardo. Selain ketiga nama ini, terutama kepada para ekonom pasca-Ricardo yang tidak menyelam ke dalam fenomena ekonomi, yang mengira hukum penawaran-permintaan sebagai pengatur jalannya roda ekonomi, Marx biasa menjuluki mereka sebagai ekonom vulgar.[10] Mengenai Petty, Roncaglia (2005) dan Suryajaya (2013) mengatakan metode penyelidikan kuantitatif Petty (aritmatika politik), dibentuk oleh Thomas Hobbes dan Francis Bacon. Keduanya adalah seorang materialis yang membawa asas-asas atomistik pemikir Yunani Kuno ke ilmu alam era Pencerahan. Hobbes adalah murid dari Bacon yang disebut Marx “mensistematisasi materialisme Baconian”, sedang Bacon adalah,

“…pendiri sesungguhnya dari materialisme Inggris dan semua ilmu eksperimental modern. Baginya filsafat alam adalah satu-satunya filsafat sejati, dan fisika yang berdasar pada pengalaman inderawi adalah ciri utama dari filsafat alam. Anaxagoras dengan homoeromeria-nya serta Demokritos dengan atom-atom-nya adalah otoritas-otoritas yang kerap dirujuknya…”[11]

Marx menyadari ada keterkaitan langsung antara para naturalis Yunani Kuno, pembaharu sains modern, dan ilmu ekonomi-politik. Hubungan ketiga tradisi keilmuan ini disatukan oleh kesamaan untuk memulai penyelidikan dari objek di luar manusia via pancaindera dan pikiran. Sarana pertama untuk menuju pengetahuan atas alam adalah serapan inderawi atau pengalaman (empeiria). Dalam hal ini, Bacon amat mirip dengan Demokritos (“sang empirisis”, kata Marx) dan Epikuros.[12] Bagi Bacon, “pancaindra tidak pernah salah dan merupakan sumber dari segala pengetahuan.” Namun aroma empiris yang hadir, baik dalam naturalisme Yunani Kuno dan sains modern (1623-1658), bukan empirisisme yang hadir pasca Locke (1690), seperti dalam Barkeley, Hume, atau Comte, yakni yang membatasi pengetahuan hanya pada apa yang terberi pada cerapan indrawi dan mereduksi penjelasan soal objek kajian pada cerapan inderawi tersebut. Melainkan objek empiris yang ditangkap oleh cerapan inderawi sebagai titik berangkat dan landasan pengetahuan yang dari sana segala abstraksi, konsep, dapat dibuat dengan bantuan pikiran. Dalam ketiga tradisi pemikiran yang dihormati Marx ini, cerapan inderawi hanyalah titik berangkat, namun penjelasan atas fenomena tetap didasarkan pada, dalam istilah Bacon, kualitas inheren dari objek yang dikaji. Epikuros bicara soal ukuran, bentuk, dan bobot sebagai kualitas inheren atom, Bacon bicara soal gerak sebagai kualitas inheren materi, dan bahkan Petty berupaya “mengekspresikan diri dalam angka, bobot, atau ukuran” ketika mengkaji masyarakat manusia. Metode penyelidikan ini berangkat dari hal ihwal yang diketahui oleh pengamat menuju pada apa yang hanya ada pada objek yang dikaji. Tradisi ini asing terhadap masalah kaum idealis—soal watak mandiri kenyataan dalam hubungannya dengan manusia. Ilmu alam secara instingtif mengakui materialisme. Bagi mereka, hal ihwal, alam, jelas-jelas ada secara independen dari cerapan inderawi, pikiran, diri, dan manusia secara umum. Perdebatannya hanya berkisar pada apakah penampakan realitas itu adalah penampakan objektif (Epikuros) atau subjektif (Demokritos) bagi pengetahuan manusia, soal epistemologis. Bagi yang pertama penampakan realitas akan dijelaskan bersandar pada realitas itu sendiri, pada kualitas inherennya dengan bantuan pikiran; sedang bagi yang kedua penampakan realitas akan dijelaskan bersandar penampakan aktual itu sendiri, pada relasinya dengan yang di luar dirinya. Marx lebih bersimpati pada yang pertama.

Dalam konteks pemikiran Marx, pandangan soal kualitas inheren dari realitas ini yang ikut membantunya menjawab pertanyaan mengenai relasi-relasi legal, bentuk politik, dan negara modern dalam filsafat hukum Hegel (1843-1844). Pertanyaan Marx, apa syarat kemungkinan (conditio sine qua non) ide negara modern? Jawabnya masyarakat sipil (masyarakat borjuis/Bürgerliche Gesselschaft) dan keluarga (monogami modern). Marx kemudian kembali bertanya, apa (untuk kembali memakai istilah Bacon) kualitas inheren dari masyarakat sipil? Tak lain adalah cara manusia memenuhi kebutuhan hidup materialnya. Ronald Meek (1972), mengatakan bahwa sebelum Marx, Adam Smith dan Mazhab Historis Skotlandia telah berupaya menjelaskan bentuk-bentuk hukum dan pemerintahan dari cara manusia bertahan hidup (modes of subsistence).[13] Marx mengikuti hal ini dengan menyatakan “pengamatan empiris mesti mengungkapkan secara empiris, tanpa mistifikasi dan spekulasi apapun, hubungan antara struktur sosial dan politik dengan produksi.” Ia berangkat dari premis bahwa hanya dari cara manusia memenuhi kebutuhan hidup materialnya (yakni lewat syarat-syarat yang sudah diberikan alam, alat-alat manusia mengubah alam, dan pembagian pekerjaan alias kelas-kelas yang spesifik dalam tiap bentuk masyarakat) bentuk-bentuk pemikiran, ideologi, kesadaran, atau kebudayaan bisa diperikan. Ini yang kita kenal sebagai konsepsi materialis atas sejarah, sebuah rumusan yang berangkat dari premis nyata kehidupan manusia yang “dapat diuji secara sepenuhnya empiris.”, yang dari sanalah segala “abstraksi dapat dibuat dalam imajinasi”. Sekali kesimpulan umum ini digenggam, tugas selanjutnya adalah membuktikannya dalam cara produksi spesifik yang jadi fokus kajian Marx, cara produksi kapitalis.

Apakah dengan mendekat-dekatkan metode penyelidikan Marx dengan ilmu alam Yunani Kuno dan sains modern tuduhan lama soal watak deterministik dari materialisme ilmu alam jadi ikut hadir dalam kajian ekonomi-politik? Apakah karena penyelidikan Marx berangkat dari kualitas inheren realitas, maka konsekuensinya dalam dunia sosial Marx mengandaikan tatanan sosial yang kodrati sifatnya dan tidak bisa berubah? Ini meleset. Sebabnya terlihat posisi Marx yang condong pada posisi materialisme Epikuros dibanding Demokritos di disertasinya. Filsafat alam Epikuros dihargai oleh Marx karena berhasil menjelaskan gerak penyimpangan acak (clinamen) dalam atom dari argumennya soal swa-determinasi atom sebagai penyebab gerak pertama. Epikuros berhasil menjelaskan gerak atom dari atom tunggal itu sendiri tanpa mensyaratkan hubungannya dengan atom yang lain. Karena gerak pertama-tama dihasilkan oleh daya tolak-menolak dalam atom itu sendiri, maka arah perkembangannya tidak dapat terprediksi. Apabila perkembangan realitas sebelum adanya manusia pada dasarnya berjalan non-deterministik, maka penggunaan metode ilmu alam pada ranah ilmu sosial tidak akan mengandaikan tatanan sosial yang kodrati.

Penyajian dialektis karenanya bersandar pada metode penyelidikan materialis. Melompati tahap penyelidikan ini (seperti Lassalle), niscaya akan menggiring ekonomi-politik pada sejenis ajaran Tao. Materialisme Marx bukan materialisme filosofis-metafisis, ia lain dari label, ia beda dengan slogan. Materialismenya adalah materialisme ilmiah dalam pengertian selalu mengacu pada kenyataan yang spesifik-konkret. Oleh Marx ini yang ia praktikkan dengan proses yang amat panjang dan obsesi yang tinggi pada detail empirik dalam penyusunan karyanya. Jenis materialisme ini yang membuat Kapital tidak dibuka oleh ‘konsep nilai’, atau konsep apapun juga, tapi dimulai dari hal konkret-material yang tak satupun dari kita saat ini yang tidak mencerapnya secara inderawi.[14]

 

Yogyakarta, 28 Maret 2016

 

—————

[1] “[]He will discover to his cost that it is one thing for a critique to take a science to the point at which it admits of a dialectical presentation, and quite another to apply an abstract, ready-made system of logic to vague presentiments of just such a system.” (MECW, 40: 261).

[2] MECW, 40: 248.

[3] LCW, 38: 180.

[4] “What I have to examine in this work is the capitalist mode of production, and the relations of production and forms of intercourse [Verkehrsverhiiltnisse] that corres pond to it. Until now, their locus classicus has been England. This is the reason why England is used as the main illustration of the theoretical developments

I make.”(Marx, 1990: 90).

[5] “[…] Metode penyajian, sudah tentu, mesti berbeda bentuknya dari metode penyelidikan. Metode penyelidikan mesti melahap bahan dengan rinci, menganalisis berbagai bentuk perkembangan dan melacak keterhubungan internalnya. Hanya setelah ini dilakukan barulah gerakan yang sesungguhnya dapat secara tepat disajikan. Jika berhasil (jika intisari pokok ihwal segera dicerminkan kembali dalam gagasan)—maka hal itu akan tampil seolah-olah kita berhadapan dengan konstruksi a priori.” Terjemahan penulis, (Marx, 1990: 102).

[6] “method in science is of two kinds, analytic and synthetic. Analytic method is that by which we proceed from observation of fact, to establish general rules. Synthetic method, is that by which we proceed from general rules to their particular applications. The first is the method of investigation. The second of communication, or of the enlargement of science. Argumet is of two kinds: A priore, and a posteriore. By an argument a priore, the fact is proved from the law. By an argument a posteriore, the law is proved from the fact.” Ferguson dalam Institutes of Moral Philosophy, Sect. II: “Of Science”. Trims buat http://books.google.com/.

[7] Dalam August Comte and Positivism (1865) Mill menulis; “The philosophy of Science consists of two principal parts; the methods of investigation, and the requisites of proof. The one points out the roads by which the human intellect arrives at conclusions, the other the mode of testing their evidence. The former if complete would be an Organon of Discovery, the latter of Proof.” Positivisme Comte menurut Mill, hanya memberi sumbangsih pada metode penyelidikan.

[8] Karya Mandel, Marxist Economic Theory(1971), disusun dari kesadaran atas perbedaaan ini. Ini sebabnya Mandel berani ‘melupakan’ Marx, dan memakai data empiris di abad-20 untuk menguji validitas proposisi ekonomi Marx.Lih. Hal. 17.

[9] “Titik pijak saya—yang melaluinya perkembangan formasi ekonomis masyarakat dilihat sebagai suatu proses sejarah alam…” terjemahan penulis (Marx, 1990: 92).

[10] Lih. Misal, catatan kaki no. 34 (Marx, 1990: 174).

[11] Lengkapnya “Pendiri sesungguhnya dari materialisme Inggris dan semua ilmu eksperimental modern adalah Bacon. Baginya filsafat alam ada satu-satunya filsafat sejati, dan fisika yang berdasar pada pengalaman inderawi adalah ciri utama dari filsafat alam. Anaxagoras dengan homoeromeria-nya serta Demokritos dengan atom-atom-nya adalah otoritas-otoritas yang kerap dirujuknya. Menurut Bacon pancaindra tidak pernah salah dan merupakan sumber dari segala pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan berdasar pada pengalaman dan dibangun dengan cara memahami data yang dicerap pancaindra lewat sebuah metode penyelidikan rasional. Induksi, analisis, perbandingan, pengamatan, dan eksperimen adalah bentuk-bentuk prinsipil dari metode rasional itu. Kualitas inheren yang paling pertama dan utama dalam materi adalah gerak, bukan hanya dalam bentuk gerak mekanis dan matematis, namun terutama dalam bentuk sebuah impuls, daya-daya vital, tegangan—atau dalam istilah Jakob Böhme ‘Qual’—dari materi. Bentuk utama dari materi adalah daya-daya keberadaan yang hidup dan terindividualisasi secara inheren di dalamnya yang menghasilkan perbedaan antar spesies. Terjemahan penulis (MECW, 4:128)

[12] “karena itu dari fenomena lah kita mesti menggali informasi tentang yang tidak diketahui. Karena semua ide diturunkan dari serapan indrawi, baik dari kontak aktual atau lewat analogi, atau dari fakta, atau komposisi, dengan sedikit bantuan penalaran”. Terjemahan penulis Marx, Notebooks on Epicurean Philosophy (MECW 1, hal: 406)

[13] Meek, R.L. Studies in the Labour Theory of Value, Monthly Review Press (1973) hal. 52.

[14] Soal ini terlihat dari komentar Marx atas Adolph Wagner yang mengira karyanya dimulai dari konsep atas nilai; “In the first place [De prime abord] I do not proceed from “concepts”, hence neither from the “concept of value”, and am therefore in no way concerned to “divide” it. What I proceed from is the simplest social form in which the product of labour presents itself in contemporary society, and this is the “commodity”.(MECW, 24: 544).


Sosialisme dan Kemubaziran

$
0
0

Untuk Dirdho Adithyo

 

APA SAJAKAH tantangan sosialisme di lapangan kebudayaan? Ada banyak jawaban yang mungkin diajukan, seperti mengikis budaya penindasan yang terlanjur berurat-akar dalam masyarakat, melawan sisa-sisa prasangka feodal, kungkungan patriarki, rasisme, sentimen homofobik, birokratisme, sentimen antidemokratis dan segala bentuk kultur eksploitatif yang ditinggalkan kapitalisme. Semua aspek itu telah banyak dikupas dalam kajian-kajian tentang sosialisme. Pada kesempatan ini, saya coba mengangkat suatu jawaban lain. Salah satu tantangan sosialisme di lapangan kebudayaan adalah memberi ruang pada kemubaziran.

Dalam konteks kultural, apakah yang dimaksud sebagai kemubaziran? Untuk mudahnya, bayangkan saja serangkaian situasi semacam ini. Bayangkan seorang penulis prosa yang mengabdikan seumur hidupnya menggagas sistem kekerabatan yang begitu kompleks di antara makhluk-makhluk imajiner dari galaksi Andromeda. Bayangkan seorang profesor filsafat yang menghabiskan sebagian besar hidupnya merakit sebuah sistem logika di mana semua proposisi niscaya salah, lengkap dengan ketentuan sintaksis dan semantik yang berbelit-belit dan tak ada faedahnya. Bayangkan seorang komponis yang mencurahkan segenap tenaganya mencari segala macam bunyi dan komposisi musikal yang dijamin membikin orang frustrasi. Bayangkan seorang filolog yang mengorbankan segala kewarasannya untuk mempelajari aturan lingustik di balik simbol Jiahu dari 6000 SM yang hanya ditemukan di beberapa biji artifak di Cina dan nyaris tak punya efek apa-apa pada sejarah masyarakat selanjutnya. Bayangkan ratusan jenis orang yang mengabaikan hidupnya demi memikirkan, menciptakan, mengimajinasikan hal-hal yang sama sekali tak relevan bagi kemaslahatan masyarakat. Kemana perginya orang-orang semacam itu pada hari ketika revolusi usai dan sosialisme menjadi tatanan sehari-hari?

Sudah bisa dilihat dari sana bahwa kemubaziran yang saya maksudkan bukanlah semacam laku memboroskan kekayaan secara sia-sia atau menyisakan makanan. Kemubaziran yang dimaksud di sini lebih pelik ketimbang sekadar sikap manja semacam itu—suatu jenis kemubaziran yang menuntut pengorbanan berdarah-darah dari yang bersangkutan. Mereka tidak anti-Marxis, mereka tidak antipati pada sosialisme. Satu-satunya dosa mereka, pun kalau ini bisa dianggap dosa, adalah karena mereka sibuk sendiri. Mereka begitu sibuk memikirkan apa yang memang merupakan bidang keahlian mereka, tanpa mengindahkan kemungkinan penerapan, kegunaan ataupun link and match-nya dengan sistem pembagian kerja yang berlaku di masyarakat. Keberadaan orang semacam mereka, tentu saja, merupakan konsekuensi dari diferensiasi pembagian kerja dan karenanya tingkat persebaran orang semacam itu akan cenderung lebih merata dalam masyarakat akibat penghapusan pembagian kerja di dalam sosialisme. Akan tetapi, itu masa depan yang sangat jauh. Sedangkan apa yang kita bicarakan adalah yang berkenaan dengan fase transisi awal ke dalam sosialisme. Oleh karena itu, kita mesti menjawab: apa yang mesti dilakukan pemerintahan sosialis di beberapa puluh (atau beberapa ratus) tahun pertamanya bagi orang-orang macam mereka?

Aksioma sosialisme menyatakan: “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kerjanya bagi masyarakat.” Tapi keahlian mereka tidak menyumbangkan apa-apa bagi masyarakat. Mereka tentu punya sumbangan, tetapi sifatnya sangat tidak langsung. Taruh kata seorang ahli logika menemukan suatu terobosan penting dalam lingkup keahliannya yang teramat sempit. Pada hari ketika ia menghasilkan terobosan itu, tak ada suatu apapun yang berubah dari dunia di sekitarnya. Segalanya baru berubah ketika terobosan logika itu diterjemahkan oleh para insinyur menjadi piranti nyata yang punya faedah bagi masyarakat. Inilah yang terjadi, misalnya, dengan fuzzy logic dan penerjemahan praktisnya ke dalam AC pintar yang dapat menyesuaikan suhu ruangan pada jumlah orang di ruangan. Pada kasus-kasus lain, hubungannya bahkan bisa begitu jauh: suatu temuan kunci di bidang yang obskur perlu diterjemahkan dalam empat atau lima bidang keilmuan yang berbeda sampai akhirnya berguna bagi masyarakat. Bahkan tak jarang ditemui, kegunaannya baru ditemukan jauh setelah perumus pertamanya mati kelaparan atau pincang digebuki warga. Lotfi Zadeh, penulis makalah “Fuzzy Sets” di tahun 1965, yang meluncurkan fuzzy logic, tidak berpikir dalam kerangka ingin membuat AC pintar. Jan Lukasiewicz dan Alfred Tarski tidak bersusah-payah merumuskan sistem logika nilai-jamak yang melandasi fuzzy logic dengan cita-cita ingin membuat mesin cuci canggih.

Lantas adakah ruang bagi orang-orang semacam itu dalam sosialisme? Tentu, mereka bisa saja diminta melakukan pekerjaan lain yang secara sama rata dilakukan orang-orang, seperti menyikat WC umum dan menyapu jalan raya. Mereka bisa saja diminta hadir dalam acara-acara rembug warga, turut berperan serta dalam soviet-soviet. Hal-hal semacam itu mungkin tak jadi soal buat mereka. Yang jadi soal adalah ketika pemerintah menganggap bidang yang mereka dalami itu tak ada, ketika pemerintah melarang mereka mengerjakan keahlian mereka hanya gara-gara hal itu—entah karena alasan apa—dianggap “borjuis”. Sebab dengan itu, mereka akan merasa dipisahkan dari alasan keberadaannya di bumi. Kecenderungan anti-intelektual semacam inilah yang justru membidani lahirnya kecenderungan intelektualisme elitis di kalangan para pegiat budaya di masyarakat, lahirnya komentar ironis dan sinis tentang “menulis puisi di negeri orang dungu”. Anti-intelektualisme yang membabi-buta dan intelektualisme elitis akan menjadi lingkaran setan yang membelit agenda-agenda sosialisme di lapangan kebudayaan.

Tantangan besar sosialisme di ranah kebudayaan, karenanya, ialah memberikan ruang bagi gairah pada hal-hal yang “tak berguna”, atau setidaknya “nyaris tak berguna”. Sosialisme yang baik adalah sosialisme yang mengakomodasi kemubaziran, yang tidak mengharuskan segala-galanya tepat guna sekarang juga, yang memaklumi bahwa pemikiran dan imajinasi bekerja pada ruang dan waktu yang berbeda, dengan cara kerjanya sendiri. Ini persoalan yang gampang-gampang susah. Bagaimana caranya memberi tempat pada para revolusioner linglung semacam itu? Inilah tantangan sosialisme di ranah kebudayaan yang mesti dijawab, selain tantangan-tantangan besar yang sering dibahas.

Persoalan ini tidak eksklusif berlaku pada fase pembangunan sosialisme awal, tetapi juga jauh sebelumnya, yakni pada masa-masa gerakan sosial dan kepartaian pra-revolusi. Bagaimana partai Marxis menyikapi para pemikir, seniman dan ilmuwan mubazir? Tentu saja, partai Marxis akan mudah mengambil posisi terhadap para ekonom, sosiolog atau antropolog, karena ilmu-ilmu yang mereka dalami berguna dan relevan bagi tujuan-tujuan revolusi. Akan tetapi, terhadap yang selebihnya, persoalannya jadi lebih pelik. Untuk apa mengonsolidasi segelintir orang yang tak berguna? Untuk apa membuang tenaga membangun kerjasama dengan filolog asosial, komponis apolitis, pemikir pemalu, matematikawan apatis? Pertanyaan semacam ini memang tak mudah dijawab. Akan tetapi, boleh jadi kemenangan revolusi ikut ditentukan oleh jawaban partai terhadap hal-hal semacam itu. Sebab revolusi bukan cuma soal pengerahan tenaga politik, tetapi juga budaya.

Tiap kali berbicara tentang yang mubazir dalam sosialisme, kita mau tak mau teringat pada Dimitri Shostakovich. Komponis Soviet itu dibenci oleh Stalin dan para petinggi partai akibat opera Nyonya Macbeth dari Distrik Mtsensk yang penuh olok-olok. Karyanya yang begitu pelik, seperti Simfoni 4, batal tampil akibat tekanan para apparatchik. Ia dipaksa menggubah lagu-lagu tepat guna seperti mars untuk para tentara merah dan waltz untuk acara kondangan para pembesar partai. Ia terus berusaha menciptakan karya-karya serius. Konon, ia selalu membawa koper yang berisi pakaian dan beberapa buku, bukan untuk melarikan diri dari Soviet, melainkan agar semuanya sudah siap ketika ia suatu kali diciduk aparat dan dibuang ke Siberia. Ia merelakan dirinya dipermainkan oleh para birokrat partai, oleh gerombolan kera medioker yang memegang kuasa, tanpa sekalipun berusaha meninggalkan Uni Soviet. Tapi Shostakovich adalah seorang Marxis. Ia masih percaya pada ideal-ideal sosialisme. Ia tak ingin ideal itu runtuh dengan pelarian dirinya ke Blok Barat. Ia seperti sadar betul: ia punya masalah dengan pemerintahan sosialis yang ada kala itu, bukan dengan sosialisme itu sendiri.

Terhadap kesediaannya untuk ditindas beruk-beruk dari Kremlin sembari berpegang teguh pada sosialisme, kita perlu angkat topi. Akan tetapi, kita tak bisa mengandaikan semua pemikir, seniman dan ilmuwan mubazir bersikap seperti Shostakovich. Untuk itu, kita masih harus memikirkan cara mendudukkan problem kemubaziran dalam kerangka sosialisme dan gerakan sosialis.***

 

11 April 2016

Metode Kapital: Fungsi Kritik

$
0
0

DALAM tulisan sebelumnya, via Lassalle, saya mengatakan penyajian atau uraian logis (dialektis) dalam Kapital, mengandaikan penyelidikan materialis. Dengan kata lain tulisan tersebut hendak menyatakan bahwa segala analisis Marx dalam karyanya, meski dirangkai dalam konsep-konsep teoretis, hanyalah abstraksi dari kenyataan sosial. Hal ini, sengaja saya tekankan karena prihatin pada tradisi dogmatik yang lahir dalam Marxisme; ketika Marxisme diformalisasi—dibekukan dalam pemikiran dan dinilai dari kriteria formalnya sendiri. Arnost Kol’man[1], seorang matematikawan di era eksperimen Soviet, dalam memoarnya mengingat bahwa pembersihan yang ia lakukan pada kolega-koleganya saat ia menjadi ideolog Soviet terjadi persis karena ‘diamat’ dibekukan dan diterapkan semena-mena ke berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ia dan kawan-kawannya (para ‘filsuf murni’, katanya) tak pernah akrab dengan isi, kespesifikan dan pengandaian dasar dari ilmu-ilmu tersebut. Pemikiran Marx jadi benar dan terus relevan bukan karena kebenarannya bersandar pada otoritas, melainkan karena ia paling tepat dalam ranah kenyataan yang ia permasalahkan. Tulisan kali ini akan kembali mengangkat argumen yang sama lewat pemeriksaan atas fungsi ‘kritik’ sebagai jembatan antara penyajian logis-dialektis dengan penyelidikan materialis dalam Kapital.

Proyek ‘Kritik atas Ekonomi-Politik’, kita tahu, dimulai oleh Engels tahun 1843 saat artikel pendeknya, Ringkasan Kritik atas Ekonomi-Politik, sampai di tangan Marx, sang redaksi Deutsch-Französische Jahrbϋcher. Artikel ini amat memengaruhi Marx sehingga sejak saat itu sampai puluhan tahun kemudian, yang ia lakukan tak jauh dari memperdalam dan memperluas visi yang sudah diberikan Engels di sana. Arti penting proyek ini bisa dilihat dari besarnya waktu, tenaga, dan pengorbanan yang dicurahkan keduanya. Engels misal, sampai rela jadi donatur hidup Marx sekeluarga dan lebih mengkaji filsafat dan ilmu alam sekadar agar Marx fokus pada proyek ini. Bagi Marx, pasca perpisahan dengan kawan-kawan filsuf radikal-nya, ia lebih merasa dekat dengan ekonomi-politik yang ,seperti dirinya mengakui, bahwa cara manusia berproduksi adalah inti atau fondasi dari penjelasan atas anatomi masyarakat sipil. Sebagai perbandingan, di masa itu terdapat beberapa tradisi ekonomi lain, yang nyatanya, tidak terlalu ditanggapi oleh Marx. Misalnya kaum bulionis dan merkantilis yang percaya bahwa kekayaan berasal dari emas dan perdagangan luar negeri. Atau utilitarian seperti Jeremy Bentham yang menjadikan manfaat (utility) sebagai sumber nilai.

Mengenai bagaimana proyek ini dijalankan dalam Kapital, Marx mengatakan hal ini sembilan tahun sebelum karyanya terbit;

“Karya yang saat ini sedang aku kerjakan adalah Kritik atas Kategori Ekonomi atau, jika kamu suka, sebuah uraian kritis terhadap sistem ekonomi borjuis. Ini adalah sebuah uraian, sekaligus kritik atas sistemnya”.[2]

Kritik atas ekonomi-politik, dalam aras teoretis adalah sebuah kritik atas kategori ekonomi Klasik, yakni nilai (value). Kategori nilai, adalah kategori terdasar yang dari sana semua penjelasan ekonomi-politik (komoditas, uang, kerja, kapital, sewa, profit, upah, bunga, dst) diturunkan. Jadi, dapat dikatakan kategori nilai adalah pondasi dari ilmu ekonomi-politik. Berikan satu penjelasan yang berbeda atas nilai, maka kita akan membangun satu paradigma ekonomi baru. Patahkan argumen Marx soal nilai, maka sosialisme ilmiah akan runtuh bersamanya.

Pilihan Marx atas nilai sebagai objek kritik tidak bisa dimengerti sekadar sebagai sikap ‘anti-‘, semacam upaya peruntuhan sistem sekadar karena “posisi kita beda bray”—Pemikir cum aktivis sosialisme sebelum dirinya sudah banyak yang melakukan hal itu. Sebaliknya, ia malah berangkat dari afirmasi atas warisan sistem pemikiran ekonomi-politik Klasik yang sukses menjelaskan hubungan antara kerja (labour) dan nilai. Mereka berangkat dari pijakan yang sama, dan berupaya menjawab pertanyaan yang sama soal ‘keadilan’ dalam hubungan ekonomi; satu pertanyaan kuno yang dengan satu dan lain cara berupaya dijawab oleh banyak pemikir di sepanjang zaman dan hendak di jawab lagi oleh Marx di zamannya. Jadi ‘kritik’-nya Marx bukan jenis kritik yang menilai satu sistem pemikiran dari sistem pemikiran lain meski kedua sistem itu memiliki pendasaran dan pertanyaan yang amat berlainan. Kritik-nya Marx berada di bawah cakrawala yang sama dengan ekonomi-politik Klasik. Ini sebabnya kita sering mendengar bahwa kritik Marx coraknya imanen.

Meski tidak ada satupun anak judul ‘nilai’ dalam Kapital, bab-bab awal sebenarnya adalah tempat demonstrasi Marx soal bagaimana kategori nilai beroperasi. ‘Nilai’ nyatanya adalah judul dari bab pertama dari naskah persiapan awal Marx bagi Kapital (1857-58) sebelum ia menggantinya jadi ‘Komoditas’. Pergantian ini Marx lakukan sebab jika memulai dari nilai (seperti Ricardo) maka penjelasan yang diberikan akan sekadar mencocokkan kategori-kategori lanjutannya sesuai dengan proposisi kategori nilai. Ini berarti memulai analisis dari kategori teoretis yang tidak dipertanyakan lebih lanjut. Sains Marx tidak memulai penjelasan dari deduksi satu proposisi kategoris seperti ini. Kalau ini yang dilakukan maka menurutnya kita “akan menghadirkan sains sebelum sains”.[3]

Jawaban-jawaban yang tepat lahir dari pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Ini keahlian Marx sejak muda. Apa yang Marx permasalahkan pertama-tama bukan kesimpulan pendahulunya, melainkan cara mereka mengajukan pertanyaan. Marx meruntuhkan segala kesimpulan pendahulunya, hanya dengan cara mengajukan pertanyaan baru; mengapa dalam masyarakat kapitalis, kerja terungkapkan dalam nilai, dan mengapa ukuran kerja melalui durasinya diungkapkan dalam besaran nilai produknya? Untuk menjawabnya harus dipahami bahwa nilai sebagai kategori ekonomi tak lain adalah ungkapan teoretis, abstraksi dari hubungan sosial produksi.[4] Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan ini mesti dicari lewat penyelidikan atas bentuk-bentuk hubungan produksi. Dalam masyarakat kapitalis, nilai sebagai kategori ekonomi mengandaikan adanya pembagian kelas dalam masyarakat antara kerja dan kapital. Pembagian antara kerja dan kapital ini tidak hadir sejak awal mula kehidupan manusia. Pembagian ini baru hadir ketika proses historis pemisahan produsen langsung dengan sarana produksinya mengemuka. Artinya ketika sejarah mengenal pranata kepemilikan pribadi (private property) atas sarana-sarana produksi. Ini yang nantinya diuraikan oleh Marx dalam konsepsi akumulasi primitif.

Pengandaian kepemilikan pribadi dari kategori nilai ini yang diasumsikan begitu saja dan tidak diperiksa oleh ekonomi-politik Klasik. Padahal, kepemilikan pribadi adalah sebab adanya pembagian antara kerja dan kapital. Oleh ekonomi-politik Klasik, hubungan ini dirancukan dan dialamiahkan. Smith misalnya menjelaskan pembagian antara kerja dan kapital lewat pengertiannya akan hakikat manusia sebagai mahkluk penukar, sebagai mahkluk individual sang homo economicus.[5] Pengandaian ini seperti pura-pura buta dengan tumpukan data-data antropologis-arkeologis yang lama membuktikan bahwa kepemilikan pribadi adalah pranata baru setelah selama sebagian besar hidup spesiesnya, umat manusia hidup dalam bentuk kepemilikan yang berbeda-beda. Artinya apa yang harusnya dijelaskan, malah dijadikan penjelas. Yang sifatnya spesifik-historis jadi bersifat universal, dan yang sebenarnya problem kemasyarakatan dijadikan problem soal bawaan alam. Oleh Smith kapitalisme karenanya hanya sekadar hasil dari perkembangan alamiah kodrat manusia.

Lewat pemeriksaan ini Marx kemudian mengkritik teori nilai sebelumnya. Teori nilai mereka “sahih secara sosial”, “objektif”—namun yang ditekankan Marx, hanya dalam masyarakat kapitalis.[6] Mereka masalahnya, kurang spesifik dan mulai berfilsafat soal hakikat manusia. Bukan kerja yang jadi sumber nilai, melainkan bentuk kerja tertentu yang hadir pasca lahirnya kepemilikan pribadi atas sarana produksi yakni, tenaga-kerja (labour-power). Sejauh kerja dipahami sebagai aktivitas kodrati manusia dalam bentuk pencurahan daya untuk mengubah alam demi memenuhi kebutuhan dasarnya, maka berbagai bentuk kerja (kerja komunal, perhambaan, budak, perupetian, dst) adalah bagian di dalamnya. Sejauh kerja dipahami sebagai aktivitas yang sama dalam konteks hadirnya pembelahan besar masyarakat akibat kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi, maka tenaga-kerja (kerja-upahan) adalah bentuk spesifiknya. Buruh, penjual waktu-kerja demi upah, tidak ada di zaman Dinasti Ming atau di salah satu suku tribal di Papua beberapa puluh tahun lalu.

Dengan ini ‘Kritik atas Ekonomi-Politik’ dapat dimengerti kritik atas kategori terdasar ekonomi-politik yaitu nilai. Kritik ini di satu sisi memperlihatkan watak teoretis dari Kapital (kritik terhadap konsep teoretis) namun di sisi lain juga memperlihatkan ketergantungan teori pada penyelidikan materialisnya yang konsisten. Alih-alih menerima begitu saja kategori nilai Klasik sebagai penjelas dasar dari sistem ekonomi-politiknya sendiri, Marx menyelidiki materialitas dari nilai lewat kesejarahan dari formasi pembagian kerja masyarakat. Dari hasil penyelidikan ini baru kemudian Marx menguraikan jalinan analisis konseptual dalam karyanya. Jalinan konseptual yang ia sebut sebagai metode (penyajian) dialektis ini, karena itu bersandar pada penyelidikan atas sejarah yang konkret, atas bahan-bahan empiris. Sulit sekali karenanya bicara soal pembacaan dan penerapan dialektika Marxis yang abstrak-formal. Dialektika tidak bisa diterapkan lewat cara ditempel-tempelkan. Tanpa penyelidikan, tak ada hak untuk bicara soal kesalinghubungan.***

 

—————-

[1] Arnost Kol’man, The Adventure of Cybernetics in the Soviet Union. Minerva September 1978, Volume 16, Issue 3, pp 416-424

[2] MECW, 40: 270, penekanan pada teks asli.

[3] Lihat surat Marx kepada L. Kugelmann (11 Juli 1858) dalam Suryajaya (ed.) Teks-teks kunci filsafat Marx. Resistbook: 2016).

[4] “Kategori ekonomi tak lain dari ungkapan teoretis—abstraksi dari hubungan sosial produksi” Marx, Kemiskinan Filsafat, Hasta Mitra. hal. 144.

[5] “pembagian kerja…ialah keniscayaan…dari kecenderungan tertentu dalam hakikat manusia…untuk saling barter, menukarkan satu hal dengan yang lain. […] Meski kecenderungan ini ialah salah satu prinsip tulen dari hakikat manusia, tak ada penilaian lebih lanjut bisa diberikan…” Smith, A. (1999). The Wealth of Nations Books I-III. Penguin Books. Hal. 117

[6] “Kategori-kategori ekonomi borjuis sepenuhnya mewujud dalam bentuk-bentuk semacam ini. Kategori ini ialah bentuk-bentuk pikiran yang sahih secara sosial, dan karenanya objektif, bagi hubungan-hubungan produksi yang termasuk dalam moda produksi sosial yang terkondisikan secara historis ini—produksi komoditas”. Hal. 167.

Catch-22 dan Logika Dialetheis

$
0
0

CATCH-22 adalah novel satir anti-perang dengan atmosfer cerita yang serupa dengan novel Slaughterhouse-Five karangan Kurt Vonnegut dan film “proto-Tarantino” Cross of Iron besutan Sam Peckinpah. Dalam novel debutan Joseph Heller ini kita menemukan perpaduan antara tawa dan tangis, antara sentimentalitas dan kebiadaban, dalam wujud yang agak ganjil. Catch-22 berkisah tentang kemalangan Yossarian, seorang pilot pesawat pembom pada Perang Dunia II, menyaksikan kawan-kawan satu skuadronnya mati satu per satu walaupun berusaha sekuat tenaga menghindar dari misi-misi militer yang dibebankan ke pundak mereka. Novel ini disebut-sebut sebagai salah satu novel terbaik Amerika Serikat di abad ke-20 (walaupun saya lebih menyukai Slaughterhouse-Five yang prosanya lebih hemat, kental dan halusinatif). Namun kali ini kita tak akan bicara sastra. Kita tidak akan mendekati Catch-22 sebagai karya sastra, melainkan lebih sebagai suatu problem logika.

Ungkapan “catch-22” merujuk pada situasi paradoksal. Pada bab 5 novel dikisahkan perbincangan antara Yossarian dan dokter Daneeka perihal kemungkinan untuk mangkir dari tugas menerbangkan pesawat pembom. Hanya ada satu cara untuk terhindar dari misi militer itu, yakni bahwa yang bersangkutan gila dan mengajukan permohonan ke dokter Daneeka untuk tidak menjalankan misi atas dasar alasan tersebut. Persoalannya, serdadu yang tidak waras tidak pernah meminta izin ke dokter Daneeka. Mereka terus saja menerbangkan pesawat pembom, menjalankan misi, sampai mereka mampus. Sebaliknya, serdadu yang meminta izin ke dokter Danneeka adalah serdadu waras yang berpura-pura gila. Di sini, dengan demikian, kita menemui sebuah dilema. Di satu sisi, permohonan izin untuk terhindar dari misi mengimplikasikan proses pertimbangan rasional dan karenanya juga kewarasan, sehingga serdadu yang meminta izin itu pasti tidak gila. Di sisi lain, serdadu gila—persis karena ia gila—tidak akan berpikir untuk meminta izin dan karenanya terus berperang. Situasi macam inilah yang disebut “catch-22”.

Paradoks “catch-22” dapat dirumuskan secara rapi menggunakan instrumen logika simbolik (untuk mudahnya, cukup sentential logic dalam tata logika analitik). Ada dua syarat yang mesti dipenuhi agar pilot pembom dibebas-tugaskan:

Syarat 1 : pilot pembom dibebas-tugaskan jika ia gila
Syarat 2 : pilot pembom dibebas-tugaskan jika ia memohon izin dibebas-tugaskan

Kedua syarat tersebut berlaku secara bebarengan. Dengan demikian, apabila kita simbolkan “pilot dibebas-tugaskan” sebagai B, “pilot gila” sebagai G dan “pilot memohon izin dibebas-tugaskan” sebagai I, maka kita dapat merancang persyaratan tersebut dalam bahasa formal berikut:

B ↔ (G ˄ I)

Artinya, “pilot dibebas-tugaskan jika dan hanya jika pilot gila dan ia memohon izin dibebas-tugaskan”. Masalah kemudian muncul dalam konflik di antara kedua syarat tersebut. Apabila kita simbolkan “pilot melakukan pertimbangan rasional” sebagai R, maka implikasi berikut berlaku:

R ↔ ~G

Artinya, “pilot melakukan pertimbangan rasional jika dan hanya jika ia tidak gila”. Implikasi tersebut bertabrakan dengan implikasi berikut ini:

I ↔ R

Artinya, “pilot memohon izin dibebas-tugaskan jika dan hanya jika pilot melakukan pertimbangan rasional”. Di sini masalahnya mengemuka secara utuh:

I ↔ ~G

“Artinya, “pilot memohon izin dibebas-tugaskan jika dan hanya jika ia tidak gila”. Kita dapat meringkas keseluruhan argumen di muka sebagai berikut:

 

Premis 1:            B ↔ (G ˄ I)
Premis 2:            R ↔ ~G
Premis 3:            I ↔ R
Premis 4:            I ↔ ~G

 

Kesimpulannya, tidak ada kesimpulan yang bisa ditarik sebab Premis 1 bertentangan dengan Premis 4. Ada kontradiksi antara Syarat 1 dan Syarat 2 dibebas-tugaskannya sang pilot. Kontradiksi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

B ↔ ~B

Artinya, “pilot dibebas-tugaskan jika dan hanya jika pilot tidak dibebas-tugaskan”. Inilah paradoks yang dialami Yossarian ketika ia hendak meminta izin untuk dibebas-tugaskan pada dokter Daneeka. Inilah “catch-22”.

Di sini, sebelum berusaha memecahkan paradoks Yossarian, kita akan memutar agak jauh untuk mempersoalkan konsep kontradiksi itu sendiri. Apa itu kontradiksi? Kita berjumpa dengan kontradiksi manakala kita menemui suatu pernyataan yang disamakan dengan negasinya. “Kucing adalah bukan kucing,” misalnya. Namun kadang kontradiksi juga tersamar; ia bisa menyaru di balik syarat pengertian dari salah satu term. Paradoks Yossarian adalah contoh kontradiksi yang tersamar (dalam konflik antara dua komponen definisi dari suatu hal yang sama). Contoh-contoh lainnya:

  • “Tuhan Yang Maha Tahu dapat menciptakan sebuah problem logika paling rumit yang bahkan tidak bisa dipecahkan oleh-Nya” (paradoks Maha Kuasa)
  • “Tidak ada pernyataan yang benar” (variasi dari paradoks Penipu)
  • “Saat ini hujan, tapi saya tidak percaya itu” (paradoks Moore)
  • “Sebuah kapal dapat dirakit-ulang per bagian dengan komponen baru dan tetap menjadi kapal yang sama. Tetapi seluruh bagian sisa peninggalan kapal itu juga dapat dirakit menjadi sebuah kapal yang sama dengan kapal pertama.” (paradoks Kapal Theseus)

Dan masih banyak lagi. Kontradiksi yang terdapat dalam rangkaian kalimat itu dalam arti tertentu dapat dianggap benar. Situasi inilah yang disebut paradoks. Namun sungguhkah ada kontradiksi yang “benar”?

Seluruh aparatus logika Klasik—sistem logika Aristoteles yang dirapikan melalui aljabar Boolean—bertopang pada Hukum Non-Kontradiksi, yakni anggapan bahwa setiap proposisi tidak mungkin benar sekaligus salah. Asas dasar inilah yang belakangan ditantang oleh para logikawan kontemporer. Graham Priest, seorang profesor logika dialetheis sekaligus karatekawan Dan 4 serta praktisi Taichi, memandang bahwa wilayah kerja sistem logika Klasik itu sempit dalam arti berlaku untuk kasus tertentu saja. Sementara, untuk kasus-kasus lain, Hukum Non-Kontradiksi bisa saja tidak berlaku. Dalam salah satu artikelnya dalam buku The Law of Non-Contradiction (Oxford 2004), Priest memvisualisasikan dua semesta logis yang berbeda cakupannya.

 

gbr1

 

Inilah alam semesta logika Klasik. Setiap proposisi dalam semesta itu digolongkan ke dalam dua kategori besar: benar atau salah. Dalam semesta inilah fungsi kebenaran dari setiap operator logika dan masing-masing proposisi diperiksa dan diklasifikasi seturut dua nilai kebenaran: 1 dan 0. Hukum-hukum silogisme Aristoteles, tabel kebenaran Boolean dan segala tetek-bengek ilmu logika yang dipelajari mahasiswa S1 dalam mata kuliah Logika atau Critical Thinking mendekam dalam semesta jenis ini. Problemnya, menurut Priest, peta semesta logika Klasik ini hanya menggambarkan sebuah provinsi dari alam semesta logika yang lebih besar. Inilah semesta besar itu:

 

gbr2

 

Semesta logika Non-Klasik ini sungguh raksasa. Di dalamnya hiduplah berbagai empat spesies proposisi:

  • Himpunan proposisi yang benar
  • Himpunan proposisi yang salah
  • Himpunan proposisi yang tidak benar dan tidak salah
  • Himpunan proposisi yang benar sekaligus salah

 

Dua himpunan pertama bisa kita cerap dengan mudah. Himpunan proposisi yang benar misalnya proposisi “1 + 1 = 2”, “Jika A = B, dan B = C, maka A = C”, dsb. Himpunan proposisi yang salah misalnya proposisi “1 + 1 = 24”, “Setiap manusia adalah anjing”, dsb. Lalu bagaimana dengan himpunan proposisi yang tidak benar dan tidak salah? Himpunan itu dihuni oleh, misalnya, proposisi tentang masa depan yang belum bisa ditentukan benar/salahnya (“Tahun depan Roberto Bolaño akan bangkit dari kubur dan menerbitan buku-buku filsafat yang banyak salah ketiknya”), kalimat-kalimat non-proposisional (seperti kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seru, dsb.) atau proposisi lain yang tidak bisa dibilang benar dan tidak bisa dibilang salah.

Kebaruan yang ditawarkan logika dialetheis Priest terletak pada himpunan proposisi keempat. Logika dialetheis adalah logika yang memberi ruang pada proposisi yang benar sekaligus salah. Contohnya adalah proposisi seperti:

  • “Saya berada di dalam sekaligus di luar ruangan”
  • “César Aira sedang duduk sekaligus berdiri”

Proposisi semacam itu, menurut Priest, merupakan contoh kontradiksi yang benar. Proposisi pertama, walupun terstruktur secara kontradiktif, bisa dibenarkan untuk kasus di mana kita sedang berdiri di ambang pintu, yakni di titik yang berada di luar sekaligus di dalam ruangan. Demikian pula dengan proposisi kedua, yakni pada momen ketika Aira tengah beranjak dari kursinya. Kasus-kasus itu, serta kasus-kasus lain yang dikelompokkan oleh para filsuf dalam kategori ‘kekaburan’ (vagueness), dapat dipandang sebagai ilustrasi paling mencolok dari keberadaan kontradiksi yang benar, atau dengan kata lain keberadaan proposisi yang salah sekaligus benar. Di pintu gerbang menuju wilayah ini, terpacak pengumuman: “Hukum Non-Kontradiksi tidak berlaku”.

Apa yang dibuat oleh Priest tidak membatalkan seluruh aparatus logika Klasik, melainkan menetapkan batas pada rentang keberlakuannya. Ini mirip seperti yang dibuat Einstein terhadap fisika Newton, yakni dengan menunjukkan bahwa fisika Newtonian berlaku untuk gejala fisik yang melibatkan benda-benda bermassa kecil sementara relativitas berlaku untuk wilayah fisik Newtonian sekaligus wilayah yang lebih besar yang melibatkan benda-benda bermassa fantastis. Seperti halnya fisika Newtonian dijadikan salah satu provinsi dari fisika Einsteinian, demikian pula halnya semesta logika Klasik dijadikan salah satu bagian kecil dari semesta logika Non-Klasik. Yang satu tidak membatalkan yang lain; yang satu mencakup yang lain.

Kendati menolak kemutlakan Hukum Non-Kontradiksi, Priest bukannya terjebak pada mistisisme murahan dan tetek-bengek retorika ketimurannya. Ia membangun suatu sistem logika formal yang sama ketatnya dengan sistem logika Klasik. Kita tentu tak akan membicarakan rincian formalnya di sini. Perlu juga diingat bahwa Priest tidak membenarkan semua jenis kontradiksi. Tetap ada kontradiksi yang keliru secara logis. Ia sendiri belum merumuskan kriteria kunci untuk memilah kontradiksi yang benar dari yang keliru. Namun, sebagai pembelajar Marxisme, kita dapat menimba pelajaran banyak dari pendekatan logika dialetheisnya.

Ciri dari sistem logika dialetheis adalah kemampuannya menangkap gerak sebagai gerak, perubahan sebagai perubahan, tanpa membuatnya menjadi statis seperti halnya sistem logika Klasik. Contoh kasus vagueness di atas menggambarkan kenyataan ini. Paradoks Timbunan (sorites paradox atau paradox of the heap) yang menggambarkan peralihan dari timbunan pasir ke sebutir pasir melalui pengurangan sebutir demi sebutir merupakan contoh lain dari kasus vagueness yang bisa dipecahkan oleh logika dialetheis. Paradoks semacam ini menandai berbagai aspek pemikiran tentang perubahan. Secara filosofis, Marxisme adalah sebuah konsepsi tentang kenyataan yang dicirikan secara esensial oleh perubahan. Marx bicara, misalnya, tentang komoditas sebagai benda sekaligus relasi sosial, tentang nilai sebagai penubuhan kerja, atau tentang kapitalisme yang ditopang oleh semangat akumulasi sekaligus potensi swa-destruksi melalui kelas proletar. Logika Klasik akan mengesampingkan hal-hal ini sebagai metafisika (seperti yang lazim dilakukan oleh para Marxis Analitik dengan mengganti sosiologi dan ekonomi Marxian menjadi sosiologi dan ekonomi borjuis biasa dengan tambahan simpati moral pada kelas pekerja). Logika dialetheis, sebaliknya, justru mampu memberikan justifikasi logis yang koheren dan sistematis bagi aspek-aspek dinamis-dialektis pemikiran Marx itu.

Cukup soal Marx, kini kita akan kembali ke novel Heller. Apa solusi dialetheis untuk “catch-22”? Kita bisa mulai dengan mempersoalkan rentang pengertian dari ungkapan seperti “rasionalitas” dan “kegilaan”. Apakah keduanya sungguh-sungguh asing satu sama lain? Tidakkah, seperti kata sang Dramawan, “Though this be madness, yet there is method in ’t”? Apa yang mau saya katakan adalah, jangan-jangan, terdapat gradasi antara “rasionalitas” dan “kegilaan” seperti halnya tumpukan pasir dalam sorites paradox atau “ambang pintu” dalam proposisi dialetheis: suatu titik di mana rasionalitas dan kegilaan ada bersama-sama. Kita dapat mengartikan-ulang R (“melakukan pertimbangan rasional”) demikian rupa sehingga tidak eksklusif hanya dimiliki orang waras dan dengan begitu menghapuskan kontradiksi antara Syarat 1 dan Syarat 2. Artinya, proposisi…

G ˄ R

…bersifat kontradiktif tetapi benar, sehingga proposisi…

I ↔ R

…tidak bertabrakan dengan proposisi sebelumnya dan, dengan demikian, proposisi…

B ↔ (G ˄ I)

…menjadi dapat dibenarkan. Melalui uraian ini, nampak bahwa “catch-22” merupakan salah satu kasus dari kontradiksi dialetheis. Oleh karenanya, paradoks Yossarian dapat dipecahkan. Ia bisa saja gila dan memohon izin untuk dibebas-tugaskan. Kendati, mesti diakui, ini adalah salah satu cara paling efektif untuk menyia-nyiakan kenikmatan membaca sastra.***

 

5 Mei 2016

Naskah ‘Pendahuluan’ 1857

$
0
0

ADAKAH di antara pembaca yang saat ini lewat panca indera mampu meraba apa yang biasa disebut sebagai ‘nilai’? Atau adakah di antara pembaca yang sedang mengecap ‘nilai lebih’? Atau, barangkali, adakah satu di antara pembaca yang mampu memandang ‘kelas’? Saya kira tak satupun dari pembaca yang budiman saat ini yang sedang, atau mampu dengan kelima inderanya mencerap nilai, nilai lebih, atau kelas—semua kategori-kategori, istilah-istilah, yang kita kenal dari Marxisme. Kegagapan panca indera untuk secara langsung menangkap kategori-kategori inilah yang dahulu juga merisaukan Marx. Hal Ini ia sadari ketika mempelajari para dedengkot ekonomi-politik sebelum dirinya yang memulai karyanya, persis dengan kategori-kategori tersebut. Adam Smith memulai Wealth of Nations dengan pembagian kelas dalam masyarakat (“On the division of labour”), dan David Ricardo memulai The Principles of Political Economy and Taxation dengan bab berkepala “Tentang Nilai”.

Sejauh yang saya ketahui, soal di atas adalah juga soal metodologis klasik yang terus membayangi ilmu-ilmu sosial hingga saat ini. Pertanyaannya adalah apakah holisme atau individualisme, keseluruhan atau bagian-bagian, relasi atau unit, yang mesti jadi titik berangkat analisis. Holisme, keseluruhan, secara umum adalah cara yang paling sesuai dengan semangat umum ilmu-ilmu sosial karena mampu menangkap watak kolektif dan historis dari unit analisisnya, yakni masyarakat. Dalam kerangka ini, masyarakat dipersepsi sebagai proses. Dalam ekonomi-politik misalnya, proses ini dipahami dalam relasi kelas. Kelas bukanlah benda, bukan juga kategori tertutup yang diam. Sebaliknya, analisis kelas selalu ditandai dengan upaya mencari tahu relasi satu kelas dengan kelas yang lain, corak analisisnya bersifat relasional. Adam Smith yang sudah kita singgung sebelumnya, memandang ‘masyarakat sipil’ dalam corak analisis kelas; masyarakat adalah kesatuan yang disusun oleh tiga kelas besar: kelas pekerja, tuan tanah dan kapital. Analisis kelas ini yang memandu keseluruhan jalinan sistem ekonominya. Namun di ujung berlawanan juga ada individualisme metodologis, yakni metodologi yang menggunakan bagian-bagian, alias unit, sebagai alat tandingan untuk menganalisis masyarakat. Keberatan sisi ini terhadap holisme adalah persis terhadap watak relasionalnya. Bila masyarakat sejak awal diandaikan sebagai sebuah relasi, sebagai sebuah proses, maka darimana proses ini bermula? Apa titik pijak analisisnya? Dalam diskusi ekonomi-politik Klasik, pertanyaannya menjadi bagaimana cara mengetahui kelas yang menjadi substansi masyarakat dalam analisis kelas? Kelas manakah yang jadi tumpuan bagi kelas-kelas lainnya? Inilah salah satu kelemahan dari holisme metodologis yang digunakan oleh Adam Smith. Tanpa titik pijak dalam menganalisis masyarakat, tanpa berangkat dari unit, maka kesimpulan Adam Smith adalah kesimpulan kita juga; masyarakat adalah kesalinghubungan di antara ketiga kelas penyusunnya, oleh karena itu, semua kelas berhak menerima pembagian kemakmuran yang sama dalam distribusinya. Itulah konsekuensi dari analisis yang berangkat dari analisis kelas yang kemudian ditolak oleh…David Ricardo, baik dalam aras metodologis maupun kesimpulan.

Di mana posisi Marx? Hemat saya, Marx justru mengantisipasi ekonomi setelahnya dengan berangkat dari unit bukan relasi. Unit terkecil dari cara produksi kapitalis itu ialah komoditas. Pertanyaannya kemudian (1) apakah dengan berangkat dari unit Marx lalu menihilkan analisis kelas? Sepertinya tidak, (2) lalu bagaimana cara Marx mendamaikan kedua posisi metodologis di atas? (3) Bagaimana hubungan antara objek konsumsi seperti komoditas dengan analisis kelas? Demikian beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan. Tulisan ini sendiri tidak akan berupaya memberi jawaban definitif. Yang akan dilakukan kali ini hanyalah menggunakan sebagian kecil dari naskah “Pendahuluan” 1857 untuk melihat bagaimana penalaran Marx soal relasi produksi – konsumsi dalam kaitannya dengan pilihannya akan komoditas. Naskah “Pendahuluan” 1857 adalah bagian dari serangkaian catatan kasar, sketsa-sketsa, komentar-komentar pribadi, sekaligus sarana klarifikasi-diri yang Marx gunakan untuk merapikan kajian ekonomi-politik di limabelas tahun pertamanya (1843-57) ke pokok-pokok utama (Grundrisse). Saya hanya akan menggunakan bagian kedua naskah tersebut. Dua bagian terakhir, terutama bagian “Metode ekonomi-politik” menurut saya kurang tepat dijadikan acuan karena di sana Marx menuliskannya lebih dalam kerangka membincangkan rancang-bangun enam buku awalnya.[1] Teksnya sendiri disusun dengan urutan sebagai berikut;

(1) Produksi secara umum,
(2) Relasi umum antara produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi,
(3) Metode ekonomi-politik, dan
(4) Kekuatan Produksi dan relasi-relasi produksi, relasi-relasi produksi dan relasi-relasi sirkulasi.

Marx memahami realitas ekonomi masyarakat sebagai suatu proses yang terdiri dari empat momen yang membentuk sebuah totalitas; momen produksi – distribusi – pertukaran (sirkulasi) – konsumsi. Dalam momen produksi, masyarakat menciptakan, mengapropriasi, dan membentuk hasil-hasil alam sesuai dengan hukum-hukum alam demi kebutuhan anggotanya—produksi menciptakan barang-barang alias objek ekonomi. Lalu dalam proses distribusi masyarakat menentukan proporsi pembagian hasil produksi sesuai hasil kerja anggotanya. Kemudian dalam pertukaran, individu menentukan bagian yang ia inginkan dalam batas-batas hasil distribusi yang telah ditentukan masyarakat. Dan terakhir, dalam konsumsi, hasil produksi sampai ke tangan individu sebagai objek pemuas kebutuhannya—hasil produksi menjadi milik individu.

Totalitas ekonomi ini membentuk hierarki dengan produksi sebagai pangkal, distribusi dan pertukaran adalah perantara, dan momen konsumsi merupakan titik akhirnya. Kendati sama-sama berperan sebagai perantara, distribusi dan pertukaran memiliki perbedaan sebab distribusi ditentukan oleh masyarakat, sedang pertukaran ditentukan oleh individu-individu. Dapat dikatakan realitas ekonomi membentuk suatu silogisme; produksi sebagai keumuman (generalitas), distribusi dan pertukaran sebagai partikularitas, dan konsumsi sebagai singularitas. Jadi sekali lagi, totalitas realitas ekonomi dipahami Marx sebagai suatu kesatuan dengan keragaman yang dimulai dari produksi dan diakhiri proses konsumsi. Dari mengingat pengertian ini baru kita bisa melangkah pada penalaran yang beraroma Hegelian berikut.

Relasi produksi dan konsumsi dapat dibagi ke dalam tiga relasi umum. Relasi pertama ialah identitas langsung (immediate identity), jadi dalam relasi ini produksi dimengerti sebagai konsumsi dan konsumsi sebagai sebuah produksi. Meski berlawanan, keduanya membentuk kesatuan. Dalam kegiatan produksi, manusia tidak hanya mengembangkan kemampuannya, melainkan juga, mencurahkan energinya; menghabiskan, mengonsumsi energi tertentu yang kemudian ia ubah ke dalam bentuk lain. Dalam memproduksi sebuah tulisan lewat sebuah komputer misalnya, seorang penulis di saat yang sama juga sedang mengonsumsi energi listrik, serta mengonsumsi nutrisi yang berasal dari makanan yang ia makan sehingga organ otaknya mampu menghasilkan pemikiran. Proses produksi tulisan, adalah juga suatu proses konsumsi tertentu. Dalam penalaran yang sama, aktivitas konsumsi adalah juga sebuah produksi langsung. Bentuknya oleh Marx dibedakan ke dalam dua jenis, yakni konsumsi subjektif dan konsumsi objektif. Konsumsi subjektif ialah konsumsi individual yang sekadar menghabiskan/mendestruksi objek produksi dengan memproduksi sesuatu yang baru secara alamiah. Sebagai contoh, dalam aktivitas mengonsumsi buah apel yang kaya akan vitamin C misalnya, kita sekadar menghabiskan buah apel tersebut, mengunyah-ngunyah, lalu menelannya. Namun dalam proses ini, secara alamiah—lewat metabolisme kimia tubuh—nutrisi yang telah diserap oleh tubuh akan memproduksi sel-sel kulit baru yang kemudian menghaluskan kulit. Konsumsi buah apel adalah juga produksi sel-sel kulit yang baru. Sedang konsumsi objektif ialah konsumsi yang selain menghabiskan/menegasi barang-barang dilakukan secara sadar oleh manusia untuk memproduksi barang-barang baru. Konsumsi ini dasarnya berwatak sosial dengan mengonsumsi barang-barang sebagai sarana-sarana produksi. Contohnya dapat kita lihat dalam konsumsi bahan-bahan mentah, sumber daya alam, atau mesin-mesin dalam produksi di pabrik. Ini yang biasa disebut sebagai konsumsi produktif atau reproduksi.

Relasi kedua, adalah relasi produksi – konsumsi sebagai perantara, sebagai sarana antar satu dan yang lain. Relasi ini berupa saling ketergantungan yang sifatnya (1) eksternal—produksi menciptakan landasan material, objek eksternal, bagi konsumsi—dan yang sifatnya (2) internal, konsumsi menciptakan kebutuhan sebagai tujuan, sebagai objek internal dalam produksi. Tanpa produksi kendaraan bermotor, para konsumen kendaraan bermotor akan kehilangan landasan material, kekurangan sarana, bagi keinginannya untuk mengendari kendaraan bermotor, kebut-kebutan, atau menikmati kemacetan. Artinya, produksi menciptakan sarana dan landasan material bagi konsumsi. Namun di sisi lain, produksi adalah juga sarana konsumsi. Tanpa konsumsi, produksi juga akan kehilangan subjeknya, kehilangan tujuannya—hasil produksi akan tetap ada, namun ia hanya akan menjadi produk potensial[2], bukan produk aktual. Produksi sebuah buku di populasi yang buta huruf, misalnya—produksi bahan bacaan di tengah tiadanya konsumen pembacanya, hanya akan menjadikan tumpukan kertas dengan tulisan tersebut sebagai sebuah buku dalam potensi; produk yang berpotensi sebagai buku. Tanpa populasi yang bisa membaca, tanpa konsumennya, buku tersebut paling-paling hanya akan jadi bahan bakar atau sebuah bantal.

Terakhir, relasi antara produksi dan konsumsi hadir dalam bentuk relasi saling melengkapi dan relasi saling membentuk, menciptakan, menegaskan, baik lawannya maupun dirinya sendiri. Produksi (1) melengkapi konsumsi dengan cara menciptakan objek material bagi konsumsi; tanpa produksi bir secara materiil tidak akan ada peminum bir, penyuka bir, penggila bir—tidak akan ada konsumen bir nya. Lalu (2) produksi juga membentuk kekhasan, membentuk karakter, kespesifikan, bagaimana produk dikonsumsi dan dengan demikian menciptakan konsumennya; produksi sebuah rekaman musik dalam bentuk yang berbeda antara vinyl dan mp3 misalnya, memberi karakter, kekhasan, soal bagaimana produk itu dikonsumsi dan akhirnya pada cara bagaimana rekaman musik dikonsumsi beserta konsumennya. Jadi produksi bukan hanya menciptakan objek konsumsi, tetapi juga menciptakan subjek nya. Terakhir, (3) produksi bukan hanya menciptakan material bagi konsumsi, tetapi juga menciptakan kebutuhan akan material. Produksi atas sebuah Smartphone misal, bukan hanya menciptakan Smartphone itu sendiri, tetapi juga menciptakan kebutuhan akan konsumsi sarungnya, charger-nya, power bank-nya, dan pulsa-nya, agar Smartphone itu sendiri berfungsi sebagaimana adanya. Hal yang sama terjadi juga dalam aktivitas konsumsi. Konsumsi melengkapi produksi dengan cara menghabiskan produk yang diciptakan dari proses produksi, konsumsi juga menciptakan kebutuhan bagi produksi yang baru, menciptakan penyebab yang mendorong produksi karena tidak ada produksi tanpa kebutuhan. Konsumsi mereproduksi kebutuhan. Relasi saling melengkapi dan saling menciptakan diri antara produksi dan konsumsi ini yang dalam ekonomi modern kerap dipersepsi sebagai hubungan pemintaan dan penawaran, yakni relasi antara kebutuhan alamiah dan kebutuhan yang diciptakan secara sosial.

Menyadari ketiga relasi produksi – konsumsi ini menurut saya sedikit banyak akan membantu menjawab pertanyaan mengapa Marx memulai Kapital dengan komoditas, sebuah objek konsumsi. Dalam relasinya sebagai identitas langsung, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia, komoditas—“entah sebagai objek konsumsi atau sebagai sarana produksi”, adalah bagian intrinsik dari produksi itu sendiri; sebagai perantara dari konsumsi, produksi menciptakan material, menciptakan objek eksternal bagi konsumsi; dan terakhir, produksi menciptakan kekhasan, kespesifikan, dari konsumsi. Dari ketiga relasi ini dalam kaitannya dengan cara produksi kapitalis (objek penelitian Marx) maka kita akan mendapatkan komoditas, yakni suatu objek eksternal yang menjadi landasan materiil sekaligus sarana pemenuhan kebutuhan manusia yang khas berlaku umum dalam masyarakat kapitalis.

Dengan berangkat dari komoditas, Marx berupaya menangkap kespesifikan masyarakat kapitalis. Hal ini jadi benar karena walaupun telah hadir jauh sebelum cara produksi kapitalis, komoditas adalah bentuk umum produk kerja kapitalis. Sarana produksi kapitalisme yang paling penting, tenaga-kerja, kerja-upahan, juga hadir dalam bentuk komoditas. Komoditas dijadikan titik berangkat oleh Marx bukan untuk berhenti di dalam komoditas itu sendiri, melainkan karena ia menyadari sebagai sebuah produk khas kapitalisme, komoditas adalah kunci menuju jantung produksi kapitalis. Di balik penalaran soal kesalinghubungan antara produksi – konsumsi ini, menurut saya tersimpan pula upaya Marx untuk mendemokratisasikan pengetahuan dengan cara menghindari penalaran metafisik di awal karyanya. Sebagai benda biasa, komoditas menyediakan sarana penjelasan yang mampu diakses semua orang yang hidup di dalam masyarakat kapitalis; entah laki-laki atau perempuan, tua atau muda, islam atau hindu, di Indonesia atau Jamaika, Marxis atau anti-Marxis, pekerja atau borjuasi, semuanya hanya dengan panca indera mampu mengenal komoditas secara langsung. Adakah satu diantara kita yang saat ini tidak sedang merasakan komoditas? Tidak seperti Smith yang memulai dengan analisis kelas, atau Ricardo yang memulai dengan konsep nilai, Marx berupaya menyajikan karyanya dengan memulai dari hal yang amat dekat dengan kita yang hidup di dalam masyarakat kapitalis—De te fabula narratur; kisah komoditas adalah kisah tentang dirimu.***

 

24 Mei 2016

 

————-

[1] Rancangan enam buku itu terdiri dari Kapital, Kepemilikan Tanah, Kerja-upahan, Negara, Perdagangan Luar Negeri, dan Pasar Dunia & Krisis.

[2] Di sini Marx merujuk pada ‘Potensialitas’ dalam pengertian Aristoteles dalam Metafisika yang biasa diperlawankan dengan ‘Aktualitas’.

Étienne de Saint-Étienne dan Pesona Konservatisme

$
0
0

“DALAM jarak singkat antara masa ketika aku pertama kali menumbuhkan jenggot dan hari ini, ketika jenggotku mulai kelabu, telah terjadi lebih banyak perubahan dan transformasi radikal ketimbang dalam jarak sepuluh generasi, dan kita semua merasa: ‘Ini keterlaluan!’ … Semua jembatan yang menghubungkan hari ini, hari kemarin dan hari sebelum kemarin telah runtuh.” Dengan pengamatan itulah Stefan Zweig membuka memoar yang dituntaskannya tak berapa lama sebelum ia bunuh-diri di Rio de Janeiro, pada bulan Februari 1942. Dalam memoar bertajuk Dunia Hari Kemarin (Die Welt von Gestern) itu, ia menguraikan kesan-kesannya tentang dunia semenjak kelahirannya sebagai warga negara Kekaisaran Austro-Hungaria pada tahun 1881 sampai dengan tahun 1942, beberapa saat sesudah Hitler menganeksasi Austria.

Zweig adalah tipikal intelektual liberal Austria pada masanya: seorang Yahudi yang menerbitkan beberapa novela, menulis artikel tentang musik, berdiskusi dengan Freud, mencibir gerakan Marxis Prusia dan keprimitifan budaya Jerman dibanding Austria, memandang takhayul-takhayul volkisch dengan sebelah mata dan memuja-muja ‘politik akal sehat’ dan ‘nalar publik’. Sebagai seorang intelektual Yahudi yang hidup di zaman kemunculan konservatisme Nazi, Zweig tentu jauh dari pandangan-dunia konservatif. Namun di berbagai bagian memoarnya kita bisa menangkap kesan-kesan konservatif. Yang paling benderang mungkin adalah caranya menatap masa lalu. Die Welt von Gestern menghadirkan masa lalu sebagai ideal yang kepunahannya ke dalam masa kini perlu diratapi. Bagi Eropa di awal abad ke-20, “masa lalu” berarti Eropa yang aristokratik. Namun bagi Zweig yang modernis, aristokrasi itu bukanlah aristokrasi darah, melainkan semacam ‘aristokrasi intelek’, yakni suatu tata sosial yang dipimpin oleh elit kebudayaan di mana massa dan kitsch berada pada satu kategori yang sama. Ia seorang liberal yang begitu menjunjung aristokrasi akal sehat dan, justru karena itu, mewarisi sejumlah ciri dari konservatisme sehari-hari: elitisme, nostalgia dan sejenis puritanisme.

Mengapa konservatisme punya daya pikat bagi seorang intelektual liberal seperti Stefan Zweig? Apa yang membuat konservatisme sinambung dengan liberalisme? Apa sebenarnya konservatisme itu?

***

Tradisi, keluarga, agama, tanah air—empat hal itulah yang biasanya muncul dari mulut setiap konservatif. Keempatnya hampir selalu dipersepsi dalam kerangka nostalgia, seperti mimpi tentang sebuah musim panas yang jauh ketika semua orang belum mengenal dosa, semua orang tahu diri dan belum mengerti arti kata ‘kritik’. Di sana, dibayangkan ada suatu hierarki kodrati yang menstruktur semua makhluk dan benda-benda seturut derajat kemiripan dengan citra-Nya: manusia terpilih, manusia kurang terpilih, hewan-hewan amfibi, binatang tak bertulang punggung, pohon-pohon, batu-batuan, berbagai jenis benda cair dan gas. Lalu seorang konservatif membayangkan Roh Tuhan melayang-layang di atas scala naturae, melampaui hiruk-pikuk dunia, kemudian beralih-rupa ke dalam sesosok Bapak Transendental, duduk tenang di hadapan meja putih: menuliskan Kitab Suci.

Étienne de SaintÉtienne, seorang pemikir obscure yang aktif di pertengahan abad ke-20, menggambarkan itu semua dalam dua jilid risalah filsafat yang kini terlupakan, Roti dan Anggur (Le Pain et le Vin; 1954). Pada jilid pertama, ia mengumbar seluruh khayalan Katolik konservatif tentang tatanan dunia yang semestinya. Dengan gaya berfilsafat yang begitu sastrawi (tipikal sarjana filsafat Prancis), SaintÉtienne melukiskan konstitusi filosofis atas dunia melalui penafsiran ulang kisah penciptaan di Kitab Kejadian. Ia menghadirkan penciptaan dunia sebagai momen pewahyuan yang diturunkan Tuhan pada kenyataan. Di situ, Tuhan adalah sesosok pengarang Ilahiah yang menuliskan ketentuan dasar—semacam AD/ART—alam semesta di ruang kosong dan dengan itu membuat alam semesta ada (lihat Bab 1 buku tersebut yang berjudul Dieu comme un auteur). Beberapa dari ketentuan itu adalah “tidak ada Tuhan selain Aku”, “hormatilah nama Tuhanmu”, “hormatilah orang yang lebih tua”, “belalah negaramu”, “jangan berteman dengan orang homo”, “jangan membaca Das Kapital”, “makanlah menggunakan tangan kanan” dan berbagai ketentuan lainnya. Ketentuan ini berlaku universal dan pelanggaran terhadapnya berarti dosa. Dengan begitu, SaintÉtienne memilah seluruh benda dan peristiwa di alam semesta ini ke dalam dua kategori besar: dosa dan bukan dosa. Keduanya berfungsi seperti lajur debet-kredit dalam sebuah tata akuntansi Ilahi atas hal-ihwal. Dengan cara itu jugalah SaintÉtienne memberikan landasan kokoh, atau apa yang ia sebut “fundamentum inconcussum”, bagi konservatisme.

Pada jilid kedua, ia pungkasi ontologi Katoliknya dengan teori tentang emansipasi politik. Di sana, misteri ekaristi beralih jadi misteri agung ‘persekutuan kaum beriman’ (congregatio fidelium) dalam menumpas para pendosa: kaum komunis, aktivis kemerdekaan Aljazair, kaum homoseksual, para fisikawan, Darwinis dan ilmuwan alam sekuler. Ia membayangkan suatu armageddon, suatu puputan penghabisan seperti dikisahkan dalam Kitab Wahyu, antara orang-orang saleh dan “nabi-nabi palsu”. Kunci kemenangan dalam perang besar ini, menurut SaintÉtienne, terletak pada konsep subjektivitas yang ia tawarkan dalam risalahnya. Baginya, seperti juga bagi Heidegger, sejarah filsafat modern tak lebih daripada sejarah transformasi manusia sebagai subjek, dari apa yang mulanya hamba (subjectum) menjadi pihak berdaulat (subiectum). Di situ terjadi hubris atau ‘kualat’: manusia yang sejatinya hamba Allah malah menyombongkan diri sebagai subjek mandiri. SaintÉtienne mau membalik sejarah seribu tahun itu. Keseluruhan teori emansipasinya didasarkan pada konsepsi subjek sebagai hamba Allah. Dengan begitu, ia mengantisipasi teori subjeksi yang banyak didiskusikan para inteligensia Paris era 1960-an dan sesudahnya sekaligus membawa teori itu pada konsekuensi terjauhnya: sebelum dipanggil sebagai subjek ideologi, subjek kapital maupun subjek tanda-tanda, manusia pertama-tama dipanggil sebagai subjek Allah. Dalam perang penghabisan, tulis SaintÉtienne, “hanya Tuhan yang dapat menyelamatkan kita”.

Risalah itu ditutup dengan sederet lampiran yang mengetengahkan dimensi-dimensi filosofis dari laku hidup beriman. Misalnya, membuat tanda salib ia tafsirkan sebagai gestur “pelampauan atas metafisika” (surmonter le métaphysique), merapal doa rosario sebagai laku “penyangkalan praktis terhadap materialisme dialektis” (dénégation pratique du matérialisme dialectique) dan menerima sakramen pertobatan sebagai “prasyarat pertama emansipasi radikal” (la premier exigence de l’émancipation radical). Dalam lampiran-lampiran itu, kita dapat mengenali konsistensi sikap SaintÉtienne terhadap musuh-musuh bebuyutannya: Marxisme, sekularisme, modernisme. Ketiganya senantiasa ditampilkan sebagai momok yang keberadaannya menyinggung perasaan umat Allah. Konsepsi perubahan sosial yang ditawarkan SaintÉtienne memang bertolak belakang dengan ketiga musuhnya. Ia membayangkan perubahan sosial dengan mengakarkannya pada penelusuran etimologis dari kata ‘tobat’ yang dalam bahasa Yunani Koine disebut metanoia dan dalam bahasa Latin disebut conversio. Dalam bahasa kuno itu, pertobatan melibatkan ‘pembalikan’ atau ‘pergeseran pikiran’ (meta + noeō), yakni peralihan pandangan dari dunia material ke tatanan rohani hal-ihwal. Maka dari itu, masuk akal bila kemudian SaintÉtienne mengartikan emansipasi sebagai suatu gerakan moral, suatu pergeseran pandangan hidup, meninggalkan kedurjanaan saeculum, kekacauan modernitas dan kembali pada tatanan kodrati yang ditetapkan Tuhan pada kenyataan. Konsepsi perubahan dalam konservatisme SaintÉtienne, dengan demikian, betul-betul merupakan anathema dari Marxisme.

Filsafat Étienne de SaintÉtienne tampak begitu fantastis bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Pandangannya lebih terasa seperti halusinasi budayawan reaksioner dalam novel Nazi Literature in the Americas ketimbang seperti opini filsuf betulan. Dalam sebuah wawancara di majalah Minute, ia terang-terangan menyebut dirinya “filsuf kontra-revolusioner”. Ia membanggakan tradisi besar konservatisme Prancis—suatu genealogi tua yang merentang dari Jacques Mallet du Pan, Joseph de Maistre, Vicomte de Chateaubriand, Vicomte de Bonald, Henri Vaugeois, Charles Maurras hingga SaintÉtienne sendiri.

Keluarga, negara dan agama bagi SaintÉtienne adalah seperti tritunggal Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Ketiganya adalah momen-momen berbeda dari satu substansi yang sama (les moments hypostatique). Ketiganya diikat oleh apa yang disebutnya sebagai “tradisi suci” (la tradition sacrée), yakni tradisi yang ditetapkan oleh Allah sewaktu Ia menciptakan langit dan bumi. Tradisi itu berfungsi sebagai cetak biru tatanan masyarakat kodrati, dalam arti yang kurang lebih sepadan dengan AD/ART alam semesta. Dibaca melalui prisma itu, “keluarga” adalah tradisi suci yang mengejawantah dalam hubungan darah, “negara” adalah tradisi suci yang mengejawantah dalam hubungan sosial, sementara “agama” adalah tradisi suci yang mengejawantah dalam hubungan antara manusia dan Penciptanya. Ketiganya, dengan demikian, adalah momen-momen berbeda dari tradisi yang sama. Dosa, kesalehan, laknat dan keselamatan ditentukan dari apakah manusia memegang teguh tradisi suci itu atau tidak.

Satu aspek signifikan yang mencirikan pandangan filsafat SaintÉtienne di samping penekanannya pada tradisi ialah peran yang ia berikan bagi agen yang menjadi motor perubahan sosial. Selaras dengan pandangan-dunia konservatifnya, ia menggambarkan agen perubahan itu dalam sosok gembala, yaitu seorang atau segelintir cendekiawan saleh yang berhasil mengebawahkan iptek pada imtak dan dengan kebijaksanaannya menggembalakan masyarakat ke jalan yang ditentukan Allah. Filsafatnya, pada arti tertentu, dapat disebut sebagai ‘filsafat pastoral’. Gembala yang dibayangkannya adalah sosok elit, semacam padri, dengan moralitas lurus, wawasan kultural yang adiluhung dan kemampuan berbicara dalam bahasa akar rumput dan bahasa roh. Dalam hal ini, SaintÉtienne banyak berhutang pada Plato sebagai pemikir pertama yang menteorikan landasan filosofis bagi konservatisme. Hal ini makin diperkuat oleh fakta bahwa SaintÉtienne menulis buku komentar sepanjang empat jilid atas dialog Politeia. Di sana, ia memuji “keberanian sang filsuf dalam menegaskan apa yang barangkali merupakan kebenaran tertinggi dalam politik, yakni bahwa segelintir orang memang ditakdirkan lebih unggul dan memiliki kompetensi lebih untuk memimpin massa rendahan” kemudian menyayangkan kenapa Plato, dalam dialog Nomoi, menjadi agak lunak dengan mengakui konstitusi campuran yang memadukan aristokrasi dan demokrasi—“nerakanya politik” (Démocratie—c’est l’enfer de la politique), kecamnya. Tak heran bila SaintÉtienne memodelkan aristokrasi pastoral ini pada sosok seperti Nabi Musa, filsuf-kaisar Marcus Aurelius dan Paus Bonifacius VIII. Berkenaan dengan Nazi, pandangannya pun konsisten, yakni bahwa “Hitler pada dasarnya seorang Katolik” dan bahwa kekalahan Nazi disebabkan oleh “kelemahan iman orang Jerman pada umumnya”. “Di lubuk terdalam hati saya, saya tetaplah seorang Pétainiste,” kata SaintÉtienne pada wartawan Minute.

***

Lantas apa yang membuat konservatisme macam itu mempesona banyak orang waras? Yang jelas, dari kasus SaintÉtienne, kita dapat menyimpulkan bahwa konservatisme bukan perkara—dan tak dapat diciutkan pada—anti-intelektualisme. Sosok SaintÉtienne sendiri mencerminkan intelektualitas yang tidak remeh-temeh; ia memiliki kepekaan pada teks-teks filsafat Klasik, ketelatenan menelusuri evolusi makna kata sepanjang ribuan tahun, serta kegesitan intelektual untuk mengurai problem-problem filsafat kontemporer yang pelik. Ia sama sekali tak bisa dikesampingkan sebagai sekadar “intelektual bodrex” atau seorang buta huruf yang antusias. Hal yang sama berlaku juga pada para pemikir konservatif kaliber dunia: Chateaubriand, Edmund Burke, Ernst Jünger, Carl Schmitt dan Leo Strauss. Bahkan Goebbels menulis novel, naskah drama dan disertasi tentang konsep teater romantik Wilhelm von Schütz. Pesona konservatisme, singkatnya, bukanlah pesona kebodohan. Akar gejalanya lebih dalam ketimbang itu.

Konservatisme mensyaratkan latar sejarah sosial dan ekonomi-politik tertentu, itu jelas. Tak ada Reich Ketiga tanpa Perang Dunia I, kekacauan sosio-politik Republik Weimar dan kontradiksi kapitalisme. Itu sudah banyak diteliti dalam kajian-kajian tentang gerakan ekstrem Kanan. Di sini, saya akan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, tepatnya dari aspek subjektifnya. Bagaimana konservatisme bekerja dalam alam pikir dan suasana hati orang-orang? Konservatisme memikat orang dengan cara yang serupa seperti halnya fiksi memikat pembaca. Kita seperti diajak masuk ke dalam dunia baru dengan panorama yang fantastis tapi sekaligus juga mudah dipercaya. Kita dengan mudah percaya pada, dan bahkan berempati dengan, sosok seperti Nyai Ontosoroh, Pengeran Hamlet, Toru Watanabe, serta pasangan petani Isak dan Inger. Begitu pula dengan konservatisme. Kita dibuat percaya pada ideal-ideal tradisionalitas, diajak menangguhkan kritisisme terhadap prasangka rasial dan takhayul religio-politik yang ada di dalamnya. Semua ini terjadi bukannya tanpa nalar. Yang lebih tepat untuk dikatakan adalah bahwa di sini, nalar memperoleh signifikansi baru. Secara estetis, ini adalah jenis nalar yang membuka diri terhadap berbagai halusinasi Ilahiah, kegilaan-kegilaan kudus yang paling mengerikan, gelora yang mengharu-biru akan Sang Maha Asing. Dari perspektif konservatif, ini samasekali tidak irasional, ini justru cerminan dari nalar yang telah di-upgrade melalui iman dan takwa.

Kita lihat di sini, pesona konservatisme berasal dari fakta bahwa ia memiliki struktur yang menyerupai fiksi. Konservatisme adalah fiksi tentang tradisi, agama, keluarga dan negara yang tumbuh dari latar sejarah sosial dan ekonomi-politik yang tertentu. Kritik terhadapnya tak bisa diwujudkan dalam bentuk kritik historis, sosiologis dan ekonomi-politik saja; kritik terhadapnya mesti juga menjawab tantangan fiksi. Sebab misteri yang menyelubungi pesona konservatisme adalah misteri yang menstruktur fiksi itu sendiri.

Misteri konservatisme adalah misteri Étienne de SaintÉtienne.***

 7 Juni 2016

Viewing all 163 articles
Browse latest View live