Quantcast
Channel: Logika – IndoPROGRESS
Viewing all 163 articles
Browse latest View live

Warisan Pemikiran Roy Bhaskar

$
0
0

19 NOVEMBER yang lalu, Roy Bhaskar meninggal karena serangan jantung. Ia adalah seorang filsuf Marxis keturunan Inggris-India yang mengajar di University of London. Ram Roy Bhaskar dilahirkan sebagai anak dari seorang dokter India yang pindah ke Inggris dan ibu Inggris yang menghabiskan masa kecilnya di Afrika Selatan. Keduanya adalah penganut teosofi. Bhaskar sendiri menempuh perjalanan hidup yang lumayan unik. Andrew Colliers memaparkan beberapa rincian menarik dari hidupnya dalam buku pengantar yang ia tulis tentang filsafat Bhaskar (Colliers 1994: 262-263). Sewaktu kuliah filsafat di Oxford, Bhaskar mencari penghasilan tambahan dengan menjadi penjaga keamanan (bouncer) di sebuah kelab malam di Brighton. Ia mengalami radikalisasi (baca: menjadi Kiri) setelah mengalami masa-masa gejolak perlawanan 1968. Pada tahun 1971, ia menikah dengan Hillary Wainwright, seorang aktivis Kiri yang kemudian aktif mengelola jurnal Red Pepper. Masa bulan madu keduanya dihabiskan di ‘wilayah-wilayah yang terbebaskan’ (liberated zones) di Mozambik dan Angola dalam lindungan Front Pembebasan Mozambik (Frelimo) dan Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA).

Pada tahun 1975, terbit karya pertamanya—saya melihatnya sebagai karya terbaik Bhaskar—yang merupakan olahan dari disertasi doktoralnya dengan judul A Realist Theory of Science. Dalam buku ini, kita mengenali gaya berfilsafat Analitik yang serupa dengan gaya pembimbing disertasinya, Rom Harré, seorang filsuf Analitik yang mengkaji filsafat ilmu (philosophy of science). Gaya bahasanya ringkas, sistematis, tidak bertele-tele. Kepustakaannya dipenuhi acuan ke berbagai perdebatan terkini dalam filsafat ilmu Analitik. Uniknya, di buku itu kita tak akan temukan satu acuan pun ke Marx atau corpus teoretik Marxisme. Buku itu mencetuskan pandangan realisme kritis—yang akan kita bahas nanti—sebagai suatu konsepsi filsafat ilmu yang sebetulnya, kalau dibaca teliti, bisa dijadikan dasar bagi kerangka analisis Marxian. Posisi epistemologi realis yang diangkatnya sepenuhnya selaras dengan filsafat Marxis. Begitulah memang cara Bhaskar berfilsafat: ia membenarkan Marxisme tanpa berargumen secara dogmatik dari otoritas tekstual Marxisme. Berbeda dari Althusser yang cenderung berangkat dari analisis tekstual atas Marxisme untuk menjustifkasi Marxisme, Bhaskar berangkat dari analisis logis atas masalah-masalah filsafat yang ujungnya membuat Marxisme benar adanya, membuat Marxisme masuk akal. Cara dia membahas filsafat ilmu alam dan ilmu sosial, kendati tidak bertopang pada teks-teks Marxis, tetapi menggenapi Marxisme. Inilah yang bisa kita saksikan dalam karya keduanya yang juga bagus, The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the Contemporary Human Sciences (1979). Di sana—seperti juga akan kita bahas nanti—Bhaskar mengetengahkan suatu ontologi tentang masyarakat (soal struktur-agensi, determinisme-voluntarisme, fakta-nilai) yang klop dengan Marxisme tetapi diargumentasikan tanpa menyeret-nyeret teks-teks kanonik Marxisme. Ia juga mengisi beberapa entri yang sangat jernih tentang pokok-pokok filsafat Marxis (misalnya, dialektika, determinisme, dll) dalam kamus pemikiran Marxis yang disunting oleh Tom Bottomore (2001).

 

Pendekatan Realis dalam Ilmu Pengetahuan

Kemunculan Bhaskar dalam panorama filsafat kontemporer dapat dilihat sebagai perlawanan terhadap dua posisi ekstrem yang saling menegasi dalam sejarah filsafat kontemporer: positivisme dan pascamodernisme. Sementara yang pertama mereduksi realitas objektif ke realitas yang teramati (sebagai fakta empirik), yang kedua mereduksi realitas objektif ke wilayah yang berkorelasi secara konstitutif dengan manusia (entah bahasa, ketaksadaran, tubuh, kesadaran intensional, pengalaman faktis-eksistensial). Keduanya sama-sama mereduksi realitas ke realitas dimana keberadaan pengamat sentral di dalamnya—keduanya tidak berhasil memahami realitas tanpa mengasumsikan adanya manusia. Keduanya, dengan demikian, menggambarkan kecenderungan umum epistemologi kontemporer: antirealisme. Setiap antirealisme, pada analisis terakhir, akan terjatuh pada solipsisme: tidak berbicara tentang apapun selain mengenai apa-apa saja sejauh berkorelasi dengan diri. Akibatnya, sains menjadi tidak dimungkinkan.

Bhaskar berangkat dengan sebuah pertanyaan dasar: apakah syarat kemungkinan bagi adanya sains? Ada dua syarat kemungkinan pokok (Bhaskar 1976:21).

  • Pertama, sains dimungkinkan sejauh sains merupakan produk sosial dari sejarah perdebatan dalam masyarakat. Inilah yang disebut sebagai dimensi transitif dari ilmu pengetahuan. Pengetahuan kita tentang sesuatu hari ini dibentuk oleh konsep-konsep yang diturunkan dalam sejarah pengetahuan manusia. Misalnya, teori relativitas Einstein dirumuskan dalam dialog kritis dengan teori gravitasi Newton. Dalam arti inilah Bhaskar menulis tentang suatu proses “produksi pengetahuan dari dan melalui pengetahuan” (Bhaskar 1976:24).
  • Kedua, sains dimungkinkan sejauh sains merupakan sains-tentang-sesuatu dan sesuatu itu dapat ada dengan atau tanpa sains. Inilah yang disebut sebagai dimensi intransitif ilmu pengetahuan. Agar pengetahuan tentang sesuatu mungkin, sesuatu itu harus dapat ada tanpa adanya pengetahuan tentangnya. Adanya sesuatu tidak mensyaratkan pengetahuan tentang sesuatu itu—pengetahuan tentang x tidak bersifat konstitutif terhadap adanya x. Kendati Newtonlah yang menemukan hukum gravitasi, namun gravitasi itu sendiri sudah ada tanpa perlu dirumuskan oleh Newton. Dengan mengakui kedua syarat kemungkinan pengetahuan ini, Bhaskar sejatinya ingin mengafirmasi pengertian bahwa pengetahuan adalah konstruksi sosial sekaligus pengertian bahwa pengetahuan adalah tentang objektivitas.

Bagaimana Bhaskar mendamaikan dua syarat kemungkinan yang nampak paradoksal itu? Sementara dimensi transitif pengetahuan cenderung menarik kita pada pengertian tentang pengetahuan sebagai aktivitas subjektif dan korelatif terhadap pengamat, dimensi intransitifnya menarik kita pada pengertian tentang pengetahuan sebagai aktivitas yang tertuju pada objektivitas yang a-korelatif terhadap pengamat. Bhaskar menyelesaikan paradoks ini dengan mengajukan sebuah pertanyaan transendental: mesti seperti apakah dunia agar pengetahuan tentangnya dimungkinkan? Dengan pertanyaan ini, Bhaskar membasiskan epistemologi pada ontologi.[1] Kalau pengetahuan ada dan pengetahuan adalah selalu pengetahuan tentang sesuatu di luar pengetahuan itu sendiri, maka adanya dunia niscaya independen terhadap adanya pengetahuan. “Karena ada sains,” demikian Bhaskar, “pastilah ada dunia yang tertentu” (Bhaskar 1976:29). Artinya, justru karena ada dimensi intransitif dalam pengetahuan, maka pengetahuan itu sendiri dimungkinkan, berikut dengan dimensi transitifnya. Intransitivitas pengetahuan mendeterminasi transitivitasnya. Sejarah perdebatan saintifik bisa ada justru karena ada objek yang agar ada tidak memerlukan tautan dengan (pengetahuan) manusia. Dengan kata lain, agar ada sains samasekali, sains mestilah realis. Dimensi historis dan sosial dari sains dimungkinkan oleh dimensi realisnya.

Bhaskar mengkontraskan pandangannya ini dengan dua pandangan yang dominan dalam filsafat ilmu pengetahuan. Yang pertama adalah empirisisme klasik Hume dan derivat kontemporernya, yakni positivisme Ernst Mach dan Lingkaran Wina. Pandangan ini memahami realitas sebagai kesan indrawi atau data yang terberi lewat observasi langsung. Realitas, bagi mereka, tersusun oleh atom-atom yang teramati dan seluruh peristiwa dalam alam dapat diterangkan berdasarkan penjelasan atas interaksi elementer antar atom yang dapat diobservasi itu. Yang kedua adalah idealisme transendental Kant dan derivat kontemporernya seperti fenomenologi Husserl dan pascamodernisme. Pandangan ini memahami realitas sebagai efek dari medium pengetahuan manusia. Dunia adalah hasil mediasi manusia sehingga adanya manusia bersifat konstitutif terhadap adanya dunia. Dalam pandangan ini, adanya dunia dijelaskan oleh adanya ‘dunia-kehidupan yang dialami secara subjektif’, ‘diskursus’, tentang dunia. Kedua pandangan ini sama-sama problematisnya. Keduanya bergantung pada realisme empiris, yakni pandangan yang menyamakan apa yang ada dengan apa yang nampak atau apa yang berkorelasi dengan subjek. Bagi Bhaskar, problem utama realisme empiris adalah bahwa pandangan ini terjatuh ke dalam kekeliruan epistemik (epistemic fallacy), yakni ilusi bahwa proposisi tentang apa yang ada dapat direduksi ke dalam proposisi tentang pengetahuan kita mengenai apa yang ada.[2] Dengan kata lain, realisme empiris telah mereduksi ontologi pada epistemologi, mereduksi pertanyaan “apa itu kenyataan” menjadi pertanyaan “siapakah aku”.[3]

Mengatasi kedua pandangan tersebut, Bhaskar mengajukan posisisnya sendiri yang ia sebut sebagai realisme transendental. Realisme artinya mengakui sentralitas dimensi intransitif pengetahuan dan transendental berarti berangkat dari pertanyaan tentang syarat kemungkinan ontologis bagi adanya pengetahuan. Melawan empirisisme, Bhaskar menyatakan bahwa objek pengetahuan tidak berhenti pada benda-benda empirik sebagai atom dan peristiwa sebagai interaksi antar atom tersebut, melainkan mesti juga mencapai penjelasan tentang struktur, tendensi atau mekanisme yang inheren dalam realitas kendati tak teramati secara empirik samasekali. Melawan idealisme, Bhaskar menyatakan bahwa ada dimensi intransitif yang konstitutif terhadap adanya pengetahuan. Kendati pengetahuan dibentuk oleh pengalaman intersubjektif, tetapi objek pengetahuan itu dapat ada tanpa adanya subjektivitas dan intersubjektivitas samasekali.

Realisme transendental adalah sebuah filsafat ilmu realis yang ditopang oleh ontologi yang terstratifikasi. Artinya, realitas dipandang tersusun oleh lapisan-lapisan yang hirarkis. Dalam kerangka inilah Bhaskar merumuskan pemilahannya atas tiga domain realitas berikut dengan elemen spesifiknya (Bhaskar 1976:13).

 

bhaskar

 

Domain riil adalah wilayah mekanisme dan struktur yang imanen dalam realitas, yang tidak menampak langsung pada observasi empirik namun sekaligus disyaratkan bagi adanya aktualitas peristiwa, objek empiris dan pengalaman atasnya. Inilah domain esensi realitas yang menjadi objek sesungguhnya dari pengetahuan yang benar. Domain aktual adalah wilayah peristiwa-peristiwa yang merupakan efek dari mekanisme riil yang inheren dalam benda. Peristiwa-peristiwa ini dapat diamati. Domain empiris adalah wilayah objek-objek yang dapat diobservasi. Kalau domain riil, aktual dan empiris dinotasikan secara berturut-turut sebagai Dr, Da dan De, maka hubungan di antara ketiga domain tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Dr ≥ Da ≥ De (Bhaskar 1976:56). Tiga domain realitas ini dapat kita pahami lebih jelas dalam contoh sederhana berikut ini:

 

bhaskar1

 

Melalui contoh tersebut, terlihat bahwa kendati apa yang disebut gravitasi tak pernah dipersepsi secara langsung namun keberadaannya disyaratkan agar kita dapat memikirkan sebab bagi peristiwa empirik jatuhnya apel dari pohon. Epistemologi empirisis tidak akan mencapai pengertian tentang gravitasi semacam itu, karena apa yang tidak menampak melalui observasi kemudian dengan cepat dilabeli sebagai ‘metafisika’ dan tak digubris samasekali. Epistemologi idealis, kendati mungkin saja mempostulatkan adanya gravitasi, akan mereduksi gravitasi itu pada kerangka subjektif, misalnya, sebagai efek diskursif atau sebagai konvensi intersubjektif. Hanya realisme transendentallah yang mampu menangkap gravitasi pada dirinya: memahaminya sebagai realitas yang ada di seberang yang-indrawi (contra empirisisme klasik) sekaligus mengakui independensinya terhadap keberadaan subjek (contra idealisme transendental).

Realisme empiris mampu menjelaskan realitas sejauh realitas itu dimengerti sebagai totalitas yang tertutup, dengan kata lain, sebagai sistem yang tertutup dimana ‘konjungsi konstan’ di antara peristiwa terjadi. Sistem yang tertutup (closed system) ialah kondisi dimana berlaku proposisi “jika x maka y”. Dengan kata lain, sistem yang tertutup adalah suatu kondisi dimana sebuah peristiwa dapat diderivasikan dari sebuah sebab elementer secara niscaya. Misalnya, arah sinar matahari menyebabkan arah perkembangan dedaunan sebuah tanaman (fototropi), sejauh kita menempatkan semua faktor lain dalam asumsi ceteris paribus. Kondisi ‘ceteris paribus’ ini bersifat esensial dalam perumusan setiap sistem tertutup. Apabila kausalitas tersebut ditentukan juga oleh faktor-faktor lain, dan faktor penentu ini dimasukkan dalam analisis maka kesimpulan yang diperoleh tentu berbeda.

Problem dari ketergantungan realisme empiris pada sistem yang tertutup terletak pada konsepnya tentang penjelasan (explanation). Teori tentang penjelasan yang terdapat dalam realisme empiris dirumuskan oleh Karl Popper dan Carl G. Hempel. Bagi Popper-Hempel, menyatakan ‘x menjelaskan y’ berarti berkata tentang dua hal: pertama, x merupakan hukum dari y (deduktif-nomologis); kedua, ‘x menjelaskan y’ adalah regularitas empirik atau hal yang terus-menerus terjadi sebagaimana diamati (induktif-statistis) (Bhaskar 1976:66). Hempel menyatakan bahwa karena penjelasan adalah proses derivasi, maka penjelasan identik dengan prediksi (Manicas 1987:250). Dengan teori penjelasan ini, realisme empiris terjatuh ke dalam kekeliruan mendasar yang disebut Bhaskar sebagai aktualisme, yakni menyamakan domain riil dengan domain aktual. Ini terlihat dari cara Popper-Hempel menempatkan hukum pada aras peristiwa yang teramati secara empirik. Padahal regularitas empirik atau konjungsi konstan di antara peristiwa bukanlah fakta elementer realitas. Regularitas atau konjungsi itu, bagi Bhaskar, tak lain adalah hasil dari fabrikasi artifisial sains yang dilakukan lewat eksperimen.

Proses eksperimen adalah proses produksi prakondisi-prakondisi yang diduga memicu munculnya peristiwa tertentu dan memilah-milah prakondisi mana yang memiliki tautan positif-kausal terhadap peristiwa itu melalui uji-coba. Oleh karenanya, regularitas empirik yang muncul dalam eksperimen selalu merupakan regularitas yang difabrikasi oleh ilmuwan. Dalam arti inilah Bhaskar menulis bahwa “konjungsi-konjungsi antar fenomena tidak terberi pada kita, melainkan kita ciptakan” (Bhaskar 1976:54). Kondisi eksperimental inilah yang disebut Bhaskar sebagai ‘penutupan’ (closure) atas sebuah sistem. Dengan demikian, sistem yang tertutup bukanlah sesuatu yang ada dalam realitas, melainkan hasil laku penutupan yang dijalankan ilmuwan dalam mengisolasi prakondisi tertentu yang memiliki tautan positif-kausal terhadap peristiwa.[4] Oleh karena sistem yang tertutup adalah hasil konstruksi eksperimental dan kemungkinan bagi ditutupnya sesuatu mensyaratkan keterbukaannya, maka realitas adalah sistem yang terbuka dan mencakup sesuatu yang lebih dari sekedar yang-empiris. “Agar sains mungkin dunia mesti terbuka; manusialah yang menutupnya secara eksperimental. Dan mereka melakukannya untuk menemukan struktur, bukan untuk mencatat pola peristiwa” (Bhaskar 1976:126). Dalam sistem yang terbuka—totalitas kenyataan itu sendiri—ada keragaman mekanisme atau struktur yang non-empirik dan inheren dalam setiap benda serta peristiwa. Tugas sains yang realis adalah menutup keterbukaan ini dan mencari dimensi intransitif dalam fenomena kausal yang ditemukannya dalam sistem tertutup itu—bukan hanya regularitas empirik tetapi juga struktur implisit yang bisa ada tanpa eksperimen dan pengamat. “Sains,” tulis Bhaskar, “adalah upaya sistematis untuk mengekspresikan dalam pikiran struktur dan modus tindakan benda-benda yang ada dan berlaku secara independen terhadap pikiran” (Bhaskar 1976:250)

Di luar persoalan intransitivitas ilmu pengetahuan, Bhaskar juga mengingatkan kita bahwa realisme transendental tidak dapat dimengerti sebagai sejenis ‘absolutisme epistemologis’ atau pengertian bahwa semua keyakinan kita tentang dunia pasti benar seratus persen. Absolutisme semacam ini justru mengantarkan kita pada idealisme yang mereduksi dunia pada pengetahuan tentang dunia. Dalam kaitan dengan itu, ia mengritik konsepsi tentang pengalaman sebagai sesuatu yang ‘bebas-teori’ (Bhaskar 1976:248). Konsepsi semacam inilah yang melandasi teori korespondensi tentang kebenaran, yakni pengertian bahwa kebenaran adalah kecocokan antara proposisi dan ‘hal-ikhwal’ (state of affair) yang dideskripsikan oleh proposisi tersebut. Bhaskar menulis: “Tidak ada jalan dimana kita dapat melihat dunia lalu melihat sebuah kalimat dan kemudian bertanya apakah keduanya cocok” (Bhaskar 1976:249). Kecocokan ini tidak dimungkinkan karena kalimat observasi dasar (atau ‘kalimat protokol’) telah selalu membawa suatu teori tertentu (theory-laden)—sebagaimana ditunjukkan, misalnya, oleh Otto Neurath. Oleh karenanya, menurut Bhaskar, realisme mesti menerima relativitas epistemologis. Relativitas epistemologis adalah pengertian bahwa semua kepercayaan dan pengetahuan adalah produk sosio-historis (dimensi transitif sains) dan, oleh karenanya, dapat keliru. Ini mesti dibedakan dari jenis relativisme yang merusak sains, yakni relativisme putusan (judgemental relativism) yang menyatakan bahwa semua kepercayaan/pengetahuan sama benarnya sebab tak ada kriteria dasar-universal yang dapat memilah pengetahuan yang benar dari yang keliru (Bhaskar 1989:57). Relativisme epistemologis dapat menjaga realisme dari bahaya terjatuh pada sikap ideologis yang menganggap bahwa proposisi elementer dalam pengetahuan niscaya transparan terhadap paradigma teoretik yang kita gunakan. Dalam arti itu, Bhaskar menyebut relativitas epistemologis sebagai ‘tangan kanan’ realisme (Bhaskar 1976:249).

 

Persoalan Naturalisme: Ilmu Alam dan Ilmu Sosial

Dalam ranah ilmu alam, realisme transendental Bhaskar dengan mudah dapat dipertahankan. Lantas apakah realisme tersebut dapat diberlakukan juga pada ranah ilmu sosial? Pertanyaan ini sudah coba dijawab Bhaskar dalam bagian akhir buku Realist Theory of Science. Di sana ia segera mengakui bahwa persoalannya tidak semudah kelihatannya. Problem dasarnya adalah bahwa ‘penutupan’ secara eksperimental tidak dapat dijalankan dalam kajian sosial.[5] Sementara dalam ilmu alam, kita dapat memanipulasi kondisi penelitian demi tujuan mengisolasi mekanisme kausal yang bekerja dalam sebuah sistem, dalam ilmu sosial kita tidak mungkin melakukannya karena terlalu banyak variabel yang berperan dalam realitas sosial. Metode isolasi variabel tidak dapat dijalankan dalam ilmu yang objek kajiannya adalah manusia—yang pada dirinya mengandung banyak sekali variabel yang tidak dapat disingkirkan lewat isolasi tanpa menghapuskan kekhasan manusia itu sendiri. Tantangan ilmu sosial terhadap realisme transendental inilah yang dijawab Bhaskar dalam buku keduanya, The Possibility of Naturalism, dengan suatu pengertian tentang naturalisme kritis.

Tesis dasar naturalisme adalah kesatuan metodologis di antara seluruh ilmu pengetahuan. Artinya, seorang naturalis adalah ia yang meyakini bahwa masyarakat dapat diteliti dengan cara yang sama seperti alam. Tidak ada separasi metodologis yang hakiki antara ilmu sosial dan ilmu alam. Sebaliknya, antinaturalisme adalah kepercayaan tentang adanya separasi metodologis yang hakiki di antara kedua kelompok ilmu tersebut. Dalam pemetaan Bhaskar, kedua kubu ini dapat dipilah sebagai berikut (Bhaskar 1989:1):

 

bhaskar2

 

Berhadapan dengan kedua tradisi besar dalam filsafat ilmu sosial ini, Bhaskar tidak memilih berpihak pada salah satu dari antara keduanya. Bhaskar memilih untuk mengkritik keduanya dan merumuskan sebuah pendekatan baru yang merupakan sintesis dari oposisi tersebut.

Kritik Bhaskar atas kedua posisi itu sebangun dengan kritiknya atas empirisisme klasik (sebagai basis dari naturalisme) dan idealisme transendental (sebagai basis dari antinaturalisme). Apabila yang pertama (empirisisme-naturalisme) hanya mengakui objektivitas sejauh terberikan secara empirik lewat observasi, yang kedua (idealisme-antinaturalisme) mereduksi objektivitas secara langsung pada kategori subjektif. Apabila yang pertama, mereduksi makna pada fakta empiris, yang kedua mereduksi fakta empiris pada makna. Dengan kata lain, keduanya sama-sama bergantung pada fakta empiris itu sendiri, yakni pada realisme empiris. Sejauh kesan indrawi hanya ada jika ada proses pengindraan dan subjek pengindraan, maka kedua posisi itu, pada analisis terakhir, sama-sama subjektivisnya (dan, dengan kata lain, relativis-antroposentrik). Keduanya sama-sama tidak mengakui stratifikasi realitas yang meniscayakan adanya ‘fakta’ dasar yang non-empiris, yakni mekanisme, struktur atau tendensi yang bersifat intransitif (domain riil).

Jenis naturalisme yang hendak diupayakan Bhaskar tidak sama dengan naturalisme empiris di muka. Naturalisme yang dikembangkan Bhaskar menyatakan adanya ‘kesatuan metode yang esensial’ (essential unity of method) di antara kedua ilmu tersebut, sembari mengakui perbedaan isi atau objek kajiannya dan karenanya juga mengakui perbedaan dalam metodenya. Yang mau diupayakan Bhaskar adalah memberikan justifikasi pada ilmu sosial sebagai sains—dan tidak hanya sebagai spekulasi liar tentang masyarakat—sekaligus mengafirmasi perbedaan ilmu sosial dan alam sebagai sains. Upaya ini ia jalankan dengan bersetia pada prosedur realisnya: berangkat dari penampakan untuk mencapai esensi dari penampakan, atau langkah dari domain empirik, domain aktual dan akhirnya mencapai domain riil (Bhaskar 1989:19).

Naturalisme kritis adalah sebuah naturalisme yang sadar akan batas-batasnya sendiri. Kata ‘kritis’ di sini, tentu saja, mengacu pada Kant. Naturalisme mesti berangkat dengan pertanyaan tentang syarat kemungkinan bagi keberadaannya sendiri dan, dengan demikian, juga tentang prakondisi yang membatasi naturalisme tersebut. Prosedur pertanyaan dalam naturalisme kritis, seperti dalam realismenya, diwujudkan secara transendental: mesti seperti apakah realitas sosial agar apa yang disebut ilmu sosial sebagai sains dimungkinkan? Dengan kata lain, epistemologi tentang masyarakat mensyaratkan ontologi sosial. Inilah yang diterangkan Bhaskar lewat teorinya tentang masyarakat yang ia sebut sebagai ‘Model Aktivitas Sosial Transformasional’ (Transformational Model of Social Activity—disingkat TMSA). Teori ini merupakan hasil rekonstruksi Bhaskar atas pandangan sosiologis Marx.

 

Model Aktivitas Sosial Transformasional: Struktur dan Agensi

Terdapat dua penjelasan umum tentang ada-nya masyarakat. Yang pertama melihat masyarakat sebagai himpunan yang tersusun oleh individu-individu, sementara yang kedua melihatnya sebagai tersusun oleh kelompok sosial yang tak bisa direduksi pada individu. Apabila yang pertama direpresentasikan dalam sosiologi Max Weber, yang kedua dalam sosiologi Emile Durkheim. Keduanya juga merepresentasikan metodologi yang berbeda: individualisme metodologis yang agregatif versus holisme metodologis yang organisis. Keduanya merefleksikan dua posisi filsafat yang berbeda: interpretivisme Weber berakar dari neokantianisme yang dianutnya, sementara positivisme Durkheim berakar dari empirisismenya. Selain itu, keduanya juga menggambarkan arah determinasi yang berbeda dalam masyarakat. Bhaskar menggambarkannya sebagai berikut (Bhaskar 1989:32):

 

bhaskar3

 

Sementara Weber melihat masyarakat sebagai entitas agregatif yang ditentukan oleh sifat-sifat atom/individu yang menyusunnya, Durkheim melihatnya sebagai entitas organik yang menentukan sifat-sifat individu di dalamnya. Oleh karena itu, Weber cenderung mereduksi masyarakat pada kehendak individual (voluntarisme), sementara Durkheim mereduksi individu pada struktur sosial seperti grup (reifikasi). Perbedaan di antara kedua paradigma ini dapat dirangkum dalam tabel berikut:

 

bhaskar4

 

Selain itu, dapat ditambahkan pula bahwa sementara dalam model Weberian ‘ada tindakan, tetapi tidak ada prakondisi’, dalam model Durkheimian ‘ada prakondisi, tetapi tidak ada tindakan’ (Bhaskar 1989:37). Dalam keduanya, oleh karena itu, tidak dimungkinkan konsep perubahan sosial yang berarti—dan karenanya juga tidak ada sejarah. Kedua pandangan tersebut ditolak oleh Bhaskar demi suatu sintesis ontologi sosial yang lebih seimbang.

Melawan Weber, Bhaskar menyatakan bahwa “masyarakat adalah prakondisi yang niscaya bagi adanya tindakan intensional manusia samasekali” (Bhaskar 1989:34). Artinya, individualitas hanya dimungkinkan sejauh ada struktur sosial. Melawan Durkheim, Bhaskar menyatakan bahwa struktur sosial bukanlah makhluk yang otonom terhadap kehendak individu sebab tidak ada masyarakat tanpa tindakan individual manusia. Dalam pandangan Bhaskar, kendati individu tidak menciptakan masyarakat, tetapi masyarakat tak akan ada tanpa interaksi individual. “Masyarakat tidak ada secara independen terhadap aktivitas manusia (kekeliruan reifikasi). Namun, masyarakat juga bukan produk dari aktivitas manusia (kekeliruan voluntarisme)” (Bhaskar 1989:36). Bagi Bhaskar, di satu sisi, struktur sosial telah selalu mendahului adanya individu dan tindakan sosial karena tanpa struktur tersebut perilaku individu dan tindakan sosial akan kehilangan signifikansinya, tetapi di sisi lain, struktur sosial hanya mengemuka melalui individu dan tindakan sosial sebab apabila tidak ada manusia maka struktur sosial pun akan lenyap. Contoh sederhana yang diajukan Bhaskar ialah aturan tatabahasa (grammar). Di satu sisi, tatabahasa Indonesia dapat dianggap mendahului pemakaian bahasa individual karena pemakaian bahasa tersebut sudah selalu mensyaratkan adanya tatabahasa, tetapi di sisi lain, apabila semua orang Indonesia berbicara dengan bahasa Inggris maka tatabahasa Indonesia itupun lenyap.

Berangkat dari refleksi tersebut, Bhaskar menarik kesimpulan tentang kespesifikan struktur sosial. Berbeda dengan ilmu alam, struktur intransitif yang digali dalam ilmu sosial tidak bisa ada tanpa adanya manusia. Struktur sosial adalah sesuatu yang “tidak dapat direduksikan pada, tetapi hanya hadir dalam, laku intensional manusia” (Bhaskar 1976:248). Pandangan ini diperoleh dari konsep kausalitas struktural Althusser (struktur yang tidak identik dengan, tetapi hanya ada dalam, efek-efeknya). Bhaskar mencatat tiga hal yang khas dalam struktur sosial dan membedakannya dengan struktur alam (Bhaskar 1989:38):

  • Struktur sosial tidak ada secara independen terhadap aktivitas sosial yang dikondisikannya
  • Struktur sosial tidak ada secara independen terhadap konsepsi agen tentang apa yang mereka lakukan dalam tindakannya
  • Struktur sosial mungkin hanya dapat bertahan secara relatif (mekanisme yang internal dalam masyarakat tidak invarian secara spasio-temporal)

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa intransitivitas dalam ilmu sosial berbeda dari intransitivitas dalam ilmu alam. Pengertian yang khas tentang intransitivitas sosial inilah yang memungkinkan teoretisasi tentang konsep ideologi dan perubahan sosial. Intransitivitas struktur sosial terhadap agen merupakan dimensi ideologis yang membuat tatanan sosial yang ada nampak alamiah, sementara transitivitasnya terhadap agen menandai potensi perubahan sosial yang dilakukan oleh agen dalam masyarakat. TMSA, yang direkonstruksi Bhaskar dari Marx, memungkinkan teori tentang ideologi sekaligus emansipasi. Agen dikondisikan oleh struktur sosial tetapi sekaligus juga dapat mentransformasi struktur tersebut karena struktur tersebut bukanlah ‘hukum kodrat’ yang alamiah.

Dengan mengkaji ontologi sosial seperti ini, kita dapat menyimpulkan syarat kemungkinan bagi adanya pengetahuan tentang masyarakat. Struktur sosial adalah dimensi intransitif dalam ilmu sosial yang membuat sains tentang masyarakat dimungkinkan—karena sains hanya mungkin sejauh ia mengacu pada struktur intransitif yang non-empirik. Akan tetapi, intransitivitas struktur sosial tersebut memiliki arti yang berbeda dari yang terdapat dalam ilmu alam sehinggga ilmu sosial dan ilmu alam adalah sama-sama sains namun dengan objek kajian yang berbeda. Pertanyaan transendental di muka telah terjawab: mesti seperti apakah realitas sosial agar filsafat tentang ilmu sosial dimungkinkan? Jawabnya: realitas sosial mestilah dibentuk secara mendasar oleh struktur sosial yang intransitif terhadap sebagian tindakan sosial sekaligus transitif terhadap sebagian lain tindakan sosial. Dengan demikian, naturalisme kritis dapat dicapai: ilmu sosial dimungkinkan sebagai sains karena memiliki dimensi intransitif, tetapi juga tak dapat direduksi pada ilmu alam karena objek kajiannya (intransitivitasnya) berbeda. ‘Kesatuan metodologis yang esensial’ di antara keduanya terletak pada prosedur penalaran yang berangkat dari yang empirik untuk kemudian mencapai yang riil, yakni struktur intransitif.

 

Kritik Emansipatoris: Fakta dan Nilai

Pandangan naturalisme kritis ini kemudian digunakan Bhaskar untuk membongkar salah satu ‘skandal’ besar dalam perdebatan naturalisme versus antinaturalisme, yakni problem transisi dari ‘adalah’ ke ‘seharusnya’ (Is and Ought Problem). Dalam sejarah filsafat sejak era Modern, transisi tersebut terlarang. Larangan ini dimulai secara implisit dalam perumusan Problem Induksi oleh Hume. Problem Induksi menyatakan bahwa tidak ada penyimpulan umum-universal dari deskripsi partikular karena universalitas kesimpulan tidak dapat dibasiskan pada kumpulan observasi yang terbatas (Bonjour 1996:391-392). Dalam contohnya yang terkenal, Hume mengatakan bahwa dari fakta partikular bahwa selama ini matahari terbit dari timur, kita tidak bisa menyimpulkan secara universal bahwa matahari akan selalu terbit dari timur. Tidak ada transisi dari partikularitas ke universalitas. Dalam contoh tersebut, kita dapat menyaksikan secara implisit problem transisi dari ‘adalah’ (“selama ini matahari terbit dari timur) ke ‘seharusnya’ (“matahari akan selalu terbit dari timur”). Transisi is ke ought, dengan kata lain, melibatkan lompatan logika yang tidak dapat dijustifikasi dan, karenanya, tidak sah. Dengan itu, bagi Bhaskar, muncullah sebuah ayat kepercayaan dasar dalam ilmu-ilmu sosial bahwa transisi dari proposisi faktual ke proposisi nilai, dari deskripsi ke imperatif, adalah terlarang (Bhaskar 1989:54).

Kaum antinaturalis akan menolak transisi fakta ke nilai, sementara kaum naturalis akan mengakuinya. Sebaliknya juga, kaum antinaturalis akan menerima transisi nilai ke fakta, sementara kaum naturalis akan menolaknya. Apabila kita notasikan relasi penjelasan sebagai ‘→’ dan bentuk negatif dengan ‘¬’, maka kita akan memperoleh pemetaan Bhaskar dalam tabel berikut (Bhaskar 1987:174):

 

bhaskar5

 

Yang hendak dibuktikan Bhaskar dalam argumentasinya ada dua hal: menolak pandangan antinaturalis bahwa tak ada transisi dari fakta ke nilai (menolak ¬ (fakta → nilai)) dan menolak pandangan naturalis bahwa tak ada transisi dari nilai ke fakta (menolak ¬ (nilai → fakta)).

Bhaskar berangkat dari penolakannya yang kedua. Argumen yang mengafirmasi adanya pengaruh normatif dalam penyimpulan atas fakta dapat diajukan pada beberapa level dan memiliki akar historisnya dalam tradisi antinaturalis jauh sebelum Bhaskar. Berikut adalah tabel yang menunjukkan titik-titik pengaruh tersebut:[6]

 

 

bhaskar7

 

Melalui tabel di muka terlihat bahwa nilai dapat ikut mempengaruhi penyimpulan atas fakta dalam ilmu sosial. Tidak semua skenario pengaruh normatif ini diterima oleh Bhaskar. Hanya pengaruh nilai melalui ‘standar penelitian’ yang diterima oleh Bhaskar tanpa kritik, yakni bahwa nilai ikut mempengaruhi pemakaian kriteria analisis yang tertentu (misalnya, tentunya ada motivasi etis yang mendorong peneliti untuk memilih Marxisme sebagai metode analisis). Kita tidak akan mengikut alasan penolakan Bhaskar atas ketiga bentuk pengaruh yang lain karena keterbatasan waktu dan tempat.

Pembuktian yang lebih krusial, bagi Bhaskar, adalah pembuktian akan validitas transisi dari fakta ke nilai. Apabila transisi ini tidak dapat dijamin, maka ilmu sosial secara niscaya akan terceraikan dari dimensi emansipatorisnya (sebab dengan tiadanya transisi tersebut, tidak ada tuntutan emansipatoris yang mungkin muncul dari pengertian yang akurat tentang realitas sosial). Dengan kata lain, apabila transisi itu tidak sah, maka persoalan emansipasi sosial adalah perkara yang sepenuhnya ekstra-teoretik, sepenuhnya emotif-retoris-sentimentil, sebab diputuskan secara ad hoc tanpa basis faktual yang terjustifikasi secara ilmiah. Potensi emansipatoris ilmu sosial hanya mungkin jika transisi dari fakta ke nilai, dari deskripsi ke imperatif, dari proposisi objektif ke formula subjektif bagi tindakan, dimungkinkan.

Jalan yang ditempuh Bhaskar untuk membuktikan transisi tersebut relatif sederhana.[7] Solusi Bhaskar hanya bertumpu pada sebuah asumsi fundamental, yakni bahwa apa yang benar sama dengan apa yang baik. Kalau asumsi ini diterima, maka transisi fakta ke nilai dapat diterangkan sebagai berikut. Apabila proposisi faktual tentang masyarakat mengindikasikan adanya kontradiksi dalam masyarakat yang dianalisis, maka kontradiksi atau kekeliruan ini dengan sendirinya merupakan sebuah pertanda bagi perlunya perubahan sosial untuk mengatasinya. Di sini dapat kita lihat bahwa sementara premis kalimat di muka menangkap faktualitas, kesimpulannya justru memuat imperatif etis. Silogisme ‘fakta → nilai’ seperti ini dimungkinkan karena bila apa yang benar itu baik dan apa yang keliru itu buruk, maka apa yang keliru harus ditransformasi/dikoreksi menjadi benar, dan karenanya juga baik. Demikianlah Bhaskar mengkritik kaum naturalis (positivis). Implikasi logisnya, kalau laku transformasi (praxis emansipasi) yang dilandasi silogisme ‘fakta → nilai’ ini dimungkinkan, maka yang silogisme ‘nilai → fakta’ juga dimungkinkan: oleh karena praxis emansipasi dilandasi oleh nilai (yang dilandasi oleh proposisi faktual), dan emansipasi menciptakan tatanan baru atau fakta baru, maka ada transisi dari nilai ke fakta. Demikianlah Bhaskar mengkritik kaum antinaturalis (kaum hermeneut). Kita dapat memformalisasikan argumen sentral Bhaskar ini:

 

bhaskar8

 

Bhaskar kemudian mengantisipasi sanggahan yang mungkin muncul. Tidakkah dengan mengasumsikan identitas antara kebenaran dan kebaikan sebetulnya kita tengah membuat fakta menjadi nilai sehingga distingsi fakta-nilai, serta transisinya, sudah terjawab bahkan sebelum solusinya dirumuskan? Bhaskar menjawabnya dengan mengatakan: tesis bahwa “kebenaran adalah apa yang baik … bukanlah sebuah persyaratan bagi diskursus moral saja, melainkan juga persyaratan bagi adanya semua diskursus samasekali. Komitmen pada kebenaran dan konsistensi berlaku dalam diskursus moral maupun faktual” (Bhaskar 1989: 63). Artinya, asumsinya bahwa apa yang benar itu baik adalah sesuatu yang secara implisit berlaku juga dalam kajian faktual sebab tanpanya tak akan ada kajian faktual samasekali (sejauh kajian faktual juga mensyaratkan diterimanya kriteria objektivitas sebagai sesuatu yang mesti diupayakan dalam laku saintifik).

Oleh karena asumsi tersebut valid, maka transisi dari fakta ke nilai dapat dijalankan. Transisi ini mengemuka dalam keperluan normatif bagi perubahan sosial yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kebutuhan untuk koreksi atas kekeliruan/kontradiksi yang ada dalam objek analisis. Karenanya, imperatif emansipasi tidak timbul secara ad hoc dari ketergantungan pada kerangka normatif tertentu, melainkan merupakan bagian dari keperluan analisis yang logis, atau dengan kata lain, merupakan hasil deduksi langsung dari fakta adanya kontradiksi yang mesti dipecahkan dalam objek analisis. Dengan menjamin validitas transisi fakta ke nilai, naturalisme kritis telah membukakan jalan bagi dimensi emansipatoris ilmu sosial.

 

Filsafat Menjelang Tutup Usia

Melalui karya-karya awalnya, Bhaskar telah memberikan sumbangan yang berharga bagi filsafat kontemporer. Ia memberikan jalan keluar dari dilema relativisme pascamodern dan dogmatisme modern. Ia menjernihkan perdebatan-perdebatan penting dalam ilmu sosial dan ilmu alam. Ia menunjukkan bahwa kita bisa jadi realis tanpa jadi dogmatis. Maka itu, pantas lah bila kemudian muncul gerakan filsafat baru yang membawa bendera realisme kritis Bhaskar:  International Association for Critical Realism (IACR). Ada juga jurnal khusus yang mengkaji realisme kritis atau menerapkannya sebagai pendekatan dalam kajian empiris: Journal of Critical Realism. Pemikiran Bhaskar kemudian berkembang di mana-mana. Ada Tony Lawson yang membangun pendekatan realisme kritis untuk filsafat ekonomi. Ada Margaret Archer yang mengembangkannya dalam disiplin sosiologi. Dalam kajian hubungan internasional, ada Bob Jessop yang kemudian menggunakan secara sistematis pokok-pokok realisme kritis. Di lingkaran Marxis sendiri, ada sosiolog seperti Alex Callinicos yang mengakui hutang budi teoretisnya pada Bhaskar dan mengakui alternatif yang ditawarkan realisme kritis, khususnya di hadapan relativisme posmo yang membuat lesu pemikiran sosial Marxis.

Namun tidak semua karya yang dihasilkan Bhaskar adalah emas. Menjelang dekade 1990-an, buku-bukunya—seperti Dialectic (1993) dan Plato etc (1994)—kian dipenuhi dengan rumusan yang demikian berbelit-belit. Gaya berfilsafatnya jadi semakin mirip sebagian filsuf Kontinental yang buruk: begitu sibuk dengan dramatisasi, begitu mudah melemparkan nama dan rentetan konsep yang tak dijelaskan artinya—menjadi ceroboh dan kurang ketat. Orang Analitik akan menyebut gaya berfilsafat macam itu sebagai over-solemnity—dengan kata lain, sok khidmat (lebih tepatnya: terobsesi membuat kalimat yang enigmatik, sublim dan subtil, sehingga mencerminkan betapa ia merasa diri patut dikhidmati). Inilah yang kemudian membuat Bhaskar diganjar sebagai juara pertama dalam Bad Writing Contest yang diselenggarakan oleh jurnal Philosophy and Literature pada tahun 1996. Teks yang dimenangkan dalam sayembara olok-olok itu adalah satu kalimat dari buku Plato etc yang panjangnya setara dengan satu paragraf.[8] (Dua tahun sesudahnya, kalimat Judith Butler lah yang memenangkan kontes tersebut. Kalimat Bhaskar itu, tentu saja, bukanlah kalimat filsafat paling panjang dan ruwet. Setahu saya belum ada yang melebihi keruwetan sebuah kalimat Maurice Merleau-Ponty, dalam The Visible and the Invisible, yang panjangnya sampai satu setengah halaman.) Karya-karya Bhaskar kemudian jadi tak seterang A Realist Theory of Science.

Gaya berfilsafat yang sok khidmat itu diperparah dengan balikan Bhaskar di era 2000-an ke arah mistisisme. Karya-karya seperti From East to West: Odyssey of a Soul (2000) dan Beyond East and West (2003) membuat Bhaskar banyak ditinggalkan pengikut setianya. Nyaris semua filsuf beraliran realisme kritis menolak terlibat dalam balikan teosofis itu. Dengan berbalik seperti itu, Bhaskar memang tidak membantah filsafat lamanya—realisme dan naturalisme kritis—tetapi ia menyatakan bahwa yang dibahas dalam filsafat lamanya itu hanyalah dunia fisik yang dualistis, sementara yang dibahasnya dalam filsafat barunya adalah dunia meta-fisik yang non-dualistis. Kemudian ia sibuk memberikan seminar-seminar pencerahan spiritual à la New Age bagi jiwa-jiwa yang resah atau hipster-hipster yang tengah dirundung kegalauan spiritual akibat gagal move on. Para pengikutnya, seperti Tony Lawson, Margaret Archer dan Alex Callinicos, segera menarik garis batas: mereka hanya mengikuti realisme dan naturalisme kritis Bhaskar awal, bukan spiritualisme Bhaskar akhir.

Sejak kematiannya hingga hari ini (sekitar dua minggu kemudian), saya belum menemukan satu artikel pun yang berisi obituari tentang Bhaskar. Ini agak ganjil. Biasanya, kematian filsuf yang terkenal segera dibungkus dengan obituari panjang di koran atau setidaknya situs filsafat terkenal. Dalam kasus Bhaskar, kematiannya hanya dikabarkan singkat lewat twitter dan milis-milis filsafat oleh teman-teman dekatnya, seperti Alex Callinicos atau David Graeber. Tentunya ini patut disayangkan. Pemikiran Bhaskar, walau bagaimanapun, telah memberikan sumbangan penting bagi filsafat Marxis dan filsafat pada umumnya. Ia menjernihkan perbedaan antara struktur dan agensi, antara realisme dan relativisme, antara fakta dan nilai, untuk kemudian menemukan titik tengah yang paling masuk akal yang merupakan sintesis dari kedua posisi yang bertentangan sembari membuang hal-hal yang tak bisa dipertanggung-jawabkan akal dalam kedua posisi tersebut. Ia gemar membelah rambut—tak pelak lagi kerja tersulit bagi setiap filsuf, apalagi di zaman sekarang ini ketika berbagai konsep dan neologisme baru yang bertentangan satu sama lain dengan ekstrem beterbangan seperti lalat di Bantar Gebang.***

 

Kepustakaan:

Bhaskar, Roy. 1976. A Realist Theory of Science. Leeds: Leeds Books Ltd.

——– . 1987. Scientific Realism and Human Emancipation. London: Verso.           .

——– . 1989. The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the Contemporary Human Sciences. London: Harvester Wheatsheaf.

Bonjour, Laurence. 1996. “Problem of Induction” dalam Jonathan Dancy dan Ernest Sosa, ed. A Companion to Epistemology. Oxford: Basil Blackwell.

Bottomore, Tom, ed. 2001. A Dictionary of Marxist Thought, Second Edition. Oxford: Blackwell.

Collier, Andrew. 1994. Critical Realism: An Introduction to Roy Bhaskar’s Philosophy. London: Verso.

——– . 1998. “Explanation and Emancipation” dalam Margaret Archer, et.al., ed. Critical Realism: Essential Readings. London: Routledge.

Manicas, Peter T. 1987. A History and Philosophy of the Social Sciences. Oxford: Basil Blackwell.

———–

[1] “The sense in which every account of science presupposes an ontology is the sense in which it presupposes a schematic answer to the question of what the world must be like for science to be possible.” (Bhaskar 1976:28-29).

[2] “Empirical realism is underpinned by a metaphysical dogma, which I call the epistemic fallacy, that statements about being can always be transposed into statements about our knowledge of being.” (Bhaskar 1976:16)

[3] Ketika membahas kekeliruan epistemik, Bhaskar menulis: “Behind this state of affairs there ran a strong anthropocentric current in classical and subsequent philosophy, which sought to rephrase questions about the world as questions about the nature or behaviour of men.” (Bhaskar 1976:44)

[4] Bhaskar menerangkan tiga aspek yang dilibatkan dalam setiap ‘penutupan’ sistem. Pada level sistem, terjadi isolasi sistem dari faktor-faktor yang eksternal terhadapnya. Pada level individual, terjadi reduksi atas unit analisis menjadi atom agar mengecualikan faktor-faktor internal yang mengganggu eksperimen. Pada ranah prinsip pengorganisasian atas data, dipakai kerangka penjumlahan (additive) berbasis atom-atom sebagai unit analisis. (Bhaskar 1976:76)

[5] “[I]t is clear that experimental activity is impossible in the social sciences and at the very least devoid of the same significance in psychology as it possesses in physics and chemistry”. (Bhaskar 1976:244)

[6] Disarikan dari Collier (1998:449-452). Sebetulnya Bhaskar menambahkan variabel lain setelah subjek dan objek penelitian, yakni relasi di antara keduanya. Namun, karena Bhaskar sendiri hanya menyebutkan hal itu tanpa mengelaborasinya, maka dalam tabel berikut saya tidak menyertakannya.

[7] Bagian berikut ini pernah saya uraikan dalam buku Asal-Usul Kekayaan (Resist Book, 2013).

[8] Satu kalimat itu berbunyi: “Indeed dialectical critical realism may be seen under the aspect of Foucauldian strategic reversal—of the unholy trinity of Parmenidean/Platonic/Aristotelean provenance; of the Cartesian-Lockean-Humean-Kantian paradigm, of foundationalisms (in practice, fideistic foundationalisms) and irrationalisms (in practice, capricious exercises of the will-to-power or some other ideologically and/or psycho-somatically buried source) new and old alike; of the primordial failing of western philosophy, ontological monovalence, and its close ally, the epistemic fallacy with its ontic dual; of the analytic problematic laid down by Plato, which Hegel served only to replicate in his actualist monovalent analytic reinstatement in transfigurative reconciling dialectical connection, while in his hubristic claims for absolute idealism he inaugurated the Comtean, Kierkegaardian and Nietzschean eclipses of reason, replicating the fundaments of positivism through its transmutation route to the superidealism of a Baudrillard.” Sumber: http://denisdutton.com/bad_writing.htm.


Pengantar Ideologi

$
0
0

[Teks berikut sebelumnya disampaikan pada kesempatan Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) untuk buruh se-Jabodetabek yang diadakan oleh LBH Jakarta. Karena tujuannya demi pelatihan dasar tentang ideologi, maka penjelasannya dibuat sesistematis dan sesederhana mungkin. Semoga teks berikut bisa menjadi bahan yang berguna, khususnya bagi rekan-rekan di berbagai organisasi sosial yang memerlukan bahan pendidikan elementer.]

 

Apa itu Ideologi?

  • Ideologi adalah gambaran yang disadari maupun tidak disadari tentang kenyataan sosial-politik. Gambaran semacam itu biasanya dianggap benar tanpa dicari tahu alasannya. Orang-orang menerima begitu saja kebenaran gambaran tersebut.
  • Karl Marx (1818-1883) menyebut ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ atau kesadaran yang keliru tentang kenyataan sosial-politik. Misalnya, kesadaran yang keliru tentang kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang adil padahal sebenarnya sangat menindas.
  • Antonio Gramsci (1891-1937) menyebut proses penanaman ideologi sebagai ‘hegemonisasi’, yaitu penindasan kebudayaan rakyat dengan cara menggantikannya dengan kebudayaan elit tertentu. Misalnya, para buruh di Itali yang semestinya memperjuangkan hak-hak ekonomi dan politiknya malah terpengaruh oleh retorika ‘anti-asing’ yang dipropagandakan elit partai fasis. Akibatnya, para buruh itu justru tidak memperjuangkan hak-haknya dan malah ikut berperang demi para elit partai dan pengusaha.
  • Louis Althusser (1918-1990) menyebut perangkat yang menyebar-luaskan ideologi sebagai ‘aparatus ideologis negara’: semua lembaga yang menyebar-luaskan gagasan tentang kenyataan sosial-politik tanpa melalui jalan kekerasan fisik (misalnya, sekolah, adat-istiadat, dll). Mereka yang menolak penanaman nilai-nilai itu akan dikenai sanksi non-fisik seperti dikucilkan, dianggap murtad, dsb. ‘Aparatus ideologis negara’ ini berbeda dari ‘aparatus represif negara’ yang bekerja menanamkan nilai-nilai melalui kekerasan, seperti misalnya polisi, pengadilan, tentara, dll.
  • Kekuatan ideologi:
    • Mampu mempengaruhi cara berpikir kita: mana benar, mana salah
    • Mampu mengarahkan cara kita menilai: mana baik, mana buruk
    • Mampu mengarahkan kita pada tindakan tertentu: mana yang harus dilakukan, mana yang tidak boleh dilakukan
    • Sekilas terkesan masuk akal (misalnya, personalia mengintimidasi buruh agar tidak masuk serikat sebab merasa bahwa kehadiran serikat buruh akan merugikan perusahan dan semua karyawannya)

 

Liberalisme

  • Perbedaan kapitalisme dan liberalisme: kapitalisme adalah sistem ekonomi, sementara liberalisme adalah ideologi yang membenarkan kapitalisme. Dengan kata lain, kapitalisme adalah suatu keadaan, suatu kenyataan ekonomi, sementara liberalisme adalah keyakinan yang melegitimasi kenyataan tersebut. Namun ada bermacam-macam bentuk ideologi liberal. Kita akan memperhatikan empat jenis utamanya: liberalisme klasik, liberalisme modern, libertarianisme dan neoliberalisme.
  • Liberalisme klasik: ideologi yang mengutamakan kebebasan individual
    • Tokoh-tokohnya: John Locke, Adam Smith, Alexis de Tocqueville
    • Konteks historis kemunculannya: perlawanan atas feodalisme dan monarki di mana kebebasan individu (dalam berbagai bentuknya: hak atas pengadilan yang wajar, hak untuk berdagang secara bebas, jaminan bahwa kepemilikan privat tidak dirampas tiba-tiba oleh pemerintah) tidak dihargai.
    • Ciri-ciri pandangannya:
      • Pemerintahan terbatas: pemerintah tidak boleh mengintervensi kebebasan sipil warga negara (tidak boleh melarang mereka untuk berserikat dan menyatakan pendapat) dan tidak boleh berkuasa secara mutlak (harus ada pembagian kekuasaan: eksekutif, legislatif, yudikatif)
      • Tegaknya supremasi hukum: semua warga negara, termasuk pejabat pemerintah, harus tunduk pada hukum yang berlaku
      • Pembatasan kuasa redistributif pemerintah: pemerintah tidak boleh menjalankan praktik redistribusi kesejahteraan yang berlebihan. Pemerintah hanya boleh memungut pajak demi kepentingan masyarakat, tidak demi kepentingan segelintir kelompok dalam masyarakat.
      • Perdagangan bebas: pemerintah tidak boleh melakukan intervensi dalam perdagangan, entah melalui pembatasan impor maupun subsidi dan penetapan harga secara sepihak. Intervensi pemerintah terhadap pasar dianggap akan mengacaukan pertumbuhan ekonomi yang alamiah.
      • Asas suci hak milik pribadi: negara diciptakan demi melindungi kepemilikan pribadi warganya. Semua aturan perundang-undangan dan kinerja pemerintah mesti diarahkan untuk menjamin agar hak milik perseorangan tidak dilanggar.
      • Masalah kesejahteraan = masalah privat: pemerintah liberal klasik hanya menjamin ‘kesetaraan kesempatan’ (equal opportunity) bagi seluruh warganya untuk mencapai kemakmuran. Pemerintah tidak punya wewenang untuk mewujudkan ‘kesetaraan kesejahteraan’. Perkara kesejahteraan diserahkan pada usaha masing-masing individu dalam bersaing mewujudkan kesejahteraannya sendiri.
    • Contoh penerapannya: di banyak negara di Eropa semenjak abad ke-17 sampai dengan era Revolusi Industri di abad ke-19. Di Inggris, ide liberalisme klasik mengemuka awalnya diperjuangkan oleh Partai Whig yang menentang kuasa absolut raja dan membela demokrasi parlementer. Partai ini berhasil mengkampanyekan pembatalan undang-undang yang membatasi impor jagung (Corn Law) dan karenanya mereka membawa Inggris pada kebijakan perdagangan bebas dan meninggalkan kebijakan proteksionis kaum merkantilis. Di Prancis, liberalisme klasik mewujud dalam ideal Revolusi Prancis 1789: kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Puncak penerapan liberalisme klasik adalah Revolusi Industri yang memiskinkan kaum buruh. Dalam Revolusi Industri, hak-hak pekerja tidak dijamin karena itu dianggap sebagai intervensi pemerintah atas pasar yang tidak sehat bagi bisnis.
  • Liberalisme modern: versi lunak dari liberalisme klasik yang mengakomodasi sebagian dari perspektif sosialis. Sistem ekonomi yang dibangun di atas ideologi liberalisme modern lazimnya disebut ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) atau ‘demokrasi sosial (socia democracy / sosdem).
    • Tokoh-tokohnya: John Stuart Mill, John Maynard Keynes, Franklin D. Roosevelt
    • Konteks historis kemunculannya: liberalisme modern muncul dari pembelajaran atas kegagalan liberalisme klasik dalam mewujudkan masyarakat kapitalis yang adil dan stabil. Keadilan sosial lenyap dalam liberalisme klasik karena masalah kesejahteraan dianggap sebagai masalah pilihan pribadi. Stabilitas ekonomi juga tak terjamin dalam liberalisme klasik sebab kapitalisme yang tidak boleh diintervensi negara hanya akan berujung pada krisis ekonomi (misalnya, krisis finansial tahun 1929 atau ‘Depresi Besar’). Maka itu, liberalisme modern muncul dengan mencari landasan baru bagi keadilan sosial dan stabilitas ekonomi dalam kerangka kapitalisme.
    • Ciri-ciri pandangannya:
      • Ada kuasa redistributif pemerintah melalui pajak progresif: pemasukan pajak negara dilandaskan pada kemampuan ekonomi warga negara—yang kaya membayar banyak, yang miskin membayar sedikit dan disubsidi oleh yang kaya.
      • Pembatasan atas perdagangan bebas: pemerintah berwenang mengintervensi pasar apabila ada indikasi bahwa mekanisme pasar itu akan membahayakan perekonomian masyarakat luas (misalnya, ditetapkan segudang aturan yang mengatur impor-ekspor dan spekulasi finansial)
      • Masalah kesejahteraan = masalah negara dan swasta: negara wajib turun tangan memberikan subsidi pada warga yang kurang mampu biarpun jurang antara kaya-miskin tetap ada akibat kompetisi bebas di pasar.
    • Contoh penerapannya: kebijakan New Deal yang dicanangkan presiden Roosevelt di Amerika Serikat antara tahun 1933-1936. Dalam rangka menanggulangi krisis finansial tahun 1929, presiden Roosevelt antara lain memberlakukan mekanisme jaminan dana pensiun, subsidi atas warga miskin dan pengangguran dari pajak. Selain itu, dalam konteks perburuhan, Roosevelt juga membatasi jumlah jam kerja per hari hingga 8 jam dan melarang pekerja di bawah usia 17 tahun.
  • Libertarianisme: versi ekstrem dari liberalisme klasik yang muncul sesudah kegagalan liberalisme modern.
    • Tokoh-tokohnya: Robert Nozick dan Friedrich Hayek
    • Konteks historis kemunculannya: kegagalan ‘negara kesejahteraan’ dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi karena dibebani oleh besarnya biaya subsidi dan rendahnya motivasi ekonomi masyarakat karena subsidi. Dari sudut pandang liberal, ‘negara kesejahteraan’ gagal menjamin kebebasan akumulasi modal. Tingginya pajak bagi perusahaan besar membuat para pengusaha kehilangan motivasi untuk berbisnis.
    • Ciri-ciri pandangannya:
      • Negara ultra-minimal: tidak ada hukum selain hukum yang menjaga kepemilikan pribadi (tidak boleh ada hukum tentang jaminan sosial, kebudayaan, agama, dll).
      • Pemerintahan ultra-minimal: pemerintahan hanya terdiri dari lembaga peradilan dan keamanan dengan birokrasi sekecil mungkin
      • Penghapusan kuasa redistributif pemerintah: tak ada pajak samasekali atau pajak rata untuk sekadar membiayai administrasi negara (tidak boleh untuk didistribusikan-kembali dalam rupa subsidi).
      • Subsidi dianggap sebagai pelanggaran atas kebebasan individu: kekayaan dan kemiskinan dipandang sepenuhnya sebagai hasil pilihan bebas individu sehingga subsidi atas kaum miskin dianggap melanggar pilihan bebasnya untuk menjadi orang miskin.
    • Contoh penerapannya: ideologi libertarian ini tidak pernah diterapkan secara utuh tetapi ikut berpengaruh dalam perumusan agenda kebijakan neoliberal dewasa ini.
  • Neoliberalisme: penerapan ideologi libertarianisme dan liberalisme klasik dalam praktik kebijakan liberal dewasa ini.
    • Tokoh-tokohnya: Milton Friedman, George Stigler, Friedrich Hayek, Ronald Reagan, Margaret Thatcher
    • Konteks historis kemunculannya: seperti libertarianisme, neoliberalisme muncul dari upaya ekstrem untuk mengatasi beratnya subsidi dan rendahnya akumulasi modal yang diakibatkan oleh ‘negara kesejahteraan’. Model kebijakan ‘negara kesejahteraan’ dianggap memboroskan anggaran negara dan menghalangi pertumbuhan ekonomi.
    • Ciri-ciri pandangannya:
      • Supremasi pasar: tidak boleh ada pengendalian harga lewat campur tangan negara
      • Fleksibilitas modal: tidak boleh ada pembatasan terhadap gerak modal lintas negara sehingga salah satu dampaknya adalah maraknya kerja kontrak atau outsourcing.
      • Privatisasi/swastanisasi badan usaha negara: agar menutup kemungkinan bagi monopoli dan korupsi, semua badan usaha negara mesti dibuat lebih ‘profesional’ dengan cara diswastanisasi
      • Deregulasi atau penghapusan peraturan yang membatasi perputaran modal: seluruh aturan yang menghalangi akumulasi modal (kebijakan upah tinggi, undang-undang tentang kepemilikan komunal atas tanah adat, dll) harus dihapuskan.
      • Pemotongan anggaran negara yang selama ini dialokasikan untuk biaya sosial
      • Penghapusan konsep ‘barang publik’ (sistem jaminan kesehatan, subsidi pendidikan, dana pensiun, dsb) sebab hal-hal publik seperti kesehatan dan pendidikan dianggap sebagai tanggung jawab masing-masing individu dan bukan urusan negara atau perusahaan.
    • Contoh penerapannya: Sebagai sebuah kerangka kebijakan, neoliberalisme dipelopori oleh Ronald Reagan di Amerika Serikat dan Margaret Thatcher di Inggris. Di Inggris pada masa Thatcher (1979-1990), seluru subsidi negara dihapuskan, serikat buruh diberangus dan badan-badan usaha negara diswastanisasi.

 

Anarkisme

  • Anarkisme adalah ideologi yang memandang sumber permasalahan politik ada pada negara. Penindasan atas manusia terjadi karena adanya lembaga yang dianggap berwenang untuk memaksa orang-orang, kalau perlu menggunakan kekuatan fisik. Lembaga itu adalah negara. Oleh karenanya, negara mesti dihapuskan dan digantikan dengan persekutuan komunal di tiap daerah di mana setiap warga setara. Sebagai ideologi, anarkisme diajarkan oleh Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, dll.
  • Konteks historis kemunculannya: kecenderungan monarkis di Rusia dan Prancis abad ke-19 menindas kedaulatan rakyat banyak. Anarkisme muncul sebagai respon terhadap penindasan politik oleh negara yang berkuasa mutlak semacam itu.
  • Ada tiga hal yang dipermasalahkan kaum anarkis dari keberadaan negara:
    • Negara sebagai lembaga terpisah dari rakyat: karena berdiri sendiri di luar rakyat, negara dipandang beresiko bergerak di luar kendali rakyat
    • Negara sebagai lembaga pemaksa: negara mesti ditolak karena negara memaksakan aturannya sehingga melanggar kedaulatan individu warga negara
    • Negara sebagai lembaga monopoli kuasa: negara mesti ditolak karena kekuasaan politik dimonopoli olehnya dan rakyat kehilangan akses langsungnya pada kekuasaan.
  • Contoh penerapannya: Komune Paris 1871 merupakan contoh penerapan anarkisme dan komunisme. Saat itu, kota Paris berhasil diambil alih oleh gerakan buruh, birokrasi negara dibubarkan dan pemerintahan buruh pun didirikan. Namun karena gerakan ini tidak terkoordinasi dengan baik, beberapa bulan setelah mengambil alih kekuasaan, pemerintahan buruh itu ditumbangkan oleh kaum kapitalis dan reaksioner. Para aktivis anarkis dan komunis, baik dari kalangan buruh maupun intelektual, dibantai dalam satu peristiwa yang dikenal sebagai ‘Minggu Berdarah’. Selain itu, anarkisme juga pernah diterapkan dalam sebuah Perang Saudara di Spanyol (1936-1939) sebelum akhirnya gerakan anarkis dihabisi oleh kaum fasis yang dipimpin oleh diktator jenderal Franco dengan bantuan militer dari Hitler.

 

Marxisme

  • Marxisme adalah sebuah rumpun teori sosial-politik yang dicetuskan oleh Karl Marx bersama dengan Friedrich Engels. Sebagai rumpun teori sosial-politik, Marxisme mencakup antara lain gagasan tentang sosialisme demokratik dan komunisme. Cita-cita utama Marxisme adalah mewujudkan ‘masyarakat tanpa kelas’, yakni sebuah masyarakat di mana penindasan antar kelas sudah tidak ada lagi.
  • Konteks historis kemunculannya: Marxisme lahir dari keprihatinan terhadap kondisi kelas buruh di Eropa pada masa Revolusi Industri. Penindasan terhadap kelas buruh telah taraf yang mengerikan: tidak ada regulasi yang membatasi jam kerja, tak ada regulasi yang menetapkan standar minimal upah, tak ada regulasi yang menjamin keselamatan kerja, tak ada regulasi yang melarang penggunaan pekerja anak-anak, dll. Namun di sisi lain ajaran sosial yang dikemukakan kaum ‘sosialis utopis’ (seperti Robert Owen, Saint-Simon, dll) bahwa kaum pemodal mesti menyantuni kaum buruh tidak dapat menyelesaikan akar permasalahan kapitalisme. Sebab akar masalah kapitalisme bukanlah bahwa kaum kapitalis kurang dermawan, melainkan bahwa sistem kapitalisme itu sendiri memang bermasalah dan mesti diganti dengan sistem pembagian kerja yang lebih manusiawi.
  • Beberapa pokok Marxisme:
    • Cara masyarakat berpikir dikondisikan oleh cara masyarakat berproduksi (basis ekonomi mengkondisikan superstruktur politik-kebudayaan): orang tidak bisa berpikir, berimajinasi, berkebudayaan, kalau orang itu tidak makan. Untuk makan, orang mesti bekerja dalam sistem pembagian kerja sosial tertentu. Karenanya, cara orang berimajinasi dikondisikan oleh cara orang memenuhi kebutuhan hidupnya.
    • Sejarah adalah riwayat perjuangan kelas: seluruh fase dalam sejarah dibentuk oleh pertarungan perebutan sarana produksi antar kelas-kelas dalam masyarakat
    • Keberadaan kelas sosial adalah bukti adanya penindasan: selama ada perbedaan kelas sosial, selama itulah ada ketimpangan akses kepemilikan atas sarana produksi. Selama ada ketimpangan akses kepemilikan atas sarana produksi, selama itulah ada penindasan dari kelompok yang punya akses pada sarana produksi terhadap kelompok yang tak punya akses.
    • Kapitalisme adalah rezim penindasan yang paling modern dengan kecenderungan meruncingnya pertentangan kelas di antara dua kelompok sosial (para kapitalis/pemodal dan para buruh/pekerja-upahan).
    • Satu-satunya emansipasi sosial-politik yang nyata adalah dengan mewujudkan komunisme di mana tak ada lagi perbedaan kelas dalam masyarakat
    • Komunisme hanya bisa dicapai melalui pengambil-alihan kekuasaan negara ke tangan kelas buruh (kediktatoran proletariat). Negara peralihan menuju komunisme inilah yang disebut sosialisme. Di sini, Marxisme berbeda dengan anarkisme. Kaum anarkis, menghendaki perwujudan langsung komunisme. Namun kaum Marxis, belajar dari pengalaman kegagalan Komune Paris 1871, memperjuangkan komunisme melalui instrumen sosialisme.
  • Sosialisme demokratik merupakan tahapan masyarakat sesudah kapitalisme dan yang menurut kaum Marxis mesti dilewati terlebih dulu untuk mencapai komunisme. Sosialisme demokratik mesti dibedakan dari ‘demokrasi sosial’ atau ‘sosdem’ (social democracy) sebab sosialisme demokratik bukan merupakan tujuan akhir perjuangan kaum Marxis sementara demokrasi sosial kerap dianggap sebagai tujuan akhir oleh kaum sosdem. Karena sosialisme demokratik mesti diarahkan untuk mewujudkan komunisme, maka sosialisme demokratik mengandung ciri khas yang membuatnya berbeda dari visi tentang ‘negara kesejahteraan’.
  • Beberapa ciri sosialisme demokratik:
    • Kediktatoran proletariat: negara berada di tangan kelas buruh yang berkuasa melalui partai.
    • Semua kelompok pekerja (berbasis profesinya) memiliki wakil di lembaga legislatif di mana lembaga legislatif memiliki kuasa yang lebih tinggi dari lembaga eksekutif dan yudikatif.
    • Deprivatisasi: semua sarana produksi dimiliki secara kolektif melalui perantaraan negara.
    • Negara berperan aktif dalam meregulasi pasar untuk memastikan terpenuhinya semua kebutuhan masyarakat.
    • Negara menerapkan sistem jaminan sosial universal (mulai dari pendidikan, kesehatan, pensiun, keselamatan kerja, dll) untuk seluruh warga negara.
    • Dalam bentuk murninya, tidak ada lagi uang. Semua pembelian dan penjualan komoditas dilakukan melalui instrumen ‘sertifikat jam kerja’.
    • Prinsipnya: “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kerjanya bagi masyarakat”.
  • Contoh penerapan sosialisme demokratik: di Uni Soviet dan beberapa negara sosialis di dunia (Kuba, Vietnam, dll), sosialisme demokratik sudah diterapkan. Di Kuba, misalnya, semua kelompok profesi punya wakil di lembaga legislatif nasional. Di Uni Soviet, kekuasaan terbesar dipegang oleh Sidang Umum Soviet (Soviet = ‘Dewan Rakyat’) yang beranggotakan perwakilan buruh dan tani dari seluruh wilayah Uni Soviet. Di Jerman pada periode Republik Soviet Bayern-München (1919), komoditas diperjual-belikan tidak melalui pertukaran uang, melainkan dengan menukar ‘sertifikat jam kerja’ di Bank Sentral. Di Chile sebelum presiden Allende dikudeta oleh Amerika Serikat, pemerintah berperan aktif meregulasi harga seluruh komoditas pokok di dalam negeri melalui suatu jejaring komputer yang canggih. Di Kuba, semua fasilitas kesehatan gratis untuk semua anggota masyarakat (termasuk untuk pengobatan penyakit kronis seperti kanker).
  • Komunisme adalah tahapan masyarakat selepas fase sosialisme demokratik. Dalam komunisme, ideal Marxisme tentang masyarakat tanpa kelas telah tercapai sepenuhnya.
  • Beberapa ciri komunisme:
    • Tidak ada lagi negara, tak ada lagi perbedaan antara yang memimpin dan yang dipimpin—semua orang betul-betul setara secara politik.
    • Tidak ada lagi kelas sosial—semua orang betul-betul setara secara ekonomis.
    • Tidak ada lagi pembagian kerja yang dipaksakan—semua orang bebas memilih jenis pekerjaan apa saja dan berunding dengan masyarakat tentang apa yang perlu dikerjakan untuk mencukupi kehidupan bersama.
    • Tak ada uang dan komoditas—yang ada hanyalah barang pemenuhan kebutuhan yang didistribusikan oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan setiap orang dalam masyarakat.
    • Kemajuan teknologi akan membuat keperluan untuk kerja fisik semakin berkurang dan kondisi kerja akan jadi jauh lebih manusiawi sehingga setiap orang tidak akan keberatan untuk secara bergiliran melakukan kerja fisik.
    • Prinsipnya: “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”.
  • Contoh penerapan komunisme: komunisme belum pernah terwujud secara utuh sebab perwujudannya mensyaratkan penghapusan negara dan kelas sosial. Apa yang lazimnya disebut ‘negara komunis’ (seperti Uni Soviet) sebetulnya lebih tepat disebut ‘negara sosialis’. Namun komunisme pernah diuji-cobakan dalam skala kecil-kecilan. Misalnya, dalam Komune Paris 1871. Komunisme yang sejati baru akan terwujud setelah seluruh dunia melalui fase transisi yang disebut dengan sosialisme.

 

Apa Ideologi Indonesia?

  • Pancasila merupakan ideologi resmi negara kita. Tetapi Pancasila dapat ditafsirkan ke berbagai aliran ideologi lain karena nilai-nilai Pancasila sangatlah umum dan terdapat juga dalam berbagai ideologi lain yang lebih khusus. Oleh karena itu, dalam sejarah Indonesia, Pancasila sering diterjemahkan ke dalam berbagai ideologi yang lebih rinci seperti sosialisme, liberalisme maupun neoliberalisme.
  • Di zaman Orde Lama: mengarah ke sosialisme demokratik.
    • Ideologi Pancasila ditafsirkan sebagai cita-cita tentang ‘sosialisme Indonesia’. Cita-cita tersebut dijabarkan dalam ‘Panca Azimat Revolusi’ yang mencakup lima pokok berikut:
      • Nasakom: perpaduan antara visi nasionalis, agama dan komunis
      • Pancasila
      • Manipol USDEK: Manifesto politik / Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia
      • Trisakti: berdaulat di lapangan politik, mandiri di lapangan ekonomi, berkepribadian di lapangan kebudayaan
      • Ekonomi berdikari: berdiri di atas daya upaya ekonomi dalam negeri, tidak mengandalkan perdagangan luar negeri
    • Contoh praktik ideologi ekonomi:
      • Rencana Urgensi Industri (1951-1955): pemerintah sebagai agen utama pendorong kemajuan ekonomi dengan penciptaan sejumlah BUMN dan pengutamaan pada industri
      • UU no 5 tahun 1960 (UU PA 1960): ditekankan perlunya land-reform atau pembagian tanah bekas milik kolonial diperuntukkan bagi rakyat miskin
      • Deklarasi Ekonomi (Dekon 1963): penertiban atas perusahaan swasta lewat badan koordinasi terpusat dan pembatasan atas mobilitas modal asing di Indonesia
    • Di zaman Orde Baru: liberalisme campuran
      • Ideologi Pancasila ditafsirkan sebagai percampuran antara liberalisme dan otoritarianisme. Dalam praktiknya, percampuran itu mengemuka ke dalam apa yang disebut ‘kapitalisme negara’ (state-capitalism), yakni kapitalisme yang dikendalikan oleh negara untuk kepentingan sejumlah birokrat pemangku jabatan negara. Pokok-pokok pandangan yang menyusun ideologi tersebut adalah sebagai berikut:
        • Hubungan antara presiden dan warga negara diibaratkan seperti hubungan antara bapak dan anggota keluarga yang lain. Karena negara digambarkan seperti sebuah keluarga, maka perlawanan dan kritik harus dibungkam. Warga negara diharuskan menjadi ‘manusia Pancasila’ yang baik, yakni menaati pemerintah ibarat anak menaati perintah bapaknya.
        • Perekonomian negara dijalankan dengan ideologi liberalisme modern dengan manajemen yang sangat terpusat pada negara. Praktiknya, pemerintah kongkalikong dengan pengusaha untuk menindas rakyat. Ada upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui instrumen pasar yang diregulasi negara (antara lain lewat BUMN dan lembaga-lembaga monopoli seperti Bulog dan BPPC) tetapi hal ini dilakukan dengan mengorbankan rakyat.
        • Komunisme dianggap sebagai ajaran yang tidak berdasarkan Pancasila. Semua gerakan rakyat tertindas yang berani melawan pemerintah akan dicap ‘komunis’ dan dibungkam dengan keras.
      • Contoh praktik ideologi ekonomi:
        • UU PMA 1967 & UU PMDN 1968: bidang-bidang ekonomi yang selama masa Orde Lama diproteksi dari intervensi modal asing mulai dibuka (mulai dari telekomunikasi, air minum, telepon sampai penerbangan)
        • Liberalisasi perbankan era 1980-an: dimulai dengan Paket Kebijakan Juni 1983 yang mengizinkan bank-bank untuk menentukan besarnya kredit yang diberikan tanpa persetujuan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Bank Indonesia juga tak berwenang mengatur penyaluran kredit bank-bank lain.
      • Di zaman Reformasi: kecenderungan ke arah neoliberalisme
        • Ideologi Pancasila ditafsirkan sebagai landasan demokratis dari perikehidupan warga negara. Dalam banyak bidang, partisipasi rakyat secara langsung diberi ruang, tetapi pada praktiknya oligarki sisa Orde Baru masih memegang peranan penting dalam penentuan arah pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Dalam konteks globalisasi yang mencakup juga peningkatan fleksibilitas modal global, oligarki tersebut cenderung menerjemahkan ideologi Indonesia ke dalam cara berpikir neoliberal. Namun neoliberalisme yang berkembang di periode Reformasi mempunyai ciri khas yang dikondisikan oleh proses historis di Indonesia:
          • Deregulasi peraturan yang membatasi investasi modal asing dan swastanisasi BUMN
          • Transformasi jaminan sosial ke dalam sistem asuransi yang menghilangkan tanggung jawab sosial pemerintah pada warganya dengan mewajibkan warganya untuk membayar sendiri jaminan sosialnya.
          • Pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing dalam rangka deregulasi segala peraturan yang menghambat fleksibilitas modal global
          • Kongkalikong antara jaringan oligarki sisa Orba dan agenda neoliberalisme. Para pejabat pemerintah kerap mengambil keuntungan dari penjualan aset negara maupun deregulasi melalui komisi dari pihak yang berkepentingan.
        • Contoh praktik ideologi ekonomi:
          • MP3EI adalah contoh yang paling mencolok dari agenda neoliberal di Indonesia belakangan ini. Skema percepatan ekonomi ini hendak diraih melalui pembesaran investasi asing dan pembatasan peran pemerintah. Ini dilakukan dengan cara debottlenecking yang sebetulnya hanyalah istilah baru dari deregulasi. Ada desakan untuk melakukan beberapa revisi secepatnya atas sejumlah aturan hukum yang dipandang menghambat percepatan pembangunan, antara lain:
            • Revisi atas UU & PP Keagrariaan dengan arah privatisasi tanah ulayat
            • Revisi UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dengan arah privatisasi usaha penyediaan sumber daya listrik
            • Revisi PP No. 38 tahun 2003 tentang Pembebasan Bea Masuk
            • Percepatan revisi PP No. 62 tahun 2008 dengan arah peringanan pajak investasi
          • Pemberlakuan kerja kontrak yang terus diperpanjang. Banyak perusahaan melanggar UU no 13 tahun 2003 yang membatasi masa perpanjangan kontrak sebanyak satu kali (dengan 2 tahun kerja kontrak dan 1 tahun masa perpanjangan kontrak). Kenyataannya, di banyak perusahaan, kerja kontrak justru diperpanjang sampai 4 kali, atau bahkan 15 kali.
          • Pemberlakuan sistem kerja alih daya (outsourcing) pada produksi utama perusahaan. Seharusnya kerja alih daya hanya boleh diterapkan pada jenis-jenis pekerjaan di luar fokus produksi utama perusahaan, misalnya kebersihan, keamanan dan makanan. Kenyataannya, peraturan ini dilanggar dengan banyaknya buruh kontrak yang dialih-dayakan ke dalam jenis pekerjaan utama suatu perusahaan.***

‘Penemuan Kembali Marxisme Kita’

$
0
0

BERBICARA soal Marxisme di Indonesia itu susah. Perkaranya bukan semata bahwa ada larangan legal terhadap penyebarluasan Marxisme, tetapi juga—dan terutama—karena kita kerapkali gagal memilah konteks pembicaraan itu sendiri. Pembicaraan tentang aspek-aspek teoretis Marxisme, misalnya, sering dianggap sebagai sikap ‘tidak membumi’ atau tak kenal ‘akar rumput’. Pembicaraan tentang aspek-aspek kultural dan populer budaya muda-mudi masa kini, contoh lainnya, malah dibaca sebagai sikap ‘kurang Marxis’ atau tak punya ‘keberpihakan’. Penerimaan semacam itu abai terhadap konteks yang melatari pengucapan pernyataan tersebut. Orang yang mendiskusikan teori-teori Marxis bukan berarti hanya mengamini teori dan merendahkan praktik. Karena ia sedang berbicara dalam konteks diskursus teoretis (di seminar, jurnal, dll.), maka ia tak semestinya dituntut untuk menggebrak meja dan mengajak aksi sekarang juga. Orang yang berbicara tentang kultur hipster juga bukan berarti serta-merta kurang Marxis. Sebab ia mungkin tengah mencoba mendakwahkan Marxisme secara kontekstual—mencoba merakit suatu budaya ‘hipster komunis’, misalnya. Dalam ranah diskusi dan debat, penerimaan yang abai konteks semacam itu menjalar lebih luas lagi. Orang yang berbicara tentang ‘kebenaran Marxisme’ kerap dianggap mau ‘memonopoli kebenaran’ atau ‘menekan perbedaan’ atau ‘menindas sang Liyan’. Penerimaan semacam ini merancukan persoalan benar-salah dan persoalan baik-buruk—merancukan epistemologi dan etika. Menyatakan bahwa “menurut saya, pendapat x benar” tidak sama dengan menyatakan: “diam kau, dasar bodoh”. Pernyataan tentang kebenaran atau kesalahan suatu pandangan justru merupakan titik berangkat diskusi dan debat, bukan titik akhirnya.

Secara umum, penerimaan-penerimaan semacam itu dilatari oleh kegagalan dalam mengidentifikasi modalitas pernyataan: dalam konteks dan melalui cara apa suatu pernyatan dilontarkan. Kegagalan dalam menangkap modalitas pernyataan inilah yang jadi penyebab susahnya berbicara tentang Marxisme, bahkan di antara sesama Marxis sekalipun. Begitu banyak kesalah-pahaman yang akarnya sepele: kekeliruan dalam mengartikan jenis-jenis pernyataan. Kalau ini benar, maka akar dari kesalah-pahaman dan pertikaian itu sebenarnya cuma permasalahan bahasa—dengan kata lain, masalah semu (pseudo-problem) sebab kedua belah pihak hanya bertikai dalam cara mengartikan pernyataan tetapi sebetulnya sepakat dengan substansi persoalan itu sendiri. Begitu setiap kata diklarifikasi dan modalitas pernyataannya dieksplisitkan, masalah-masalah itu akan lenyap. Perdebatan antar sesama Marxis kerapkali berakar pada pseudo-problem semacam itu. Yang seringkali membikin perkaranya agak pelik adalah bahwa kita tak selalu bisa menuntut klarifikasi modalitas pernyataan sejak mula. Bayangkan dilema yang dihadapi seorang kawan ketika ia dituduh ‘kurang Marxis’ sewaktu ia tengah bekerja perlahan-lahan menumbuhkan kultur ‘hipster komunis’. Kawan ini tentu saja bisa mengklarifikasi modalitas pernyataannya: apa yang saya wacanakan ini adalah upaya untuk menerbitkan simpati pada Marxisme di kalangan muda yang apatis pada politik. Namun dengan menyatakan itu, cover-nya terbongkar dan muda-mudi unyu itu segera bubar sembari berceloteh seperti Inong dalam The Look of Silence: “Ah, politik.” Akan tetapi, kalau ia tidak mengklarifikasi itu (demi mengamankan aktivitas propaganda halusnya), ia akan makin dikecam oleh sesama Kiri sebagai ‘kurang Marxis’: “tuh kan, lihat, dia ga bisa membalas apa-apa waktu kubilang dia sebenarnya bukan Marxis.” Lalu seorang yang lain akan menimpali: “Jleb!” Dilema serupa juga dialami oleh kawan-kawan yang memilih untuk melakukan intervensi ke dalam politik elektoral.

Dua tahun mengisi rubrik ini, permasalahan itulah antara lain yang paling sering saya jumpai. Mengartikulasikan Marxisme yang revolusioner sekaligus tidak vulger, yang sadar politik sekaligus melek budaya, memang bukan pekerjaan gampang. Dari perspektif non-Marxis atau anti-Marxis, pekerjaan semacam itu akan dipandang ‘dogmatis’ atau dianggap sebagai pekerjaan ‘Marxis puritan’. Sementara dari perspektif Ultra-Kiri, pekerjaan seperti itu akan dipandang ‘revisionis’ atau ‘bukan Marxis’. Sebagian menduga akar permasalahannya ada pada pendidikan intra-organisasi yang kurang berkembang. Memang, salah satu mata pelajaran pokok dalam tradisi kursus politik kita—mata pelajaran ‘MDH’—masih menggunakan bahan yang amat tua: potongan-potongan verbatim dari kuliah Tentang Marxisme yang disampaikan Aidit di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham pada tahun 1962. Seakan-akan dunia telah berganti rupa, kecuali pelajaran MDH. Namun kita tak bisa menimpakan kesalahan sepenuhnya pada pendidikan formal dalam organisasi.

Keruwetan pemahaman soal Marxisme sebagian besar berakar pada prasangka, baik itu prasangka revolusioner maupun konservatif. Dalam prasangka revolusioner yang tak terasah, Marxisme disamakan dengan kumpulan tindakan heroik anti-kemapanan yang tercatat dalam almanak revolusi-revolusi besar dunia. Menjadi seorang Marxis, dalam prasangka ini, adalah menjadi sejenis Batman. Dalam prasangka konservatif, Marxisme diartikan sebagai doktrin usang yang merusak tradisi, menyangkal keunikan individu, disertai penerapan yang selalu hiper-birokratis dan totaliter. Menjadi seorang Marxis, dalam prasangka ini, tak ubahnya menjadi Zhdanov. Kedua prasangka ini berpangkal pada rendahnya produksi pengetahuan Marxis di Indonesia. Di satu sisi, penerbitan buku-buku Kiri yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri masih sangat kecil jumlahnya. Sepertinya banyak yang gemar bicara Marxisme, nge-tweet soal Marxisme, tetapi sedikit yang bersedia menulis soal Marxisme. Yang banyak adalah buku-buku Kiri dari luar dengan mutu terjemahan yang lumayan ‘brutal’. Di sisi lain, banjir informasi dari internet, melalui situs-situs donlot pdf gratis misalnya, seperti menghasilkan lonjakan wawasan Marxis yang amat terfragmentasi. Hari-hari ini, banyak yang bisa menyebut-nyebut Zizek, Badiou dan segala macam pemikir Marxis paling kontemporer tetapi kesulitan ketika diminta mengartikulasikan gagasannya secara sistematis, belum lagi untuk mengambil sikap mandiri. Rendahnya produksi pengetahuan Marxis ini mengakibatkan berkembang-biaknya prasangka-prasangka keliru soal Marxisme.

Marxisme yang berkembang di era Aidit dan Njoto adalah Marxisme yang dibangun dalam iklim Perang Dingin dan tradisi Soviet. Marxisme yang berkembang saat ini adalah Marxisme yang mesti mencari identitasnya sendiri sepeninggal Soviet dan Perang Dingin. Marxisme hari ini tak hanya berhadapan dengan kapitalisme neoliberal, tetapi juga mesti merumuskan hubungannya dengan konjungtur sosial yang amat beragam, mulai dari populisme, pascamodernisme, fundamentalisme agama, budaya pop anak muda, seni rupa pasca-avant-garde, temuan-temuan neurosains, ekonomi pasca-ekuilibrium, fisika partikel, logika nilai-jamak dan Haruki Murakami. Marxisme hari ini, singkatnya, mesti ditemukan kembali. Inilah yang saya tuliskan pada edisi pertama rubrik Logika, 28 Desember 2012. Penemuan kembali atas Marxisme bukan berarti revisi atas Marxisme. Menemukan kembali Marxisme, menurut saya, berarti merumuskan syarat-syarat yang membuat Marxisme benar adanya—menunjukkan bagaimana kebenaran Marxisme dijamin oleh struktur kenyataan: dimungkinkan oleh struktur logis dunia, struktur ontologis semesta fisik hingga akhirnya dikonfirmasi oleh struktur sosio-politiko-kultural kenyataan. Penghancuran atas PKI—pembumi-hangusan seluruh tradisi intelektual Marxisme Indonesia—membuat upaya penemuan Marxisme di Indonesia terhenti. Sekarang tugas generasi pasca-1965 lah untuk meneruskan upaya penemuan kembali Marxisme kita.

Marxisme begitu perkasa, sebab ia benar—demikian kata Lenin. Tugas kita kini adalah mencari tahu apa yang membuatnya benar. Tugas inilah yang selama ini kita kerjakan di lapangan praktik. Setiap aksi politik Marxis merupakan sumbangan terhadap upaya mengkonfirmasi kebenaran Marxisme. Tugas inilah juga yang selama ini dikerjakan lewat penelitian-penelitian empiris bersendikan pendekatan Marxis. Namun yang tak kurang pentingnya ialah kerja-kerja teoretis untuk menemukan kembali Marxisme. Pada edisi pertama rubrik ini, saya menulis bahwa rute teoretis ‘penemuan kembali Marxisme’ sulit dijalankan dalam seri artikel, bahwa apa yang lebih masuk akal untuk dikerjakan dalam rubrik ini ialah analisis logis atas konsep-konsep Marxis. Namun dua tahun berlalu dan keperluan bagi penemuan kembali Marxisme kian mendesak: mutu diskusi Marxis tak kunjung membaik, prasangka-prasangka katrok juga masih bertebaran dan perkembangan teori Marxis di Indonesia seperti jalan di tempat. Karena itu, saya tak melihat jalan keluar lain: proyek ‘penemuan kembali Marxisme’ mesti segera dimulai.

Kajian teoretis atas Marxisme yang ada sampai hari ini kebanyakan dibangun melalui model eksegesis: pembacaan atas teks-teks Marx dan para penerusnya. Dengan kata lain, kajiannya mirip dengan tradisi ‘tafsir Taurat’ atau ‘tafsir Injil sinoptik’—membaca teks-teks sakral lalu mempelajari tradisi komentar terhadap teks-teks itu. Tentu saja, sebagai pengantar ke dalam tradisi pemikiran Marxis, tak ada yang salah dengan cara mengkaji seperti itu. Saya sendiri mulanya belajar Marxisme melalui metode eksegesis. Namun pengembangan atas tradisi teoretis Marxisme sulit terwujud kalau kita hanya berkubang dalam telaah teks. Malah, efek samping yang kadang muncul dari cara mengkaji seperti itu adalah munculnya argumen-argumen berbasis otoritas tekstual: teori x benar karena “ada tertulis dalam Das Kapital bahwa …”. Model argumentasi semacam ini tak akan membawa kita ke mana-mana dan malah menjadi pangkal dogmatisme dan involusi teori Marxis. Apa yang kita perlukan, dalam konteks ini, terutama ialah analisis konseptual atas Marxisme dalam terang temuan-temuan teoretis terbaru di berbagai bidang. Namun, karena Marxisme bukanlah satu-satunya pendekatan yang ada di dunia ini dan banyak bidang-bidang kajian yang tumbuh di luar cakupan permasalahan yang dibahas Marxisme, maka program analisis konseptual itupun perlu diperluas. Kita mesti membuktikan secara logis tak hanya bagaimana Marxisme benar tentang struktur kenyataan yang mau dijelaskannya, tetapi juga bagaimana Marxisme mungkin benar. Artinya, kita mesti merekonstruksi secara konseptual struktur kenyataan, termasuk wilayah kenyataan yang tak terbahas oleh Marxisme selama ini. Dengan kata lain, kajian teoretis atas Marxisme mensyaratkan rekonstruksi filsafat dalam mendedahkan struktur logis, ontologis dan epistemologis dari totalitas kenyataan itu sendiri.

Celakanya, dalam kondisinya sekarang, filsafat kontemporer tak banyak membantu kita di sini. Filsafat kontemporer telah berjalan menuju kebuntuan. Hal ini terjadi baik di dalam tradisi filsafat Kontinental maupun Analitik. Ada tiga fenomena yang menunjuk pada fakta di muka:

  • Filsafat kontemporer telah terbentur pada analisis parsial tentang segmen-segmen kenyataan yang amat spesifik dan gagal merumuskan analisis terpadu tentang semua fenomena parsia itul. Dalam tradisi Analitik, kegagalan ini terjadi karena spesialisasi kajian filsafat yang kehilangan tautannya dengan peta besar permasalahan filsafat. Dalam tradisi Kontinental, sebaliknya, kegagalan ini terjadi karena sekalipun hendak membicarakan totalitas fenomena dalam sekali rengkuh, metode analisisnya tetap terjangkar pada cakrawala problematik yang spesifik dari salah satu ranah keberadaan.
  • Sebagian karena gagal merumuskan analisis terpadu atas segala fenomena, filsafat kontemporer gagal merekonsiliasikan dualitas-dualitas konseptual yang diwarisinya dari sejarah filsafat: Ada dan pikiran, materialitas dan idealitas, alam dan kebudayaan, objektivitas dan subjektivitas, keniscayaan dan kehendak bebas, dst. Umumnya, tradisi Analitik lebih menekankan sisi pertama dengan mengorbankan yang kedua; sebaliknya tradisi Kontinental menekankan yang kedua sembari membuang yang pertama.
  • Filsafat kontemporer kehilangan fungsi khasnya. Kekhasan filsafat terletak dalam kemampuannya memberikan hipotesis tentang dunia. Karena ketiadaan analisis terpadu dan terjebak ke dalam salah satu kutub dualitas konseptual yang menstrukturnya, filsafat kontemporer gagal memenuhi fungsinya dalam memberikan hipotesis yang koheren tentang dunia. Hipotesis yang dihasilkan oleh filsafat kontemporer cenderung fragmentaris: cocok untuk satu bidang, tapi gagal total di bidang lain. Akibatnya, tak ada gambaran yang memadai tentang kenyataan secara utuh. Pembicaraan tentang ‘matinya filsafat’ merupakan gejala dari hilangnya fungsi khas filsafat dalam era kontemporer.

Ketiga fenomena ini menunjuk pada fakta buntunya refleksi filsafat kontemporer. Inilah yang menyebabkan mengapa kendati pascamodernisme sudah mulai sering dikritik, tak ada wawasan filosofis baru yang menggantikannya dengan skala yang kurang-lebih sama komprehensifnya. Kita masih hidup di era pasca-pasca-modernisme, sebuah era yang ditandai oleh respon kritis—sekaligus keterkungkungan dalam—pascamodernisme. Kita menatap cakrawala terdepan filsafat kontemporer dan kita tak melihat apa-apa.

Kebuntuan yang dihadapi filsafat kontemporer bermuara pada lenyapnya apa yang sampai abad ke-19 dikenal sebagai sistem filsafat. Lenyapnya metode berfilsafat yang sistematik menyebabkan munculnya rupa-rupa fenomena di muka. Apabila kita menoleh ke belakang, kita akan menemukan deretan sosok seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Spinoza dan Hegel yang masing-masing merumuskan refleksi filsafatnya dalam bingkai sistem. Mereka semua, dengan satu atau lain cara, berupaya mengajukan hipotesis yang koheren tentang dunia dengan mendamaikan dualitas-dualitas konseptual filsafat. Sosok terakhir yang masih berfilsafat dalam kerangka sistem adalah Marx—sang pembangun sistem filsafat terakhir, sang pencari ‘hukum gerak masyarakat’ melalui kerangka ontologi materialis. Namun sistem-sistem filsafat semacam itu, dalam kondisi asli yang diwariskan para perumusnya, saat ini amat lemah karena kerapkali bertopang pada pengandaian yang dewasa ini telah terbukti keliru, khususnya dalam terang temuan-temuan parsial filsafat kontemporer di berbagai bidang kajian spesifik. Pada saat yang bersamaan, filsafat kontemporer yang bercorak non-sistem juga tak mampu menghadirkan konsepsi alternatif tentang kenyataan yang luas cakupannya setara dengan sistem-sistem tersebut. Karenanya, rekonstruksi atas Marxisme mensyaratkan rekonstruksi atas filsafat kontemporer itu sendiri: mewujudkan sistem filsafat Marxis yang dapat dipertanggung-jawabkan berdasarkan temuan-temuan terbaru filsafat kontemporer.

Mengapa kita memerlukan ‘sistem filsafat’? Buat kita yang hidup di alam pascamodern, ide tentang ‘sistem’ itu saja sudah pasti memicu kecurigaan. Namun kecurigaan ini terbukti berbiaya tinggi. Dicampakkannya upaya untuk membangun sistem, kita ditelan dalam kerancuan tak berujung tentang hubungan antar domain wacana. Yang sering terjadi adalah penggunaan perspektif yang tertanam dalam suatu domain wacana untuk meneropong domain wacana lainnya. Contohnya adalah penggunaan kriteria etis (baik vs buruk atau otentik vs mainstream) untuk mendekati permasalahan epistemologis (benar vs salah), atau penggunaan kriteria estetis (indah vs jelek atau sublim vs banal) untuk mendekati permasalahan politik. Karena tak memiliki wawasan tentang struktur pengandaian yang merajut keseluruhan domain filsafat sebagai sistem, kita kerapkali menempatkan domain-domain tertentu (yang statusnya sebetulnya derivatif) untuk mengevaluasi dan mengkonstruksi domain-domain yang sebetulnya lebih fundamental. Penggunaan kriteria etis untuk meneropong dan membangun konsepsi ontologis tentang keseluruhan kenyataan, misalnya, bertumpu pada kerancuan tentang fundamen kenyataan itu sendiri: bagaimana mungkin etika menjadi prinsip pembimbing ontologi jika ontologi itu sendiri sejatinya berurusan dengan totalitas kenyataan yang lebih luas (alam semesta) daripada totalitas kenyataan etis (semesta tindakan manusia)? Namun, hal-hal sederhana macam itu kerapkali dilupakan. Ini terbukti dalam perdebatan-perdebatan soal Marxisme dan teori-teori sosial kontemporer yang terjadi di Indonesia (perdebatan saya dengan Goenawan Mohamad, misalnya).

Kita dapat memperjelasnya melalui contoh dari sejarah musik. Piano Sonata no. 23 karya Beethoven, misalnya, adalah bangunan musikal yang dibentuk lewat satu instrumen saja. Kesannya memang mendalam. Namun dari segi kompleksitas dan mutu harmoni, karya itu sama sekali bukan saingan Simfoni no. 8 bikinan Mahler yang mencakup seribu instrumen. Finale dalam simfoni tersebut betul-betul menelan habis sonata Beethoven. Sementara Beethoven cuma bisa menawarkan Angst, Mahler menunjukkan apa itu musik. Demikian juga dalam filsafat. Orang yang berfilsafat tanpa wawasan tentang sistem boleh jadi menghasilkan komposisi yang terkesan indah. Ia bekerja dengan salah satu cabang filsafat derivatif, seperti filsafat politik atau etika, bahkan estetika. Namun dari situ ia mendeduksikan kesimpulan yang cakupannya berpretensi merengkuh persoalan ontologis, epistemologis dan logis. Ini seperti seorang librettist yang mengira dirinya seorang komponis: mengarang kata-kata dan dengan itu merasa telah menciptakan musik. Seorang komponis atau konduktor harus bisa menguasai beberapa alat musik sekaligus. Minimal ia mampu memainkan piano dan biola. Ia mesti tahu warna suara dan rentang nada dari seluruh jenis alat musik. Demikian pula, seorang yang hendak berfilsafat secara sistematis semestinya tak hanya tahu kritik sastra, tetapi juga ilmu logika, fisika, kimia, biologi, dst. Filsuf adalah seperti konduktor. Agar mampu membunyikan kebenaran semesta yang terkandung dalam partitur, ia mesti menyelami seluk-beluk bunyi berbagai alat musik. Ia mesti tahu kapan cello masuk, kapan timpani berhenti, kapan oboe merayap di celah-celah bunyi. Filsuf mesti tahu arsitektur ilmu-ilmu dan taksonomi cabang-cabang filsafat: bagaimana sistematika pengandaian yang menstruktur hubungan antar ilmu pengetahuan dan luas klaim filsafat seturut yurisdiksi cabang-cabangnya. Ia tak bisa mengandalkan ilmu kritik sastra dan filsafat estetika untuk membangun konsepsi tentang kenyataan. Untuk membangun kenyataan, ia setidaknya memerlukan wawasan soal fisika dan matematika (dalam konteks ilmu-ilmu) serta ontologi dan logika (dalam konteks filsafat). Singkatnya, laku berfilsafat hanya bertanggung-jawab kalau itu diwujudkan dalam bingkai sistem. Jika tidak begitu, apa yang akan muncul hanyalah kepongahan yang berkedok kerendahan hati.

Para filsuf hingga abad ke-19 bekerja dalam bingkai sistem. Alasannya, sebagian, bersifat sosiologis. Pada masa itu, pembagian kerja akademis belumlah serinci sekarang. Belum ada sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi, fisika, kimia, biologi, dst. Yang ada pada waktu itu, khususnya di abad ke-17, adalah filsafat alam, filsafat politik, filsafat sosial, dst. Inilah antara lain yang menyebabkan para filsuf di masa lalu memiliki wawasan sistem yang amat kuat. Leibniz adalah ahli matematika, sekaligus teologi, logika, metafisika, Hume adalah sejarawan, pemikir politik, etika, epistemologi dan metafisika, Kant adalah astronom, pemikir geografi, selain juga pemikir politik, etika, estetika, metafisika dan epistemologi. Marx sendiri sekarang kerap dipersepsi sebagai sosiolog, ekonom, filsuf, ilmuwan politik, teoretisi budaya, dsb. Corak sistematis refleksi filsafat mereka kemudian terkikis oleh pembagian kerja akademis: fisikawan mengurus fisika, ekonom bicara ekonomi, filsuf bicara filsafat. Pada abad ke-20, pembagian kerja itu makin rinci lagi: profesor teknik pangan yang pakar dalam ilmu fermentasi kedelai berbicara dengan sesama pakar fermentasi kedelai, profesor filsafat yang ahli dalam kajian tentang filsafat hukum perpajakan berbicara dengan koleganya sendiri—biarkan kapitalisme yang mengurus link and match antar berbagai bidang kajian yang teramat spesifik dan tak bisa berbicara satu sama lain itu. Lenyapnya sistem filsafat berjalan seayun dengan konsolidasi kapitalisme neoliberal.

Namun Indonesia adalah sebuah pengecualian. Di sini seperti tak ada kespesifikan kajian filsafat yang mencirikan pendidikan filsafat di Eropa, Australia atau Amerika. Semuanya umum-umum saja. Kalaupun ada bidang kepakaran yang spesifik, sayangnya bidang tersebut tidak betul-betul bidang (tema), melainkan kepakaran terhadap tokoh tertentu. Dalam kondisi semacam ini, penulis filsafat jadi sulit dibedakan dari penulis biografi. Kalau sudah begitu, kultur berfilsafat cenderung menjadi kultur epigon atau budaya ‘fans club’. Alih-alih lingkaran kajian epistemologi atau etika, apa yang lebih sering kita temui di sini adalah temu-kangen antar groupie Zizek atau antar Heideggerean posse maupun komunitas penghayat pascamodernisme. Akan tetapi, di lain pihak, kondisi sosiologis Indonesia juga sangat memungkinkan tumbuhnya pemikiran tentang sistem. Pasalnya, di Indonesia, seseorang yang hendak hidup sebagai filsuf kontemporer mesti jadi filsuf temporer: kadang filsuf, kadang bukan. Kadang menulis tentang realisme in re dalam filsafat matematika, kadang menulis kritik sastra, kadang menjadi penulis seni rupa, juru transkrip diskusi-diksusi LSM, komentator politik, dosen kontrak untuk mata kuliah ‘menulis kreatif’, kadang pula jadi tukang bikin sagu keju atau nastar untuk parsel lebaran dan natal. Di Indonesia, orang yang ingin jadi filsuf dan hidup, mesti pandai-pandai mengatur subsidi-silang: menulis artikel politik di koran atau kritik sastra untuk mensubsidi penelitian filsafat, mengerjakan rias pengantin untuk menutup biaya fotokopi berjilid-jilid Cambridge History of Philosophy. Namun justru dari sinilah wawasannya tentang kesaling-terkaitan antar berbagai aspek kenyataan—cikal-bakal konsepsi tentang sistem—terbentuk. Kesadaran akan hubungan antar cabang ilmu dan kebudayaan justru tumbuh ketika sang filsuf dikondisikan secara ekonomis. Menariknya, justru inilah juga kondisi yang serupa di Eropa abad ke-17. Spinoza bekerja sebagai tukang asah lensa kacamata untuk membiayai penulisan traktat Ethica, ordine geometrico demonstrata. Setiap jam lima pagi, Descartes mesti bekerja sebagai guru les Ratu Swedia tentang topik yang dibencinya, yakni cinta—pekerjaan yang juga membuatnya mengidap pneumonia akut dan mati sesak nafas. Singkatnya, menjadi filsuf di Indonesia hari ini sama seperti menjadi filsuf di Eropa abad ke-17. Berkah tersembunyi di balik itu ialah bahwa prakondisi material bagi perumusan sistem filsafat telah tercapai di Indonesia—filsuf mesti belajar berpikir tentang kesaling-hubungan antar berbagai aspek kenyataan dalam sistem filsafat kalau tak mau mati kelaparan atau jadi birokrat kampus.

Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana sistem filsafat Marxisme itu dirancang? Kita tidak bisa berangkat dari problematik klasik Marxisme: dialektika, materialisme, perjuangan kelas, dsb. Sebagai sistem filsafat, Marxisme yang saya bayangkan mesti dapat memberi ruang pada apa-apa yang berada ‘di luar’ domain diskursus Marxisme tradisional: permasalahan-permasalahan di luar ilmu sosial seperti Ada, esensi, kebenaran, makna, kesadaran, dsb. Rekonstruksi atas Marxisme sebagai sistem filsafat kontemporer mesti dimulai dari ‘luar’ domain Marxisme tradisional. Maka pertanyaan umumnya menjadi:

Dunia macam apakah yang diandaikan demikian rupa sehingga Marxisme benar adanya? – atau –

Seandainya Marxisme benar, maka dunia seperti apakah yang disyaratkan oleh kebenaran tersebut?

Artinya, kita berupaya mencari tahu struktur ontologis, logis, epistemologis, politis dan etis dari kenyataan yang membuat Marxisme benar adanya. Pencarian semacam ini tidak bisa dilakukan secara ringkas dan selektif, melainkan mesti melibatkan interogasi ulang atas seluruh kategori filsafat mulai dari metafisika dan logika sampai dengan filsafat politik dan etika.

Inilah substansi dari proyek penemuan kembali Marxisme. Saya merasa bahwa Marxisme hanya dapat ditemukan kembali dengan cara dilupakan terlebih dahulu. Inilah yang saya tawarkan: melupakan dan membuang semua konsep dan fraseologi Marxis, memulai lagi semuanya dari nol, dari problem paling dasar filsafat seperti Ada dan sifat-sifatnya, dan dari situ mendeduksikan hasilnya sampai ke taraf filsafat politik dan etika. Namun mengapa perlu melupakan Marxisme terlebih dulu? Di sini terletak pertaruhan besar kita:

  • Kalau Marxisme benar adanya dan kenyataan memang seperti yang digambarkan oleh Marxisme, maka pada tiap-tiap akhir rekonstruksi itu kita akan menjumpai komponen-komponen konseptual Marxisme dan pada akhir seluruh proses ini kita akan menemukan kembali Marxisme. Dengan kata lain: jika Marxisme benar adanya, maka melupakannya tak akan mengubah kebenarannya.
  • Kalau Marxisme keliru atau kenyataan ini tidak seperti yang digagas oleh Marxisme, maka pada akhir rekonstruksi filsafat sistematik ini kita tidak akan menemukan Marxisme sama sekali. Dengan kata lain: jika Marxisme salah, maka melupakannya berarti menunjukkan kesalahannya.

Seperti sang narator dalam novel Marcel Proust, À la recherche du temps perdu, kita mesti melupakan Marxisme dan mengingatnya kembali secara baru—dan dengan itu membawa sekaligus bukti bagi kebenarannya. Artinya, kita tidak bisa mengasumsikan terlebih dahulu kebenaran Marxisme dan konsep-konsepnya. Kita mesti membuang itu semua dan mulai dari nol, dari refleksi filsafat paling elementer dan jauh dari hiruk-pikuk semesta wacana Marxisme tradisional. Kita mesti turun ke medan perdebatan yang steril dari Marxisme dan merumuskan simpulan-simpulan yang kita temukan—bersenjatakan nalar semata—sebagai benar adanya. Inilah satu-satunya jalan yang masuk akal untuk merumuskan ulang Marxisme sebagai sistem filsafat kontemporer. Marxisme baru terbukti benar jika seluruh simpulan yang didapat berdasarkan nalar semata itu membawa kita kepadanya.

Namun, seandainya benar, Marxisme yang akan kita temukan di akhir proses ini bukanlah Marxisme tradisional yang lazim dikenal. Marxisme yang akan ditemukan ialah Marxisme yang lahir baru, yang telah disucikan dari segala kekeliruan dan keruwetan konseptualnya selama ini. Yang akan hadir, seandainya Marxisme benar, adalah Marxisme yang mampu memberi ruang pada apa yang berada ‘di luar’-nya. Apa yang akan hadir ialah sebuah filsafat Marxisme yang ditopang oleh metafisika, logika, epistemologi, filsafat bahasa, filsafat akal budi, filsafat ilmu, filsafat politik dan etika. Jadi hasil akhir dari proyek ini tidak hanya rekonstruksi Marxisme baru, tetapi juga suatu sistem filsafat yang merupakan sintesis dari puncak-puncak perdebatan filsafat kontemporer. Hanya dengan cara inilah Marxisme dapat ditemukan kembali. Kebenaran Marxisme baru akan terkonfirmasi apabila kita berhasil memberikan pembuktian ekstra-Marxis.

Ini memang bukan pekerjaan mudah karena membutuhkan fokus dan penelitian yang lama. Pekerjaan ini hanya dapat dituangkan dalam beberapa jilid buku. Saya sendiri membayangkan akan ada setidaknya empat buku:

 

Buku I             : Ontologi dan Logika

Buku II            : Epistemologi dan Filsafat Bahasa

Buku III          : Filsafat Akal Budi dan Filsafat Ilmu

Buku IV          : Filsafat Sosial dan Politik

 

Apa yang akan tersaji dalam keempatnya bukanlah pengantar, melainkan buku yang memuat deduksi kategoris atas simpulan-simpulan perdebatan terkini di masing-masing cabang filsafat. Tujuannya adalah merumuskan hipotesis terpadu tentang dunia yang diturunkan dari prinsip-prinsip murni ontologi dan logika. Karena luasnya wilayah kajian yang perlu dipelajari, penulisan keempat buku itu mungkin akan memakan waktu sekitar empat tahun atau lebih.

Untuk memenuhi tugas itulah saya memutuskan untuk berhenti menjadi penulis tetap rubrik Logika. Inilah tulisan terakhir saya di rubrik ini. Selanjutnya, rubrik ini saya serahkan kepada Dede Mulyanto yang akan mengisi rubrik Logika secara rutin mulai Januari 2015. Ia adalah juga seorang kamerad Indoprogress dan pengajar antropologi di Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Selain itu, ia juga memiliki wawasan filsafat ilmu sosial yang sangat mumpuni, disiplin akademik yang kokoh dan rekam-jejak penulisan buku-buku Marxis yang panjang. Dede akan menggantikan saya mengelola rubrik ini, sementara saya membantu kerja penyuntingan Jurnal Indoprogress cetak sembari mengerjakan penelitian ‘penemuan kembali Marxisme kita’. Terima kasih sudah mau membaca tulisan saya selama ini. Selamat tahun baru dan sampai jumpa lagi di tahun 2020.***

 

31 Desember 2014

Martin dan Marxisme: Sekadar Perkenalan

$
0
0

‘SAMPAI sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan beragam cara; pokok sebetulnya ada pada mengubahnya’.

Saya kira pembaca tahu pernyataan heroik dari Marx ini. Ditilik dari tempatnya, yakni di tesis kesebelas atas Feuerbach, pernyataan ini semacam kesimpulan. Kesimpulan dari apa? Dari pergulatan dua tahun lebih dengan para filsuf dan filsafat pada umumnya. Marx sudah ada di tepian filsafat dan sejak itu berfilsafat di sana dengan keingintahuan yang mencemaskan ada apakah di balik jurang yang terbuka di tubir filsafat itu. Dan apabila saya hidup pada tahun 1845, entah sebagai juru ketik atau loper di koran Rheinische Zeitung, mungkin saya akan berpikir ‘nah ini dia, filsuf yang sedang akan berhenti jadi filsuf… kira-kira apa yang dihasilkan orang macam begini setelah ini ya?’. Seperti kita tahu sekarang, yang dihasilkannya setelah itu ialah serangkaian karya-karya besar sepanjang 38 tahun sisa hidupnya, yang tanpanya abad kedua puluh dijamin akan beda tampang dan dinamikanya. Banyak orang kagum luar biasa atau malah benci alang kepalang terhadap ‘karya-karya besar’ ini. Meski sudah dikabarkan mati berulang kali, ‘tidak relevan’ atau ‘are joking?’, pemikiran di dalam ‘karya-karya besar’ itu nyatanya punya lebih dari sembilan nyawa.

Tulisan terakhir Martin di kolom Logika, buat saya, mirip dengan sebelas tesis Feuerbach. Bukan cuma keheroikan isinya, tapi juga kengerian kesimpulannya. Dua tahun pula Martin telah bergulat dengan ‘para filsuf’ yang selama ini menemaninya mengisi pikirannya. Apakah Martin juga akan melakoni perjalanan semacam yang Marx alami setelah mengambil kesimpulan bahwa kita mesti menemukan kembali Marxisme? Seperti juru ketik Rheinische Zeitung di tahun 1845, saya sekarang juga mengajukan pertanyaan yang sama: ‘kira-kira apa yang dihasilkan orang yang sudah sampai taraf ini setelah ini?’

Jujur saja, saya membayangkan akan ada suatu ‘karya-karya besar’ yang akan dilahirkan Martin kelak. Meskipun pikiran saya belum mantap betul ihwal apa yang akan saya kerjakan sebagai ‘pengurus’ kolom Logika, ditambah dengan beban dari para ‘pecinta’ tulisan Martin yang pasti menagih suatu kualitas yang setaraf dengan tulisannya, karena bayangan inilah saya bersedia menggantikannya mengurus kolom ini. Tentu saja diiringi was-was yang harus ditenangkan oleh kawan-kawan saya.

Kalau diingat-ingat lagi, perjumpaan pertama saya dengan Martin ialah lewat buku pertamanya Imanensi dan Transendensi. Saya sedang menyelesaikan tulisan saya ihwal Kapitalisme sewaktu bukunya dibedah di Jogjakarta pada 2009. Meski titip beli kepada seorang teman yang ikut bedah bukunya, tidak terbersit secuil pun minat menghadirinya. Apalagi dalam acara itu buku Martin diulas oleh anak muda cemerlang lainnya, Muhammad Al-Fayyadl, yang tahun sebelumnya menerbitkan buku tentang Derrida yang diberi kata pengantar oleh mantan hero saya, Goenawan Mohamad. Dari desas-desus, saya sudah bisa tebak arahnya. Gila. Satu lagi anak muda terjerumus ke lembah ‘itu’. Mau jadi apa kita, pikir saya. Setelah al-Fayyadl, ini satu lagi anak muda lain yang berjalan di rel yang sama menuju jurang yang sama pula. Seperti jenis ‘cerdik pandai urban’ kebanyakan di Jakarta, yang sungguh nyaman rasanya ngalor-ngidul bicara dialek posmo yang susah dimengerti orang kebanyakan dan keren rasanya menuliskan nama “Žižek” di dalam tulisan—bagaimana tidak, untuk sekadar menuliskan namanya saja, kita perlu ‘insert’ mencari ‘symbols’ yang cocok—tampaknya Martin bermaksud menjadi ‘tokoh’ tambahan di dunia ‘kontemporer’-nya anak-anak muda urban.

Buat saya, perkenalan itu sungguh menyakitkan dalam dua arah. Pertama, mengapa mesti ada lagi anak muda yang terjerumus ke pergaulan posmo yang obrolannya selalu diwarnai dialek aneh itu. Ada kecenderungan ngeri di sini. Anak-anak muda berpikiran cemerlang, kalau tidak menjadi pialang atau konsultan investasi pasar berjangka, ya menjadi posmo. Kedua, seandainya pagi itu saya tidak sarapan, tidak mustahil saya muntah karena pusing membacanya. Di akhir bab pertama, saya sempat berpikir, apakah memang bahasa ‘kontemporer’ memang ajaib begini, ataukah karena IQ saya kurang memadai? Setelah ditimbang, ada kemungkinan IQ memang variabel penting. Namun isi dan cara menulisnya sungguh mengingatkan saya pada julukan Mao terhadap para posmo radikal di antara anggota partainya, yakni para penulis ‘bergaya delapanan’ yang sepintas kelihatan ‘cerdik cendikia’ dan njelimet itu. Mungkin Althusser ada benarnya bahwa secara naluriah filsuf atau intelektuil itu borjuis kecil, sejenis ‘kelas menengah’ yang suka hal-ihwal revolusionernya Marxisme asalkan ramah dan canggih layaknya tulisan orang sekolahan.

Namun ternyata, takdir berkata lain. Martin banting setir ke jurusan yang sebelumnya tak saya tebak. Alih-alih melanjutkan proyek posmonya dan menjadi ‘cerdik pandai urban’, dia malah ke Marxisme-Leninisme. Coba kita tunggu apa yang dihasilkannya, pikir saya waktu itu. Dan buku keduanya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme terbit. Meski masih menyisakan ‘gaya delapanan’ yang ajaib, saya justru mendapatkan pencerahan. Apalagi ketika buku ketiganya, Materialisme Dialektis terbit dan seperti menjawab pertanyaan yang mendekam di lubuk hati terdalam ini. Ditambah dengan esai-esai pendeknya di kolom Logika. Ah, sudah sampai dia di sana. Betapa bahagianya satu anak muda terselamatkan.

Namun ternyata Martin bukan sejenis Marxis seperti saya. Bedanya tegas sekali. Saya mempelajari Marxisme karena didorong oleh ideal-ideal politik dan sosial sosialismenya. Boleh dibilang saya ini sekadar ‘fans’. Karena itulah dalam semua tulisan saya yang lalu-lalu, pembaca pasti mudah sekali menemukan bahwa kesimpulan dari penelitian saya sudah ditetapkan sedari halaman pertama, bahwa Marx itu benar, dan Marxisme itu benar karena dia itu baik, mulia, dan cocok dengan ideal-ideal politik yang saya anut. Martin tidak demikian. Dia itu seperti pemikir sepenuhnya. Buatnya, ‘ideal-ideal politik’ tidak boleh menghalangi pencarian kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah itu bukan seberapa teguh iman pada apa yang dikatakan ‘tokoh’. Bukan pula seberapa heroik kita membelanya dengan suara lantang. Iman dan suara lantang hanya untuk fans bukan pemikir. Apakah lantas Martin kurang Marxis? Di sini saya ingat potongan suratnya Engels buat Paul Lafargue:

Marx menolak tegas ‘ideal-ideal politis dan sosial’ yang Anda alamatkan padanya. Ketika kita adalah ekonom, ‘ilmuwan’, kita tidak pegang ideal-ideal, kita kembangkan hasil-hasil ilmiah, dan apabila kita juga secara politis terlibat, kita berjuang bagi ideal-ideal itu dengan membawanya ke dalam praktik. Namun, ketika kita pegang ideal-ideal itu saat berilmu, kita tidak bisa menjadi ilmuwan karena apabila demikian maka kita lantas bias sejak semula (Engels 1995: 183).

 

dedFoto diambil dari https://beyondcomplicated.files.wordpress.com

 

Seperti diingatkan Martin di banyak tulisannya, Marxisme itu ilmu. Inti dari ilmu ialah metode. Marxisme itu bukan ilmu kalam atau teologi dan Das Kapital sebagai Alkitabnya. Menjadi Marxis bukan berarti fasih mengutip dan mencocok-cocokkan realitas dengan kutipan itu. Menjadi Marxis berarti, pertama-tama, seperti semboyan kegemarannya Marx, ‘de omnibus dubitandum’, kita mesti meragukan segalanya. Dan Martin paham betul apa artinya. Di tengah-tengah kecenderungan pemahaman soal Marxisme di Indonesia yang berpangkal pada prasangka, baik yang revolusioner maupun konservatif, Martin meragukan kebenaran Marxisme itu sendiri terlebih dahulu. Karena keraguannya itu, ibarat penganten baru dari suku Baruya di Papua Nugini yang diuji ketangguhannya, Martin harus keluar dari kampungnya, dan membuka ladang baru di tepi belantara. Orang-orang kampung hanya membekali dengan perkakas, benih, dan doa keselamatan. Dengan perkakas, benih, dan doa itulah Martin membuka ladang baru, memeliharanya, dan kelak, setelah lapar sekian lama, insya Alloh akan memanen hasil kerjanya sendiri. Ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi. Pertama, kerja kerasnya akan membuahkan apa yang diharapkan ketika pertama kali berniat keluar kampung. Kedua, setelah sekian lama mencoba, babi hutan, cuaca buruk, nyamuk, dan segala aral merintangi terwujudnya kemungkinan pertama dan Martin kembali ke kampung dengan tangan hampa. Atau ketiga, aral yang melintang menggerogoti semangat dan akhirnya Martin menerima rayuan duniawi, pergi ke kota dan sekadar menjadi juru ketik di Rheinische Zeitung.

Sebagian orang keberatan atas pilihan Martin ini. Alasannya, Marxisme sudah benar sedari semula. Tentu saja ada codet di sana sini. Tapi kita mestinya menerima saja Marxisme apa adanya dan berangkat dari sini bukannya malah meninggalkannya. Inilah alasan para ‘fans’ (Martin maupun Marxisme). Memang seperti ditandai Martin, resiko menemukan kembali Marxisme ialah tidak menemukannya sama sekali. Bagi para fans tentu ini bisa jadi gempa yang mengguncang tanah tempat kita biasa berpijak, merobohkan rumah yang selama ini kita nyaman tidur dan bermimpi di dalamnya, dan dinding rumah yang roboh itu menimpa sedan yang bisa mengantar kita ke masa depan cemerlang.

Mereka yang keberatan lupa bahwa tentu saja Marxisme adalah sosialisme, ‘ideal-ideal politik dan sosial’. Tetapi Marxisme juga adalah ilmu. Ilmu harus berkembang. Kategori, konsep, dan teori-teorinya mesti diperbaharui dengan alasan yang sama kita mengganti air di kolam renang. Kategori, konsep, dan teori-teori hanyalah air yang lama-lama akan keruh apabila sering dipakai. Bila sudah demikian, mereka harus disaring, disaring ulang, atau kalau perlu dibuang. Tanpa upaya demikian ilmu Marxis akan keruh dan tak bisa membaca realitas. Yang perlu dilakukan bukanlah memeluk teguh kategori, konsep, dan teori-teori Marx, tapi metodenya. Sudah sering ilmu itu dipakai untuk membongkar kapitalisme, menunjukkan boroknya, dan menawarkan jalan keluar. Upaya bongkar, tunjuk, dan menawarkan ini sudah dilakukan berjuta-juta orang. Sudah banyak pula kita di Indonesia mengkopi-paste bongkaran itu. Dari bongkaran itu kita bisa bicara bahwa kapitalisme itu eksploitatif dan ilusilah bila kita pikir nilai itu berasal dari penilaian subjektif para aktor pasar karena yang benar nilai itu berasal-usul dari kerja. Tapi apakah dengan mengulang-ulang pernyataan ini wibawa Marxisme sebagai ilmu beranjak dari kolong gudang kampus-kampus kita? Rasanya belum. Setidaknya itu yang terpikir oleh Martin. Memang ada yang tidak beres dengan dinafikannya Marxisme. Tetapi apakah ada gunanya kita mengulang-ulang pernyataan bahwa pendepakan Marxisme itu ulah mereka yang takut padanya dan terus-menerus mengoperasikan perang ideologi atas pemikirannya? Apakah tidak ada faedahnya kita mulai mencari akar persoalan di dalam diri kita sendiri? Jangan-jangan kita sendiri yang telah membikin Marxisme kampungan dan ketinggalan jaman dengan merapal dan merapal saja kerjaannya? Saya kira, pertanyaan seperti ‘masih relevan?’ atau ‘Marxism? In Indonesia? Are You Joking?’ yang dilontarkan di facebook atas proyeknya Martin, berangkat dari taraf kampungannya apa yang dimengerti sebagai ‘marxisme’ di Indonesia.

Untuk mengangkat kembali wibawa Marxisme, menurut Martin, kita tidak bisa sekadar menambal retakan yang ada, memulas genting bocornya, atau menegakkan dinding miringnya. Mestilah kita membangunnya kembali dengan pasir, semen, dan batu-bata yang tersedia di abad ini sampai ia menjadi bangunan kokoh. Dan untuk itu kita mesti bongkar pondasi lamanya, membangun pondasi (logika dan ontologi) baru yang dari situ kerangka bangunan (epistemologi) disusun dan didirikan supaya dapat menyangga dinding penjelasan (filsafat ilmu) atas wilayah atap yang menaungi kritik Marxis atas sosial-ekonomi (ilmu sosial) secara kokoh.

Saat ini kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa ‘Marxisme begitu perkasa, sebab ia benar’, hanya karena Lenin bilang begitu. Neurosains, psikologi evolusioner, ekologi perilaku, sosiobiologi, genetika, fisika pasca Newton, ekonomika pasca-equilibrium, dan sederet ilmu baru lainnya tidak mungkin kita tepis begitu saja sambil berkata: ‘ah…itu jebakan borjuis’ sambil berpura-pura tidak ada temuan baru. Apabila demikian, hasilnya tak akan lebih dari dogmatisme dan involusi Marxisme. Dan seperti bocah yang makan banyak junk food, Marxisme di tangan kita mengalami obesitas dan sulit bergerak di tengah-tengah serangan bertubi-tubi yang dilancarkan musuh-musuh Marxisme yang berbekal semua temuan baru itu. Seperti halnya Marx dan Engels menghadapi ilmu-ilmu abad kesembilan belas dengan teguh dan berani, saya kira Martin sedang mencobai dirinya untuk mengetahui seberapa tangguhkah apa yang dipahaminya sebagai ‘Marxisme’ menghadapi abadnya sendiri; abad yang tidak hanya ada neoliberalisme dan penyesuaian strukturalnya, fundamentalisme dan fideisme anti-nalarnya, posmo dan relativisme brutalnya, tetapi juga abad dengan neurosains, genetika, dan psikologi evolusioner yang menjadi persembunyian terakhir konservativisme yang hendak mengalamiahkan kapitalisme beserta kerongsokan tatanan sosialnya.

Berani bergelut dengan temuan-temuan baru di luar kerangka tradisional Marxis, tidak hanya dari filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu baru, sudah terlihat dalam artikel terakhirnya di Indoprogress: Jurnal Pemikiran Marxis yang bertema ‘Intensionalitas Fisik’. Di situ, Martin membuktikan kebenaran materialismenya Marx tanpa mengutip satu pun ayat dari korpus Marxisme. Argumentasinya disusun sedemikian rupa berbekalkan temuan-temuan filsafat fisikalisme dan neurosains paling mutakhir. Saya kira model macam beginilah yang kelak diterapkan Martin dalam proyek ‘menemukan kembali Marxisme’-nya.

Dalam edisi perkenalan ini perkenankan saya mewanti-wanti kepada para pembaca kolom Logika bahwa apa yang akan Anda dapatkan tidak akan setaraf, semodel, dan segaya tulisan-tulisan dan penalarannya Martin. Martin memang hebat. Dia paham sejarah pemikiran sehingga bisa melacak tiap tendensi pemikiran yang hendak dibahas atau dikritiknya. Tulisannya begitu jernih dan ketat, logikanya kuat, dan soal komitmen serta dedikasi tak usah ditanya. Saya tidak begitu. Mirip pun tidak. Saya dididik sebagai antropolog yang lebih terbiasa dengan data empiris ketimbang olah pikir. Apalagi dengan tetek bengek kalkulus predikatnya. Rentang pengetahuan saya atas ‘tendensi-tendensi’ pemikiran juga amat terbatas. Apalagi bila berurusan dengan ‘yang kontemporer’. Karena inilah saya jamin tidak sedikit pembaca yang akan kecewa. Namun dengan segenap hati saya akan berupaya bersumbangsih dalam proyek renaisans Marxime-nya IndoPROGRESS yang digawangi Kawan Coen dengan menulis di kolom Logika ini.

Salam kenal.***

Jatinangor, 5 Januari 2015

 

Kepustakaan:

Engels, F. (1995) ‘Engels to Paul Lafargue, About 11 August 1884’, dalam Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 47, h. 179-83. New York: International Publisher

 

 

Marxisme dan Sosiobiologi (Bagian 1)

$
0
0

DALAM tulisan kali ini saya akan memperkenalkan pembaca pada sosiobiologi. Di sini belum akan ada ulasan kritis apalagi membongkar logika gerakannya, seperti yang Martin lakukan terhadap Libertarianisme dan Pascamodernisme. Mudah-mudahan di bagian-bagian berikutnya saya bisa ajukan ‘kritik imanen’ atas teori-teori sosiobiologi.

David Barash (etolog), Robin Fox (antropolog), Pierre van den Berghe (sosiolog), dan Richard Dawkins (biolog), hanyalah segelintir nama yang sohor sebagai penyokong penerapan biologi Darwinian dalam menjelaskan perilaku, organisasi sosial, dan kebudayaan manusia. Ilmu mereka dikenal sebagai ‘sosiobiologi’.

Sosiobiologi resmi dibaptis ketika Edward O. Wilson menerbitkan Sociobiology: the new synthesis pada 1975. Sebetulnya tak ada yang ajaib dengan isi buku ini. Tujuannya menjelaskan perilaku dan sifat-sifat binatang-binatang sosial dengan metode dan asas-asas biologi populasi dan teori evolusinya Darwin. Sebagian besar isi buku setebal nyaris 700 halaman ini berkenaan dengan binatang-binatang sosial selain manusia. Hanya bab terakhir saja Wilson membicarakan Homo sapiens (nama biologis manusia). Meski cuma satu bab, gemanya terdengar jauh sampai menarik banyak pendukung dan pengritik sekaligus.

Sebelum Wilson yang seorang ahli entomologi, sebetulnya sudah ada karangan-karangan yang mengarah ke apa yang kelak disebut sosiobiologi. Misalnya buku populer The Naked Ape (1967) yang ditulis Desmond Morris, kurator mamalia di Kebun Binatang London. Di buku ini Morris berpendapat bahwa perilaku manusia modern sebagian besar merupakan produk evolusinya sebagai primata. Keluarga konjugal monogami, misalnya, alih-alih produk kreativitas kultural, sebetulnya tak lebih dari ideologisasi atas pradisposisi biologis primata untuk membentuk ikatan-sepasangan dalam hubungan kawin sebagai siasat reproduksi.

Buku bestseller lain, The Imperial Animal (1971) ditulis bersama dua orang antropolog, Robin Fox dan Lionel Tiger. Agak lebih cendikia, dalam buku ini keduanya mengajukan teori bahwa manusia diperlengkapi ‘tatabahasa biologis’ (biogrammar), semacam cetakan-cetakan yang mempredisposisi perilaku manusia menurut alur tertentu. Tatabahasa biologis ini merupakan hasil akhir evolusi Homo sapiens sehingga sifatnya universal, tak pandang beraneka ragamnya kebudayaan bikinan masyarakat. Tatabahasa ini menjadi batas-batas yang memungkinkan atau tidaknya perubahan perilaku tertentu oleh kebudayaan. Dalam bahasa para rahib abad pertengahan Eropa, tatabahasa biologis ini semacam kodrat atau sifat-sifat dasar manusia.

Seperti diakui para pendirinya, sosiobiologi adalah reaksi terhadap apa yang mereka sebut Model Baku Ilmu Sosial (MBIS). Semua teori dan pendekatan ilmu sosial yang beraneka rupa itu sebetulnya turunan dari satu anggapan bahwa perilaku, organisasi sosial, dan kebudayaan manusia sedikit atau malah tidak ada sama sekali kaitannya dengan biologi si manusianya. Perilaku manusia itu cair, bebas, dan manasuka karena satu-satunya sumber program perilaku itu kebudayaan yang hakikinya cair, bebas, dan manasuka. Kemanasukaan kebudayaan ditopang kapasitas simbolik manusia, dan seperti semua perlambang, tak ada rujukan objektif praktik kebudayaan. Boleh dikata, MBIS, entah itu diturunkan dari tradisi idealisme Prancis, romantisme Jerman, atau pragmatisme Amerika, percaya bahwa pikiran dan kesadaran manusia—sumber segala tindak simbolik—ialah kertas kosong yang ke dalamnya masyarakat dan kebudayaan menorehkan catatan-catatan panduan perilakunya.

Ketika Wilson membakukan apa itu sosiobiologi, salah satu tujuannya ialah mengajari para ilmuwan sosial bahwa mereka keliru. Biologi manusia ada urusan dengan kehidupan sosial manusia. Ibarat semut di seberang Pulau Pramuka jelas kelihatan, sementara gajah di pelupuk mata tak tampak, begitu pula ilmuwan sosial tak melihat betapa biologi manusia, satu-satunya bukti keberadaan material manusia itu sendiri, punya peran penting dalam membentuk perilaku, organisasi sosial, dan kebudayaan. Kebutaan turunan para teoritisi sosial, salah satunya disebabkan pengabaian terhadap warisan terbesar ilmuwan terbesar sepanjang abad modern, Charles Darwin.

Darwin, petualang legendaris, pengumpul kupu-kupu yang cermat, dan pialang saham yang kawin dengan sepupu keduanya itu, telah menemukan hukum-hukum alam yang mengatur asal-usul, perkembangan, dan kepunahan mahluk hidup tanpa mengutip sebaris pun ayat dari Alkitab. Apabila biologi Darwin sukses menjelaskan binatang-binatang lainnya, mengapa tidak ilmu itu diterapkan juga pada binatang manusia. Hanya karena pandai mencipta perlambang, bukan berarti manusia sudah berhenti menjadi binatang.

Semua sosiobiolog sepakat biologi Darwinian penting untuk mengangkat harkat martabat ‘ilmu’ sosial dari sekadar filateli menjadi ilmu sejati seperti halnya biologi. Salah satu konsepsi Darwinian yang melandasi sosiobiologi ialah teori ‘kecocokan’ dan ‘seleksi alam’. Teori ini dimulai dengan asumsi bahwa di dalam setiap populasi di setiap generasinya, keturunan dihasilkan lebih banyak ketimbang sumberdaya yang bisa mencukupinya. Karena itu, di setiap populasi ada perjuangan untuk berlanjut hidup di antara organisme-organisme. Hanya organisme yang cocok dengan lingkungan terbatas ini sajalah yang punya peluang berlanjut hidup. Mereka cocok untuk hidup apabila punya ciri-ciri anatomis, fisiologis, dan keperilakuan yang cocok dengan kondisi-kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang ciri-cirinya menunjukkan keuntungan adaptif berpeluang mewariskan lebih banyak keturunan dan menikmati apa yang disebut ‘keberhasilan reproduktif’. Dalam istilah Darwinian, mereka ini punya lebih besar ‘kecocokan’ alamiah. Sekali cocok, organisme-organisme ini akan mewariskan ‘hasil usaha’ evolusioner mereka ke keturunan-keturunannya. Warisan yang dikembangbiakkan menghasilkan populasi yang cocok juga dengan alam. Hasil akhirnya ialah suatu sifat dasar yang terus dibawa organisme-organisme sebagai anggota spesies.

Asumsi lain ilmu Darwinian ialah bahwa organisme ialah unit paling mendasar dari seleksi alam. Seperti semua calon mertua, alam menyeleksi mana organisme yang cocok dengan anaknya, dan mana yang tidak. Yang diterima akan melanjutkan hidup, kawin, dan berkembang biak. Yang tidak diterima akan melanjutkan hidup sebentar, menjomblo, lalu punah saat mati. Karena alam menyeleksi secara ketat (ingat asumsi keterbatasan sumberdaya di muka), sifat dasar setiap organisme berevolusi sesuai dengan kepentingan-kepentingan reproduktifnya yang egoistik. Mengapa egoistik? Karena di tengah-tengah persaingan mendapatkan sumberdaya terbatas dan tekanan untuk berlanjut hidup, masuk akal bila organisme mementingkan dirinya sendiri. Apabila hanya ada rumput untuk sepuluh kerbau, maka masuk akal apabila ketiga puluh kerbau akan mementingkan diri sendiri dahulu untuk mendapatkan porsi rumput yang tersedia itu. Bukan pula sekadar mendapatkannya, tetapi kalau bisa lebih banyak porsinya dibanding kerbau-kerbau lain supaya reproduksi berhasil.

Jadi, sifat egois itu bukan pilihan di antara banyak pilihan. Itu satu-satunya pilihan dalam ekonomi-politik alam. Seandainya saja kerbau-kerbau itu dikhotbahi komunis-komunis degil untuk dan menjalankan prinsip ‘memberi sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan’ demi hidup sama-rata sama-rasa, maka alam akan memusnahkan semua kerbau. Ingat ya, alam cuma punya rumput untuk sepuluh kerbau, padahal ada tiga kali lipat kerbau di alam. Kalau semua kerbau sepakat membentuk koperasi sama-rata sama-rasa, maka masing-masing kerbau hanya akan mendapatkan sepertiga sumberdaya yang memungkinkan mereka berlanjut hidup. Dengan hanya sepertiga, tak satu pun kerbau bisa melanjutkan hidup pada Rabu depan.

Apakah Darwin tidak pernah baca koran bahwa organisme-organisme dari spesies-spesies tertentu juga sering bertindak altruistik dengan mengorbankan diri seperti jomblo-jomblo Kiri yang rela tak menikmati indahnya malam minggu bersama pacar demi membangun gerakan proletariat sadar jender di Indonesia yang kapitalistik nan patriakhis ini? Darwin tahu. Dan altruisme boleh dibilang salah satu tampakan yang banyak ditemukan di antara binatang sosial. Serangga, subjek keahliannya Wilson, misalnya, punya kasta tentara yang secara biologis terspesialisasi untuk mempertahankan sarang demi kelangsungan hidup kelompoknya. Apabila ada serangan terhadap sarang, mereka yang akan pertama bertempur. Taruhannya mati. Karena pertahanan dan keamanan merupakan soal hidup matinya keluarga besar, mereka harus piket patroli seharian, rapat komite sentral semalaman, dan membangun pertahanan sarang seumur hidup. Tak ada janji ketemuan, makan malam di kafe ‘urban’, atau nonton film horor dengan gadis idaman mertua atau jejaka tampan pujaan yang sama-sama penggemar Drama Korea.

Tampaknya altruisme semut prajurit ini bertentangan dengan asumsi Darwin soal keegoisan organisme. Darwin sendiri, meski tahu, belum bisa menjawab jeritan para jomblo militan yang mencari penjelasan soal arti penting altruisme mereka bagi kelompok. Pada 1964 William Hamilton, panteon kedua biologi setelah Darwin, mengajukan pendapat bahwa apa yang membuat seolah kontradiksi ini sebetulnya berakar pada sempitnya cakrawala biologi abad kesembilan belasnya Darwin. Saat itu sel baru ‘ditemukan’. Gen dan DNA belum. Ketika abad keduapuluh gen ditemukan, Hamilton yakin bahwa sebetulnya gen dan bukan organisme yang merupakan unit fundamental seleksi alam. Seleksi alam beroperasi di situ untuk melestarikan yang cocok atau mendelet gen-gen yang tak cocok. Hamilton menggambarkan operasi ini sebagai ‘kecocokan inklusif’. Kecocokan organisme tidak hanya soal keberlanjutan hidupnya sendiri, tetapi mencakup keseluruhan gen-gennya yang terwakili di dalam kolam gen kelompok, populasi, atau spesiesnya. Misalnya ada tiga organisme keturunan dari orangtua yang sama. Karena dari orangtua yang sama, ketiganya ‘mengandung’ gen-gen yang dibagi bersama. Apabila sumberdaya yang ada hanya untuk dua orang, maka demi kelangsungan hidup keluarga, satu orang mengorbankan diri supaya saudara-saudaranya bisa berlanjut hidup, kawin, bereproduksi, dan menghasilkan keturunan-keturunan untuk generasi berikutnya. Memang raga organisme si altruis lenyap dari pandangan mata karena tak berlanjut hidupnya, namun gen-gennya yang juga dibagi bersama dengan saudara-saudaranya tetap lestari di antara gen-gen keturunan saudaranya itu. Menurut sosiobiolog, kecenderungan orang untuk berkumpul dan membela kerabat terdekatnya merupakan produk dari mekanisme ‘seleksi kerabat’ demi kecocokan inklusifnya sebagai para ‘pembawa gen’ kelompok.

Dari wawasan biologi Darwinian serta temuan-temuan terbaru terkait asal-usul (filogeni) manusia, perilaku primata terdekat manusia, dan kajian paleoekologi Plio-Pleistosen (3,5 juta tahun silam sampai 100 ribu tahun silam) tempat leluhur manusia diseleksi alam, sosiobiolog mendaftar beberapa sifat dasar atau predisposisi biologis manusia. Salah satunya sifat egoistik. Secara ontologis altruisme tidak ada. Altruisme (yang dalam kehidupan manusia memungkinkan kerjasama, persekutuan, serikat buruh) hanyalah fungsi dari egoisme yang lebih fundamental. Karena lebih fundamental, maka tatanan sosial yang memungkinkan mengemukanya sifat egoistik boleh dibilang tatanan alamiah yang cocok dengan disposisi biologis asali manusia. Karena itulah sosiobiolog bilang:

Di lubuk hatinya, para Marxis itu pengikut Rousseau, yang mencari landasan suatu sistem ekonomi pada gagasan bahwa orang-orang secara mendasar begitu mulia dan cenderung berbagi apa yang mereka secara sukarela turut serta dalam suatu rejim yang mengambil ‘dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya’, dan memberi ‘kepada tiap-tiap orang menurut kebutuhannya’. Di ranah negara-negara bangsa, keegoisan kapitalistik telah terbukti menjadi yang lebih efektif dalam mendorong upaya swasta dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana di dalam ranah biologi evolusioner altruisme asli itu jarang dan kemungkinan saja untuk muncul, meski ada, itupun niscaya hanya di bawah paksaan dan manipulasi tertentu.[1]

Kapitalisme bukan salah satu tatanan sosial-ekonomi yang baik, tapi satu-satunya. Tak ada alternatif lain. Apabila Fukuyama bilang sejarah berakhir saat kapitalisme dan demokrasi liberal juara, sosiobiolog yakin sejarah manusia berakhir ketika Homo sapiens tampil sebagai juara di antara spesies-spesies hominin 200 ribu tahun lalu. Kapitalisme hanya mengafirmasi kecocokan sifat dasar Homo sapiens untuk berlanjut hidup di bumi ini. Itulah mengapa kapitalisme tetap sehat wal afiat sampai saat ini.

Sifat dasar manusia lainnya ialah hirarkis. Maksudnya, manusia cenderung mengorganisasi diri dengan sesamanya ke dalam sistem bertata-tingkat, atau sistem yang di dalamnya persaingan demi kedudukan tinggi merupakan yang penting. Selain dari teori seleksi alamnya Darwin, mereka menemukan ‘sifat dasar’ ini dari ‘tatabahasa biologis’ yang dipunyai semua primata. Karena manusia juga primata, dan di dunia primata hirarki merupakan mekanisme adaptif yang lestari, amat masuk akal apabila sifat ini pula yang diwarisi manusia dari leluhur keranya. Dari sini sosiobiolog bilang, musuh ilmu salah satunya ialah

utopianisme abad kesembilan belasnya Marx dengan gagasan romantisnya bahwa apabila kita bisa membikin betul cara produksi dan sistem relasi-relasi sosial, semua ketimpangan sosial akan lenyap dan kodrat manusia akan disempurnakan (atau setidaknya, ditingkatkan harkatnya)[2]

Dan bahwa

kelemahan terbesar kritik Marxis dan Marxian atas kapitalisme dan perjuangan melawan penindasan ialah kegagalan mereka memprakirakan kemunculan kembalinya ketimpangan. Sejarah menunjukkan bahwa setelah revolusi datanglah… revolusi yang lain. Masalah-masalah sosial muncul kembali dengan masing-masing himpunan solusi-solusi yang mengarah ke masalah-masalah baru…[3]

Dalam pandangan mereka ketimpangan, ketidakadilan, 1 persen versus 99 persen bukanlah produk kebudayaan, tapi sudah kodrati. Daripada berupaya tak kenal lelah mencoba mengubah kodrat, lebih bagus kalau kita mulai menerima saja kenyataan dan coba-coba saja bareng Bank Dunia dan pialang-pialang Wall Street untuk membangun masa depan jaya umat manusia bersama kapitalismenya.

Kalau pembaca berprasangka bahwa di balik penciptaan kategori MBIS dan kritik para sosiobiolog atasnya terselubung niatan heroik mereka untuk menyerang Marxisme dan ‘ideal-ideal politik dan sosial’ sosialismenya, memang benar. Langsung atau tidak, sorot mata para sosiobiolog tertuju pada Marxisme. Meski demikian, dibanding musuh-musuh lainnya dibarisan ilmuwan, “Marxisme dan neo-Marxisme meninggalkan dunia alamiah dan dengan demikian bukan pesaing”[4].

Buat Marxisme sendiri, dibanding filsafat pascamodernisme yang sekian lama dijadikan saksang oleh Martin, sosiobiologi jauh lebih bernyawa untuk diperangi. Tak seperti dukun-dukun ‘posmo’, sosiobiolog bersenjatakan temuan-temuan ilmu baru dari khazanah ilmu alam dalam menyerang Marxisme. Apabila Marxisme juga mendaku diri sebagai ilmu dan Marxis adalah ilmuwannya proletariat modern, maka sudah saatnya para Marxis berani mencebur ke dunia di luar kerangka tradisional kritik ekonomi-politik Marxis dan bergelut dengan ‘dunia alamiah’. Tentu saja kita bisa melancarkan kritik ideologi atas sosiobiologi. Bahwa sosiobiologi hanya antek-antek akademisnya kapitalis. Bahwa mereka diongkosi kaum modal, dan seterusnya. Namun ini belum cukup meyakinkan orang-orang di luar barisan akan kebenaran Marxisme sendiri beserta ideal-ideal politiknya. Tak ada seorang muslim pun yang bisa diyakinkan bahwa kelak di akhirat Dewa Siwa yang berlengan empat itu yang akan mengadili roh-roh manusia apabila pendakwah menyodorkan bukti-bukti dari Kitab Veda atau Upanishad.

Marxis harus sanggup berlawan dengan senjata yang sama dengan yang menyerangnya. Biologi dan disiplin-disiplin turunan kontemporernya mesti menjadi bagian dari Marxisme. Oleh karena itu sudah saatnya Kawan Coen dan barisan komite sentral IndoPROGRESS merekrut mahasiswa dan sarjana-sarjana biologi.***

 

————

[1] D.P. Barash (2001) Revolutionary Biology: the new, gene-centered view of life. New Brunswick: Transaction Publishers, h. 197.

[2] J.H. Barkow (2005) ‘Introdcution: sometimes the bus does wait’, dalam J.H. Barkow (ed.) Missing the Revolution: darwinism for social scientists. Oxford: Oxford University Press, h. 13.

[3] Ibid., h. 37.

[4] Ibid., h. 40.

Marxisme dan Sosiobiologi (Bagian 2)

$
0
0

SEKARANG serius. Sosiobiologi, menurut Edward Wilson, ialah ‘sintesis baru’. Apabila ‘sintesis modern’ (yang salah seorang pendirinya ialah ahli genetika J.B.S. Haldane, seorang Marxis tulen) mengintegrasikan ilmu evolusi Darwinian dengan genetika, ‘sintesis baru’ sosiobiologi berupaya memasukkan ilmu sosial ke dalam kerangka ‘sintesis modern’; sebagai cabang dari biologi evolusioner. Tujuannya menemukan asas-asas ilmiah universal dalam menjelaskan perilaku sosial binatang. Karena semua binatang, serumpil apapun kehidupan sosialnya, tak lebih dari binatang, pasti ada pondasi yang dibagi bersama yang bisa menjelaskan perilaku mereka. Pondasi itu ialah biologi mereka, yang tiada lain produk akhir adaptasi evolusioner. Ke pondasi inilah reduksi penjelasan mesti bertuju.

Memang tak ada yang gusar sewaktu sosiobiolog menjelaskan pola perilaku sosial rayap, dubuk, atau bonobo dengan asas-asas seleksi alam Darwinian. Tapi ketika dinyatakan bahwa asas-asas yang sama juga berlaku dalam menjelaskan perilaku dan kehidupan sosial manusia, barulah kehebohan muncul. Bagaimana tidak. Buat Wilson, perilaku manusia dan pernak-pernik kebudayaan tak lebih dari produk adaptasi biologis. Makna di dalamnya bisa didekati sebagai hasil dari penyebaban berlandas-mekanisme. Karena kebudayaan bertunas dari kognisi individual, maka cara paling efektif mengkaji kebudayaan ialah melintas semua tingkat organisasi dari gen ke organisme individual ke populasi, melewati secara ulang balik siklus reduksi dan sintesis sebagaimana selama ini dikerjakan ilmu-ilmu alam.[1]

Karena semua manusia saat ini satu spesies saja, dan biologi manusia relatif sudah selesai ketika Homo sapiens memenangkan perjuangannya terhadap alam Pleistosen (dan hominin lain akhirnya punah), maka program-program biologisnya, yang tak lain hasil seleksi alam itu, bukan hanya tetap sama, tetapi juga berlaku universal seperti gravitasi. Apabila kita coba “memaksa manusia keluar dari sifat-sifat khas-spesies kita itu”, menurut Wilson, maka kita akan “kesulitan jika tidak malah mustahil, dan nyaris pasti merusak terhadap perkembangan mental.”[2] Dan apakah sifat-sifat dasar khas spesies kita itu? Wilson mendaftar ada tiga belas.[3] Lionel Tiger dan Robin Fox serta Pierre van den Berghe, meringkasnya ke dalam enam ‘biogram’ pokok, yakni agresif, hirarkis, dominasi jantan, ikatan induk-anak, teritorialitas, dan penghindaran kawin-sumbang.[4] Apabila kita jumpai pola perilaku yang kelihatannya universal (dominasi, hirarki, mementingkan diri, misalnya) bolehlah kita sangka bahwa itu pertama-tama diproduksi dalam biologi oleh gen, bukannya dalam masyarakat oleh kebudayaan.

Sebagai kaum kaum terdidik, yang hidup dari kreativitas pikiran, banyak dari kita tersinggung dengan gagasan ‘semua ada di biologi’ ini. Bukankah manusia tidak hanya hidup dari roti? Bukankah manusia itu tak cuma raga tapi jiwa dan roh juga? Ngerti ngga sih, manusia itu berkesadaran, kreatif bisa bikin perkakas, dan bisa berkomunikasi lewat tuturan simbolik bertata bahasa sehingga bisa berdiskursus di kafe, berpuisi di komunitas penyair, atau bikin ribuan gambar meme di facebook?! Manusia itu bukan cuma beda taraf dengan binatang bray, tapi jenis! Bukan cuma kuantitas, tapi kualitas. Tak ada mahluk di kolong langit ini yang seperti manusia. Dan, sewaktu mereka tahu determinisme biologis sejalan dengan proyek naturalisasi kehidupan sosial di bawah kapitalisme, tak sedikit yang teriak: bajingan tengik antek-antek neoliberal!

Kritik makin menjadi-jadi sewaktu Richard Dawkins menerbitkan buku The Selfish Gene (1976). Apalagi buku ini dipuja-puji para politikus konservatif dan Republikan serta media-media kapitalis. Dan apabila kita menengoknya sekarang, boleh dibilang buku ini menyemai dalih-dalih ‘ilmiah’ pembenaran proyek neoliberalisme, yang utamanya dipimpin dengan penuh hikmah kebijaksanaan dari gagasan politik neo-konservatifnya Thatcher dan Reagan awal 1980an, tambahlah ada alasan yang cukup buat kritik itu.

Terlepas dari kaitannya dengan kebangkitan politik neokonservatif, di buku itu Dawkins mengunci asas reduksi analitis di tingkat gen dan tegas menyatakan bahwa organisme tak lebih dari orang-orangan sawah yang digerakkan dorongan gen-gen penyusunnya yang berebut tempat mereplika diri. Dengan sumberdaya terbatas, setiap gen berupaya keras merebut tempat yang sedikit itu. Karena itu secara hakiki gen akan mementingkan dirinya sendiri. Gen-gen yang tidak begini boleh disebut ‘mantan-gen’, karena niscaya ia menegasi hakikat diri dan tujuan asalinya sebagai replikator egois dan akan lenyap ketika ‘kendaraan sementaranya’ mati.

Sebagai wayang, organisme akan berperilaku sejalan dengan kepentingan gen-gennya, yakni memprioritaskan duplikasi gen-gennya sendiri ke generasi masa depan. Untuk itu setiap organisme mesti meningkatkan ‘kecocokan inklusifnya’ terhadap alam dengan berupaya bereproduksi. Semakin menyebar reproduksinya, makin mungkin gen-gennya untuk sukses terduplikasi. Organisme-organisme seperti petinggi partai Islam atau kyai di Bandung, misalnya, yang memperbanyak istri untuk dihamili, lebih cocok dengan gambaran organisme idealnya Dawkins. Sebaliknya, yang tidak begini, yang tiada daya upaya bereproduksi, lemah lesu menjomblo seumur hidup, bolehlah disebut ‘mantan-organisme’ karena menegasi hakikat keberadaannya sebagai mesin duplikasi gen. Ditarik lebih jauh, perilaku organisme dan populasi (maksudnya masyarakat dengan struktur dan lembaga-lembaga sosialnya) yang ‘tidak demikian’, bolehlah dikutuk sebagai ‘mantan-masyarakat’ yang, karena tidak sejalan dengan kodrat alami gen kita, niscaya akan mubazir dan punah.

Mengapa gen? Satu-satunya penjelasan mengapa ada organisme-organisme individual yang mengorbankan keberhasilan reproduktifnya demi keberhasilan individu lain, ialah bahwa seleksi alam tidak dihitung di tingkatan organisme, tetapi gen. Individu-individu altruis dalam kelompok tetap berbagi kolam gen yang sama dengan sesamanya. Dengan mengorbankan diri demi keberlanjutan kelompok, dalam jangka panjang, mereka membuat gen-gen ‘mereka’ lestari lewat pelestarian kolam gen kelompoknya yang bertahan selama kelompoknya juga lestari. Karena seleksi alam bekerja di tingkat gen, maka reduksi paling fundamental terhadap lapis-lapis organisasi kehidupan mestilah dikunci di tingkat genetik. Gagasan ini, ditambah dengan kecenderungan kuat pada iman Panglossian (: dunia sekarang adalah yang terbaik dari dunia terbaik yang mungkin ada), memungkinkan kemasukakalan gagasan bahwa masyarakat kapitalis itu alami dan dengan demikian benar secara ilmiah dan baik secara moral.

Sampai taraf tertentu, kritik-kritik atas sosiobiologi ada benarnya. Meski menyatakan berulang kali bahwa mereka tidak berurusan dengan sokong-menyokong keberadaan lembaga sosial dan praktik kultural tertentu dalam masyarakat kapitalis, namun di banyak tulisannya mereka menyatakan apa yang mungkin sekali diartikan sebaliknya. Wilson, misalnya, meyakinkan bahwa:

apabila suatu masyarakat terencana—yang penciptaannya tampaknya tak terelakkan di abad mendatang[5]—dapat dengan sengaja mengendalikan anggota-anggotanya keluar dari tekanan dan konflik yang pernah memberi keuntungan Darwinian pada fenotip yang merusak [agresi dan keegoisan], maka fenotip yang lain [kerjasama dan altruisme] boleh jadi hancur bersama mereka. Dalam hal ini, dalam arti genetis sepenuhnya, kendali sosial justru akan merampok kemanusiaan dari tangan manusia[6].

Masyarakat kapitalis sudah bagus karena di situ sifat dasar manusia (mementingkan diri dan agresif) dimungkinkan mengemuka melalui sistem persaingan pasar yang bebas (kalau bisa tak perlulah politik turut campur). Toh, filantrofi—sejenis altruisme yang tidak merusak kapitalisme—hanya dimungkinkan apabila sebagian orang berlimpah kekayaan, bukan?

Buat Dawkins “tidak ada negara kesejahteraan di alam”, dan artinya sistem ini “amat tidak alamiah”. “Negara kesejahteraan itu mungkin sistem altruistik terbesar di kerajaan binatang yang pernah diketahui”, kata Dawkins. “Tapi”, lanjutnya, “setiap sistem altruistik secara inheren labil karena ia terbuka untuk diselewengkan individu-individu egois yang siap sedia mengeksploitasinya.”[7] Meski tidak tersurat mengalamiahkan kapitalisme neoliberal, Dawkins mungkin percaya bahwa ‘negara kesejahteraan’ (apalagi sosialisme) itu sistem politik yang hanya cocok untuk ganggang atau koral, bukan untuk manusia. Sekali lagi, gagasan macam begini dilandasi andaian bahwa secara kodrati setiap organisme manusia itu mementingkan diri sendiri dan agresif karena organisme tak lebih dari kendaraannya gen yang berhakikat mementingkan diri dan agresif.

Kalau Anda pikir sosiobiologi mengajukan determinisme genetik, dalam arti bahwa tingkat-tingkat organisasi hayati lebih atas (sel, fenotip, organisme, perilaku, populasi, dst.) habis terjelaskan sifat-sifatnya dengan menengok organisasi paling fundamentalnya, memang benar. Lalu, apabila Anda pikir sosiobiologi itu tersirat sebagai sejenis fatalisme, dalam arti bahwa apa yang ada saat ini tidak bisa diubah sekadar oleh perjuangan politik dan seruan kultural, dengan khotbah dan himbauan, karena mereka tertanam di dalam biologi, dan biologi tidak begitu saja bisa diotak-atik, mungkin ada benarnya. Tidak sedikit kritik yang ditujukan pada pandangan tersembunyi ini.

Tapi, terlepas dari suka atau tidak dengan gagasan ini, satu hal yang mesti diambil hikmahnya ialah bahwa sosiobiologi menyediakan gambaran dunia alamiah yang sebetulnya mirip dengan gambaran dunianya Marxis perihal masyarakat borjuis. Soal doktrin mementingkan diri dan persaingan lebih fundamental daripada alltruisme dan kerjasama, Marxis waras tak perlu gusar. Dengan asumsi ada tekanan populasi atas sumberdaya langka untuk berlanjut hidup (tak soal itu karena lestarinya lembaga kepemilikan pribadi yang dijaga polisi, penjara, dan tentara), memang masuk akal apabila setiap orang tidak berbagi kemiskinan dan lebih mementingkan dirinya sendiri dulu.

Tak perlu pula Marxis reaksioner dengan mengkhotbahkan gambaran sebaliknya bahwa di alam altruisme dan kerjasama lebih fundamental dalam suksesnya evolusi, seperti yang dilakukan para pengikut Pangeran Kropotkin. Bukankah salah satu sasaran kritik Marx dan Engels terhadap sosialis utopis ialah keyakinan mereka bahwa ‘torang samua basudara’ dan iman bahwa secara kodrati manusia itu suka bekerja sama dan mementingkan orang lain?[8] Lagi pula, bagaimana bisa Marx menjelaskan akumulasi dan ekspansi kapital tanpa pengandaian perjuangan demi kepentingan diri di antara individu-individu kapitalis? Bagaimana pula Marx bisa mengajukan teori nilai-lebih dan tendensi perubahan komposisi kapital tanpa asumsi adanya perjuangan demi kepentingan diri antara individu-individu kapitalis dan antara kapitalis dan pekerja?

Mungkin pembaca ingat bahwa salah satu syarat yang diajukan Marx dan Engels ketika ditawari keanggotaan Liga Komunis ialah pengubahan semboyan Liga beserta program-programnya. Semboyan Liga sebelumnya ialah ‘semua manusia bersaudara’. Yang diajukan Marx dan Engels ialah seruan ‘semua proletariat sedunia bersatulah!’. Alih-alih ‘pernyataan’, mereka mengajukan ‘seruan’. Tersirat keduanya menyadari setiap orang mementingkan dirinya sendiri dulu. Tidak ada pengandaian setiap orang punya kecenderungan asali untuk bersatu padu dan mengorbankan kepentingan diri demi sesuatu yang abstrak seperti ‘manusia’, ‘proletariat’, ‘revolusi’, atau ‘bagi setiap orang sesuai kebutuhannya, dari setiap orang sesuai kemampuannya’. Oleh karena pada dasarnya setiap orang mementingkan diri sendiri, tak terkecuali juga manusia pekerja, maka mereka perlu diseru dan didorong untuk bersatu memperjuangkan apa yang melampaui pengalaman sehari-hari mereka sebagai individu. Tanpa seruan dan upaya pengorganisasian ini, maka apa yang akan mereka perjuangkan tak lebih dari soal kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, dan jaminan sosial. Bagaimana tidak, kepentingan diri setiap individu pekerja ialah kesejahteraannya sendiri. Di luar itu nomor dua.

Kita boleh saja tunjuk hidung pemerintah neoliberal dan lobi-lobi kapitalis sebagai akar persoalan tak pernah beranjaknya serikat-serikat buruh dari soal-soal ‘ekonomisme’. Tapi bukankah faktanya memang para pekerja tidak niscaya revolusioner dengan sendirinya hanya karena mereka proletariat, seperti halnya mahasiswa tidak niscaya baca buku, berpikir, dan menulis hanya karena mereka mahasiswa? Kalau mereka diberi pilihan untuk revolusi Rabu depan atau naik upah sekarang, untuk merebut pabrik tahun depan atau peningkatan jaminan sosial saat ini juga, mungkin pilihan kedua yang akan banyak dipilih.

Boleh-boleh saja kita percaya proletariat itu satu-satunya kelas revolusioner di dunia persilatan saat ini. Tapi dengan pandangan naif secara naluriah mereka akan memperjuangkan lebih dari kepentingan mereka sendiri sebagai individu, dan menyerahkan revolusi kepada kehendak revolusioner mereka yang agung, itu artinya kita mengidap apa yang disebut Lenin sebagai ‘ganguan jiwa kekanak-kanakannya komunisme ultrakiri’ seperti yang menjangkiti anarkis-anarkis keblinger. Sosiobiologi mengingatkan Marxis bahwa dunia ideal yang hendak mereka perjuangkan bertumpu pada kenyataan bahwa setiap orang secara naluriah mementingkan dirinya sendiri dan tidak niscaya kenyataan ini punah segera setelah kita khotbahkan indahnya hidup berbagi dan agungnya masyarakat sosialis masa depan. Sosiobiologi menggedor pintu kamar kita saat kita giat bermimpi. Bukan usil, tapi mengingatkan, karena sosiobiologi juga menawarkan asas-asas ilmiah untuk membuktikan ada realitas material yang melampaui relasi sosial produksi, yang bukan ciptaan sadar kita dan seringkali berseberangan dengan kehendak kita menciptakan masyarakat sosialis adiluhung. Engels juga pernah bilang, “faktalah bahwa manusia muncul dari binatang, dan konsekuensinya mereka akan menggunakan sarana-sarana barbar dan nyaris kebinatangan untuk membebaskan diri dari barbarisme.”[9] Sosiobiologi memberikan kita teropong untuk menengok akar-akar sifat kebinatangan manusia. Apa yang tidak diberikan sosiobiologi ialah optimisme bahwa kita bisa mengubah realitas material itu secara sadar dan terorganisasi ke tempat yang kita inginkan. Mereka khilaf bahwa salah satu produk evolusi manusia ialah kesadaran-sosial beserta kelenturan perilaku yang bertopang padanya dan terbukti telah menghantar leluhur kita berhasil berjuang menghadapi bumi Pleistosen yang begitu berubah-ubah cepat ratusan ribu tahun lalu.

Dalam terang ini perlulah kiranya diupayakan pembangunan suatu organisasi pelopor yang mengabdi pada sekaligus mengatasi kepentingan-kepentingan individualnya proletariat, supaya kita bisa “membikin sejarah” sambil tetap sadar kita “tidak membikinnya sesuka hati dalam keadaan” yang kita bisa pilih sendiri sambil ngopi.***

Jatinangor, 7 Pebruari 2015

 

———–

[1] E.O. Wilson dan C.J. Lumsden (1991) ‘Holism and reduction in sociobiology: lessons from the ants and human culture’, Biology and Philosophy, 6: 401-12.

[2] E.O. Wilson (1977) ‘Biology and the social sciences’, Daedalus, 106 (4): 132.

[3] Ibid. yakni: 1) ukuran alami kelompok intim antara 10-100 orang, 2) poliginis, 3) sosialisasi panjang, 4) pergeseran ikatan ibu-anak ke ikatan sebaya’, 5) permainan sosial yang menekankan praktik peran, ejekan agresif, dan eksplorasi, 6) ekspresi wajah, 7) aturan perkerabatan, 8) penghindaran kawin-sumbang, 9) bahasa simbolik, 10) ikatan seksual intim, 11) ikatan orangtua-anak, 12) ikatan antarjantan, 13) teritorialitas.

[4] L. Tiger dan R. Fox (1971) The Imperial Animal. New York: Holt, Rinehart and Winston; P.L. van den Berhge (1975) Man in Society: a biosocial view. New York: Elsevier.

[5] Maksudnya, komunisme. Kalimat ini merupakan ejekan.

[6] E.O. Wilson (1975) Sociobiology: an new synthesis. h. 575; kalimat serupa muncul juga di E.O. Wilson (1980) Sociobiology: the abridged edition. Cambridge, Mass.: The Belknap Press, h. 300

[7] R. Dawkins (2006) The Selfish Gene. 30th anniversary edition. Oxford: Oxford University Press, h. 117-8.

[8] Coba camkan pernyataan keduanya: “The communist do not preach morality at all, as Stirner does extensively. They do not put to people the moral demand: love one another, do not be egoists, etc.; on the contrary, they are very well aware that egoism, just as much as selflessness, is in definite circumstances a necessary form of self-assertion of individuals. Hence, the communist by no means want… to do away with the ‘private individual’ for the sake of the ‘general’, selfless man”, K. Marx dan F. Engels (1975) ‘The German Ideology’, Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 5. London: Lawrence & Wishart, h. 247.

[9] F. Engels (1987) ‘Anti-Dühring: Herr Eugen Dühring’s revolution in science’, Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 25. London: Lawrence & Wishart, h. 168.

Marxisme dan Sosiobiologi (bagian 3)

$
0
0

SIAPA kaum terpelajar ‘urban’ yang tak kenal nama Richard Dawkins? Di Indonesia, setahu saya, sudah dua bukunya diterjemahkan dan diterbitkan. Satu oleh penerbit yang punya jaringan toko buku terluas di Indonesia. Satu lagi tesis filsafat oleh sarjana Indonesia tentang pemikirannya juga sudah dibukukan. Meski lebih suka disebut pakar ekologi perilaku, tapi Dawkins juga dikenal sebagai sekutu paling tersohor dari sosiobiologi. Di banyak tulisannya, Dawkins membela keabsahan sosiobiologi, determinisme genetis, dan reduksionismenya sebagai cara pandang atas perilaku dan ‘masyarakat binatang’, tatapi juga atas masyarakat dan kebudayaan manusia. Lewat karangan-karangannya sosiobiologi naik pamornya, terbela harkat dan martabatnya di hadapan berbagai serangan. Karenanya jugalah sosiobiologi menjadi kegemaran para politikus konservatif di Inggris dan Amerika dan anak-anak muda yang bosan dengan relativismenya posmo. Seperti leluhurnya di ranah ekonomika, von Hayek, Dawkins tidak saja menyediakan amunisi-amunisi baru untuk memberondong gagasan dan praktik negara kesejahteraan dan sosialisme, tetapi juga membantu membangun benteng pertahanan yang kokoh atas kapitalisme neoliberal.

Di ranah sains hayati, arti pentingnya ialah membuka kembali medan pertarungan ihwal sudut pandang terhadap struktur dunia hayati, penjelasan atas hakikat proses-proses alamiah yang mencakup kehidupan manusia dalam populasi, dan metode yang sesuai untuk penyelidikan asas penghabisannya. Seperti materialis-materialis abad kedelapan belas dan sembilan belas Eropa, Dawkins membombardir ‘faham tua’ ihwal holisme atas kehidupan. Buatnya, tak ada yang namanya totalitas selain kumpulan bagian-bagian. Baginya, alam dan segala isinya bisa dicermati dengan memotong-motongnya menjadi bagian-bagian yang terisolasi. Dengan begitu, kita bisa menarik garis tegas mana yang sebab dan mana yang akibat. Apabila sudah bisa seperti ini, kita bisa menemukan hukum alam tanpa uluran tangan dari filsafat. Seperti ateis-ateis radikal abad kedelapan belas, Dawkins mengajarkan bahwa kehidupan tak lebih dari dan tiada lain interaksi materi dan pergerakannya. Tak ada jiwa atau roh. Tak ada ‘rancangan’ ataupun ‘suratan tangan’ kekuatan Adialami. Karena yang ada tinggal alam materi dan gerak abadinya, tidak perlu sama sekali memasukkan ‘Tuhan’, ‘mukjizat’, dan ‘misteri’ ke dalam dalil penjelasan gejala dan entitas hayati.

Sampai di situ Dawkins (dan sosiobiologi) bisa menjadi sekutu materialisnya Marxisme. Tapi Dawkins menyembunyikan sekelumit idealisme dan metafisika di balik tampang materialis ilmiahnya. Dawkins dan sosiobiologi mengungkit kembali debat persoalan reduksi penjelasan. Apakah tingkat-tingkat organisasi hayati seperti sel, organisme, populasi, dan spesies; seperti otak, pikiran, perilaku, dan kebudayaan, itu hanya terpisahkan tak hanya secara metodologis tetapi juga ontologis sehingga harus diselidiki sebagai subjek-subjek otonom ataukah sekadar efek samping dari organisasi dan mekanisme paling fundamental (gen) sehingga bisa terjelas sepenuhnya dengan hanya menengok ke situ? Atas pertanyaan ini, Dawkins dan sosiobiologi memilih posisi yang kedua. Di sinilah materialisme Marxis mesti memisahkan diri dari materialismenya Dawkins.

Dawkins dan sosiobiologi melihat tujuan penghabisan dari penyelidikan atas fenomena organisme-organisme hidup, termasuk perilaku sosial manusia, tak lebih dari perian atas gejala dalam konteks keberadaan entitas-entitas individual sebagai objek-objek terisolasi. Pengakuan atas adanya tingkat-tingkat organisasi hayati (gen, sel, organisme, populasi), dipahaminya sebagai perbedaan metodologis semata yang di situ tingkat-tingkat terpadukan dalam alur penyebaban tunggal dari yang lebih fundamental ke yang di atasnya. Karena semua kehidupan bertopang pada keberadaan dan replikasi gen, maka organisasi paling fundamental ialah gen. Di titik inilah reduksi penjelasan mesti diupayakan.

Psikologi evolusioner, sekutu terdekat (atau sebagian orang menyebutnya keturunan sah) sosiobiologi, yang akhir-akhir ini trendi di kalangan anak muda ‘urban’ Indonesia, juga ambil posisi yang sama dengan doktrin reduksionismenya Dawkins. Buat penyokongnya, gen tentu saja berperan penting dalam menjelaskan perilaku manusia, tapi ada ranah antara yang menjembatani penyebaban dari gen ke perilaku, yakni pikiran. Ditilik-tilik, bukankah perilaku organisme tak lebih dari hasil pikirannya? Karena pikiran yang dipahami secara materialis tak lebih dari produk aktivitas informasional otak, maka reduksi mestinya difokuskan pada cara kerja dan mekanisme otak. Lebih lanjut, seperti semua organ manusia, otak bukanlah entitas adialami sehingga tak lepas dari tekanan-tekanan seleksi alamiah. Otak berevolusi sedemikian rupa seperti yang manusia punyai sekarang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi leluhur kita sepanjang Kala Pleistosen hingga 10 ribu tahun silam, saat biologi kita sudah jadi dan tak berubah hingga sekarang. Dengan kata lain, pikiran kita sudah diperlengkapi oleh semacam ‘naluri-naluri’ yang khas-spesies yang telah memungkinkan leluhur kita bertahan hidup dan bereproduksi. Naluri-naluri ini menjadi kunci kodrat manusia yang sifatnya universal dan tak lekang oleh keragaman tampilan organisasi sosial dan budaya manusia. Karena organisasi sosial tak lebih dari agregat perilaku individu-individu dan kebudayaan tiada lain hasil reka cipta pikiran, dan pikiran cuma produk aktivitas otak, maka penjelasan mesti direduksi dari perilaku otak manusia sebagai produk evolusi.

Mari kita coba buktikan keabsahan reduksionisme dengan menengok ke wilayah yang paling digemari oleh Dawkins dan sosiobiologi, yakni temuan-temuan sains modern. Apabila penentuan rangkaian DNA menyelesaikan masalah bagaimana informasi tentang struktur protein disimpan di dalam sel, pastinya, menurut mereka, penentuan struktur beberapa molekul, bahkan mungkin DNA itu sendiri, menjelaskan penentuan bagaimana informasi tentang struktur sosial yang disimpan di otak. Persoalannya, yang suka luput dari dakwah mereka ialah bahwa tidak semua informasi tentang struktur protein disimpan di dalam rangkaian DNA karena proses pembungkusan polipeptida menjadi protein tidak sepenuhnya terarahkan oleh rangkaian asam amino penyusunnya. Ketika gen-gen manusia dipungut dari ‘lingkungannya’ dan ditaruh ke dalam organisme-renik dalam media larutan tertentu di laboratorium, misalnya, hasil berbeda dari proses pembungkusan muncul, berlainan dengan proses pembungkusan alami dalam sel hidup. Mengapa? Karena struktur akhir yang ‘pas’ dari suatu protein bergantung pada formasi pembungkusan yang pas dari perantara-perantaranya yang tidak muncul apabila syarat-syarat ‘eksternal’ proses itu tidak sesuai. Kecuali di benak Dawkins dan buku pengantar biokimia, protein itu nyatanya bukan sekadar benang asam-asam amino meskipun ia tersusun atasnya. Protein itu molekul unik dengan sifat-sifat vibrasi dan pengaturan spasial atom-atom yang berpengaruh pada reaksi kimianya berubah-ubah sepanjang proses pembungkusan. Ada banyak faktor di luar sifat-sifat internal asam amino, terutama yang bersifat relasional, yang menentukan sifat-sifat baru ketika asam-asam amino bersenyawa menjadi protein. Artinya, kita tidak bisa begitu saja menarik garis tegas langsung antara sifat-sifat keseluruhan (protein) pada sifat-sifat penyusunnya (asam amino). Keseluruhan lebih besar daripada bagian-bagiannya. Reduksionisme, seperti dijelaskan Martin dalam beberapa tulisannya di Logika, jatuh pada sesat pikir mereologi bahwa sifat keseluruhan ditentukan sepenuhnya oleh sifat-sifat bagiannya. Seperti semua ilmu borjuis, sosiobiologi khilaf bahwa sifat molekul air (H2O, yang tak terbakar) tidak tereduksi pada sifat-sifat atom penyusunnya (H dan O, yang justru mudah terbakar). Mereka juga ingkar pada kenyataan bahwa perubahan kuantitas (besaran) seringkali maujud ke dalam perubahan kualitas (sifat-sifat) dari realitas baru. Semua pelajar kimia tahu bahwa oksigen (O2) beda sekali sifatnya dengan ozon (O3) meski hanya ada penambahan satu atom.

Terkait medan kegemaran mereka, apabila betul genotip menentukan fenotip keperilakuan, maka semua ragam perilaku dan perubahannya habis terjelaskan oleh gen dan perubahan genetik. Tapi, masalahnya, keragaman fenotip keperilakuan tidak habis terjelaskan oleh susunan genotip. Bahkan pada organisme paling sederhana sekalipun, gudang simpanan perilaku organisme dewasanya bisa amat beragam antara satu individu ke individu lain, bergantung pada sejarah pembelajaran individual masing-masing. Gudang simpanan perilaku dari organisme niscaya mencakup tanggapan-tanggapan terpelajari dan keulungan tanggapan-tanggapan tersebut meningkat seiring dengan kompleksitas sirkuit neural spesiesnya. Tanggapan-tanggapan yang dipelajari ini memainkan peran penting dalam evolusi spesies apa pun karena merupakan bagian strategis dari fenotip keperilakuannya organisme dalam konteks relasi dialektisnya dengan lingkungan yang berubah-ubah. Dalam teori evolusi klasik, perilaku dan gen-gen membentuk suatu tautan dialektis yang saling pengaruh di tengah-tengah konteks historis lingkungan. Dalam konteks spesies-spesies sosial seperti primata dan manusia, pembelajaran yang berperantarakan sosialitas merupakan proses lain lagi yang dengannya tanggapan-tanggapan terpelajari oleh satu individu yang ternyata berguna bisa lestari dan tersebar di dalam kelompoknya apabila individu-individu lain memungutnya sebagai perilaku. Sekelompok monyet Jepang (Macaca fuscata), misalnya, menemukan cara baru memproses makanan. Satu gerombolan mengembangkan ‘tradisi’ menyuci ubi dengan air laut. Lalu semua bahan makanan selain ubi juga dicuci dengan air laut. Ketika biji-bijian dilemparkan ke pasir, anggota-anggota lain gerombolan itu menemukan cara memisahkan biji-bijian dari pasir dengan membasuhnya dengan air laut. Tidak ada perubahan genetik sama sekali yang diperlukan dalam perubahan perilaku mereka. Apabila perilaku menyuci makanan lestari bergenerasi-generasi di gudang simpanan populasi dan menyebar ke gudang-gudang perilaku seluruh spesiesnya, maka mungkin perilaku itu ‘memaksa’ gen berubah sesuai dengannya. Apa yang terjadi dengan kadal penghuni tubir pulau atau iguana Galapagos yang bisa berenang dan menyelam untuk cari makan meski sebetulnya mereka anggota genus kadal yang teradaptasi untuk hidup di gurun atau belantara, pada mulanya mungkin juga karena inovasi pembelajaran sebelum akhirnya terjadi perubahan genetis untuk bisa hidup di pulau.

Rupanya materialisme belum berjaya betul. Kalau pun pernah punya piala dalam perlombaan antara sains dan teologi, materialisme masih harus berjuang menghadapi anasir-anasir idealisme yang bersembunyi di dalam sains. Salah satu kuman yang menggerogoti materialisme ialah reduksionisme. Tentu supaya suatu gejala alam terpahami, khususnya untuk bisa terpilah mana sebab dan mana akibat, lebih mudah apabila kita kerangkeng mereka, asingkan dari satu sama lain dan keseluruhan proses, lalu mematungkan mereka menjadi entitas-entitas tunggal. Untuk tahu sebab ‘perilaku’ suatu protein, misalnya, kita bisa mulai dengan memilah dan menelisik interaksi enzim-enzimnya terlepas dari kebisingan yang tak terhitung banyaknya dari molekul-molekul di sekitarannya dalam konteks suatu sel hidup. Alasan pengerangkengan ini jelas. Dalam dunia nyata, proses biokimia protein dalam sistem hayati sel hidup dari organisme hidup itu berubah-ubah senantiasa secara serentak tak terputus kaitannya satu dengan yang lain. Apabila dibiarkan apa adanya demi, katakanlah, menghargai keragaman dan keutuhan, niscaya kita tidak akan dapat pengetahuan apapun. Sebagai metode, reduksi menolong kita menyederhanakan realitas dan memungkinkan kita membikin garis-garis tegas terkait rangkaian sealur dari sebab ke akibat. Misalnya sewaktu kita naikkan suhu atau ubah keasaman larutan, reaksi katalistiknya menjadi lebih cepat. Dari situ kita bisa tahu suhu atau keasaman sebagai sebab dari percepatan reaksi enzim. Reduksi macam begini memberi kita gambaran sederhana atas realitas yang bisa ditangkap dengan grafik matematika sederhana. Realitas diringkas menjadi satu persamaan sederhana, yakni cukup dengan dua sumbu, X (reaksi) dan Y (suhu atau keasaman). Tapi coba kalau kita naikkan suhu sekaligus ubah keasaman secara serentak, apa yang terjadi? Bisa jadi reaksi malah melambat karena kedua faktor sekaligus membikin struktur protein enzim labil. Lalu apabila kita masukkan juga molekul-molekul lain ke dalam proses secara serentak pula, apa yang terjadi. Grafik jadi aneh. Persamaan jadi pelik atau malah mustahil dirumuskan. Kita pun kehilangan kendali atas situasi dan tak punya daya prediksi apapun. Semakin banyak faktor dimasukkan, semakin sulit prediksi dan makin kabur pula garis tegas mana sebab dan mana akibat.

Sebagai metodologi, reduksionisme memang menolong ilmuwan menyederhanakan gambaran realitas demi suatu prediksi. Yang khilaf dipahami reduksionis seperti sosiobiolog dan psikolog evolusioner ialah bahwa dengan penyederhanaan gambaran tidak lantas realitas itu sendiri sederhana seketika kita mereduksinya. Kekeliruannya ialah mengidentikkan gambaran atas realitas dengan realitasnya sendiri, atau dalam pelajarannya Martin, mereduksi ontologi ke epistemologi. Dan inilah anasir idealisme paling licin di dalam sains borjuis. Apa pasal? Untuk bisa beroperasi sama sekali, reduksionisme mengandaikan keberadaan suatu ‘tipe ideal’ yang mengunci realitas ke dalam ‘entitas-entitas’ tunggal. Organisme adalah entitas tunggal yang bisa dipotong-potong menjadi bagian-bagian. Potongan-potongan ini lantas diperlakukan sebagai entitas tunggal pada dirinya sendiri karena kita bisa memotongnya persis pada batas-batas keberadaannya. Organisme individual bisa dipotong-potong menjadi organ-organ, dan organ-organ bisa dipotong menjadi sel-sel, dan sel-sel bisa dipotong menjadi bagian-bagiannya, dan seterusnya hingga tak terhingga. Buat sosiobiologi, spesies itu riil dan bisa dipotong ke dalam populasi-populasi. Populasi juga riil batasnya dan bisa dipotong menjadi individu-individu penyusunnya. Organisme individual pun demikian hingga akhirnya berhenti ke ‘entitas’ yang mereka anggap paling fundamental: gen. Apakah riil yang namanya ‘tipe ideal’ itu? Sebagai konsepsi bikinan ilmuwan ia riil. Tapi apakah kenyataan juga begitu? Kalau semuanya bisa direduksi ke ‘entitas’ tunggal yang lebih fundamental, mengapa mesti berhenti di gen? Mengapa tidak teruskan saja reduksi ke molekul penyusun protein, lalu ke partikel-partikel fisik penyusun molekul itu?

Soal manfaat praktis dari metode reduksi kita tidak bisa pungkiri. Dari situlah berkembang ilmu dan teknologi modern. Entah ilmu dan teknologi itu digunakan untuk membangun pertanian berproduktivitas tinggi atau untuk membantai orang-orang Indian; entah untuk mengangkut makanan ke tempat-tempat kelaparan atau mengangkut budak-budak Afrika ke Amerika; entah untuk meningkatkan sanitasi dan kesehatan kelas buruh atau untuk perang-perang imperialistik, tak jadi soal. Yang jelas metode reduksi punya andil dalam ‘pembangunan’ dan ‘kemakmuran’ bangsa-bangsa terlepas siapa yang dimaksud ‘bangsa-bangsa’ itu. Dari sejarah sains kita juga tahu bahwa reduksionisme berkembang karena masyarakat borjuis yang sedang giat-giatnya menaklukkan alam dan populasi di luar Eropa dengan teknologi dan ekonomi butuh pada prediksi. Semakin sedikit faktor penjelas, makin baguslah prediksi. Makin bagus prediksi, makin bagus pula kendali atas alam. Makin bagus kendali, makin bagus juga buat industri yang bertopang padanya. Bagaimana pun, sains itu lembaga sosial yang bertautan secara struktural dengan lembaga-lembaga sosial lain seperti pasar, industri, dan ’demokrasi’. Ilmuwan yang menjadi kunci lembaga ilmu tak pernah lahir sebagai ilmuwan, tetapi sebagai anggota suatu kelas sosial tertentu yang berbagi pandangan hidup, pandangan dunia, nilai, dan kepentingan ekonomi-politik. Rasionalisme bisnis tidak menoleransi segala bentuk buang-buang sumberdaya. Bisnis itu mesti efisien. Begitu pula lembaga-lembaga sosial yang diongkosi olehnya. Pengetahuan romantis ihwal keutuhan alam memang hanya cocok buat rahib-rahib Abad Pertengahan yang tak punya kerjaan, dan Marxis mesti bersetuju menolak soal ini. Namun, menyederhanakan realitas demi efisiensi industrial dalam berilmu sambil mengabaikan kepelikan alam juga mesti dilawan, karena memungkinkan anasir-anasir antisains berkembang biak menghalangi potensinya sebagai wahana pembebas. Sosiobiolog perlu menyelami makna pernyataan Marx bahwa:

tiada jalan lapang menuju ilmu, dan hanya yang tak gentar pada dakian meletihkan jalur anak tangganya saja yang berkesempatan mencapai puncak bertabur cahayanya.[1]

Sebelum mendakwahkannya kepada ilmuwan-ilmuwan reduksionis degil, setiap Marxis mestinya mencoba menyelami pelajaran yang diberikan Marx ini dan mempraktikkannya dalam semua bidang.***

 

Jatinangor, 21 Pebruari 2015

 

———–

[1] K. Marx (1976) Capital: a critique of political economy, Volume I. Harmondsworth: Penguin Books, h. 104.

Marxisme dan Teka-Teki Telur-dan-Ayam

$
0
0

PEMBACA pasti pernah mendengar pertanyaan teka-teki populer ini: ‘mana dulu, ayam atau telur?’ Sepintas pertanyaan ini tak punya jawaban. Apalagi konteksnya obrolan buang-buang waktu di selasar kampus sambil nunggu dosen yang telat. Kalo kita jawab ayam, pasti penanya berkilah: bukankah ayam berasal dari telur? Begitu pula kalau kita jawab telur, bukankah telur berasal dari ayam? Apapun jawaban beserta argumen kita buat penanya, pasti ujung-ujungnya ialah meningkatnya keakraban semata. Memang untuk latihan debat kusir atau koan dalam meditasi Zen, pertanyaan ini sungguh bagus. Tapi, saya pikir teka-teki ini bagus juga dijadikan isi paragraf pembuka tulisan di kolom Logika. Ketika itu terjadi, pertanyaan muncul: apa hubungannya teka-teki telur-dan-ayam dengan Marxisme?

Atas teka-teki ini, seorang kawan menjawab: relasi telur-dan-ayam itu dialektis, bro!. Kita tidak bisa menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang kemudian. Pertanyaanmu itu ngga intelek! Coba kita pikir baik-baik ya. Keduanya kan mengada, seperti diajarkan Martin soal dialektika, ko-relatif atau yang satu mengandaikan keberadaannya pada yang satunya lagi dalam relasi tak terpisahkan. Siapa saja yang coba-coba mendahulukan yang satu atas yang lain niscaya gagal sebab memang tak ada yang dahulu dan yang kemudian. Kita niscaya jatuh pada determinisme dan reduksionisme apabila memaksakan kedahuluan ontologis salah satunya. Tidak! Sebagai Marxis terpelajar kita mesti jauhi totem ilmu borjuis itu!

Cendikia sekali. Jawabannya terdengar seperti jawaban seorang Marxis tulen. Bagaimana tidak, kawan kita ini mendasarkan jawabannya pada asas-asas dialektika paling pokok yang disebut doktrin relasi internal. Segala hal konstitutif terhadap segala hal lainnya. Karena dipuji, kawan ini terus menambahkan argumennya dari korpus Marxisme: Engels kan mengajarkan bahwa dialektika bekerja di pikiran, alam, maupun masyarakat. Dialektika ayam-dan-telur adalah bukti bahwa alam itu realitas dialektis. Bukankah Marx juga mengajarkan pada kita bahwa bukan unit individual tapi relasi yang mengisi relung terdasar realitas? Kapital itu relasi sosial lho, bukan entitas. Begitu pula basis-suprastruktur. Kalau kita tidak percaya dialektika, kata kawan ini, kita bukan Marxis!

Kawan lain berbisik pada saya. Dia memberi jawaban lain ihwal teka-teki ayam dan telur. Menurutnya, dari fakta evolusi, telur terlebih dahulu ada daripada ayam. Buktinya? Gallus (nama genus semua jenis ayam-ayaman, termasuk ayam kampung yang suka dibikin pecel, Gallus gallus domesticus) itu anggota keluarga Phasioanidae dari Ordo Galliforma, salah satu anggota kelas Aves di kerajaan Binatang. Leluhur jauhnya ialah Archaeopteryx, satu jenis saurus yang hidup sekitar 150 juta tahun lalu. Saurus bereproduksi melalui telur yang dierami di luar induk. Artinya, jauh sebelum ayam muncul di pohon evolusi hayati, telur sudah ada terlebih dahulu. Dengan gaya tuturnya Martin: untuk adanya ayam sama sekali, telur mesti ada terlebih dahulu di alam. Jadi, telur lebih dulu daripada ayam.

Jawaban kawan yang satu ini juga terdengar seperti jawaban seorang Marxis. Bagaimana tidak, dia mendasarkan jawabannya pada asas syarat-syarat material keberadaan suatu relasi. Baginya, di luar relasi internal ayam-dan-telur ‘saat ini’, ada relasi eksternal yang memungkinkan sama sekali keberadaan relasi internal, yakni fakta evolusi bahwa telur yang dierami di luar induk ada lebih dahulu ketimbang evolusi ayam dari filogeni spesies-spesies petelur sebelumnya. Dengan menekankan pada materialitas keberadaan hal-ihwal relasi, pandangan kawan ini juga menjadi historis. Ada asal-usul dari serba hal-ihwal yang relasional, entah itu ayam-dan-telur, majikan-dan-hamba, ataupun kapitalis-dan-proletar. Apabila Marxisme itu pandangan dunia materialis, bukankah pandangan kawan ini boleh juga mendaku dirinya Marxis?

Menurut kawan materialis ini, jawaban ‘dialektis’ di atas terdengar naif. Meski kedengarannya seperti argumen seorang Marxis tulen, tapi itu keliru pada hal paling mendasar. Kekeliruannya terletak pada pengutamaan dialektika di atas materialisme. Apa pasal? Di jawaban itu tersirat bahwa relasi ialah segalanya dibanding materialitas keberadaan yang ditautkan relasi itu. Boleh dibilang jawaban itu lebih Hegelian ketimbang Marxian. Kawan ini pikir, inilah salah satu penyakit Marxis kontemporer di Indonesia; penyakit borjusi kecil-kecilan yang mengkhotbahkan dialektika secara membabi-butanya dan mengaku Marxis karenanya. Kawan ini berteguh bahwa sebelum dialektis, Marxisme itu materialis. Dialektis itu cuma predikat atau sifat saja dari materialismenya. Jangan hanya karena ‘materialisme dialektis’ itu satu kata, lantas menyetarakan derajat antara yang materialis dan yang dialektis ke dalam relasi internal simetris. Kalau begini jadinya, Marxisme bisa jatuh ke jurang idealisme yang tak terampuni dan akan tak terbedakan pula dari musuh-musuh Marxisme. Mengabaikan hakikat materialistik dari Marxisme demi dialektika yang sepintas terdengar lebih cendikia, bisa saja menghapus pondasi Marxisme sama sekali.

Lebih lanjut dibilangnya bahwa dialektika itu bisa berbahaya tanpa materialisme. Misalnya dalam soal tautan antara ada dan pikiran, antara realitas dan kehendak. Seperti dalam relasi ayam-dan-telur, di dalam tautan antara ada dan pikiran, realitas dan kehendak, tentu saja terdapat relasi internal antara keduanya. Bahwa antara realitas dan kehendak atau antara ada dan pikiran terdapat pertautan tak perlu disangkal. Justru karena terdapatnya pertautan inilah yang memungkinkan kritik ideologis seperti yang selama ini dioperasikan kritik ekonomi-politiknya Marx dan sosiologi pengetahuan kontemporer. Namun yang perlu ditegaskan ialah bahwa tautan keduanya tidaklah simetris seperti dalam doktrin relasi internalnya Hegel. Apabila simetris relasinya, maka kita bisa saja memulai dari yang sebaliknya dari kritik ekonomi-politik. Kita bisa terjebak dalam penyakit Hegelian muda yang mengira pengubahan pikiran dan kehendak bisa mengubah ada dan realitas. Bahwa kategori-kategori ekonomi-politik (pikiran) itu, misalnya, berelasi dengan kondisi material/kelas (ada) sehingga ekonomika neoklasik tak lebih dari pantulan kehendak kelas kapitalis atas realitas perekonomian tempat mereka hidup dan berjuang memenangkan pertarungan kelas melawan proletariat, bisa jadi benar. Tetapi sekadar mengubah kategori-kategori (pengetahuan atau kesadaran orang atas realitas) tidak lantas bereslah masalah di tingkat realitas.

Pengabaian pada adanya tautan eksternal dari relasi internal hal-ihwal bisa berujung pada lamunan militan akan, misalnya, cinta. Cinta tentu saja adalah relasi yang menautkan dua hasrat individu secara internal satu sama lain. Namun sebelum adanya relasi internal ini beserta dinamikanya, ada prasyarat material keberadaan hasrat dari seseorang yang nyata pada sesuatu di luar diri yang nyata pula sekaligus menjadi tempat hasrat itu ditujukan. Cinta itu, kata Marx, “tak bisa punya rujukan pada perkembangan internal [semata] karena ia tidak bisa dibangun secara a priori; karena perkembangannya ialah hal nyata yang mengambil tempat di dalam dunia indrawi dan antara individu-individu nyata”[1]. Selain itu, karena “yang terkasih ialah objek indrawi, dan apabila Kritisisme Kritis[2] berlagak mengakui suatu objek, ia butuh setidaknya suatu objek tak-berindra”[3], kata Marx. Artinya, sekadar hasrat dan kehendak pada cinta tidak akan mengubah realitas bahwa kita jomlo lapuk. Ada prasyarat material yang eksternal untuk adanya sama sekali relasi internal dua kategori dalam cinta. Dan prasyarat ini mendahului sekaligus menopang (supervene) adanya kehendak dan relasi dua kategori dalam cinta itu kemudian.

 

dede1Gambar diambil dari http://s114.photobucket.com

 

Dalam ‘ilmu’ humaniora, posisi kawan dialektis yang belum memahami arti cinta atau yang bertepuk sebelah tangan sambil melamun maujud ke dalam pikiran antropolog-antropolog idealis semacam Franz Boas, Durkheim, atau Lévi-Strauss bahwa manusia dan kebudayaan itu satu paket keberadaan. Keduanya korelatif. Di situ ada manusia, di situ pula kebudayaan ada. Yang satu mengandaikan yang lain secara niscaya. Buat mereka differentia specifica manusia atau hal pokok yang membedakannya dari binatang-binatang lain terletak pada kebudayaannya. Bolehlah kita sebut pandangan ini ‘pan-kulturalisme’. Kekeliruan pan-kulturalisme sama dengan kekeliruan pandangan kawan dialektis soal ayam-dan-telur. Apabila yang dimaksud kebudayaan adalah segala hal-ihwal simbolik ciptaan manusia yang reproduksinya ekstrasomatik, maka sebelum kapasitas simbolik berkembang, dipersyaratkan suatu perkembangan tertentu dari manusia dengan kapasitas biopsikologis tertentu di otaknya. Sebelum munculnya kapasitas kognitif yang memungkinkan sama sekali produksi simbol, sebuah otak dengan kerumitan sistem syarafnya mesti berevolusi sedemikian rupa dahulu dan memungkinkan kapasitas kognitif sama sekali pada satu produk alam yang namanya manusia.

Coba tengok bukti evolusi kebudayaan, kata kawan materialis. Salah satu bukti empiris keberadaan kapasitas simbolik ialah tinggalan arkeologis benda-benda ciptaan manusia yang non-utilitarian, yang fungsinya bukan untuk subsistensi atau bertahan hidup semata. Mengapa ini patokannya? Apabila sekadar kapasitas menggunakan (dan membuat) perkakas, semua kera besar dan beberapa spesies monyet juga menggunakan perkakas dalam aktivitas subsistensi dan bertahan hidupnya. Hanya manusia sajalah yang bisa memproduksi benda-benda non-utilitarian semisal berlaksa meme harian di facebook atau bunga rampai tentang Engels. Karena benda-benda itu tak terkait langsung dengan subsistensi yang empiris-aktual, itu artinya keberadaan mereka melibatkan suatu sistem simbolik atau pemaknaan, sesederhana apapun itu.

Apabila ini patokannya, kita bisa ambil bukti tertua berupa arca mungil yang menggambarkan sosok perempuan gendut (perempuan karena berpayudara, gendut karena perutnya buncit)[4]. Dari bukti tertua itu, maka ‘kebudayaan’ baru muncul tak lebih tua dari 40 ribu tahun silam. Padahal keberadaan genus homo sudah sejak dua juta tahun silam. Kalo kita persempit ke kemunculan Homo sapiens, maka paleospesiesnya sendiri sudah hadir dalam bentuk yang sepenuhnya seperti kita 165 ribu tahun silam. Artinya, ada jeda beberapa puluh ribu tahun sebelum kapasitas berkebudayaan muncul. Ke mana saja ‘kebudayaan’ selama itu kalau benar manusia dan kebudayaan itu ada seiring sejalan sejak asali?

Yang luput dari amatan pan-kulturalisme (dan tentu kawan dialektis) ialah bahwa kebudayaan itu tiada lain kebudayaan-nya manusia. Keberadaan kebudayaan mengandaikan suatu manusia terlebih dahulu. Ada syarat-syarat material yang mesti terpenuhi terlebih dahulu untuk adanya sama sekali kebudayaan. Syarat-syarat itu, kata Marx juga, bergantung pada “organisasi fisik” manusianya. Dan sekarang ilmu evolusi memberi kita banyak bukti bahwa manusia adalah produk alam; hasil evolusi dari leluhur keranya yang tanpa kebudayaan. Pertanyaan lanjutan materialis akan menjadi: bagaimana kebudayaan muncul sama sekali dari evolusi mahluk yang sama sekali tak berkebudayaan? Jawabnya harus dicari dari penyelidikan ilmiah ihwal kondisi-kondisi material yang memungkinkan kemunculannya, bukan dengan mengandaikan begitu saja keberadaan kebudayaan melekat pada kemanusiaan. Dengan begini, siasat materialis ini menutup peluang masuknya ‘Misteri’ ke dalam penjelasan atas manusia dan kebudayaan, sekaligus menegaskan cara pandang historis karena segala hal dipandang memiliki asal-usul.

Apakah dengan demikian dialektika harus ditinggalkan? Tentu tidak, kata kawan materialis. Dialektika berguna dalam menelisik soal struktural ketika masalah asal-usul dianggap sudah selesai. Tapi apabila persoalannya adalah asal-usul, dan dalam politik perjuangan kelas di tingkat ideologi asal-usul itu berkenaan dengan legitimasi keberadaan hal-ihwal, maka materialisme, yang memungkinkan cara pandang historis, mestilah menjadi panglima.

Dari paparan kawan materialis di atas, setidaknya ada dua hikmah yang bisa dipetik. Pertama, Marxis mesti mendahulukan materialisme ketimbang dialektika; mengutamakan pada realitas material ketimbang relasi-relasi kategoris yang menautkannya kemudian, atau kita bisa menjadi sejenis Marxis idealis keras kepala yang memaksakan ‘pikiran-pikiran’ Marx dan Engels atau ‘Rusia’ yang agung itu pada realitas material yang kita hadapi saat ini di sini. Apabila sudah begini, Marxis tak akan ada bedanya dengan Mistisis.

Kedua, dalam upaya meneguhkan materialisme Marxis, kita juga mesti akrab dengan temuan-temuan ilmu alam dan bekerja keras menjadikannya senjata dalam peperangan panjang melawan idealisme, atau kita akan mudah tersungkur ketika musuh menembakkan satu saja peluru temuan ilmu alam yang kokoh ke bangunan teoritis Marxis. Pembaca tentu ingat petuah Lenin bahwa “pasukan yang tidak berlatih menggunakan semua senjata, semua sarana dan cara peperangan yang dipunyai atau yang bisa dimiliki musuh, itu artinya bertindak sembrono”[5].

Meski tidak langsung nyambung dengan paparan di atas, alangkah baiknya ilmu terpadu yang diwartakan Martin sebagai program Marxis dalam pertempuran ideologis kita di Indonesia mulai dirintis untuk mengokohkan perlawanan terhadap penjelasan-penjelasan adialami atau suprahistoris tanpa memaksakan realitas pada kehendak revolusioner kita semata. Hanya materialisme yang bisa menolong kita saat ini. Dan untuk sampai pada materialisme yang kaffah, sebagian kawan mungkin mesti memulainya dengan cinta; dengan coba tinggalkan kehidupan jomlo radikal dan mulai mencintai selain diri sendiri beserta lamunan-lamunan malamnya yang romantis namun kadang menyakitkan itu. Bagaimana pun, kata Marx, cintalah “yang pertama kali sungguh-sungguh mengajarkan manusia untuk percaya pada dunia objektif di luar dirinya sendiri”.[6]***

 

Jatinangor, 5 Maret 2015

 

—————–

[1] K. Marx dan F. Engels (1975) “Holy Family, or Critique of Critical Criticism”, dalam Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 4, London: Lawrence & Wishart, h. 23.

[2] Maksudnya adalah dedengkot Hegelian Muda yang sok kritis.

[3] Marx dan Engels, op.cit., h. 22.

[4] Arca Venus dari Willendorf. Contoh lain ialah lukisan-lukisan gua di Lascaux, Chauvet, Altamira, Pech Merle di Eropa, juga di Sulawesi, Korea, Australia, dan berbagai tempat, yang kesemuanya tak lebih tua umurnya dari 40 ribu tahun silam.

[5] V.I. Lenin (2008) “Left-wing communism, an infantile disorder”, dalam Revolution, Democracy, Socialism, disunting P. le Blanc. London: Pluto Press, h. 314.

[6] Marx dan Engels, op.cit., h. 21.

 


Marxisme dan Hantu

$
0
0

HANTU, menurut KBBI, ialah “roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu)”. Biasanya ‘hantu’ juga diidentikkan dengan roh orang mati yang bisa menampakkan diri pada orang hidup. Apa yang dilakukan ketika hantu menampak bisa macam-macam. Ada yang hanya menampak sebagai sosok, ada yang sambil senyum atau tertawa, ada pula yang cuma tercium aromanya. Di dalam cerita rakyat dan film-film, ada pula hantu yang tidak sekadar menakut-nakuti dengan kehadirannya, tapi juga menculik, mencekik, atau merasuki dan membuat yang terasuki itu gantung diri atau lari masuk kolong kereta api. Apapun perbuatan mereka, di banyak kebudayaan, hantu dipahami sebagai salah satu spesies dari genus mahluk gaib, suatu adaan yang hakikatnya tak langsung kasat mata (kecuali diniati oleh mereka sendiri untuk menampak) tapi bisa berinteraksi dengan orang-orang hidup.

Hantu dan pengalaman tentang hantu lumayan universal dalam arti sebaran geografis dan masanya. Karena itu pula tidak sedikit masyarakat yang mengembangkan lembaga atau upacara tertentu terkait dengan kepercayaan terhadap hantu-hantunya.

Di antara pembaca mungkin ada yang pernah ditanya, ‘sebenarnya, hantu itu ada tidak sih?’ Apabila penanya adalah kawan lama, jangan sampai Anda balik bertanya: 1) ‘Menurutmu ada itu apa?’ atau 2) ‘dalam pertanyaanmu, apa diferentia specifica dari hantu yang kamu maksud?’ Apabila setiap orang yang bertanya dibalik tanya, apalagi dengan pertanyaan balik yang terdengar betapa kalian terasa begitu berjarak, saya jamin seumur hidup Anda tidak akan berteman, kecuali dengan sesama orang-orang membosankan lainnya. Kadangkala kesehatan batin yang terpelihara lewat pertemanan yang baik lebih berharga ketimbang kebenaran, meski nabi Anda menyuruh Anda untuk mengungkap kebenaran meskipun menyakitkan. Kebohongan itu perlu dan adaptif dalam pertemanan. Meski Anda merasa punya jawabannya, saran saya, daripada Anda jawab langsung, lebih baik kiranya Anda tulis saja untuk kolom mingguan di blog. Boleh juga dengan nama samaran supaya lebih misterius.

Sebagian orang menganggap pertanyaan di atas sudah selesai hanya dengan mengatakan bahwa hantu itu tidak ada. Apa buktinya? Buktinya hanya karena dia tidak pernah melihat hantu. Tapi bukti ini mudah terbantah oleh fakta bahwa ada orang-orang yang pernah melihatnya. Buat Marxis, menurut saya, persoalannya tidak beres begitu saja dengan mengatakan ‘tidak ada, karena saya tidak pernah melihatnya. Titik!’ Sekadar empirisme tidak menyelesaikan masalah soal kepercayaan kaum spiritualis modern.[1] Para pemburu hantu kontemporer, para penganut empirisme radikal itu, konon punya bukti rekaman suara dan gambar hantu. Mereka pakai sarana sains seperti magnetometer, kamera inframerah, perekam infra-suara, dan sebagainya untuk membuktikan keberadaan hantu. Dari kegiatan mereka, berbagai tayangan televisi dibuat, ditonton, dan dijadian bukti lanjutan bagi mereka yang percaya. Marxis mesti ambil jalan lain selain empirisme soal hantu ini. Tulisan ini niatnya ke situ.

Sebagai orang terpelajar yang pernah belajar filsafat, kawan saya mengajarkan bahwa pertanyaan di atas, soal ada tidaknya hantu, tergolong ke dalam ontologi terapan. Ontologi terapan itu berkisar di pertanyaan ‘apa saja yang ada dan mungkin ada?’ Terkait pertanyaan tersebut, maka setidaknya ada dua pandangan yang umum. Pertama, hantu ada. Kedua, hantu itu tidak ada. Karena apabila saya pilih jawaban kedua maka selesai sudahlah tulisan ini sampai di sini, maka saya pilih jawaban pertama. Tapi di antara golongan yang percaya bahwa hantu itu ada, ada dua sekte lagi yang bertentangan pandangan. Pertama, hantu itu adaan objektif, bagian dari dunia eksternal yang keberadaannya terlepas dari dan tidak bergantung pada pikiran manusia. Kedua, hantu itu adanya di pikiran manusia saja, tak lebih dari ciptaan akalbudi. Meminjam istilah para ahli filsafat, sekte pertama boleh dibilang menganut realisme, sedang yang kedua itu anti-realisme.

Buat realis, status ontologis hantu itu objektif dan transenden terhadap pikiran dan daya imajinasi manusia. Manusia menangkapnya dengan indra, perasaan, dan pikiran lalu kemudian baru menuangkannya ke dalam konsepsi tertentu. Jadi, hantu itu ditemukan. Sebaliknya buat anti-realis, status ontologis hantu itu nihil selain sebagai hasil atau produk daya pikir manusia. Keberadaannya imanen terhadap dan bergantung pada keberadaan pikiran manusia dan oleh karena itu subjektif.

Sebelum jauh melangkah, tentu pembaca bertanya-tanya: apa sih urusannya Marxisme dan persoalan status ontologis hantu ini? Sewaktu menulis paragraf di atas, saya sendiri belum kepikiran apa ada hubungannya. Tapi in shaa Alloh dalam uraian di bawah mungkin kita bisa temukan kaitannya.

Kalau kita pikir-pikir, kedua pandangan (realis/temuan-antirealis/ciptaan) tampaknya tak bisa didamaikan. Keduanya bertentangan. Satu-satunya persamaan keduanya ialah kepercayaan bahwa hantu itu ada. Namun, apabila kita dengan cendekia menelisik lebih dalam layaknya para filsuf, kelirulah apabila kita sangka kedua posisi itu sungguh-sungguh bertentangan. Kedua posisi tersebut sebetulnya berangkat dari andaian yang diwarisi dari sumber yang sama. Akarnya ialah pernyataan Descartes ihwal keberadaan Tuhan. Menurutnya, mustahil kita punya gagasan atau representasi tentang Tuhan kecuali memang ada realitas Tuhan, entah itu di dalam atau di luar pikiran kita. Nah, dikaitkan dengan keberadaan hantu, karena manusia punya gagasan atau representasi atas hantu, masuk akallah apabila kita nyatakan pasti realitasnya juga ada, entah di pikiran manusia atau di luarnya.

Sepintas, penalaran ini masuk akal. Tapi dengan kacamata Marxisme, kedua posisi sama-sama keliru. Dasar kekeliruan ini bukan karena Marxis itu mestinya secara heroik tidak percaya hantu itu ada. Apalagi jika satu-satunya sokongan posisi heroik itu ialah pengertian a priori. Marxis tidak semestinya langsung menolak keberadaan hal-ihwal yang dipercaya adanya oleh banyak kebudayaan, sebelum menyelidiki hal tersebut secara ilmiah dan rasional. Inilah kiranya yang bisa membedakan Marxis dari tukang rusuh.

Lantas, apa dasar kekeliruan kedua-dua posisi yang dipersoalkan Marxis? Soalnya terutama terletak pada perbedaan arti serta tidak saling sulihnya apa yang dimaksud ‘manusia’ di dalam kedua pernyataan posisi. Dirumuskan secara formal, kedua pernyataan bisa seperti berikut:

  1. Keberadaan hantu itu terlepas dan tidak bergantung pada keberadaan pikiran manusia,
  2. Keberadaan hantu itu tidak terlepas dan bergantung pada keberadaan pikiran manusia.

Kekeliruan rumusan di atas dan tafsir kebertentangannya karena kedua posisi bisa jadi benar, karena apa yang dimaksud ‘manusia’ di dalam keduanya bisa merujuk pada hal berbeda. Pada pernyataan pertama, ‘manusia’ merujuk pada organisme individual, sedang pada yang kedua merujuk pada spesies manusia. Dari situ posisi ketiga bisa muncul: hantu itu ada di luar dan tidak bergantung pada pikiran individu manusia, tetapi tidak mungkin terlepas dari keberadaan spesies manusia. Mengapa? Sampai sekarang belum ada bukti bahwa simpanse percaya pada keberadaan hantu. Buat seekor simpanse, amat mungkin apa yang menampak lewat indranya tidak dibeda-bedakan antara hantu dan bukan-hantu. Semua yang menampak adalah semua yang menampak. Satu-satunya patokan kategorisasi simpanse atas realitas tampakan ialah makanan/bukan makanan, pasangan kawin/bukan pasangan kawin, anggota kelompok/bukan anggota, dan berbagai kategori-kategori praktis dalam kehidupan mereka. Kategorisasi antara manusia hidup dan arwah manusia mati, hanya ada pada manusia. Keberadaan kategori macam begini dimungkinkan oleh daya pikir yang inheren di dalam struktur otak dan kapasitas kognitif spesies manusia. Tak seperti simpanse yang pikirannya ‘episodik’, pikirannya manusia itu reflektif. Kehidupan simpanse, sebagaimana binatang selain manusia lainnya, dihidupi sepenuhnya di dalam kekinian abadi [terdengar seperti kelakuan kaum posmo]; hanya sebagai serangkaian episode konkret. Unsur tertinggi memori representasi ada pada tingkatan representasi peristiwa. Tak seperti manusia, simpanse tidak bisa mengambil memori sekehendak hati mereka sendiri karena seperti jejaring neural, mereka bergantung pada lingkungan untuk akses memorinya. Mereka itu mahluk yang terkondisikan langsung oleh lingkungan dan berpikir hanya dalam arti bereaksi langsung ‘sekarang juga’ terhadap lingkungan.

 

dedddFoto diambil dari http://vignette2.wikia.nocookie.net

 

Cuma manusia yang dapat mengakses memori sesuka hati. Para ahli neurologi menyebut kapasitas ini sebagai ‘pengisyaratan-diri’ atau kemampuan untuk secara sekehendak hati memanggil kembali bulir-bulir memori tertentu tanpa bergantung pada lingkungan. Misalnya ada seekor simpanse dan seorang manusia yang sedang melalui jalan setapak yang sama di hutan yang sama. Perilaku dan isi pikiran simpanse sepenuhnya ditentukan lingkungan yang langsung dihadapinya. Dia mungkin berpikir soal buah-buahan matang yang menggelayut di pepohonan sekitar atau biji-bijian yang tergeletak di tanah, dan kepikiran untuk mengambil, menumbukkan batu ke biji-biji itu satu per satu dan memakan isinya. Sementara itu, si manusia yang berjalan di jalan hutan yang sama, bisa jadi berpikir tentang sesuatu yang sepenuhnya tak berkaitan dengan lingkungan seperti tanggal tenggat pembayaran hutang cicilan motor, balasan surat cinta yang tak kunjung datang, atau tema apa kiranya yang layak diangkat di kolom Logika Rabu depan.

Jadi, untuk adanya ‘realitas’ hantu sama sekali, mestilah ada spesies yang mempunyai kapasitas kognitif tertentu yang melampaui perilaku kognitif binatang pada umumnya. Dengan kapasitas ini dimungkinkanlah pemilahan atas gejala-gejala yang menampak ke pikiran berdasarkan kategori atau patokan yang tak langsung terikat pada lingkungan langsung tertentu. Dari sini ‘diferentia specifica’ hantu dan bukan-hantu bisa dirunut dan ‘hantu’ pun ada karenanya. Keberadaannya bisa saja tidak di benak individu-individu, tetapi mustahil ia ada di luar keberadaan spesies manusia.

Dari sudut pandang Marxis, posisi ketiga ini masih mengandung masalah. Apa pasal? Pernyataan posisi ketiga bergantung pada dua konsepsi ‘manusia’ yang tidak realistik. Pada kalimat kedua, ‘manusia’ dimengerti sebagai spesies manusia atau manusia sebagai suatu kategori. Manusia abstrak macam begini tidak mungkin punya pikiran, kehendak, dan perbuatan. Manusia ini hanya ada di benak para filsuf dan buku-buku filsafat. Oleh karenanya tidak mungkin mengadakan hantu bagi dirinya.

Agak lebih realistik ialah pengertian ‘manusia’ pada kalimat pertama, yakni manusia sebagai organisme individual. Sebagai organisme individual, manusia tentu punya pikiran, kehendak, dan potensi perbuatan. Tidak seperti ‘manusia’ abstraknya filsuf, manusia ini lebih nyata. Namun, manusia macam ini juga belum nyata sepenuhnya. Apa pasal? Karena di sini manusia diibaratkan atom-atom yang muncul entah dari mana. Selain di benak kreatif ilmuwan borjuis semacam Thomas Hobbes, pengibaratan ini tidak punya landasan sama sekali di dunia nyata. Coba saja tengok kehidupan kita masing-masing. Tak pernah ada yang namanya manusia individual universal. Yang senantiasa ada ialah individu-individu sosial yang sudah selalu berada di dalam relasi-relasi tertentu dengan sesamanya di dalam bentuk-bentuk sosialitas tertentu. Kesosialan itu bukan sesuatu yang ditambahkan kemudian ketika individu-individu saling jumpa, bersepakat bikin kontrak, dan hidup bersama. Sosialitas itu lebih primitif daripada individualitas karena faktanya watak kesosialan manusia diwarisi dari biologi leluhur keranya yang juga sosial. Ingat ya, manusia itu tidak seordo dengan laba-laba, tapi primata. Jadi, karena kesosialan ialah faktisitas keberadaan manusia, maka setiap pemahaman masuk akal ihwal status ontologis hantu mestilah memasukkan faktor sosialitas ke dalam rumusannya. Dari sini Marxis masuk membawa posisi keempat yang diturunkan dari posisi ketiga dengan tambahan pemahaman soal sosialitas keberadaan manusia.

Secara formal, posisi Marxis bisa begini:

Hantu dalam keseluruhannya—realitas dan kebenarannya—bisa jadi ada di luar pikiran individu-individu, tetapi ia tidak punya status ontologis di luar atau terpisah dari keberadaan masyarakat manusia dan kebudayaannya.

Hantu ada di luar benak individu sehingga bukan ciptaan pikirannya orang per orang. Tapi hantu juga tidak mungkin mengada di luar keberadaan akalbudi kolektif atau kebudayaan sehingga hantu ada sebagai reka cipta kolektif. Di luar tradisi kultural tertentu, hantu tidak punya keberadaan ataupun makna. Setiap orang lahir di dalam suatu masyarakat dengan kebudayaan tertentu yang dari sudut pandang individu sudah ada begitu saja dan tidak bergantung pada keberadaannya. Sebagai bagian dari kebudayaan, kebiasaan, kepercayaan, dan pola tindakan atas hantu diperoleh individu dari luar dirinya dengan mempelajari atau disosialisasikan oleh masyarakatnya. Artinya, satu-satunya status ontologis yang mungkin bagi hantu ialah konstruksi sosial. Batas-batas keberadaan dan kebenarannya ditentukan oleh struktur dan dinamika masyarakat tempat hantu itu berada. Coba kita ambil beberapa contoh. Sepengetahuan saya, tidak ada yang namanya hantu universal, yang ada di semua masyarakat dan menakutkan bagi semua orang di delapan penjuru mata angin. Kalaupun ada kemiripan, seperti Yūrei di Jepang, Pontianak atau Kuntilanak atau Penanggalan di Nusantara, serta Ap atau Krasue di Indocina, itupun tak lebih dari gendernya yang sama-sama perempuan. Apabila kita periksa gambaran satu per satu hantu-hantu itu, maka satu-satunya kesamaan mereka ialah keberadaan jejak-jejak kebudayaan di dalamnya. Ambil contoh pocong. Pocong itu spesies hantu yang cirinya mengenakan kain kafan seperti halnya kain yang dipakaikan pada jenazah di Jawa. Untuk adanya hantu pocong sama sekali, perlu ada masyarakat yang percaya bahwa menguburkan jenazah ke dalam tanah galian adalah praktik yang wajar. Di Jawa, masyarakat semacam ini hanya mungkin ada pasca keruntuhan Majapahit abad ke-15. Mengapa? Praktik menguburkan jenazah ialah bagian dari praktik kepercayaan Islam, dan Islam baru menyebar di Jawa setelah Kesultanan Demak berdiri di atas reruntuhan Majapahit. Sebelumnya, seperti penganut Hindu pada umumnya, jenazah tidak dikubur, tetapi dibakar.

Keberadaan hantu Pontianak (di Nusantara) atau Yūrei (di Jepang, model rujukannya Sadako) juga, misalnya, mensyaratkan keberadaan masyarakat yang sudah mengenal industri garmen. Bagaimana tidak, keduanya sama-sama mengenakan semacam pakaian putih berbahan kain. Untuk adanya kain putih yang mereka kenakan, mesti ada terlebih dahulu masyarakat yang memproduksi kain putih, dan untuk adanya sama sekali produksi itu perlu adanya domestifikasi dan pertanian kapas (Gossypium sp.). Baik produksi kain maupun bahan baku kapas, merupakan gejala kebudayaan baru dalam evolusi kebudayaan manusia. Bukti arkeologi tertua kapas terdapat di anak benua India 7000 tahun silam, meski katun sendiri mungkin baru diproduksi sebagai pakaian yang praktiknya tersebar luar 2000-1000 tahun lalu di India. Di Jawa, bukti produksi katun tercatat dalam Laporan Tahunan Dinasti Tang (618-907 M). Di Jepang sendiri, hingga tahun 1600, bukan katun putih yang jadi bahan dasar pakaian orang Jepang. Artinya, Yūrei hanya mungkin mengada setelah masa ketika industri katun sudah berkembang.

Dari paparan di atas, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Pertama, dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan soal hantu (mitos, legenda, atau alien misalnya), Marxis tidak semestinya keburu nafsu teriak ‘reaksioner’, ‘tahayul’, ‘ideologis’ dan menghakimi secara a priori keberadaan realitas itu di dalam masyarakat kita. Marxis semestinya tidak mematok secara a priori tanpa penyelidikan ilmiah rasional status ontologis hal-ihwal. Inilah yang membedakan Marxis dengan Pemalas.

Kedua, inti Marxisme ialah metode dan cara pandang materialis historis atas hal-ihwal. Dengan bekal ini, semestinya tak ada Marxis yang dapat tergentarkan hati dan pikirannya menghadapi berbagai pertanyaan, seberapa pun besarnya kadar ‘jebakan batman’ dari pertanyaan itu.

Ketiga, apabila ada di antara pembaca yang mengganti kata ‘hantu’ yang ada di dalam tulisan ini dengan ‘tuhan’, saya sama sekali tidak melarang. Tapi saya mewanti-wanti dengan sepenuh pengertian bahwa mungkin ada akibat lanjutannya. Dan saya tidak bertanggung jawab atas akibat-akibat itu.

Sekian.***

Jatinangor, 20 Maret 2015

 

————

[1] F. Engels, (1987) ‘Dialectics of Nature’, Karl Marx and Friedrich Engels Collected Works, Vol. 25. London: Lawrence & Wishart, h. 354.

Marxisme dan Iman

$
0
0

PARA pembaca tentu kenal sosok Christiaan Snouck Hurgronje. Ya, dia itu penasihat pemerintah Hindia-Belanda untuk urusan Islam dan muslim. Kalau tidak salah dia itu lulusan doktor teologi di Universtas Leiden. Potretnya digambarkan parasnya berjanggut dan berpeci layaknya orang Turki. Fasih bahasa Arab dan bacaan Quran-nya. Konon tak kurang dari tujuh tahun dia tinggal di Mekah. Tanpa diketahui kebanyakan temannya di sana, di Mekah dia melakukan penelitian untuk disertasinya tentang ibadah hajinya umat Islam. Selain pandai dan faham ilmu agama, dia rajin solat, teguh puasanya, besar sedekahnya pula. Karena itulah dia dekat dengan anggota keluarga Saud. Sempat juga menikahi seorang muslimah sebelum kemudian keluar Arabia kembali ke Belanda. Oleh pemerintah kerajaan Belanda dia dikirim ke Hindia-Belanda, khususnya ke Aceh yang kala itu tak kunjung surut perjuangan perlawanan bersenjatanya. Setelah menolong para jendral di Aceh, dia ke Jawa. Di sana Hurgronje menjalin hubungan akrab dengan banyak ulama. Semua orang pasti menganggapnya sebagai mualaf yang beriman. Kesalehannya begitu kasat mata. Mungkin karena itu pula dia bisa menikahi putri seorang ulama di Jawa Barat.

Apakah ada iman kepada Alloh Maha Pengasih di lubuk hati Hurgronje? Apakah tampilan kesalehannya merupakan perwujudan atau materialisasi dari nilai-nilai kesalehan di relung hatinya? Hanya Alloh Maha Penyayang yang tahu. Iman itu nilai, sesuatu yang kualitatif, tersembunyi, tak kasat mata. Seandainya Anda adalah satu-satunya manusia di semesta ini; seandainya hanya ada hablum min Alloh, tak perlulah segala bentuk tampilan kesalehan formal. Alloh bisa tahu kadar iman Anda tanpa Anda tunjukkan itu ke dalam solat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Persoalannya, beriman itu juga hablum minan-naas. Mau tak mau nilai-nilai tersembunyi di lubuk hati itu mesti diejawantahkan ke dalam hal yang kasat mata bagi manusia lain. Orang lain tak akan tahu seberapa besar iman Anda tanpa kuantifikasi iman Anda yang kualitatif itu ke dalam solat ‘lima waktu’, puasa ‘sebulan penuh’, zakat dan sedekah ‘sejumlah tertentu’ harta, ‘mengongkosi’ diri ziarah haji ke Mekah, dan lain-lain yang serba kuantitatif. Dengan kata lain, yang bersifat nilai mesti diformalkan, yang kualitatif mesti dikuantifikasi.

Alloh Maha Besar sendiri tidak butuh formalitas macam begitu. Manusialah, orang-orang di sekitar Anda-lah, komunitas keagamaan yang di dalamnya kita menjadi bagianlah yang membutuhkannya. Mengapa? Tanpa kuantifikasi, pengejawantahan, atau materialisasi nilai-nilai keimanan ke dalam kesalehan formal, bagaimana kelompok tempat Anda berada bisa mengukur keimanan Anda? Lho, memangnya keimanan itu perlu ditakar? Tentu saja. Penakaran itu penting sebagai batas bawah keanggotaan seseorang dalam kelompok sosialnya. Untuk menjadi anggota HIPMI Anda tak hanya harus muda, tetapi juga pengusaha. Kemudaan dan kepengusahaan itu mesti ada ukurannya. Kalau tidak, ‘pengusaha meme’ yang tak jelas jumlah pabrik, karyawan, dan laba tahunannya bisa juga masuk. Intinya, ketika suatu kelompok sosial terbentuk, terbentuk pula batas-batas siapa yang anggota dan siapa yang bukan. Jangankan kelompok keagamaan yang landasannya ialah keimanan pada keyakinan tertentu, pecinta sepeda motor merk tertentu saja punya batas-batas keanggotaan yang ditakar oleh tampilan formal orang-orang di dalamnya.

Tapi, seperti kasus Hurgronje atau intel POLDA yang menyamar menjadi aktivis buruh, tampilan formal (perbuatan, pakaian, perkataan, dll.) yang katanya materialisasi dari nilai-nilai itu tidaklah sama dengan nilai itu sendiri. Seperti semua perlambang, bisa jadi tampilan formal nilai bertentangan dengan nilainya sendiri. Di permukaan betapa fasih bacaan solatnya, toyib tutur katanya, luas ilmu agamanya si mualaf Hurgronje. Tapi apakah di lubuk hatinya berteguh iman kepada bukan Alloh Yang Maha Lembut? Secara kasat mata betapa hafal dia akan undang-undang hubungan industrial, betapa membakar semangat pidatonya sebagai koorlap, betapa rajinnya ikut serta rapat-rapat serikat, betapa cekatannya mengutip sana-sini Manifesto Komunis. Tapi apakah tampilan ini wujud dari imannya pada perjuangan anti-kapitalisme? Hanya Alloh yang tahu.

Dari cerita ini kita bisa petik beberapa pelajaran. Pertama, nilai itu sesuatu yang abstrak, tersembunyi, tak kasat mata, dan kualitatif. Sekadar dengan mata telanjang, kita tak akan bisa melihatnya. Kita mustahil memahaminya hanya dengan pertolongan pancaindra kita. Harus ada cara lain selain lewat situ untuk menemukan dan memahaminya. Kedua, jalan lain untuk mengetahuinya ialah dengan menakar besarannya. Kita mesti menengok ke konteks kehidupan dengan sesama manusia (hablum minan-naas) saja supaya bisa menakarnya, karena dalam kehidupan sosial sajalah nilai-nilai itu terejawantahkan ke dalam sesuatu yang material dan kuantitatif, sesuatu yang kasat mata dan formal (berbentuk). Ketiga, tampakan empiris nilai di dalam relasi sosial bisa jadi tak sama dengan hakikat nilai itu sendiri.

Baiklah, lalu apa hubungannya khotbah Jumat ini dengan kolom Logika? Setelah saya pikir-pikir, cerita di atas mirip dengan pembahasan Marx soal komoditi. Marx memulai mahakarya Das Kapital dengan pembahasan ihwal hakikat komoditi. Penempatan bahasan komoditi di awal karena di dalam komoditi tersimpan kunci untuk membuka pintu misteri cara produksi kapitalis, batu penjuru sekaligus pondasi keberlangsungan masyarakat kapitalis tempat kita hidup sekarang. Konon bahasan soal komoditi termasuk teks tersulit dibanding soal lain di bagian lain dalam Das Kapital. Salah satu alasannya ialah bahwa komoditi itu sendiri misterius. Pertama-tama, komoditi itu bukan sekadar barang. Di dalamnya terkandung nilai yang menjadi rahasia terdalamnya. Seperti iman, nilai komoditi tidak sama dengan nilai-guna barang yang terindrai. Tidak juga ia sama dengan wujud kuantitatif nilai-tukarnya dalam pertukaran. Pada titik kita membelinya, sebatang coklat adalah komoditi. Tapi tatkala kita berikan batang coklat yang sama itu kepada teman yang sedang merayakan ulang tahun, ia tak lagi komoditi, ia hadiah, ia pemberian. Yang membedakan kedua hakikat pada satu barang yang sama itu ialah relasi sosial tempat batang coklat itu berpindah tangan. Momen pertama relasinya ialah jual-beli, sedang yang kedua relasinya pemberian. Tapi baik batang coklat maupun relasi penghantar perpindahannya (jual-beli) hanyalah pengejawantahan nilai ke dalam nilai-guna dan nilai-tukar, dua tampakan watak yang terkandung di dalamnya, bukan nilai itu sendiri. Kekeliruan ekonomi ortodoks ialah menyamakan nilai-tukar dengan nilai. Malah mereka menyamakan harga dengan nilai. Harga, atau formalisasi atas nilai-tukar, hanyalah perlambang dua lapis atas realitas nilai. Dan seperti semua perlambang ungkapan, ada faktor kesembarangan tertentu pada harga yang belum tentu sama dengan nilai sebetulnya.

Seperti halnya iman, untuk dapat ditakar nilainya, komoditi haruslah, pertama-tama diperhadapkan dengan komoditi lain di dalam konteks hablum minal-komoditi. Hanya melalui komoditi lain yang berbedalah kita bisa menerka seberapa besar nilainya. Misalnya, kita tidak akan tahu berapa nilai A apabila dibandingkan dengan A yang sama. Tapi dengan B, kita, misalnya, bisa tahu bahwa A = 2B. Artinya nilai A ialah 2B. Bagi A, nilai B ialah nilai-penyetara, nilai pantulan atau bayangan. Nilainya A sendiri tetap tersembunyi sebagai dirinya sendiri. Selain itu, kalau di dunia ini hanya ada dua komoditi (A, B), rampung sudah upaya kita. Persoalannya, ada banyak sekali barang komoditi yang ada di delapan penjuru mata angin. Nilai 2B itu kalau kita perhadapkan A dengan B. Bagaimana kalau diperhadapkan dengan C, D, E, dan seterusnya? Bisa jadi nilai A bukan lagi 2B, tapi 3C, 4D, 5E, dan seterusnya. Lantas, manakah di antara mereka yang betul-betul mencerminkan nilai A? Bisa semuanya sekaligus tidak semuanya karena mereka, seperti ibadah-ibadah formal yang rutin kita tunaikan, tak lebih dari nilai-nilai penyetara yang relatif sifatnya, bukan nilai itu sendiri.

Hal serupa berlaku ketika suatu masyarakat ekonomis menerima salah satu komoditi yang ada, katakanlah emas atau perak, sebagai nilai-penyetara untuk semua komoditi di kolong langit. Atau ketika uang diciptakan sebagai lambang dari nilai-penyetara universal untuk semua nilai komoditi. Baik emas ataupun beraneka bentuk uang tidak melenyapkan kenyataan bahwa nilai-uang (atau harga) komoditi hanyalah nilai-penyetara yang memantulkan nilai hakiki si komoditi, yang, seperti semua nilai-penyetara, sifatnya relatif. Apalagi saat ini ketika berbagai macam matauang hadir di ranah perekonomian kapitalis sebagai barang dagangan yang juga punya harga dan diperjualbelikan. Sebagai dagangan, harga matauang tentu memengaruhi fungsinya sebagai nilai-penyetara nilai komoditi dalam konteks ruang-waktu tertentu. Kalau sudah begini, makin relatiflah nilai komoditi yang diteropong lewat harga atau nilai-uangnya.

Tentu saja, seperti formalisasi nilai kesalehan ke dalam ibadah harian, formalitas nilai dalam nilai-uang atau harga komoditi memudahkan transaksi dan memuluskan peredaran barang dan jasa dalam masyarakat. Namun, seperti halnya ibadah rutin, formalitas ini belum bisa mengatakan apa-apa soal nilai hakiki dan asal-usulnya. Malah ia bisa mengelabui pandangan kita soal itu. Siapa sangka Hurgronje itu bajingan tengik yang tak punya iman sama sekali kepada Islam meski secara kasat mata dia tunjukkan tindak-tanduk kesalehan formal kepada orang-orang sekitarnya? Apabila demikian, artinya nilai komoditi mustahil kita selidiki di ranah hablum minal-komoditi, di ranah pertukaran, saja. Lalu di manakah kita mesti mencarinya?

Kita yang terbiasa hidup di tengah-tengah dunia bergelimang harga, memang cenderung memandang realitas dari segi formal penampakan komoditi kepada kita. Kita pikir harga adalah nilai, dan ketika harga tenaga kerja (upah) kita dibayarkan dengan nominal yang lebih besar, kita pikir selesai sudah perjuangan melawan kapitalisme. Kita pikir setelah menyetor zakat dengan cara mentransfer ke rekening badan amil, punah sudah kewajiban kita kepada Alloh Yang Maha Pemberi. Padahal, nilai berzakat dan sedekah bukan sekadar menyisihkan sebagian harta kita, tapi lebih jauh lagi ialah meningkatkan kualitas iman kita bahwa Alloh menyuruh kita untuk peduli kepada sesama, tidak tamak, adil, dan menolong mereka yang fakir-miskin. Nilai-nilai ini tidak akan bertumbuh apabila kita sekadar mentransfer ke rekening badan amil, karena yang kita hadapi hanyalah mesin ATM atau kasir jelita tanpa bertatap muka langsung dengan wajah-wajah nyata para fakir-miskin beserta kehidupan mereka di tengah-tengah struktur sosial yang memiskinkannya. Kita sering khilaf bahwa formalitas ibadah hanya cara kita mengomunikasikan tampakan iman kita kepada sesama manusia, bukan iman itu sendiri kepada Alloh Yang Maha Melihat.

Hal serupa berlaku juga pada nilai komoditi. Formalisme harga yang mengungkung hidup sehari-hari telah menghalangi kita untuk menelisik lebih jauh dengan mata rasio bahwa nilai tidak berasal dari pertukaran. Ada hal lebih dalam yang memungkinkan pertukaran itu sama sekali. Dan itu letaknya di tingkat produksi karena tak ada pertukaran barang tanpa produksi barang. Di sinilah, di relung terdalam cara produksi kapitalislah kita mestinya menyisir kemungkinan asal-usul nilai komoditi dan dinamikanya.[1] Tentu saja seperti halnya cinta yang tak akan pernah kita ketahui besarnya tanpa dikemukakan secara empiris-aktual, begitu pula nilai komoditi akan tetap sebagai misteri tanpa kemunculannya ke permukaan kehidupan sehari-hari dalam relasi pertukaran. Tapi mengabaikan hakikat nilai komoditi dan bertumpu sepenuhnya pada nilai-relatifnya seperti termaktub dalam harga dan pertukaran akan menjauhkan kita dari kenyataan bahwa tak ada satu pun masyarakat yang dapat melanjutkan hidup tanpa produksi. Di ranah realitas inilah perjuangan mengubah masyarakat kapitalis mesti bermula, tidak di tempat lain. Inilah hikmah yang bisa dipetik dari paparan Marx soal nilai komoditi.***

 

Jatinangor 4 April 2015

—————–

[1] Buat pembaca yang punya minat mendalami pengertian ihwal asal-usul nilai, silahkan baca buku Asal-Usul Kekayaan: sejarah teori nilai dari Aristoteles hingga Amartya Sen, Resist Boook (2013), karangan saudara Martin Suryajaya.

Marxisme dan Kepak Sayap Malaikat

$
0
0

PADA suatu petang, Nashruddin Khoja terlihat di bawah lampu perempatan jalan sedang mencari-cari sesuatu. Kawannya datang dan bertanya: ‘sedang apa kau Nash?’ Nashruddin bilang kalau dia sedang mencari batu akiknya yang jatuh dan hilang. Kawannya itu menolong mencarikan. Bukankah sesama kawan kita mesti tolong-menolong, katanya. Setiap sudut ditelisik, tumpukan daun dikuak, namun tak jua batu itu ditemukan. Merasa sudah cukup lama mencari tanpa hasil, si kawan bertanya di manakah sebetulnya batu itu sebelumnya jatuh. Nashruddin enteng menjawab bahwa batu itu tadi jatuh saat dia di kamar tidurnya. Hah?! Kalau jatuh di kamarmu, kenapa kau cari batu ini di sini?! Dengan enteng Nashruddin bilang: ‘karena di sini lebih terang’.

Tanpa banyak disadari, itulah yang banyak dilakukan kebanyakan orang di Indonesia ketika mencari tahu ihwal Marxisme. Setelah sekian lama dilenyapkan dari dunia persilatan politik, Marxisme juga hilang dari dunia akademik. Saat ini, ketika kita hendak mencarinya kembali, tak jarang kita mencari di tempat yang keliru. Tempat itu dituju karena di situ dianggap sudah ada jawaban final seperti yang selama ini dikhotbahkan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, seperti yang disinyalir Martin dalam tulisan terakhirnya di kolom Logika, kebanyakan dari kita memahami Marxisme tak lebih dengan kaca mata prasangka, entah itu prasangka konservatif maupun revolusioner. Seperti kebanyakan tugas kuliah, alangkah mudah dan cepatnya pencarian pengetahuan atas Marxisme itu dikerjakan dengan jalan kopipaste. Tentu saja hormat pada orangtua adalah norma yang bagus, tapi apabila itu lantas menjauhkan kita dari terang kebenaran, maka selamanya kita akan mencari-cari di tempat yang salah dan terjebak dalam prasangka yang membutakan.

Salah satu tempat mencari tahu yang keliru itu ialah gudang tua desas-desus yang sudah kadung dianggap kebenaran oleh orang-orang tua kita bahwa Marxisme itu faham jahat yang mengajarkan ateisme, anti-agama, dan menerima dengan gembira ria semua bentuk kemudharatan paling keji yang mungkin ada di dunia ini. Akar kemudharatan dan serba kekejian yang ditelurkan Marxisme tak lain dan tak bukan karena fondasi filsafatinya itu materialisme. Dan apakah materialisme itu? Yaitu suatu faham yang mengajarkan bahwa manusia dan dunianya tak lebih dari materi, bahwa tak ada tetek-bengek yang namanya jiwa, roh, dan dunia lain yang tak kasat mata; bahwa tak ada itu yang namanya Tuhan, dewa, malaikat dan entitas-entitas ruhaniah lain yang selama ini dipercaya para penikmat musik jazz yang anggun itu. Pokoknya, Marxisme itu sejenis ajaran Setan Laknatulloh (SL) yang keberadaan bayangannya di dekat pundak kita saja niscaya merusak moral. Benarkah demikian?

Memang betul Marxisme berfondasikan materialisme. Dua batu penjurunya saja materialisme dialektis dan materialisme historis yang sama-sama menyandang istilah ‘materialisme’. Persoalannya, betulkah sebagai materialisme, Marxisme itu mengajarkan bahwa manusia tak lebih dari gumpalan materi tak berjiwa tanpa ruhani, dan dunia tempatnya hidup ini tak lebih dari materi dan geraknya tanpa diikuti oleh keberadaan dunia lain; bahwa dunia yang riil itu tak lebih dari apa saja yang tercerap indra kita; bahwa tak ada apa-apa di balik yang kasat mata?

Apabila yang dimaksud materialismenya Marxis itu seperti ini, jelas Marxisme bukan materialisme. Pengertian materialisme ini hanya cocok untuk faham kaum materialis abad kedelapan belas yang justru dikritik Marx dan Engels sebagai metafisika. Kalau kita baca saja beberapa tulisan mereka secara seksama, apa yang membikin Marx dan Engels susah tidur bukanlah soal apakah dunia ini terbuat dari materi, roh, atau nasi kucing. Marx dan Engels tak hirau pada soal-soal metafisika macam begini. Buat keduanya, tak ada faedahnya sama sekali ribut-ribut soal apa hakikat semesta, jiwa, dan ruh, atau soal siapakah yang menciptakan semua itu, atau apakah ada tujuan dari keberadaan semesta ada itu. Sebagai mahluk biologis, ujung umur kita tak seberapa panjang. Untuk apa buang-buang waktu dan tenaga yang tak banyak guna mengulik soal-soal yang mustahil diketahui secara pasti itu? Persoalan yang merisaukan mereka hanyalah kenyataan bahwa sejarah manusia itu berubah, bahwa struktur kemasyarakatan tidaklah sama sejak asali, bahwa sistem perekonomian kapitalistik beserta borjuasi sebagai kelas kuncinya begitu produktif menghasilkan kekayaan dunia, bahwa kolonialisme-imperialisme berjaya menghisap kekayaan bangsa-bangsa di delapan penjuru mata angin ke kantung-kantung kapitalis di Eropa-Amerika, bahwa krisis ekonomi terjadi, bahwa teknologi produksi tampaknya berkembang senantiasa mengikuti pergulatan kelas kapitalis dan pekerja, dan bahwa-bahwa lain yang nyata-nyata berlaku dan tercatat dalam sejarah kehidupan masyarakat manusia tanpa merumuskan spekulasi yang tak perlu.

Jadi, boleh dibilang memang Marxisme itu sejenis materialisme. Akan tetapi, materialismenya itu materialisme yang historis; materialisme yang coba memahami akar-akar kesejarahan dari rupa dan dinamika masyarakat manusia, utamanya kapitalisme sebagai bentuk termutakhir masyarakat manusia, dengan menengok pada bagaimana syarat-syarat material keberadaan masyarakat ini diproduksi. Melampaui pengertian ini, kelirulah kita memahami apa yang materialis di dalam Marxisme.

Apabila yang dimaksud bahwa Marxisme itu materialis karena dalam upayanya memahami rupa dan dinamika kesejarahan masyarakat manusia para Marxis menyingkirkan entitas-entitas ruhaniah semacam Tuhan, dewa, iblis, dan malaikat atau proses-proses supranatural seperti kutukan, azab, dan suratan takdir sebagai variabel penjelas atas gejala-gejala sosial-historis, maka bukankah semua ilmu yang kita pelajari di sekolah-sekolah juga demikian? Saya belum pernah membaca ada ahli astronomi menulis artikel dengan judul “Peran Intensitas Kepak Sayap Malaikat terhadap Bentuk Lintasan Planet Jupiter” atau seorang geolog meneliti “Pengaruh Jarak Tatapan Mata Dewa Siwa terhadap Pergerakan Lempeng Asiatik” atau ahli sejarah ekonomi yang melaporkan hasil penelitian berjudul “Dampak Kelahiran Bodhisatwa Welas Asih terhadap Fluktuasi Nilai Perdagangan India-Tibet Abad Ke-15”. Seberapa pun salehnya ilmuwan itu, tak mungkin mereka memasukkan Iblis sebagai variabel penjelas proses urbanisasi di Jawa pada awal abad ke-20 atau defisit anggaran Jepang sejak 1990an atau krisis finansial global tahun 2008. Boleh saja si ilmuwan itu rajin solat Dhuha, tapi muskil bila disertasi doktornya di program studi ekonomi pembangunan berjudul “Pengaruh Kekerapan Kunjungan Malaikat terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kabel Atas Jakarta”. Sedalam apapun keyakinannya kepada Islam, mustahil seorang peneliti kriminologi menerbitkan artikel jurnalnya tentang “Pengaruh Kerapatan Populasi Jin Kafir terhadap Tingkat Kejahatan Seksual di Kelurahan Utan Kayu, Jakarta”.

Jadi, kalau Marxis tidak memasukkan keberadaan dan perbuatan entitas atau proses-proses supranatural sebagai faktor ke dalam upayanya menjelaskan watak dan kecenderungan gerak sistem kapitalisme atau tendensi kejatuhan tingkat laba rata-rata dan krisis kapital, itu bukan karena mereka materialis degil dan ateis buta mata hati, tapi karena Marxisme sendiri adalah ilmu, bukan klenik. Dari sini saja boleh dikatakan bahwa tak ada pertentangan sama sekali antara menjadi Marxis sekaligus menjadi orang saleh beragama yang giat tahajud di bulan Rajab atau wirid rosario di bulan Maria. Tentu saja semua itu dengan persyaratan bahwa kita tidak memahami Marxisme sebagai buntelan dogma dan memperlakukan Marx dan Engels layaknya inkarnasi Wisnu sang kebenaran paripurna dan menempatkan diri kita tak lebih sebagai pentaklid buta fatwa rasul-rasulnya. Seperti berulang kali ditegaskan Martin dan marxis-marxis terpelajar lainnya, Marxisme itu pertama-tama adalah ilmu yang bertulangpunggungkan metode materialis dialektis. Tentu saja benar bahwa ilmu Marxisme itu tak lain dan tak bukan dari fondasi gerakan politik perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Tapi tetap saja pada intinya ia adalah ilmu.

Tapi, bukankah Marx, misalnya, pernah menyatakan juga bahwa agama itu candu? Tidakkah pernyataan ini jelas-jelas menyudutkan agama? Bukankah menyamakan agama dengan sesuatu yang haram dihisap sama saja dengan menistakan agama? Memang, apabila kita cuma membaca potongan pernyataan legendaris ini tanpa membaca konteks asbabul nuzul-nya, sepintas tampaknya seolah-olah Marx sedang nyinyir pada agama. Dan kenyinyiran itu pastilah berangkat dari materialisme yang dianut Marx. Tapi pemahaman ini keliru. Konteks asbabul nuzul pernyataan ini ialah analisisnya ihwal kekuatan-kekuatan sosial apa yang memungkinkan penindasan dan penghisapan langgeng. Dengan kata lain, di sini (dan dibanyak tulisan lainnya) Marx sedang menempatkan agama sebagai salah satu lembaga sosial, suatu gejala yang riil adanya dan beroperasi tidak hanya di tingkatan nilai dan norma, tetapi juga dalam relasi dan interaksi antar orang di dalam masyarakat. Dan apabila di sini tempatnya agama, dan apabila kita tengok sejarah peradaban masyarakat berkelas klasik dari Babilonia, Mesir, hingga negara-kota Yunani kuno atau masyarakat feodal Eropa, maka tanpa menjadi Marxis pun, tanpa perlu berkoar hingga urat leher kita menegang oleh seruan jargon-jargon Marxisme pun, kita bisa ketahui dari sejarah dengan terang benderang betapa agama dengan seperangkat dogma, tafsir, dan norma-norma hasil tafsiran orang atasnya seringkali dimanfaatkan oleh kelas-kelas penghisap sebagai pelena atas derita yang mereka timbulkan terhadap rakyat banyak.

Pada satu sisi, gagasan-gagasan dan lembaga keagamaan digunakan sebagai pembenar tindakan para penguasa untuk memungut upeti, merampas anak gadisnya bapak-ibu tani, dan mengerahkan tenaga kerja rakyat jelata membikin jalan, mengolah lahan raja, dan sebagainya. Pada sisi lain, gagasan keagamaan lainnya juga dimanfaatkan untuk memperlihatkan ke benak rakyat banyak betapa wajarnya kondisi yang ada saat ini dan menyabarkan deru kalbu orang-orang tertindas yang marah supaya tidak bertindak melawan para penindasnya. Dikisahkanlah pada masa feodal Eropa, misalnya, bahwa raja dan kaum bangsawan militer berhak mengambil surplus produksi rakyat tani, meniduri anak gadis kaum tani sebelum malam pertamanya, atau merampas babi demi pesta pora perkawinan putra mahkota, karena kedaulatan yang perkasa ini mereka dapatkan dari Yang Ilahi. Melawan mereka sama artinya melawan Yang Ilahi. Dan melawan Yang Ilahi konsekuensinya hukuman yang jauh lebih brutal dan mendidih di akhirat kelak. Ditimbang-diukur, lebih baik sabar atas kesengsaraan dunia yang disebabkan penindasan para penguasa ketimbang melawannya dan menanggung kesengsaraan akhirat yang abadi. Lagi pula para pendeta selalu mengkhotbahkan bahwa kesabaran menanggung kesengsaraan duniawi itu akan membuahkan kenikmatan di dunia lain yang abadi kelak di dunia berikutnya.

Bolehlah dikatakan bahwa pernyataan ‘agama itu candu’ tak kurang dan tak lebih dari kesimpulan dari amatan atas gejala yang terjadi di dunia nyata sebagaimana dicatat sejarah. Dan apabila kita membaca tulisan-tulisan Marx dan Engels soal agama, bisa juga kita temukan bahwa bagi keduanya agama dan orang-orang salehnya juga punya daya perkasa dalam menggerakkan perlawanan atas penindasan. Dalam tulisannya soal Asal-Usul Kristianitas, Engels, misalnya, mengulas gerakan al-Mahdi di Afrika semasa Kekhalifahan Fathimiyyah. Di situ Engels melihat bahwa ada begitu besar potensi ajaran agama sebagai kekuatan yang tak hanya kritis tapi juga mampu menggugah perlawanan terhadap penindasan. Begitu pula dalam kajiannya atas Perang Tani di Jerman abad ke-16, yang ujung kesimpulan menegaskan arti penting nilai, norma, dan semangat keagamaan sebagai sumber imajinasi akan benarnya tindakan melawan penguasa yang dzalim dan ketidakadilan sosial dalam konteks ketika agama menjadi satu-satunya sumber wacana kebenaran.

Jadi, tak betul bahwa Marx dan Engels anti-agama pada dirinya sendiri. Yang mereka anti adalah ketika agama dijadikan tameng pembenar atas kondisi ketidakadilan dan pewajar atas struktur sosial yang berlandaskan penghisapan manusia atas manusia lainnya. Lagi pula, sebagai ilmu, alasan Marxisme menolak memasukkan faktor-faktor dari ‘dunia lain’ dalam menjelaskan rupa dan dinamika masyarakat serta dalam upaya menemukan syarat-syarat empiris-historis dalam upaya kita mengubahnya, bukanlah karena mereka sedari lauhul mahfudz sudah ateis, tapi karena dalam berilmu kita mustahil mengukur pengaruh determinan dari kepadatan populasi jin kafir atau kepak sayap malaikat terhadap dinamika masyarakat yang sedang diselidiki di ‘dunia nyata’ ini.***

 Yogyakarta-Jatinangor, 18-19 April 2015

Marxisme dan Doktor Simpanse

$
0
0

BENARLAH apabila ada yang bilang hidup kita sebagai individu begitu terbatas; begitu fana. Kita terbatas dalam umur. Kita tak mungkin hidup sembilan ratus tahun seperti halnya Nabi Nuh. Kita juga tak punya banyak pilihan. Kita dilahirkan di keluarga yang bagian dari masyarakat dengan struktur dan kebudayaan tertentu tanpa sempat memilih. Seringkali begitu juga kejadiannya ketika memasuki dunia pendidikan. Mungkin ada satu-dua orang bisa memilih jurusan di universitas sesuai pilihannya sendiri sebagai mahluk berakal berbudi. Tapi, kebanyakan sekadar kuliah di jurusan tertentu karena kebanyakan teman seusia kuliah di situ juga. Lalu, setelah lulus, dapat keterampilan, pengetahuan, dan ijazah, kita mesti cari nafkah sebagaimana orang lainnya. Di titik ini pun tak banyak pilihannya: atau kita membikin usaha dan duduk di pihak yang mengupah orang, atau kita bekerja pada orang lain demi upah—tentu dengan asumsi dikesampingkannya profesi padri, rahib-pertapa, atau tukang palak dalam pilihan ini. Setelah itu tentu kita juga bisa memilih (atau terpaksa memilih) entah untuk menjomblo atau berkawin dan membentuk keluarga, punya keturunan atau tidak, untuk menyekolahkan anak atau tidak, untuk mengawinkan anak atau tidak, mengundang mantan atau tidak, dan seterusnya-seterusnya.

Dalam tulisan ini saya tidak akan mengulas bahan-bahan renungan eksistensialis di atas. Di sini saya hanya akan bercerita soal perbedaan dan persamaan manusia dan sepupu primata terdekatnya, simpanse. Dari cerita ini mudah-mudahan ada hikmah yang bisa kita petik, entah untuk berilmu, berorganisasi, ataupun berlawan.

Para ahli genetika menegaskan bahwa manusia (Homo sapiens) dan simpanse (Pan troglodytes) punya nenek moyang bersama yang hidup sekitar 8-6 juta tahun silam. Artinya, percabangan yang menghantar ke evolusi manusia pada satu sisi dan ke evolusi simpanse pada sisi lain, terjadi sekitar waktu itu. Dari sini bolehlah dikatakan manusia dan simpanse kerabat dekat. Setidaknya secara biologis. Artinya, manusia berbagi kualitas biologis tertentu dengan simpanse. Di dalam kepustakaan kontemporer, kita diberi tahu bahwa simpanse itu termasuk binatang cerdas. Tak sedikit dari kualitas manusia punya bentuk proto-nya pada mereka. Penggunaan perkakas secara cermat, misalnya, ditemukan juga dipraktikkan simpanse. Mereka memilih batu tertentu untuk menumbuk biji keras, mematahkan ranting tertentu untuk memancing rayat, meremas dedaunan tertentu untuk dijadikan spons pengumpul air, dan sebagainya. Dalam kehidupan sosialnya, simpanse juga menunjukkan ada pengelompokan dengan taktik dan siasat politik yang mirip politik manusia modern. Mereka juga menciptakan tanda-tanda bebunyian (sejumlah 14 fonem vokal) tertentu sebagai sarana komunikasi. Bedanya dengan manusia, mereka kesulitan menciptakan fonem konsonan. Itulah mengapa kita hanya bisa mendengar aa..uu..ee.. dari mulut mereka.

Di antara serba kesamaan, menurut para ahli neurologi, salah satu perbedaan kunci yang membedakan manusia dan simpanse ialah bahwa kapasitas otak manusia berevolusi sedemikian rupa sehingga memungkinkan munculnya kesadaran dan pikiran reflektif. Simpanse juga sadar-diri dan bisa berpikir. Boleh dikata selain manusia simpanselah binatang yang terbukti punya kesadaran-diri. Simpanse bisa menyadari kaki-nya terluka, bisa juga mengukur jarak dirinya dan monyet buruannya di atas pohon lalu menyusun siasat dengan kawan-kawan di serikat simpanse berdikarinya melalui gestur. Simpanse juga bisa menimbang-nimbang, mengukur, dan memutuskan batu macam mana yang cocok buat menumbuk biji, menilai buah mana yang sudah masak, dan sebagainya. Tapi kesadaran dan pikiran simpanse itu episodik. Maksudnya, simpanse hanya sanggup menyadari dan berpikir atas sesuatu yang langsung ada di lingkungan sekitaran seketika itu saja. Kesadaran mereka sama dengan kesan-kesan indraannya. Mereka berpikir akan sesuatu yang secara kasat mata di hadapannya saja. Artinya, buat simpanse, realitas ialah serangkaian episode terputus di dalam suatu kesekarangan abadi. Tak ada masa lalu, tak ada masa depan. Bahkan tak ada struktur tetap realitas di balik tampakan-tampakan yang berubah-ubah. Tak ada substansi. Dalam istilahnya Martin, pikiran simpanse itu, pertama-tama, hanya bisa menjangkau ‘ranah empiris dan aktual’ hal-ihwal dan peristiwa. Kedua, karena kesadaran dan pikirannya tak bisa dilepaskan dari apa yang terindra saat itu juga, dan itu artinya subjektif, wajarlah bila dibilang simpanse-simpanse itu materialis yang naif. Paling jauh mereka hanya bisa sampai ke idealisme subjektif yang memahami realitas sebagai hasil konstitusi subjektif tertentu.

Manusia, pada sisi lain, memiliki kapasitas kognitif yang melampaui kapasitas simpanse karena kesadarannya reflektif, tak sekadar episodik. Seorang manusia bisa memikirkan apa-apa yang tak langsung tertangkap pancaindranya. Manusia bisa keluar dari kungkungan ‘kesekarangan abadi’. Seperti pernah saya contohkan di tempat lain, ambilah contoh seekor simpanse dan seorang manusia yang sedang berjalan di jalan hutan yang sama. Ketika seekor simpanse berjalan di suatu bagian hutan, dia bisa berpikir cerdik tentang pohon kecapi, mengerti peristiwa buah jatuh, menerka gerakan monyet buruan di atas pohon, dan serba-serbi yang ada di bagian hutan itu. Ketika seorang manusia berjalan di bagian hutan yang sama—hutan dengan pohon kecapi, buah jatuh, dan monyet bertengger di pohon—bisa saja pikirannya melayang ke tenggat pembayaran cicilan kredit rumah bulan depan, agenda rapat persiapan perayaan hari buruh kemarin, cita-cita masa kecil yang tak kesampaian, status lajang yang entah berujung kapan, dan serba-serbi yang tak ada hubungannya dengan lingkungan yang langsung dihadapinya saat itu. Mungkin karena itulah manusia satu-satunya binatang yang bisa melongo, kosong tatapannya, atau schizofrenik.

Dengan kapasitas kognitif reflektif inilah manusia bisa membayangkan masa lalu dan merencanakan ‘masa depan’ yang jauh. Dalam istilahnya Martin, manusia bisa menjangkau ranah mekanisme dan struktur realitas, membikin perampatan dari atom-atom hal-ihwal dan peristiwa langsung, dan menstratifikasi kenyataan. Selain itu, kesadaran manusia pun tak hanya sampai ke kesadaran-diri. Kesadaran manusia juga mencakup apa yang disebut ‘kesadaran-sosial’, kesadaran akan tautan struktural atau relasional antar orang dan hal-ihwal di dalam suatu kehidupan kolektif melampaui kesadaran akan adanya interaksi-interaksi. Pada manusialah chaos dikosmoskan, yang tak beraturan ditatankan.

Kapasitas kognitif manusia ini yang memungkinkan kita berpikir reflektif dan dengan demikian berilmu dan menciptakan kebudayaan. Meski demikian, ternyata dalam berilmu banyak orang yang masih dalam taraf kesadaran episodik simpanse. Misalnya, buat kebanyakan ilmuwan (dan dosen-dosen kita di kampus) realitas itu tak lebih dari apa-apa yang tercerap pancaindra dan menjadi pengalaman individu. Realitas itu individual, subjektif, dan langsung. Realitas hanya itu tersusun atas hal-ihwal dan peristiwa-peristiwa. Tak ada realitas di balik atau melampaui apa yang ditangkap pancaindra. Tak ada realitas yang tak kasat mata. Kalau pun ada, itu tak lebih dari perampatan dari agregat tampakan atau konstruksi akalbudi yang tak punya realitas sendiri selain ciptaan kita. Dalam istilahnya Martin, banyak yang masih teguh memeluk ‘kekeliruan epistemik’, yakni “ilusi bahwa proposisi tentang apa yang ada (ontologi) dapat direduksi ke dalam proposisi tentang pengetahuan kita mengenai apa yang ada (epistemologi)”[1]. Paling jauh, kita diajarkan dosen-dosen bahwa adanya manusia bersifat silih-menentukan terhadap realitas sehingga “substansi tidak ada karena kita hanya melihat kualitas-kualitas yang silih berganti”. Tak ada keberadaan objektif dan karena itu tak ada kebenaran objektif. Semua bisa serba benar. Karena realitas itu subjektif, maka satu-satunya yang mesti objektif ialah cara dan sarana kita mengetahuinya. Kebenaran ilmiah ialah kebenaran yang bisa diukur secara objektif dengan alat yang tak bisa menampung kesan subjektif peneliti. Dan apa alat itu: angka dan persamaan. Ditambah dengan sepikul pragmatisme, maka kebenaran ilmiah diukur dari seberapa mampu ia berguna bagi manusia. Selain itu, karena semua orang berindra, dan realitas itu langsung menampak kepada setiap orang, maka prinsipnya setiap orang bisa mengaksesnya. Tapi karena cara dan sarana mencapai pengetahuan itu tertentu (dalam kerumitan, prasyarat kapasitas logis, dan tentu ongkos mendapatkan pendidikannya), maka tidak setiap orang bisa mengaksesnya.

Dengan cara pandang berilmu seperti ini ‘eksploitasi’ bisa diartikan dua. Pertama, realitas ekspoitasi itu ada sejauh ada satu pihak yang kasat mata mengambil apa yang jadi milik pihak lain. Ketika kita melihat dengan mata kepala sendiri korporasi mengambil alih penguasaan lahan tanpa ganti rugi kepada para penggarap, maka itu adalah eksploitasi. Ketika kita pergoki tukang palak merampas uang tukang baso, maka itu eksploitasi. Ketika kita alami gaji buruh dipotong untuk memenuhi kewajiban perusahaan membayar iuran jaminan sosial, itulah eksploitasi. Artinya, eksploitasi dimengerti sebagai peristiwa empiris yang keberadaannya mensyaratkan kekasatmataan.

Kedua, eksploitasi itu riil sejauh pihak yang dieksploitasi merasa mengalami eksploitasi. Karena saya kerja di kantor ber-AC delapan jam sehari, diberi tunjangan macam-macam, sering diajak dinner oleh bos, dapat bonus tahunan ke Singapura, dan sebagainya, maka tak ada eksploitasi di sini. Karena saya sendiri yang menenteng map merang berisi CV, ijazah, surat lamaran secara sukarela maka kontrak kerja antara saya dan perusahaan bukanlah eksploitasi. Pada pengertian kedua ini, eksploitasi tidak punya status ontologis selain sebagai konstruksi pikiran, perasaan, makna orang atas suatu peristiwa.

Kedua-dua pengertian ini sama-sama bertumpu pada cara pandang simpanse atas realitas. Pertama-tama, keduanya mengandaikan realitas sebagai sekumpulan kesan-kesan subjektif atas hal-ihwal dan peristiwa kasat mata dalam potongan-potongan episode ‘kesekarangan abadi’. Di luar apa yang tertangkap indra dan dialami subjek, tak ada apa-apa. Dengan ilmu ini mudahlah orang mengutuk demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah yang memacetkan jalan hanya karena ‘sekarang’ kita nyaman kerjanya, makmur rumahtangganya, banyak tabungannya. Ketika kondisi ekonomi membikin kita ‘sekarang’ tidak nyaman kerjanya, fakir rumahtangganya, bangkrut tabungannya, barulah kita mengalami eksploitasi dan sukarela turut serta dalam demonstrasi. Karena terperangkap dalam ‘kesekarangan abadi’ ala simpanse, kita yang sedang enak-enaknya hidup juga niscaya percaya bahwa delapan jam kerja itu yang kita nikmati sekarang ialah hasil ‘sekarang’ dari kemampuan kita dan karunia majikan ‘sekarang’, bukannya hasil perjuangan berdarah-darah para buruh di ‘masa lalu’.

Persoalannya tambah pelik ketika dalam konteks kesadaran akan ‘kesekarangan abadi’ simpanse ini kita disuguhi tayangan-tayangan iklan layanan masyarakat dari korporasi dan kuliah-kuliah dosen yang mengabarkan bahwa korporasi datang ke sini bukan untuk mengakumulasi modal dan kemakmuran bagi akumulasi itu sendiri tapi demi kemaslahatan kita semua. Tak ada realitas apapun di balik tayangan itu. Itulah realitasnya. Apalagi ketika kita mengalami kebenaran tayangan bahwa keberadaan korporasi ‘bagi saya sekarang’ memang memaslahatkan. Titik.

Ibarat teri dalam gerombolan teri di samudra luas yang tak menyadari keberadaan samudra, begitulah kiranya banyak orang tak menyadari samudra kapitalisme dengan struktur dan relasi-relasi eksploitatif tak kasat matanya. Yang kita tahu sekadar kehidupan sehari-hari kita sekarang yang (kebetulan sedang terasa) lumrah, rutin, dan wajar. Hidup kita singkat. Tak perlulah kiranya pusingkan diri menelisik rupa apa yang ada di balik kehidupan sehari-hari kita. Ditambah dengan seporsi pragmatisme dari doktor-doktor simpanse, makin teguhlah gambaran dunia yang lumrah, rutin, dan wajar itu.

Mas, bukankah yang diajarkan di kampus memang begitu caranya berilmu, cara empisis/positivis/pragmatis? Kalau sudah begini, waktu kita mempelajari ilmu sebetulnya kita sedang dikelabui atau setidaknya tidak dikabarkan apa yang sedang betul-betul terjadi? Lalu apa faedahnya kita belajar ilmu-ilmu kampus-kampus itu? Dik, ilmu juga lembaga sosial. Kata Martin, salah satu syarat ilmu ialah bahwa ilmu itu ada sejauh sebagai hasil sejarah perdebatan dalam masyarakat. Ini namanya segi transitif ilmu. Selain itu dosen juga tak pernah terlahir sebagai dosen. Mereka lahir di dalam suatu masyarakat dengan struktur, relasi, dan kategori-kategori sosial tertentu (dengan kepentingan-kepentingan terpaut kategori ini) yang telah ada sebelum mereka sendiri lahir. Menuntut ilmu di lembaga-lembaga pendidikan dengan cara pandang atas ilmu yang masih di tingkatan kesadaran episodik macam yang adik alami memang bukan tindakan heroik-revolusioner. Namun, Lenin pernah berpesan:

“Jauh lebih sulit—dan jauh lebih berharga—ialah menjadi revolusioner ketika keadaan untuk perjuangan yang sungguh-sungguh massal dan revolusioner, langsung dan terbuka, belumlah hadir; untuk sanggup mengusung kepentingan-kepentingan revolusioner (lewat propaganda, agitasi, dan organisasi) di dalam badan-badan yang tidak-revolusioner dalam situasi yang tidak-revolusioner, di antara massa yang tak sanggup secara langsung mengapresiasi kebutuhan akan metode-metode aksi revolusioner”[2]

Selamat Hari Buruh Internasional.***

Jatinangor, 4 Mei 2015

 

———–

[1] M. Suryajaya, 2013. Asal-Usul Kekayaan. Yogyakarta: Resist Book, h. 212.

[2] V.I. Lenin, 2008. “Left-Wing Communism, an infantile disorder”, dalam Revolution, Democracy, Socialism: selected writings, suntingan P. Le Blanc. London: Pluto Press, h. 315,

Marx Belajar Matematika

$
0
0

ADA YANG bilang kalau Karl Marx tak pantas jadi panutan hidup. Gondrong rambutnya. Bahkan sampai sampai usia tua. Wajahnya tidak klimis. Penuh berewok dan kumis. Umurnya juga pendek saja, cuma 65 tahun. Tapi lihat, baru umur segitu saja rambut, kumis, dan berewoknya penuh uban. Pasti dia sering stress.

Dalam soal rumahtangga, seumur hidupnya Marx itu miskin nyaris tak mampu menafkahi keluarganya. Utang sana, utang sini. Pinjam duit sana-sini. Gali lobang tutup lobang. Cuma bisa sewa rumah di wilayah padat penduduk. Anak, istri, dan dirinya seringkali sakit. Tiga anaknya mati tanpa sempat mengenyam pacaran. Bukti bahwa dia tidak mampu membayar ongkos dokter.

Kalau keklimisan patokannya, benarlah Marx tak pantas jadi panutan. Tapi bukankah tokoh-tokoh besar yang sampai sekarang turut mewarnai paras dunia juga tak seklimis Mario Teguh? Nabi Musa, Yesus, Muhammad, dan Ali bin Abi-Talib berkumis dan berewokan. Zarathustra, Mahavira, Guru Nanak, dan al-mukarrom Abdul Qadir Al-Jailani juga. Kalau jumlah anak yang hidup sampai dewasa sebagai patokan, bukankah Nabi Muhammad saw juga cuma punya satu anak yang hidup hingga dewasa?

Baiklah, kalau pun memang dalam serba-serbi tampilan pribadinya sebagai seorang fakir Marx agak kurang pas untuk dijadikan tauladan, mungkin kita bisa menarik pelajaran dari caranya belajar ilmu.

Tidak banyak orang tahu Marx pernah menulis perihal matematika. Dia menuliskan setidaknya dua risalah lengkap siap terbit tentang kalkulus dan fungsi turunan. Ditambah dengan draft-draft serta catatan-catatan belajarnya, setidaknya tulisan Marx soal matematika itu nyaris 900 lembar halaman folio. Naskah-naskah tulisan tangan tentang matematika ini tidak pernah diterbitkan selama hidupnya. Lagi pula Marx tak berniat menerbitkannya. Dia tahu diri bukan matematikawan. Dia cuma sedang mengajari dirinya soal matematika. Dua risalah yang disebut di atas juga lengkap hanya untuk dibaca oleh karibnya saja, Engels, untuk diperiksa.

Memang sewaktu lulus dari sekolah menengah di Trier pada 1835, kepala sekolah menuliskan di ijazah bahwa pengetahuan Marx akan matematika ‘lumayan memadai’. Kalau ditengok ke kurikulum pendidikan sekolah Jerman kala itu, Marx mempelajari aritmetika dasar, aljabar sampai ke persamaan-persamaan kuadrat, dan geometri. Paling-paling, Marx sekadar mengenal trigonometri, sedikit aljabar tingkat tinggi, geomteri analitis, dan kalkulus dasar. Tak ada rekaman biografi yang mengisahkan Marx menggeluti matematika setelah lulus sekolah menengah. Kuliah pertamanya dalam bidang hukum. Ujian doktornya dalam filsafat. Keduanya tak memerlukan pendalaman atas matematika. Jadi bolehlah dikatakan bahwa Marx bukan penggila matematika, apalagi dibilang sebagai matematikawan. Karena Marx bukan matematikawan, lantas apa yang mendorongnya mempelajari matematika?

Tanda pertama yang membuktikan Marx mulai mempelajari kembali matematika ialah dari tahun 1858. Pada masa ini Marx mempelajari aljabar karena sedang kesulitan mengurai asas-asas ekonomika dan soal-soal kalkulasi. Seperti banyak orang tahu, sepanjang 1857-1858 Marx sedang bergelut dengan ekonomi dalam rangka persiapan menyusun Das Kapital. Salah satu hasil belajar ekonominya dari dua tahun ini ialah risalah dan catatan-catatannya soal berbagai hal terkait uang dan kapital yang kini dikenal sebagai Grundrisse. Boleh jadi, dorongan pertama yang memaksanya mempelajari matematika ialah upayanya mengkaji ekonomika. Ketika kesulitan kalkulasi ditemuinya, segera dia pelajari dulu ilmu yang bisa menolongnya.

Bukti kedua datangnya dari paro pertama dasawarsa 1860an. Tapi beda dengan masa sebelumnya, saat ini Marx mempelajari kalkulus diferensial dan kalkulus integral. Dalam suratnya buat Engels pada 6 Juli 1863, Marx menjelaskan bahwa “karena aku saat ini habiskan 10 jam kerja sehari ex officio menggeluti ekonomika… waktu luangku kini dicurahkan pada kalkulus diferensial dan integral”.[1] Kenapa Marx mempelajarinya? Kalau kita tengok lagi tulisan-tulisan Marx yang saat ini kenal sebagai Teori-Teori Nilai-Lebih, maka pada paro kedua 1863 Marx sedang kelimpungan menghadapi Tableu économique karangan Quesnay. Semua pelajar ekonomi tahu bahwa Tableu économique itu terbilang risalah pertama yang mengajarkan arti penting ekonomi makro, soal pentingnya kalkulasi pendapatan, pengeluaran, dan sebagainya dalam ekonomi negara. Tapi, apa urusannya dengan kalkulus sehingga Marx mesti mempelajarinya?

Jawabannya ada di bukti ketiga. Dalam suratnya kepada Engels pada 1873, Marx menulis:

Sudah kuberi tahu [Samuel] Moore perihal masalah yang karenanya aku pusing tujuh keliling sampai sekarang. Namun, dia pikir masalah itu tak bisa selesaikan, setidaknya pro tempore, karena banyak faktor terlibat, faktor-faktor yang bagian terbesarnya belumlah ditemukan. Masalahnya seperti ini: kamu kan tahu soal grafik-grafik yang di situ pergerakan harga, tingkat kortingan, dsb., dsb., sepanjang tahun, dsb., ditunjukkan dalam kenaikan dan penurunan zigzag. Aku sudah dengan berbagai cara berupaya menganalisis krisis dengan mengkalkulasi ‘naik-turun’ ini sebagai kurva sulat-salit dan percaya (dan masih percaya hal itu mungkin dianalisis apabila bahan-bahan [empiris] secara mencukupi dikaji) bahwa aku sanggup menentukan secara matematis hukum-hukum asasi yang mengatur krisis. Seperti sudah kubilang, Moore pikir masalah itu tidak bisa dikerjakan sekarang dan aku putuskan menyerah dulu untuk sementara.[2]

Rupanya, dorongan berasal dari upayanya “mengkalkulasi ‘naik-turun’ ini sebagai kurva ‘’sulat-salit” atau dinamika siklus krisis yang geraknya seperti kurva secara matematis. Untuk sekadar menulis beberapa paragraf untuk bukunya Das Kapital, Marx puasa menulis dan belajar matematika dulu untuk memastikan ketepatan paparannya. Bukti lainnya, sekitar 1875, Marx membuat kalkulasi ‘Perlakuan Matematis atas Tingkat Nilai-Lebih dan Tingkat Laba” yang paparan naratifnya kelak menjadi bagian dari bab 3 Das Kapital jilid 3. Naskah matematikanya sendiri tidak pernah diikutsertakan. Tak pula pernah diterbitkan, dan hingga sekarang masih teronggok di gudang arsip International Marx-Engels Stiftung di Belanda.[3]

Marx kembali mempelajari matematika, khususnya kalkulus, pada 1878. Bedanya, sekarang Marx kebanyakan mempelajari matematika demi matematika itu sendiri. Tak ada urusan langsung dengan kajian-kajian ekonominya. Dia kumpulkan buku-buku kalkulus. Dia bahkan membaca karya-karya para pendiri kalkulus seperti Newton, Leibnitz, D’Alambert, Taylor, Maclaurin, Lagrange, Euler, dan sejumlah matematikawan lainnya. Dia bikin catatan-catatan, komentar-komentar, dan akhirnya pada musim gugur 1881, di tengah terpaan sakitnya, di meja belajar dekat ranjang reotnya, Marx menulis dua risalah. Pertama tentang konsep fungsi turunan, dan kedua ihwal konsep diferensial. Hasil belajarnya juga dituangkan ke dalam risalah ihwal sejarah kalkulus diferensial yang belum rampung ketika dia meninggal pada Maret 1883.[4]

Setelah Das Kapital jilid 1 terbit pada 1867, tak ada bagian-bagian Das Kapital yang terbit. Sekarang kita tahu mengapa Engels begitu kesal Marx tak segera merampungkan risalah besarnya itu di sisa hidupnya. Rupanya, setiap kali menghadapi tuntutan bukti-bukti ilmiah, tak jarang Marx berhenti menulis dan belajar dulu ilmu yang bisa memberinya bukti ilmiah.

Baiklah, Marx mungkin jarang sisiran, pakai minyak rambut, dan tidak klimis. Okelah Marx memang tidak punya acara talkshow mingguan di televisi ternama. Tak seperti Ustad Jefri atau Olga, saat pemakaman jasadnya pun dihadiri tak lebih dari enam orang. Tak seperti bayangan banyak orang, Marx bukan selebriti saat hidupnya selain bahan obrolan di kalangan intel polisi Jerman, Perancis, dan Belgia. Tak ada yang memuja-muji. Kecuali di antara para komunis degil nan militan, kebanyakan orang malah mendiamkan karya-karyanya. Tak ada pula ribuan orang bersolawat saat menghantar jenazahnya ke Pekuburan Highgate di London.

Memang Marx kini begitu tersohor. Saking tersohornya, tak sedikit orang yang menyebut-nyebutnya sekadar supaya ikut tersohor, entah dengan memuja-mujinya atau mengutukinya. Tak sedikit orang yang baru membaca satu dua bab dari sebuah buku ringkas tentang pemikiran Marx bikinan seorang rahib saja kita sudah koar-koar bahwa teori Marx itu ketinggalan jaman, tak lagi relevan, dan keliru. Baru sekali mengikuti ceramah atau kuliah dosen tentang ‘Marxisme’ saja kita seperti orang yang berkawan karib dengan Marx puluhan tahun atau tuntas membaca Marx-Engels Gesamtausgabe puluhan jilid. Persis seperti mahasiswa baru yang membaca potongan ayat al-Quran dari buletin masjid kampus lalu berlagak sudah seperti kyai yang hafidz Quran-Hadits menghakimi orang banyak sebagai munkar, maksiat, bid’ah, ahli neraka.

Dari sepenggal riwayatnya dalam mempelajari matematika, mata hati dan pikiran yang adil bisa memetik beberapa hikmah. Pertama, Marx memang bukan suri tauladan apabila tujuan kita kuliah doktoral ialah untuk sekadar titel yang mengisi lembar CV kita supaya bisa dijual untuk proyek-proyek konsultansi. Dari masa menamatkan kuliah doktor filsafat hingga wafatnya, Marx nyaris tidak pernah berhenti belajar. Tak hanya filsafat yang jadi bidangnya, tapi juga ekonomi. Tidak hanya kritik ekonomi-politik dan sejarah yang jadi kegemarannya, tetapi juga agronomi, fisiologi, evolusi, dan matematika. Demi apa? Demi memperkuat apa yang sedang ditulisnya. Sudah watak Marx yang sudi menunda semua aktivitas menulisnya ketika menghadapi persoalan yang harus dilacak jalannya ke dalam bidang-bidang ilmu lain. Bahkan untuk membereskan riwayat akumulasi kapital, karena kebetulan dapat kabar kaum tani Rusia punya pranata kepemilikan kolektif, dia belajar dulu Bahasa Rusia supaya bisa membaca laporan dan buku-buku tentang hal itu dalam bahasa aslinya. Begitu pula ketika setahun sebelum wafatnya dia menemukan praktik serupa di kalangan suku-suku Afrika Utara ketika oleh saran dokter dia berkunjung ke Aljazair, dia malah belajar Bahasa Arab sekadar untuk bisa membaca tulisan-tulisan masa lalu tentang kaum tani di sana. Itulah salah satu sebab ketertundaan penerbitan karya-karya besarnya. Buat kita yang hidup di jaman serba praktis, tak perlulah banyak membaca, apalagi mempelajari bahasa dari subjek yang sedang kita selidiki. Terjemahan pun cukup. Kalau bisa, kutip saja apa yang sudah orang tulis dalam bahasa kita sendiri. Ganteng-Ganteng Serigala lebih berharga ketimbang belajar Bahasa Rusia atau notasi kalkulus diferensial hanya karena dua paragraf perlu penegasan sumber langsung yang terpercaya.

Kedua, memang Marx bukan suri tauladan yang baik apabila kita menulis sekadar untuk gaya-gayaan, biar tersohor sebagai penulis di indoprogress.com. Beda dengan kebanyakan kita, di masa-masa sakit, di saat-saat tergeletak di ranjangnya, Marx tidak berhenti belajar. Malah, kebanyakan kegiatan belajar matematikanya dilakukan di saat-saat seperti ini.

Marx itu manusia biasa seperti kebanyakan kita-kita. Marx bukan superman. Tak semua peri kehidupannya bisa dijadikan tauladan. Tengok saja, tulisan-tulisan tangannya kecil-kecil, sulit dibaca meskipun dia bukan dokter. Mungkin karena itulah tim Marx-Engels Gesamtausgabe Generasi Kedua, mempekerjakan para filolog khusus untuk membaca tulisan-tulisan kecil nan ruwet itu. Maklumlah, sebagai fakir waktu itu Marx harus pintar-pintar irit kertas yang mahal. Meski dilumuri serba kekurangan, cobalah tengok apa yang dilakukannya dalam berilmu. Apa yang dikisahkan di sini cuma sebagian amat sangat kecil sekali dari bagaimana Marx belajar demi merangkai pemikirannya. Pemikirannya tidak muncul tiba-tiba pada Jumat Kliwon seperti wangsit, tapi dibentuk oleh proses belajar berpuluh tahun lamanya. Apabila Marx saja demikian, begitu pulalah semestinya kita bila hendak menyokong atau mengkritiknya, dengan disiplin berilmu yang tangguh tak lekang oleh “habis ngga ada terjemahannya sih”. Karena itulah sudah bukan saatnya lagi kita dukung-mendukung atau nista-menistakan pemikiran Marx hanya karena kita pernah membaca sehalaman tulisan seorang rahib tentangnya. Seperti pernah ditulis seorang arif bijaksana,

“Sekarang bukan jamannya mengindentifikasi cara pandang, seraya memberikan cap-cap yang tidak punya akar sejarah di Indonesia. Sekarang waktunya memikirkan, mempertimbangkan, merumuskan, dan melaksanakan kegiatan membaca tulisan-tulisan Marx secara tekun dan sistematis sebagai sebuah aktivitas politik, sebagai salah satu bentuk Aksi Massa.”[5]

 Jatinangor18 Mei 2015

 

Catatan:

[1] K. Marx, 1985. ‘Marx to Engels, 6 July 1863’, dalam Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 41. London: Lawrence & Wishat, hlm. 484.

[2] K. Marx, 1989. ‘Marx to Engels, 31 May 1873’, dalam Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 44. London: Lawrence & Wishat, hlm. 504.

[3] Lihat bahasanya L. Smolenski, 1973. ‘Karl Marx and mathematical economics’, Journal of Political Economy, 81 (5): terutama hlm. 1195-1196.

[4] Buat yang minat, silahkan baca di K. Marx, 1983. Mathematical Manuscripts of Karl Marx. London: New Park Publications.

[5] A. Astika, 2011. “DI bawah baston Carlos Kleiner: menghadapi ancaman Marxisme ugal-ugalan’, Problem Filsafat, No. 1, Agustus, hlm. 24.

Marxisme dan Optimisme Ugal-Ugalan

$
0
0

OPTIMISME tampaknya tak hanya lebih primitif, tetapi juga lebih adaptif ketimbang pesimisme. Psikologi manusia sepertinya dirancang evolusi untuk senantiasa memberi gambaran akan suatu dunia berlandasan kokoh, bertujuan tertentu, dan dengan derajat keniscayaan serta kepastian arus capaian dalam kerangka logika jika-maka yang bersahaja. Boleh dibilang, kepastian dan keniscayaan ialah orangtua kandung optimisme.

Apabila kurang pas disebut mudah memuja, setidaknya banyak orang menilai tinggi tiap perian realitas yang sekaligus juga meramalkan masa depannya dengan pasti. Apalagi perian dan peramalan itu disusun dengan kalkulasi matematis. Tapi, apa itu kalkulasi matematis selain abstraksi atas realitas? Seperti semua abstraksi, angka-angka tak lebih dari representasi dunia dalam rupa kesederhanaannya, dalam ketegasan dan ketetapan batas-batasnya. Di tengah serba kepelikan dan kerumitan hidup di bawah kapitalisme, logika jika-maka (seperti dalam kalkulasi matematis) memang cocok sebagai pelipur lara dari kebingungan buat mereka yang sedang cari jawaban. Ia memberi arah niscaya dan tujuan pasti. Itulah mengapa dalam sejarah masyarakat manusia, nubuat dan orang-orang yang bernubuat jika-maka, seringkali ditempatkan tinggi, entah mereka itu dukun, nabi, ataupun ilmuwan.

Salah satu daya tarik Marxisme ialah ideal-ideal politiknya sebagai sosialisme. Meski para penulis Logika gembar-gembor soal Marxisme sebagai ilmu, dan sosialismenya Marxis itu ilmiah—suatu sosialisme yang didasarkan pada pengetahuan ilmiah akan rupa dan dinamika masyarakat kapitalis—kebanyakan orang tertarik pada Marxisme karena semangat optimismenya yang nyaris seperti nubuat. Para Marxis pasti sering mewiridkan perkataan Marx bahwa:

“Pada suatu tahap tertentu dari perkembangan mereka, daya-daya material produksi di dalam masyarakat akhirnya berkonflik dengan relasi-relasi produksi yang ada atau…dengan relasi kepemilikan yang sebelumnya melaluinya mereka beroperasi. Dari bentuk-bentuk perkembangan daya-daya produksi, relasi-relasi ini berubah menjadi belenggu mereka. Lalu terbitlah babak revolusi sosial”[1].

Atau bahwa

“Perkembangan industri modern menebas dari bawah kaki-kakinya satu-satunya landasan yang padanya borjuasi memproduksi dan mengambil alih produk-produk. Artinya, apa yang utamanya borjuasi hasilkan ialah para penggali-kuburnya sendiri. Kejatuhannya dan kemenangan proletariat sama-sama tak terelakkan[2]

Kedua kutipan (dan banyak kutipan lainnya) memang mengandung kadar nubuat yang tinggi. Di tengah keputusasaan tak juga runtuhnya kapitalisme, tak jua menangnya perjuangan demi masyarakat sosialis nan adiluhung, pernyataan-pernyataan mirip nubuat begini cukup membuat seorang Marxis tetap optimis. Lihat tuh, kapitalisme niscaya runtuh. Sejarah manusia itu proses penyulihan satu bentuk masyarakat menjadi bentuk masyarakat lainnya secara berurutan. Masyarakat borjuis pasti hancur, dan kaum pekerja niscaya menang. Kapitalisme teramalkan masuk perangkap mesin akumulasinya sendiri dan melahirkan para penggali kuburnya sendiri. Lihat saja, jika krisis-krisis ekonomi makin lama makin brutal saja, lalu apabila kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi-politik, dan kerusakan lingkungan makin hari bukannya makin punah oleh gebyar kemakmuran yang dihasilkan kapitalisme, malah kian parah saja, maka tinggal tunggu waktu saja keruntuhan terjadi. Dari keruntuhan ini niscaya akan lahir masyarakat lebih maju yang akan menghapus eksploitasi atas manusia dan alam. Jika tidak ada lagi penistaan kehidupan sekadar sebagai barang dagangan, maka tak akan ada lagi delapan jam kerja plus lembur wajib empat jamnya. Dan semua itu niscaya berlaku layaknya matahari yang pasti terbit esok pagi.

Tentu tak ada yang keliru dengan logika jika-maka dan optimisme. Yang keliru ialah sering lupanya kita bahwa pernyataan-pernyataan yang kepadanya kita menyandarkan optimisme, berasal dari proses penyelidikan ilmiah.

Syarat pertama beroperasinya logika jika-maka dalam penyelidikan ilmiah atas realitas yang pelik dan rumit ialah andaian bahwa realitas itu tertib administrasi. Realitas itu tersusun atas bagian-bagian yang tertata sedemikian rupa sesuai urut-urutan, baik dalam rupa maupun pergerakannya. Dibumbui sejumput iman teleologis, syarat ini memungkinkan tampilnya realitas yang rapi, yang tak melompat-lompat.

Persoalannya, realitas tidak seteratur yang diandaikan. Terlalu banyak kebetulan dan lompatan-lompatan sehingga tak cukup menganggapnya sekadar anomali. Lenin tak menyangka revolusi bakal terjadi di kampungnya—dan sukses—menumbangkan kekuasaan kaum bangsawan feodal. Sewaktu mendengar gema revolusi, Lenin buru-buru naik kereta ke pusat denyut itu. Tak ada rencana dan diagram alur proses beserta juklak-juknis revolusi dia buat karena memang tak menyangka akan datang secepat itu. Para dinosaurus raksasa pun tak menyangka ordo mereka bakal punah. Saking perkasanya, mereka sama sekali tak mengira tetangga ringkih mereka para mamalia yang sering tak sengaja mereka injak, akan menurunkan para penguasa bumi setelah kepunahan mereka sendiri. Apa sebab? Kebetulan 66 juta tahun silam sebuah meteor raksasa menumbuk dan membuat bumi tak bermentari 6 tahun. Semua saurus herbivora punah. Tentu karnivora pemakan herbivoranya juga. Kenapa leluhur mamalia selamat? Kebetulan, mereka tidak makan daging, juga tak makan tumbuhan. Mereka itu binatang remeh-temeh pemakan serangga. Selama proses pemunahan saurus, mereka tetap gembul karena serangga itu murah. Setelah para raksasa punah, anak keturunan leluhur mamalia bebas nyaris tanpa pemangsa. Dan itu karena kebetulan[3].

Syarat kedua ialah andaian bahwa realitas yang rapi ini dapat diidentifikasi dan diukur anasir-anasir penyusunnya. Sekali anasir-anasir ini teridentifikasi, fungsi sistem niscaya bisa terpahami. Filsuf menyebut cara pikir ini sebagai ‘reduksionisme konstitutif’ yang menjamin ‘reduksi penjelasan’ bahwa segala sesuatu pasti terjelaskan ketika kita memahami bagian-bagian penyusunnya. Misalnya, apabila kapital tersusun atas c+v+s, maka setiap upaya akumulasi niscaya menghantar pada kejatuhan nilai laba rata-rata. Mengapa? Karena penambahan kapital akan mengubah komposisi, utamanya varibel pembagi (c+v), yang pada gilirannya menurunkan tingkat laba rata-rata yang bisa ditangguk kapitalis karena tingkat laba berasal dari s/c+v. Kejatuhan ini akan berujung ke kian brutalnya persaingan antarkapitalis yang mengarah ke monopoli atau ekspansi operasi kapital ke wilayah dan sektor-sektor nonkapitalistik. Kedua-dua pilihan menghantar pada pemiskinan, pengangguran, dan penghancuran lingkungan. Akhirnya, krisis makin seram dan revolusi pasti berkobar.

Persoalannya, meskipun identifikasi dan isolasi anasir-anasir penyusun suatu sistem tentu langkah berharga menuju pemahaman sistem secara keseluruhan, jelas bahwa hal tersebut tidaklah cukup untuk memahaminya betul. Perubahan komposisi organik kapital hanyalah salah satu mekanisme yang bekerja. Ada banyak mekanisme lain yang mengkondisikan masuk tidaknya kapitalisme ke jurang kehancuran. Ketika dalam berilmu kita berhenti pada ‘reduksi penjelasan’ yang bertopang pada reduksionisme konstitutif, maka realitas akan selalu luput dari pandangan. Realitas yang tergambarkan tak lebih dari potongan-potongan teka-teki yang setiap kali satu bagiannya terjelaskan, temuan potongan baru akan mengubah gambarannya.

Syarat ketiga ialah menjalankan asumsi ceteris paribus atau bahwa ‘hal-ihwal lainnya tetap’. Masuk akal memang ketika mendekati suatu sistem kompleks (seperti evolusi kehidupan, kapitalisme) kita fokus pada unsur-unsur tertentu dari masalah yang kita anggap pokok. Semakin sedikit fokusnya semakin bagus. Kalau bisa cukup dua variabel saja sehingga bisa rumuskan dalam kurva y dan x atau persamaan matematis a+b = c. Untuk itu, unsur-unsur lain di dalam sistem harus kita anggap tak berubah, tak bertautan, dan dengan begitu tak relevan buat analisis. Dalam kutipan dari Marx di atas, misalnya, tersurat bahwa sendi revolusi sosial ialah perkembangan niscaya daya-daya produksi masyarakat yang pada titik tertentu akan berkonflik dengan relasi-relasi produksi yang ada. Relasi produksi ini pada satu masa akan menjadi belenggu perkembangan daya produksi. Tanpa perkembangan, roda ekonomi macet, dan kemacetannya niscaya berujung pada revolusi sosial.

Memang betul faktanya bahwa perkembangan daya produktif bertautan dengan perkembangan relasi produksi. Namun, apa yang terjadi di infrastruktur ini tidak pernah lepas dari tatapan suprastruktur politik-ideologi yang ditopangnya. Ada mekanisme-mekanisme lain yang turut mengkondisikan ada tidaknya perkembangan daya produktif dan relasi kelas. Tentu sebagai satu langkah penyelidikan, pengoperasian asumsi ceteris paribus berguna. Namun, di setiap tahap analisis, kita mesti sadar betul bahwa ceteris paribus itu biasanya penyederhanaan luar biasa atas realitas dan rumusan yang dihasilkan dari operasinya bukanlah realitas itu sendiri. Mengabaikan hal ini akan mudah menjerumuskan kita ke dalam kepercayaan kampungan bahwa satu komponen menjelaskan sistem; satu bagian menjelaskan keseluruhan.

Dalam berilmu juga model atau perumpamaan memainkan peranan penting. Model ialah suatu sistem (entah abstrak atau konkret) yang mewakili sistem lain yang biasanya jauh lebih rumit atau kurang dikenali. Model ialah representasi skematis untuk menentukan batas bawah-batas atas sistem. Gunanya dalam upaya menjelaskan dan mengkira-kira sistem kompleks yang belum dikenali (masa depan kapitalisme misalnya). Model bisa matematis, bisa juga diagramatis. Misalnya Marx mengambil model bisnis perusahaan tunggal untuk kapitalisme dalam rumus umum kapital [M-C (LP-MP)…P-C-M+]-nya yang tersohor.[4] Dalam model ini diceritakan realitas lebih kompleks kapitalis menggolangkan uangnya (M) untuk membeli komoditi (C1) berupa tenaga kerja (LP) dan sarana produksi (MP) agar proses produksi (P) berlangsung dalam menghasilkan komoditi baru (C2). Di ujung model kapitalis mendapatkan lagi uang, kali ini dengan tambahan nilainya (M+). Untuk memahami anasir-anasir apa saja yang niscaya ada untuk adanya sama sekali produksi komoditi, model bisnis perusahaan untuk perekonomian kapitalisme memang berguna. Tapi setiap model selalu saja mengesampingkan apa-apa yang pada saat penyusunannya dianggap kurang relevan. Dari mana M berasal, bagaimana pasokan komoditi yang diperlukan (tenaga kerja dan sarana produksi), bagaimana distribusi dan penjualan yang merealisasikan nilai M+, bagaimana dengan naik-turun nilai tukar matauang yang ada di M maupun M+, di mana letak persaingan antarkapitalis, antara kapitalis dan pekerja, di mana letak tukang palak dan korupsi, dst..dst.., dianggap sudah tak perlu dijelaskan. Kalau semua faktor dimasukkan bagaimana juga kita bikin kurva atau persamaan matematisnya?

Meski amat berguna, model atau perumpamaan harus diperlakukan tak lebih sebagai batu loncatan ke pemahaman lebih baik. Ilmuwan mestinya tidak jatuh ke perangkap kepercayaan bahwa perumpamaan memiliki daya penjelas paripurna dalam menggambarkan realitas dan mencampuradukkan realitas dengan representasinya, atau dalam istilahnya Martin, mencampuradukkan epistemologi dengan ontologi. Dan inilah jebakan betmen idealisme yang paling halus dalam berilmu.

Jadi, kebenaran ilmu itu historis. Kebenaran ilmu terikat pada keberadaan perdebatan di antara orang-orang (segi transitif) sekaligus keberadaan realitas objektif (segi intransitif) yang dituju oleh perdebatan tersebut. Karenanya, setiap satu langkah majunya (termasuk gambaran paling rinci atas watak realitas yang membuat kita optimis akan masa depan) tidak menghentikan pencarian kebenarannya. Ilmu harus senantiasa diusahakan dengan mengandalkan apa yang dipunyai semua manusia: pengalaman dan akalbudi.

Sekali lagi, tak ada salahnya manut pada logika jika-maka seperti dalam berilmu dan optimis akan keniscayaan dan kepastian masa depan yang dihasilkan logika ini atas realitas. Yang keliru ialah memperlakukan produk aktivitas ilmiah sebagai nubuat kebenaran paripurna. Realitas jauh lebih kompleks dan seringkali lebih keras kepala daripada pengetahuan kita tentangnya. Justru karena realitas itu lebih kompleks daripada yang bisa ditangkap pikiran satu-dua orang, maka ilmu diperlukan. Dan dalam berilmu, kata Marx, “tak ada jalan lapang”[5]. Kita harus terus bolak-balik ke realitas objektif untuk mengecek sudah seberapa dekat reduksi, analisis, dan model yang kita bangun dengannya. Hanya dengan kembali ke realitaslah kita memperbaiki hasil reduksi, analisis, dan pemodelan yang telah dibangun.

Optimisme boleh saja asal ilmiah. Sudah masanya kita tanggalkan optimisme ugal-ugalan, kecuali kita memang hendak menjadikan Marxisme sebagai sekte.***

Jatinangor 1 Juni 2015

 

—————

[1] K. Marx, 1911. A Contribution to the Critique of Political Economy. Chicago: Charles H. Kerr, h. 12.

[2] K. Marx dan F. Engels, 2008. The Communist Manifesto. London: Verso, h. 51.

[3] Saat ini gagasan evolusi a la Darwin bahwa evolusi keragaman mahluk hidup itu berjalan lambat melalui perubahan sedikit demi sedikit, mendapat lawan tangguh, yakni teori kesetimbangan tersela (punctuated equilibruim). Salah satu motornya ialah Stephen Jay Gould. Menurut Gould evolusi kehidupan itu seringkali disela kebetulan-kebetulan mendadak yang mengubah komposisi spesies di bumi. Ledakan Kambrium, kemunculan reptilia, punahnya saurus, dan kemunculan hominin, merupakan contoh-contoh dari proses ini.

[4] Model bangunan untuk menggambarkan masyarakat sebagai suatu struktur relasi-relasi sosial (basis-suprastruktur) adalah contoh lain pemanfaatan model oleh Marx. Atau model reproduksi sederhana untuk menjelaskan struktur akumulasi kapital.

[5] K. Marx, 1976. Capital: a critique of political economy, Vol. 1. Harmondsworth: Penguin Books, h. 104.

Marx, Matematika, dan Pintu Ijtihad

$
0
0

“Karena kita secara instan mendapatkan: f(x + x) = (x + x)4 = x4 + 4x3x + 6x2x + 4xx3 + x4, jadi, ketika kita tulis: x4 + 4x3x + 6x2 + 4xx3 + x4 – x4, di ujung, kita coret lagi fungsi awal x4, yang ialah permulaan dari deretnya”[1].

“Konsekuensinya, apa yang berlaku, misalnya, di dalam (x + h)3 + a(x + h)2 – x3 – ax2, mencakup pencabutan terma-terma pertama x3 dan ax2 dari binomial (x + h)3 + a(x + h)2…”[2].

SUMBANGAN Karl Marx bagi filsafat dan ilmu sosial jamak diketahui. Apalagi dalam kritik ekonomi-politik dan sosialisme. Entah pernah membacanya atau sekadar dengar kabar selentingan, kebanyakan orang sekolahan tahu Marx menulis Das Kapital. Para pelajar filsafat mungkin juga pernah membaca, atau setidaknya mendengar dosen menyebut-nyebut, Naskah-Naskah Paris 1844 atau Ideologi Jerman. Para Marxis juga bisa cepat menebak bahwa kutipan ‘Yang padat memuai ke udara, yang sakral diprofankan’ atau ‘Para pekerja tak akan kehilangan apapun selain belenggu-belenggu mereka’ berasal dari Manifesto Komunis. Tapi pasti tak banyak yang menyangka bahwa Marx adalah penulis dua kalimat kutipan di atas.

Lho, kalimat kering tanpa sastra itu kan notasi matematika? Apa benar kalimat ini ditulis Marx? Jangan-jangan cuma gosip. Memangnya Marx punya tulisan perihal kalkulus diferensial? Kalau benar, buat apa dia menulis? Apa tak ada persoalan yang jauh lebih penting daripada itu?

Tak banyak orang tahu Marx menulis matematika. Apalagi di Indonesia. Kalau pun pernah mendengar desas-desusnya, pasti ada yang bertanya apa urusannya mengkaji kalkulus diferensial dengan politik sosialisme, atau setidaknya dengan kritik kapitalisme. Sampai saat ini belum pernah ada seorang sarjana di sini mengulas apa yang dikenal Naskah-Naskah Matematika. Naskah-naskah matematikanya Marx? Ya. Sekumpulan naskah tulisan tangan Marx tentang aneka rupa matematika dari fungsi turunan, konsep diferensial, sejarah metode kalkulus, tentang teorema Taylor dan Maclaurin, perihal limit dan nilai-pelimit, dan sebagainya. Naskah-naskah ini ditulis antara 1858 hingga menjelang wafatnya 1883. Setengahnya, termasuk dua tulisan orisinil Marx, berkenaan dengan kalkulus diferensial. Selebihnya terutama catatan-catatan atas dan kutipan-kutipan dari sumber-sumber bacaan Marx dari aljabar elementer, trigonometri, geometri analitik, serta teori permutasi dan kombinasi. Marx juga membuat catatan-catatan soal deret tak hingga, teori persamaan binomialnya Newton, dan cabang-cabang lain aljabar tingkat tinggi. Marx tak cuma akrab dengan selusinan buku-buku ajar universitas tentang kalkulus, tetapi juga risalah-risalah metode kalkulus oleh Isaac Newton, Leonard Euler, C. McLaurin, dan J.L. Lagrange. Kelihatan pula Marx membaca karya-karya matematikanya Leibnitz, Taylor, dan Poisson.

Setidaknya dari dua risalah orisinilnya, Marx sedang menjelaskan—buat dirinya sendiri—persoalan infinitesimal atau bilangan yang sangat kecil sekali. Apa sih itu? Ambil contoh fungsi f(x) = 1/x. Untuk nilai x yang amat besar, maka nilai 1/x sangat kecil hingga mendekati nol. Selisih 1/x dengan nol atau 1/x – 0 untuk x sangat besar adalah bilangan sangat kecil atau infinitesimal. Dalam matematika, notasi yang melambangkannya ialah (epsilon, abjad Yunani). Nah, soal si ini, Marx menjelaskannya sebagai selisih perubahan nilai peubah, misalnya dari x ke x1 atau y ke y1. Selisih ini, dalam kalkulus diferensial atau turunan, dianggap sangat kecil. Para pelopor kalkulus diferensial seperti Newton dan Leibnitz menganggap turunan (atau diferensial) fungsi sebagai rasio dua infinitesimal atau (y1 – y)/(x1 – x). Ini yang dikritik dan coba dicari landasan matematisnya oleh Marx.

Dalam esai belum rampung tentang sejarah metode kalkulus diferensial, Marx menjelaskan bahwa pengertian diferensial atau turunan telah mengalami evolusi konsep dalam tiga tahap, yakni tahap mistis (Newton-Leibnitz), tahap rasional (D’Alambert), dan tahap aljabariah (Lagrange).[3] Menurut seorang kawan matematikawan, Marx melampaui ketiga tahap ini dan menemukan tahap keempat yakni tahap operasional (yang sekarang sudah jamak tapi abad kesembilan belas boro-boro). Jadi, kata kawan ini, Martin agak terburu-buru ketika dalam kolom logika bertajuk Marxisme dan Matematika bilang “Engels agak berlebihan ketika ia menyatakan di upacara penguburan Marx bahwa si Moor ‘mencapai temuan baru di berbagai bidang yang dipelajarinya, termasuk matematika’. Marx mungkin seorang polymath, tetapi sepertinya tidak dalam hal matematika”. [4]

Memang, karena pengaruh inovasi-inovasi matematika di Eropa Daratan terhadap kajian-kajian Marx amat terbatas, beberapa catatannya kelihatan kuno, bahkan primitif buat pembaca modern. Itulah mengapa ada komentar bahwa sumbangan Marx betul-betul amat kecil dan bisa diabaikan terhadap debat soal landasan kalkulus. Tulisan-tulisanya hadir begitu terlambat. Kenapa? Karena masalah kunci sudah dibereskan sebelum tulisannya dikerjakan. Sudah sejak dasawarsa 1820an Augustin-Louis Cauchy membereskan masalah landasan kalkulus ini dan Karl Weierstrass sudah mengetatkan landasan logis kalkulus ketika Marx baru belajar kalkulus. Sial memang Marx tidak membaca karya-karya kedua tokoh kalkulus modern ini. Tapi itu karena ketidaksengajaan historis. Kebanyakan Marx belajar matematika di berbagai perpustakaan kampus di Inggris. Padahal, orang-orang kampus di Inggris kala itu pengikut Newton. Nasionalisme mereka membikin angkuh dan karena itu biasanya menyepelekan apa-apa saja yang datangnya dari Eropa Daratan (maksudnya Perancis dan Jerman), termasuk inovasi metode kedua tokoh yang memodernkan kalkulus. Sialnya lagi, satu-satunya sohib yang pernah kuliah matematika dan menjadi tempat curhat matematis, Samuel Moore, si penerjemah Das Kapital, juga ketinggalan zaman ilmu matematikanya. Tapi, karena Marx tak membaca Cauchy (Perancis) dan Weierstrass (Jerman), dan fakta bahwa Marx bukan matematikawan, bukankah pengertiannya atas infinitesimal sebagai lambang operasional sebagaimana dikembangkan Cauchy menunjukkan kecanggihan pemikirannya? Dari apa yang ditulisnya, kelihatan Marx punya pemahaman aljabar yang kokoh. Memang dalam paparannya Marx membuat beberapa kekeliruan asumsi. Tapi bukankah kekeliruan itu juga dibuat oleh para matematikawan yang karya-karyanya dikaji Marx?

Baiklah, memang betul Marx pernah menulis matematika. Tapi, lalu apa kaitan semua itu dengan pemikiran Marx secara keseluruhan? Bukankah penalaran matematis itu didasarkan logika formal, logika yang mendepak kontradiksi dan pergerakan kontradiktif dari perbendaharaan katanya sebagaimana itu berlaku dalam logika dialektis yang konon inti pemikiran Marx? Marx memang bilang kalau matematika bisa dipakai menghitung pergerakan: “metode aljabariah… [ialah] kebalikan dari metode diferensial” karena yang pertama ialah analisis kuantitas-kuantitas statis sedangkan yang kedua analisis kuantitas-kuantitas dinamis.[5] Meski begitu, bukankah perbedaan kedua metode beralaskan logika yang sama, logika kuantitatif yang tak dapat membaca hal-ihwal kualitatif kontradiktoris seperti struktur dan tendensi, misalnya? Dan kalau sudah begitu, kalau matematika cuma berfaedah dalam soal kuantitatif, apakah pemanfaatannya ke dalam Marxisme tidak menyalahi ajaran ekonomi-politiknya Marx secara khusus dan dialektika materialis secara umum? Jangan-jangan ini akan menjerumuskan kita ke dalam lubang yang sama dengan para bajingan ekonom neoklasik/marjinalis yang pandai mengutak-atik model matematis tapi buta pada realitas ekonominya sendiri?

Pada 22 Nopember 1882, kurang dari empat bulan sebelum Marx wafat, Engels kirim surat ke Marx melaporkan diskusinya dengan satu-satunya teman mereka yang kuliah matematika, si Samuel Moore. Di surat itu diceritakan Moore mengkritik metode aljabar analitik dan lebih condong pada penjelasan geometris. Marx membalas surat Engels itu. Salah satu isinya tentang janji Marx mengirimkan tulisannya tentang sejarah metode kalkulus diferensial. Di akhir surat, Marx yang sedang sakit, menulis: “mentari sedang bersinar cerah, saatnya tiba buat jalan-jalan, tak ada waktu sekarang buat matematika, tapi aku bakal balik lagi nanti pada metode-metode diferensial sekali-kali secara rinci”[6].

Memang hari itu matahari cerah. Tapi tidak dengan kesehatannya Marx. Istrinya sudah dimakamkan setahun sebelumnya. Gerakan kelas pekerja yang didambanya menjadi motor revolusi tak kunjung maju, malah jalan di tempat. Krisis-krisis tak kunjung pula meruntuhkan kapitalisme, sang monster. Dirundung sakit dan punah harapan, membikin sekadar jalan-jalan tak cukup membuat Marx bugar kembali. Pada 5 Maret 1883 dia wafat. Meninggalkan janji-janji yang, meski tak palsu, tak bisa dipenuhinya semua. Jadi, kira-kira apa jawaban Marx atas pertanyaan-pertanyaan di atas?

Tak seperti opini banyak orang, baik penghujat ataupun pemujanya, Marxisme bukanlah sesuatu yang sudah rampung. Tafsir atas Marx tidak selesai pada Vladimir Lenin, Rosa Luxemburg, Eduard Bernstein, dan Karl Kautsky. Keempatnya bukanlah imam-imam mazhab yang telah hafidz semua tulisan Marx. Di masa hidup mereka Naskah-Naskah Paris 1844, Ideologi Jerman, dan Grundrisse belum ‘ditemukan’. Ketiganya baru diterbitkan setelah mereka semua wafat. Jangankan membacanya, tahu saja mungkin tidak. Ini baru untuk teks-teks yang sekarang sudah dianggap jamak. Bagaimana dengan naskah-naskah tulisan tangan Marx lainnya? Selain petugas arsip Lembaga Internasional Sejarah Sosial (IISH) Belanda, naskah-naskah tulisan tangan Marx tentang pertanian, kimia, sejarah teknologi, geologi, biologi, dan fisiologi tak pernah dibaca orang. Risalah tentang sejarah Britania, Irlandia, dan Jerman, naskah tentang sejarah filsafat dan militer juga belum semuanya diterbitkan. Catatan-Catatan Etnologis yang ditulis bersamaan dengan masa belajar kalkulusnya baru diterbitkan buat khalayak pada 1972. Tapi, buku suntingan antropolog Lawrence Krader setebal 450 halaman itu ternyata cuma sepertiga dari keseluruhan Catatan-Catatan Etnologis-nya Marx. Naskah-Naskah Matematikanya Marx baru terdengar keberadaannya setelah terbit di Moskow 1968. Terjemahan Inggris lengkap dari Edisi 1968 ini baru terbit pada 1994. Memang terjemahan Inggris pernah terbit pada 1983. Tapi itu cuma mencakup Bagian I dari Edisi 1968 yang kalau dijumlah tak lebih dari 1/3-nya saja. Dan ternyata, dari penyelidikan terbaru Edisi Moskow 1968 masih belum mencakup semua naskah matematikanya Marx. Konon ada sekitar 400 lembar naskah folio yang masih sebagai arsip di Lembaga Internasional Sejarah Sosial (IISH), Belanda. Belum lagi naskah catatan, komentar, dan kutipan-kutipan Marx atas teori probabilistik dan statistika. Ditambah dengan bagian-bagian ‘kalkulasi matematis’ yang rencananya dimasukkan ke dalam Jilid 2 dan 3 Das Kapital tapi ternyata tak dimasukkan oleh Engels ke dalam terbitan Jilid 2 dan 3, keseluruhan tulisan Marx terkait matematika masih tersembunyi dari pandangan banyak orang. Jadi, apa kira-kira jawaban Marx soal kaitan matematika dan kritik kapitalisme atau analisis materialisme historis; soal apakah ilmu sosial matematis bertentangan dengan pemikiran ekonomi-politiknya? Entahlah[7].

Meski demikian, hikmah kebijaksanaan yang bisa dipetik ialah bahwa Marx belum selesai. Dia bukan patung yang isi dan seginya sudah ada di depan mata, siap ditelisik hingga pori-pori. Apa yang selama ini kita kira patung pejal, ternyata cuma kerangka, purwarupa, atau sekadar sketsa. Sungguh suatu kepongahan tiada tara keliling pasar sambil gembar-gembor mendaku ‘inilah Marxisme yang benar sampai kiamat’ sambil menghujat atau memujanya. Dari cerita di atas, jangankan membikin tafsir kaffah, hadits-haditsnya saja belum semua ditemukan. Oleh karena itu, pintu ijtihad harus terus dibuka. Toleransi (bukan relativisme) meski dikembangkan. Dalam konteks ini sudah tepatlah proyek Martin untuk ‘menemukan kembali Marxisme kita’ sebagai upaya mengisi kerangka Marxisme.***

Jatinangor, 15 Juni 2015.

 

———

[1] K. Marx. 1994. Mathematical Manuscripts. Calcutta: Viswakos Parisad, h. 85.

[2] Marx. 1994: 105.

[3] Marx. 1994: 67-106.

[4] http://indoprogress.com/2013/03/marxisme-dan-matematika/

[5] Marx. 1994: 289.

[6] K. Marx. 1995. ‘Marx to Engels, 22 Nopember 1882’, Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 46. London: Lawrence & Wishart, h. 380-381.

[7] Untuk salah satu upaya menjawabnya, lihat G. Carchedi. 2008. ‘Dialectics and temporality in Marx’s mathematical manuscripts’, Science & Society, 72 (4): 415-426. Soal sukses atau tidak, bukan masalah. Yang penting usaha.


Teori dan Soal Kesabaran Revolusioner

$
0
0

DI PARO kedua 1920an, pasca pembantaian orang-orang komunis oleh Kuomintang, Mao Zedong tak cuma hijrah ke Hunan tapi juga melakukan semacam penelitian empiris. Mao melakukan semacam turba (turun ke bawah), tapi untuk mengetahui kondisi sosial Tiongkok. Dari penelitian itu dibikinlah daftar dan perian atas golongan-golongan sosial (Mao menyebutnya kelas) yang bisa menjadi kawan atau lawan dalam perjuangan pembebasan Tiongkok berdasarkan teori Marxis.

Buat apa? Apa pentingnya penelitian-penelitian macam begitu? Bukankah satu aksi lebih penting ketimbang seribu teori? Buat Mao, kepedihan hati karena pengkhianatan Kuomintang tidak lantas menuntunnya ke dukun dan bertanya apakah rasi bintang orang-orang komunis begitu sialnya sampai terkelabui siasat Kuomintang, atau apakah lambang di bendera mereka tidak sesuai feng shui. Tidak pula Mao mengingat-ingat kembali hafalan kutipan-kutipan Manifesto dan mencari petunjuk dari sang master lalu khotbah soal lemah iman. Mao ingin tahu struktur sosial macam apa yang dihadapinya dalam perjuangan, siapakah dalam revolusi kelak yang bisa menjadi lawan dan mana yang bisa jadi kawan dengan menyelidiki langsung kondisi yang ada. Dan Mao mencarinya di dalam realitas sosial Tiongkok, tidak Inggris abad kesembilan belas, tidak pula Rusia.

Arti penting praktik penelitian empiris rupanya Mao anggap sepenting praktik pengorganisasian perlawanan. Marx sendiri mengajarkan bahwa penelitian empiris bukan hanya untuk membangun landasan kokoh bagi teori, tetapi juga sebagai cara membenturkan teori pada realitas dan menguji seberapa kokoh ia dalam praktik. Mungkin para lovers atau haters mengira Marx mengajarkan semacam dogmatisme. Keliru. Coba saja tengok. Dalam Prakata 1872, Marx bilang memang asas-asas umum yang dipaparkannya di dalam Manifesto Komunis (bahwa basis produksi mengkondisikan politik dan ideologi masyarakat dan seluruh sejarah ialah sejarah perjuangan kelas) masih berlaku sama seperti ketika Manifesto pertama terbit pada 1848, tapi “penerapan asas-asas itu dalam praktik… akan bergantung pada syarat-syarat historis”. Tak segan-segan Marx bilang bahwa “program-program (di dalam Manifesto) di sana sini telah menjadi usang” oleh berjalannya waktu. Marx tak ragu bilang “sekalipun dalam garis besarnya sekarang masih tepat, tapi dalam pelaksanaannya sudah usang” dan “kelas pekerja tidak bisa begitu saja mengambil alih mesin negara yang ada dan menggunakannya untuk tujuan-tujuannya sendiri”. Alih-alih mengagungkan tulisan masa lalunya itu, Marx tegas bilang “Manifesto ini adalah dokumen sejarah”, bukan buku resep meracik revolusi.

Dari mana Marx bisa sampai ke kesimpulan-kesimpulan ini? Maret 1848, beberapa minggu setelah Manifesto terbit, revolusi meletus di Paris dan negeri-negeri Eropa dari Jerman hingga Italia. Tak lebih dari setahun, badai revolusi lenyap tersapu dari bumi Eropa. Milisi kelas pekerja dibantai atau bubar. Engels sendiri yang sempat menjadi letnan artileri milisi pekerja, mesti menyelinap lewat perdesaan Perancis untuk menghindari kejaran pasukan buru sergap. Tokoh-tokoh revolusi, termasuk Marx dan Engels mesti mengungsi kalau tak ingin dipenjara atau mati. Pada 1850 sampai 1852 revolusi terjadi lagi di Perancis, lalu 1870. Di yang terakhir ini sempat berdiri Komune Paris yang legendaris. Tapi umurnya cuma dua bulan. Semuanya gagal. Kekuatan borjuis kembali berkuasa. Ratusan ribu komunis dibantai. Marx kembali jadi orang buangan tanpa kewarganegaraan. Kesimpulan di Prakata 1872 Manifesto diperoleh Marx dari penyelidikan historisnya atas revolusi-revolusi tersebut. Marx setidaknya menulis dua risalah, Brumaire Kedelapan Belas Louis Bonaparte dan Perang Kelas di Perancis 1870. Engels juga melakukan hal yang sama dalam risalah Revolusi dan Kontra Revolusi di Jerman serta Perang Tani di Jerman. Ditambah dengan kajian-kajian mereka berdua atas Komune Paris.

Dari penelitian empiris-historis, Marx sampai pada kesimpulan bahwa realitas seringkali terlalu keras kepala untuk diubah oleh teori dan kehendak teoritis. Secara teori semestinya jalan ceritanya tidak begini, tapi begitu. Ya, boleh jadi memang benar secara teoritis. Tapi kita harus ingat bahwa kekuatan teori terletak pada serba abstraksinya. Teori bertopang pada realitas yang sudah dipreteli konteks-konteks aktualnya. Realitas dijadikan sekadar objek abstrak, objek yang terlepas dari kerangka ruang-waktu. Seperti memeras buah, dalam setiap abstraksi, pasti ada yang hilang. Namanya juga abstraksi. Kalau tidak menyingkirkan hal-ihwal dengan operasi ceteris paribus atau ‘semua yang lain anggap saja tak relevan’, namanya bukan abstraksi tapi deskripsi.

Meski teori punya kekurangan, praktik tetap butuh teori. Tanpa abstraksi kita akan terjebak pada ranah empiris dan aktual dari realitas yang serba sementara dan berubah-ubah. Memang ada penindasan dan eksploitasi yang jelas-jelas kasat mata berlangsung di depan hidung kita. Ada memang pengusiran penduduk demi ekspansi pabrik semen, pengambilalihan lahan petani demi tambang, penangkapan ibu-ibu yang berdemonstrasi menolak penggusuran, atau pemotongan tunjangan dan kontrak upah murah di pabrik-pabrik. Semua itu masih menjadi bagian dari realitas kehidupan kita di bawah demokrasi dan kapitalisme. Tak ada yang keliru dengan anggapan ini. Kita harus ikut melawan penindasan macam ini.

Anggapan ini menjadi keliru ketika kita menilai itulah satu-satunya realitas yang disebut penindasan, dan perlawanan terhadap semua yang peristiwa aktual kasat mata itulah satu-satunya bentuk perlawanan. Mengapa keliru? Karena ketika penindasan tak langsung berada di depan hidung, ketika eksploitasi tak sekasat mata pembegalan pinggir jalan, kita menganggap sudah tak ada lagi penindasan. Kalau sudah begini, kita jadi mudah diilusi oleh citra yang membikin pikiran kita tenang karena secara kasat mata tak ada pengalaman akan penindasan lagi. Semua persoalan dianggap sudah beres ketika mereka yang sebelumnya dianggap penindas datang sambil senyum, bertemu muka bicara sopan, dan membawa dana CSR untuk membangun WC atau PAUD. Lalu kita bisa membereskan spanduk, menyimpan catatan rapat koordinasi, dan istirahat sambil ngopi melanjutkan kehidupan sehari-hari.

Di jaman media sosial seperti sekarang, ketika semua harus bisa difoto supaya bisa diunggah ke Internet dan dipertontonkan, anggapan bahwa satu-satunya realitas ialah apa yang teralami langsung semacam ini mudah menjadi kelaziman. Tapi tidak semua realitas bisa difoto lalu diunggah di facebook. Realitas bukan cuma apa yang tercerap secara indrawi; bukan pula sekadar apa yang kita alami sendiri. Ada realitas di balik yang kasat mata dan hanya bisa ditangkap dengan penyelidikan seksama atas realitas yang melampaui tampakan-tampakan sesaat. Realitas ini ialah struktur dan tendensi yang penyelidikannya tidak hanya memerlukan pengumpulan data empiris, tapi juga kerangka berpikir rasional yang bisa menguak ke balik serba tampakan. Bagaimana kita bisa melihat kelas sosial karena yang bisa dicerap indra hanyalah orang-orang dan perilakunya? Bagaimana kita bisa melihat penindasan dan eksploitasi tak kasat mata karena yang bisa dicerap pancaindra hanyalah tak hadirnya polisi, pembangunan WC dan PAUD, serta kesopanan wakil korporasi?

Memang salah satu batu penjuru Marxisme ialah semangat teguhnya melawan semua penindasan dan eksploitasi. Gerakan sosialis sebelumnya juga teguh soal ini. Tapi semangat saja tak cukup untuk menolong kita membongkar penindasan dan eksploitasi. Memang kapitalisme adalah sistem yang menindas dan eksploitatif. Tapi penindasan dan eksploitasi kapitalistik tidak selalu maujud ke dalam bentuk kasar yang kasat mata seperti penyerobotan lahan yang dijaga polisi atau pemecatan tanpa tunjangan. Kapitalisme tak habis terjelaskan oleh tindakan-tindakan langsung orang-orang yang teruntungkan olehnya semacam ini. Kapitalisme itu sistem, suatu realitas struktural yang tak akan langsung kentara ketika kita cuma memelototi praktik-praktik sehari-harinya. Apa yang menampak hanya sebagian kecil, ranah empiris-aktual dari kapitalisme yang tak jarang menipu. Ada ranah lain yang mesti diselidiki di luar praktik sehari-hari. Menyamakan ranah tampakan dengan realitas sebenarnya tidak hanya menurunkan derajat evolusi manusia ke tingkatan kera, tetapi juga membuat semangat perlawanan mudah dikelabui semarak ‘pembangunan’. Kapitalisme tak akan rubuh ketika seorang George Soros mati. Begitu pula ketika BUMN menguasai blok Mahakam, atau ketika upah buruh naik. Kapitalisme akan tetap bugar selama struktur relasi-relasi kerja upahan masih menjadi landasan beroperasinya sistem perekonomian. Karena itulah Marxisme, tak seperti bentuk-bentuk sosialisme lainnya, juga membekali semangat perlawanannya dengan teori atau lebih tepatnya ilmu. Dan berilmu berarti memanggil kembali kapasitas berpikir abstrak dalam operasinya. Kata Marx, apabila tampakan sama dengan realitasnya, semua ilmu menjadi mubazir. Justru karena ranah tampakan tidak sama dengan realitasnya, ilmu itu perlu.

Berilmu juga artinya harus terus kembali ke realitas, menyucikan diri dari dogma, dan jujur serta disiplin dalam mencari kebenaran. Dalam berilmu tak bolehlah segan untuk mengoreksi apa yang pernah disimpulkan sebelumnya. Justru dengan begitu kita bisa mendekati kebenaran. Tak ada yang instan dalam berilmu dan berjuang. Ilmu dan gerakan, teori dan praktik, itu seperti menang dan kalah dalam perjuangan melawan kapitalisme. Marx pernah bilang dalam Manifesto: “kemenangan, terlebih kekalahan, pasti mengajarkan kita akan tidak mujarabnya macam-macam obat dari dukun, sekaligus mempersiapkan jalan untuk mendapat pandangan lebih lengkap tentang syarat-syarat pembebasan kelas pekerja”.

Tapi, tentu saja semua ini sahih apabila kita buang jauh-jauh anggapan dan perlakuan terhadap Marxisme sebagai sekte.***

 Jatinangor, 29 Juni 2015

Marxisme dan Peribahasa Hemat Pangkal Kaya

$
0
0

TULISAN kali ini tidak akan mengulas soal politik penghematan IMF dan Bank Dunia. Sebagai bagian dari proyek neoliberalisme, seperti para pembaca tahu betul, politik penghematan atau austerity merupakan salah satu syarat penalangan utang-utang jatuh tempo bagi negara-negara yang sedang krisis utang. Indonesia pun pernah dan masih mengalaminya.

Apa yang dimaksud penghematan tak lain dan tak bukan ialah pemangkasan tetek-bengek subsidi dari daftar anggaran pemerintah. Tak perlu lagi negara turut menanggung ongkos konsumsi warga negara. Khususnya dalam soal energi, pendidikan, kesehatan, dan tetek bengek yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam logika politik penghematan, krisis utang adalah salah pemerintah dan warga. Karena itu pemerintah dan warga harus hemat anggaran. Semakin sedikit anggaran untuk membiayai hal-hal di luar infrastruktur, makin bagus. Biarlah sektor energi, kesehatan, dan pendidikan diurus swasta. BUMN yang menjadi beban anggaran, tak menghasilkan laba, jual saja ke swasta. Tak perlulah ada lagi subsidi-subsidian karena semua itu akan membikin rakyat malas. Di media-media massa juga disebarkan berita bahwa lewat politik penghematannya IMF sedang bermulia hati mengingatkan betapa hemat itu baik karena ia pangkal dari kaya. Dan kaya itu baik karena pinjaman dari bankir-bankir raksasa bisa dilunasi, semua bisa kembali berada di jalurnya, kehidupan menjadi normal, semua bahagia. Saya, sekali lagi, tak akan mengulas persoalan ini.

Pembaca tentu pernah mengalami masa kanak-kanak. Kalau tidak, pasti tak akan membaca tulisan ini. Salah satu pelajaran penting dari masa kanak-kanak ialah kata-kata mutiara dan peribahasa. Kalau tidak di gerbang sekolah, di taman depan kelas, atau dinding kelas sekolah dasar, terpampang tulisan-tulisan yang mengajarkan nilai apa yang penting kita miliki sebagai manusia. Dalam kesempatan tertentu, guru atau pembina pramuka juga suka mengajarkan, salah satunya, peribahasa ‘Hemat Pangkal Kaya’. Sebagai anggota masyarakat yang sedang dibudayakan menurut tata norma dan nilai masyarakat, kita hafalkan peribahasa bijak ini. Secara kognitif kita pun jadi tahu hemat itu pangkal kaya. Meski belum terpikir soal kebenaran bahwa semua orang kaya itu asalnya dari orang biasa yang hemat, kita tahu hemat itu baik. Hemat adalah nilai sosial. Secara asasi, tak ada yang keliru soal ini. Peribahasa itu menjadi keliru dipahami ketika kita lupakan kodratnya sebagai teori dan watak historis pernyataan dalam peribahasanya.

Meski hanya tersirat bahwa yang kaya itu asalnya karena hemat, tapi peribahasa ini mengajarkan demikian. Secara teoritis untuk bisa kaya engkau perlu hemat. Apabila kau tak kaya, berarti salah satu sebabnya karena kau tak hemat. Tersirat pula pengertian bahwa lawan kata hemat ialah boros. Dan karena boros itu perilaku setan, maka kaya itu (yang disebabkan oleh hemat) mulia, sedangkan miskin (yang disebabkan perilaku boros) itu bejat. Tak sampai situ, mereka yang menyandang predikat kaya dan miskin pun ikut-ikut diletakkan ke dalam kerangka moral mulia-bejat.

Persoalannya, seperti semua teori, teori bahwa hemat itu pangkal kaya ditarik dari pengalaman lewat abstraksi. Di setiap proses abstraksi, operasi ceteris paribus berlaku, dan karenanya ada yang hilang dari cakrawalanya. Apa betul semua orang miskin itu miskin karena mereka boros? Setahu saya mereka hidupnya segitu-gitu saja dari tahun ke tahun. Apa yang bisa mereka hemat kalau untuk menutupi kebutuhan hidup harian saja mereka kelimpungan. Apakah mereka mesti menjadi pertapa, atau harus jarang makan dan beli baju baru, dan sedikit uang yang mereka punyai ditabung supaya mereka kaya? Bukankah demi sedikit uang pun mereka kesulitan? Mereka tidak punya mobil balap yang boros bahan bakar, balapan seminggu sekali di Sentul demi kesenangan, menunggang kuda di akhir pekan untuk hiburan, atau sekadar liburan ke Korea demi beli baju baru. Lagi pula, untuk menjadi pertapa disyaratkan ada produksi nilai berlebih di dalam masyarakat sehingga pertapa bisa tetap hidup dari dana umatnya. Baiklah, untuk usulan jarang makan atau beli baju, tak perlu syarat semacam itu. Tetapi mereka tetap harus bekerja mencari nafkah, dan kurang makan menurunkan produktivitas kerja mereka. Sehemat-hematnya mereka makan, mereka tetap manusia yang tak mungkin melepaskan diri dari kondisi material objektif sebagai mahluk biologi yang memerlukan asupan makanan cukup untuk beraktivitas.

Sebaliknya, apa betul semua orang kaya itu kaya karena mereka hemat? Bisa saja mereka kaya karena orangtua mereka sukses merampasi harta milik kaum yang dituduh komunis sepanjang pembantaian 1965 atau korupsi bebas hambatan selama Orde Baru. Bisa jadi mereka kaya karena nenek moyang mereka mendapatkan porsi luasan lahan yang beratus-ratus hektar ketika Agrarische Wet 1870 memberlakukan aturan pemetakan lahan sebagai hak milik. Dan kini, di bawah naungan hukum perdata borjuis buatan penjajah, mereka berhak atas apapun yang secara hukum diakui milik orangtua karena pasal-pasal hukum perdata tak peduli dari mana dan bagaimana harta itu diperoleh. Belum lagi kalau kita periksa gaya hidup mereka. Bahkan untuk bahan bakar mobil mewah yang tak cukup satu saja, mereka bisa mengeluarkan dana yang setara dengan gaji sepuluh PNS golongan 3. Mungkin benar ada orang yang kaya karena hemat. Tapi mengartikan teori hemat pangkal kaya dan dengan demikian mereka yang kaya itu karena mereka hemat sebagai yang universal, sudah keliru sejak benih pikiran itu muncul di benak.

Tentu saja teori mensyaratkan kebersahajaan. Kata Einstein semakin bersahaja, teori semakin baik. Maksudnya, semakin sedikit variabel yang dimasukkan, semakin baiklah suatu teori. Kita bisa saja tambahkan proposisi peribahasanya menjadi ‘hemat pangkal kaya dengan syarat-syarat sebagai berikut….(sepuluh atau dua puluh variabel empiris-historis)’. Tapi itu berarti sebagai teori ia tak lagi elegan. Susah pula kalimatnya dipampang di ruang kelas sebagai pelajaran kalau sepanjang kolom Logika. Inilah persoalan pertama peribahasa ‘hemat pangkal kaya’; persoalannya sebagai teori, bukan fakta. Karena tak ada yang namanya teori universal, yang tak terikat ruang-waktu, maka ia harus terus-menerus dibenturkan dengan realitas.

Persoalan kedua terletak di watak historisnya. Maksudnya? Pernyataan ‘hemat pangkal kaya’ mengandaikan beberapa hal. Pertama, kemasukakalan konsepsi kaya dan hemat di dalam masyarakat. Untuk adanya sama sekali nilai kaya dan hemat, masyarakat itu haruslah masyarakat yang berlandaskan pada akumulasi nilai. Akumulasi nilai, pada gilirannya, mensyaratkan keberadaan institusi yang memungkinkan nilai dihitung dan ditumpuk dalam jangka waktu lama tanpa merusaknya. Dalam masyarakat tani seperti di jaman feodal dan masa kerajaan dahulu, ketika kebanyakan orang ialah pengolah lahan subsisten, kekayaan tidak bisa diakumulasi kecuali melalui lembaga politik. Uang belum lagi dikenal. Apalagi industri perbankan. Hasil kerja hanya bisa langsung dikonsumsi. Paling-paling panenan disimpan di lumbung dan disetor ke penguasa politik sebagai upeti. Itupun sekadar yang mencukupi kebutuhan hidup sampai musim tanam berikutnya. Buat apa menyimpan panenan bertahun-tahun? Kalau tidak busuk, tentu penguasa akan mengambilnya. Lagi pula semua kebutuhan hidup dipenuhi oleh setiap rumahtangga dan komunitas desa. Jual saja. Bagaimana bisa dijual kalau jual-beli sebagai institusi belum ada? Pasar tak ada atau kalau pun ada amat terbatas di pusat-pusat pemerintahan demi memenuhi kebutuhan penguasa pula. Daripada disimpan, alangkah masuk akal mengkonsumsi apa yang berlebihan. Kalau tidak oleh sendiri tentu untuk para tetangga dan kerabat. Buat kelas menengah kota kita sekarang, berbagi sesama tetangga, tolong-menolong pemenuhan kebutuhan hidup, gotong royong, dan pesta-pesta desa yang buang-buang tenaga dan sumberdaya tentu akan dianggap perilaku tolol orang desa yang tak mengerti arti hemat pangkal kaya. Tanpa pemahaman historis memang begitu jadinya. Persis ketika kontrolir Belanda berkunjung ke perdesaan dan ambil kesimpulan orang desa itu pemalas hanya karena mereka berkunjung ketika padi baru berumur dua minggu, masa ketika tak ada kerjaan lain selain menghemat tenaga untuk kerja panen kelak.

Selain itu, untuk adanya sama sekali konsepsi kaya dan hemat, masyarakat itu haruslah sudah tersusun sedemikian rupa ke dalam pembagian kerja sosial yang memungkinkan ekstraksi surplus tidak hanya lewat institusi politik pengambilalihan hasil kerja, tetapi lewat institusi ekonomi seperti produksi komoditi dan pasarnya. Masyarakat itu mestilah sudah mengenal institusi uang, bank, pasar, dan industri. Untuk adanya sama sekali institusi-institusi ini, masyarakat haruslah sudah mengenal kepemilikan pribadi atas sarana produksi dan konsep keuntungan ekonomis yang memilah antara mereka yang bermilik dan tak bermilik. Ketika sarana produksi sudah menjadi sarana produksi, maka ada pintu untuk akumulasi hak milik di tangan sebagian orang sekaligus menyingkirkan sebagian lainnya dari kepemilikan. Arti pentingnya ialah penciptaan pekerja upahan yang tak terikat sekaligus bergantung pada sarana produksi milik orang lain. Dengan begitu, transaksi keuangan (beserta institusi penyokongnya seperti uang dan bank) dalam pemenuhan kebutuhan hidup menjadi syarat hidup-mati. Kapankah masyarakat semacam ini ada? Di Jawa dan beberapa tempat di Sumatra, monetisasi berkembang sejak kebijakan Tanam Paksa 1830 dijalankan. Dari Tanam Paksa, kota-kota baru, para pekerja upahan, dan kaum pedagang lahir. Dari masa inilah uang memasuki kehidupan masyarakat. Semua istilah terkait transaksi moneter muncul dari masa ini. Dalam bahasa Jawa, misalnya, tak ada padanan asli untuk konsep uang. Istilah uang sendiri berasal dari ‘wang’ yang berasal dari perbendaharaan kata kaum pedagang Nusantara, yang kini secara keliru diperlakukan ‘sukubangsa’ Melayu. Bagaimana dengan ‘duit’? Duit berasal dari bahasa Belanda. Orang Jawa pertama mengenalnya ketika mereka menjadi buruh upahan di perkebunan-perkebunan selama Tanam Paksa.

Jadi, lain kali ketika menyuruh mereka beli celengan babi, ajari jugalah adik-adik kita bahwa bisa jadi benar kata peribahasa bahwa hemat itu pangkal kaya. Tapi kita mesti tambahkan keterangan agar dicamkan baik-baik bahwa ‘hemat pangkal kaya’ itu bukan dogma yang niscaya benar untuk semua orang dan kondisi. Bagaimana pun proposisi dalam peribahasa itu wataknya teoritis. Sebagai teori ia terikat pada prosedur penarikan abstraksi dari pengalaman yang sudah tentu menyisihkan banyak rincian historis-empiris. Untuk itu kita mesti senantiasa kembali ke realitas empiris untuk mengujinya. Tak niscaya yang kaya itu hemat, atau yang miskin itu boros. Bahkan konsepsi kaya dan hemat itu sendiri punya sejarah, tidak sejak Nabi Adam punya arti. Sekali menengok ke kembali realitas empiris, kita akan diperhadapkan dengan fakta baru karena tak ada realitas yang ajeg. Itu artinya kita mesti legowo dalam berteori. Itulah yang saya tangkap dari revisi Engels untuk teori ‘Sejarah dari masyarakat yang ada hingga sekarang ialah sejarah perjuangan-perjuangan kelas’ yang tertulis dalam Manifesto Komunis. Engels merevisinya dengan menambah catatan kaki di kalimat itu: ‘maksudnya, semua sejarah tertulis’ sambil memaparkan bukti-bukti etnologis tentang masyarakat prakapitalis dari berbagai belahan dunia.

Revisi Engels ini seperti mengajarkan tak apalah kita rombak teori terdahulu kita karena fakta empiris menghendaki demikian. Marxisme dan berbagai rupa penafsirannya pun berwatak teoritis. Ia bukan dogma. Dan untungnya Marx mewariskan satu metode yang bagus: materialisme historis; bahwa segala hal (termasuk pemikiran Marx) itu tak hanya bisa dilacak ke dalam kondisi material yang menopangnya, tetapi juga historis, terikat pada ruang-waktu tertentu yang tidak bisa difotokopi sekadar demi keeleganan. Bila kita mengajarkan sebaliknya, mesin fotokopi dan burung beo bisa menjadi tauladan bagi pada Marxis.

Selamat belanja, selamat merayakan Lebaran.***

Jatinangor, 13 Juli 2015

Marxisme dan Alien

$
0
0

PEMBACA tentu pernah melihat gambar, membaca berita, mendengar cerita, atau menonton tayangan tentang Alien. Setidaknya sekali. Di Amerika Serikat, pusat peredaran kapital global yang konon negara paling maju itu, bersama-sama Bigfoot, Sasquach, dan monster-monster lokal, Alien masih menjadi bagian dari kepercayaan rakyat yang populer. Kepercayaan ini katanya disokong bukti-bukti. Mereka percaya pernah ada pesawat Alien yang jatuh di bumi dan kini pesawat bersama pilotnya ada di fasilitas milik pemerintah yang misterius bernama Area 51. Bukti empiris diajukan. Teori dan temuan-temuan sains dimanfaatkan. Tak cuma UFO dan Cropcircle yang menurut mereka bukti dari operasi Alien di bumi. Segala rupa tinggalan masa lalu dari lukisan gua hingga Gedung Putih, dari tengkorak almarhum ratu Babilonia hingga struktur genetika manusia, dari senjata-senjata yang diperikan dalam epos Mahabharata hingga teori lubang hitam, dari Sphinx dan patung-patung Pulau Paskah dan teori relativitas Einstein, menurut yang percaya, pun ialah bukti keberadaan Alien.

Yang paling menonjol dari sosok Alien ialah kemiripan anatomisnya dengan Homo sapiens. Tungkai depan dan belakangnya terdiferensiasi sebagai tangan dan kaki. Telapak kaki mereka paripurna bentuknya untuk menyokong pergerakan bipedal terestrial. Tengkorak disokong tulang punggung dengan letak foramen magnum (lubang di bawah tengkorak tempat sambungan tulang belakang) di tengah-tengah persis punya Homo sapiens dan tak seperti kadal atau kelinci yang agak ke belakang. Salah satu perbedaan mencolok, tengkorak mereka jauh lebih besar dan lonjong. Begitu pula mata mereka yang besar dan retina semua. Sementara itu lubang hidung mereka, meski sama dua, ukurannya cenderung lebih kecil. Mulut mereka juga kecil. Entah di dalam mulut itu ada geligi dan lidah, kita tak tahu. Kemungkinan besar sih tak ada karena mereka tidak memerlukannya dalam komunikasi. Tanpa gigi dan lidah, akan amat terbatas fonem yang bisa dihasilkan. Kesedikitan itu tak masalah karena mereka konon berkomunikasi lewat telepati, dengan kekuatan pikiran. Alien juga tak berbulu. Perawakannya juga cenderung ceking. Setidaknya sampai sekarang belum ada kabar Alien itu gondrong atau obesitas.

Apakah Alien betul-betul ada? Karena sosoknya mirip primata, untuk membuktikan ada atau tidak, mari kita tengok anatominya. Bipedalisme atau anatomi yang menyokong pergerakan dengan dua tungkai belakang boleh dibilang ciri anatomis Homo sapiens. Tak ada primata lain yang anatominya bipedal sempurna. Simpanse dan gorila memang sesekali juga bergerak dengan dua kaki. Tapi tak bisa berlama-lama karena mereka pasti cangkeul (pegal-pegal). Dari bukti-bukti mutakhir dalam rekam jejak evolusi hominin (keluarga manusia), bipedalisme berkembang pertama kali dalam bentuk peralihannya tujuh hingga empat juta tahun silam. Hanya dua atau empat juta tahun setelah percabangan yang menurunkan leluhur simpanse dan manusia. Dari situ struktur anatomi bipedal yang sudah seperti manusia sekarang berkembang bersama evolusi Homo erectus/ergaster sekitar 1,9 juta tahun silam di Afrika. Konteks munculnya kera bipedal jutaan tahun silam dan paripurnanya anatomi tersebut pada genus Homo ialah perubahan bentang alam Afrika karena perubahan iklim sepanjang peralihan dari Kala Miosen ke Pliosen-Pleistosen. Afrika yang sebelumnya berselimut belantara berubah secara mendadak (secara geologis maksudnya, dalam beberapa ratus ribu tahun saja) menjadi Afrika tandus berselimut bentang sabana dan hutan jarang. Leluhur hominin ialah gerombolan kera arboreal (hidup di pepohonan) yang terdesak dan terpaksa menyambung hidup di tepian hutan atau sabana berpohon. Peralihan cara hidup ini menggeser fungsi tungkai depan dan mengubah anatomi tungkai belakang. Tungkai depan makin sedikit fungsinya dalam pergerakan. Kaki mulai terspesialisasi untuk berjalan di permukaan tanah, tidak di pepohonan.

Kalau benar Alien itu bipedal seperti halnya Homo sapiens, maka di kampung halamannya sana leluhur mereka mestinya berevolusi melewati babak-babak persis seperti yang pernah dialami leluhur manusia. Kenapa? Karena bipedalisme pada primata merupakan produk kebetulan evolusi primata (atau menurut istilahnya para Marxis: historis-kontinjen). Hanya karena manusia bipedal, tidak lantas niscaya itulah anatomi pergerakan paling efisien di alam. Apa mungkin Alien berevolusi secara persis seperti evolusi manusia? Tidak mungkin. Atau kecil sekali kemungkinannya. Kenapa? Leluhur hominin ialah produk pergeseran iklim besar-besaran di akhir Kala Miosen. Lalu leluhur Homo sapiens juga produk perubahan iklim radikal di dalam Kala Pleistosen yang suhu buminya naik-turun tajam dalam beberapa ratus ribu tahun saja. Iklim dan perubahan-perubahannya ini bisa saja terjadi juga di planetnya Alien, tapi apa mungkin sepersis yang terjadi di bumi selama proses evolusi manusia? Lagi pula, prasayarat anatomi bipedal ialah anatomi mamalia yang pada gilirannya mewarisi anatomi reptilia klasik yang juga produk perubahan-perubahan iklim bumi yang tak bisa dikopi paste di planet lain, kecuali dengan membantai semua fakta dan menggantikannya dengan asumsi-asumsi tak berdasar. Keberadaan tungkai berjemari lima seperti pada primata saja, adalah hasil kebetulan dari perubahan-perubahan kebetulan yang terjadi jutaan tahun. Apa mungkin menyalin perubahan kebetulan di bumi sampai ke abad, tahun, bulan, dan pekan-pekan secara persis di planet lain?

Sekarang urusan tengkorak kepala. Alien punya kepala manusia. Bedanya tengkorak Alien jauh lebih besar. Rasio ukuran kepala dan badannya begitu kecil seperti ulat jambu. Pada Homo sapiens, lagi-lagi, pembesaran kapasitas otak adalah fungsi dari perubahan ekologis yang dialami dan memaksa leluhurnya mengubah pola makan. Pembesaran kapasitas otak memerlukan pasokan energi berkualitas tinggi. Meski otak hanya 2 persen dari total tubuh, tapi dia perlu setidaknya 20 persen energi hasil metabolisme. Konsumsi daging memenuhi kebutuhan ini. Untuk mungkinnya sama sekali pembesaran otak, mestilah leluhurnya mulai mengonsumsi daging. Seperti kera, leluhur manusia ialah pemakan buah yang tinggal di belantara hijau. Karena itu pulalah manusia mewarisi fisiologi diurnal (aktif siang hari) dan retina yang mampu memilah warna-warna. Di antara primata, hanya manusia yang kini bisa mengonsumsi daging dengan porsi besar dari diet harian. Bila rata-rata manusia mengonsumsi 20-50 persen protein hewani, simpanse paling banter dua persen saja. Kenapa leluhur manusia makan daging? Perlu ada perubahan fisiologis pencernaan untuk bisa memakan daging. Tanpa enzim dan zat-zat tertentu, usus tak akan bisa mencernanya. Tanpa pencernaan tak ada energi. Tanpa energi, tentu saja, mati. Tidak seperti dalam khayalan, perubahan fisiologi dari pemakan buah ke pemakan segala perlu waktu ratusan ribu bahkan jutaan tahun. Lagi pula setiap perubahan itu menyakitkan. Coba saja tanya teman perempuan, kekasih, atau istri yang sedang menstruasi atau hamil. Karena perubahan hormonal akibat perubahan siklus metabolisme mereka tak cuma tiba-tiba suka uring-uringan, tapi juga mules, merasa kepanasan, atau pusing. Artinya, perubahan fisiologis dari leluhur pemakan buah ke pemakan daging memerlukan suatu tekanan besar yang pilihannya hanya berubah atau punah. Nah, ketika belantara Afrika berubah dari belantara ke padang sabana karena iklim bumi berubah dari dingin ke panas sehingga belantara menyusut drastis dan begitu pula makanan ‘tradisional’, leluhur manusia yang ternyata tak mau mati itu mencoba-coba mengais dan memakan bangkai sekitar 2,5 juta tahun silam. Kebiasaan ini pasti mematikan sebagian populasi. Tapi alhamdulillah sebagian lainnya bertahan dan menurunkan keturunan yang bisa mengolah daging. Sekitar 2 juta tahun silam, spesies yang bisa bikin perkakas batu dan berburu mamalia lahir dan bertahan hidup dan kelak menurunkan kita, Homo sapiens.

Lagi pula, pembesaran kapasitas otak menambah beban reproduksi biologis. Semua perempuan yang pernah melahirkan normal pasti tahu betul beban ini. Semakin besar rasio otak dan tubuh, makin berat beban melahirkannya. Tak seperti simpanse dan gorila yang kuadurpedal (berjalan dengan empat tungkai) dan dengan begitu lebar pinggul dan saluran beranaknya juga besar, semakin paripurna anatomi bipedalnya manusia makin sempit pula saluran beranaknya. Artinya janin semakin sulit dilahirkan. Pada manusia, jalan keluar evolusionernya ialah prematurisasi kelahiran. Janin dilahirkan ketika organ tubuhnya (termasuk otak) belum berkembang paripurna. Alih-alih 21 bulan ketika organ berkembang penuh, janin manusia dilahirkan ketika baru 9 bulan. Akibatnya, orok manusia jauh lebih ringkih ketimbang orok primata lainnya. Apalagi dibanding bayi reptil yang ketika menetas langsung bisa lari dan berburu. Jadi, kalau betul Alien itu ada dan kepalanya jauh lebih besar dari manusia, maka mereka pasti pernah mengalami babak evolusi yang persis sama dengan evolusi manusia, sepaket dengan perubahan-perubahan ekologisnya. Apa mungkin? Kecil sekali kemungkinannya ada planet yang riwayat geologi dan klimatologinya berubah sepersis bumi sampai ke hitungan bentang alam dan cuaca.

Kalau secara biologis-evolusioner kemungkinan adanya Alien, khususnya jenis yang sosoknya mirip manusia, agak mustahil, kenapa orang masih percaya? Bukankah membuktikan keberadaannya mesti ditopang pembuktian hal-hal lain soal penopang keberadaan kehidupan dan evolusinya? Semakin kita percaya, semakin berat beban ilmiah untuk membuktikan kenapa mereka bipedal? Kenapa mereka punya mata besar yang retina semua? Kenapa kepala mereka begitu besar? Dari struktur macam apa dan bagaimanakah anatomi pascakranial penopang kepala ini berevolusi? Lingkungan planet seperti apa yang memungkinkan berevolusinya ciri-ciri biologis ini? Kenapa jemari mereka lebih sedikit jumlahnya dari jemari primata di bumi, padahal mereka konon bisa memproduksi pesawat canggih? Dengan jemari begitu, kira-kira bagaimana bentuk gitar, piano, dan mesin ketik mereka? Kalau benar mereka pernah ke bumi, bagaimana mereka mengatasi oksigen yang suka merusak yang serba hayati? Kalau benar mereka ke sini naik pesawat UFO, dari mana dan bagaimana bahan baku produksi pesawatnya? Cara produksi macam apa yang melandasi perekonomian mereka sampai-sampai bisa memproduksi pesawat supercanggih? dan seterusnya-seterusnya ad absurdum.

Meski sebetulnya lebih berat beban pembuktian ilmiahnya untuk percaya pada Alien ketimbang tidak, masih banyak saja orang yang percaya keberadaannya. Malah ada orang-orang yang sampai bikin agama untuk memuja dan rela mati karenanya. Buat saya sih sederhana. Alien itu, terutama yang sosoknya digambarkan mirip Homo sapiens, tidak ada. Kalau pun ada, keberadaan mereka hanya di ranah kepercayaan sehingga beban penjelasannya cukup dengan cultural studies, sosiologi gaya hidup, atau antropologi agama. Pakai teori kesadaran kolektifnya Durkheim atau teori mitologisnya Lévi-Strauss juga boleh.

Xenofanes pernah menulis, “andaikata sapi dan kuda punya tangan dan bisa menggambar, serta mereka bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti halnya manusia, kuda akan menggambarkan dewanya seperti kuda, dan sapi seperti sapi”. Perkataan ini jauh hari kemudian dipungut Ludwig Feuerbach. Buat Feuerbach si materialis, sosok dan sifat Alien tak lebih dari proyeksi kesadaran manusia atas keberadaan dirinya sendiri. Tambahkanlah ‘maha’ pada sosok dan sifat manusia, maka jadilah Alien, kata Feuerbach. Boleh jadi gambaran otak Alien yang ‘maha’ besar tak lebih dari proyeksi kesadaran sosial di bawah kapitalisme bahwa otak, yang tak lain dari wujud materiil pikiran, lebih penting ketimbang fungsi-fungsi tubuh lainnya; bahwa CEO itu lebih penting ketimbang pekerja.

Akhirul kalam, benar kata Engels kalau idealisme itu produk akut masyarakat kelas. Bahkan di dalam masyarakat kapitalis paling maju dengan serba sains dan teknologi canggihnya, tahayul tak kunjung lenyap. Tak cuma Alien yang hidup dalam kesadaran sosial masyarakat kapitalis. Sosok-sosok beranatomi bipedal lain warisan masyarakat perbudakan dan feodal juga masih sehat wal afiat sampai sekarang. Mungkinkah ada yang keliru dengan pengajaran sainsnya? Atau mungkinkah karena sains di bawah kapitalisme belum kaffah menerapkan asas-asas ilmiah karena didorong terus sekadar sebagai kaki tangan kapital dalam mengeksploitasi alam dan manusia secara efektif dan efisien? Atau, bisa jadi karena tahayul memang punya fungsi dahsyat di tangan kelas yang mengandalkan keberadaannya dari penghisapan hasil kerja kelas lain dalam peperangan kelas? Entahlah. Hanya Alien yang tahu.***

Jatinangor, 3 Agustus 2015

Khotbah tentang Kebosanan

$
0
0

PEMBACA tentu pernah bersua orang, mengerjakan kegiatan, atau berada dalam situasi yang membosankan. Sebagai manusia pasti kita pernah mengalami kebosanan. Tak banyak orang yang hidup membosankan. Tapi kalau kita tengok riwayat orang-orang besar, sebagian besar kehidupan mereka diisi bagian-bagian yang buat kebanyakan orang membosankan. Immanuel Kant seumur hidupnya tak pernah pergi lebih dari 10 km dari kampung halamannya. Nyaris tiap hari dia menempuh jalan yang sama pada jam yang sama. Nyaris seperti bintang gemintang di langit yang dikaguminya, kehidupannya beredar dari situ-situ saja. Charles Darwin juga mirip. Sepulangnya dari ekspedisi Galapagos, nyaris Darwin tak pernah keluar kotanya. Setelah ikut terjun dan menjalani hidup menggairahkan di antara revolusi-revolusi Eropa, Marx menghabiskan setengah umurnya di British Museum mengulik bahan yang itu-itu saja.

Buat kita, terlalu banyak bagian membosankan dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, sepertinya ada sesuatu yang tak kita pahami bahwa kehidupan yang tenang dan sepintas membosankan merupakan ciri kehidupan orang besar. Tak ada hasil besar yang mungkin dicapai tanpa kerja tekun dengan asyik dan pelik sehingga tenaga yang tersisa untuk digunakan mencari hiburan sebegitu terbatasnya. Sepertinya kemampuan untuk menanggung kehidupan yang kurang lebih monoton merupakan kemampuan orang besar. Mungkin itupula yang menjadi syarat bagi sistem pengorganisasi masyarakat yang lebih adiluhung.

Kata orang Das Kapital itu buku tebal nan membosankan. Seumpama Marx kelahiran 1986, dan baru tahun 2015 menyelesaikan naskah Das Kapital, kira-kira apa komentar pihak penerbit jaman sekarang terhadap naskah setebal 1000 halaman itu? Mungkin begini: Anda tak mudah berharap pembaca tertarik pada uraian Anda, terutama tiga bab pertama yang berbelit-belit. Tolong ya, pikir ulang. Sepertinya Anda ingin menuliskan semua hal panjang-lebar. Begini saja, coba Anda buang bagian-bagian yang terlalu filosofis, ambil bagian menariknya, dan kembalikan naskah Anda setelah dikurangi setidaknya 200 halaman saja.

Si Marx kelahiran 1986 tentu akan insaf, penerbit sedang berbisnis mengumpulkan laba, bukan menumpuk pahala. Naskah yang terlalu tebal tak cuma secara teknis menyulitkan penjilidan, tapi terutama merepotkan penjualannya. Apalagi si Marx kelahiran 1989 bukan dosen yang bisa jual-paksa bukunya ke mahasiswa. Jadi wajarlah komentar pihak penerbit macam begitu. Mereka tahu betul ketakutan para pembaca jaman tweeter 140 karakter pada kebosanan. Secara statistik, semakin tebal buku, semakin besar kemungkinan banyak bagian-bagian yang membosankannya. Karena kebosanan pembaca berbanding lurus dengan tingkat penjualan, tak heran penerbit menolak menerbitkan naskah Das Kapitalnya Marx kelahiran 1986 yang tebal itu.

Kalau memang Das Kapital mengandung bagian-bagian yang membosankan, memangnya kenapa? Seburuk itukah kebosanan bagi kita sehingga kita harus senantiasa mencari cara agar lepas darinya? Tak adakah hikmah yang bisa dipetik dari kebosanan? Bukankah kebosanan itu bukan sesuatu yang eksternal, tapi bagian tak terpisahkan dari realitas kehidupan manusiawi?

Realitas itu dialektis. Kebosanan berelasi internal dengan kegairahan. Meski kita menilai kegairahan lebih tinggi ketimbang kebosanan (dan itu dibuktikan oleh segala bentuk upaya banyak orang lepas dari kebosanan), tak mungkinlah kita menghidupi hidup melulu dalam kegairahan. Sebelum mengenal pertanian, leluhur kita hidup berburu-meramu. Betapa menggairahkan hidup macam itu. Berburu dan berpindah-pindah tempat tinggal itu menggairahkan. Apa pasal? Nyaris tak ada jeda antara rencana dan pengejawantahannya. Berhasil atau tidak, si pemburu segera tahu apakah pengejawantahan rencananya berhasil atau tidak. Ada deg-degan permanen dalam kehidupan mereka.

Kebalikannya, ketika leluhur kita menemukan pertanian 10.000 tahun silam dan mulai tinggal menetap, kebosanan mendominasi. Ada jeda panjang antara rencana tanam dan hasil panen. Di antara kedua momen tak ada kegiatan yang harus dilakukan. Kebosanan pun lahir. Untuk membunuhnya diciptakanlah kegiatan yang tak mesti dilakukan. Bikin patung, lukisan, atau kerajinan tangan, misalnya. Ketika surplus produksi berkembang, ada simpanan makanan yang memungkinkan kegiatan membunuh bosan semakin beraneka ragam. Menciptakan dewa dan lembaga pemujaannya, misalnya.

Kegairahan melulu itu melelahkan. Pun tak menghasilkan apa-apa yang baru karena siapa juga yang mau meninggalkan hal bergairah. Karena itu jatuhnya tak akan jauh dari tanah kebosanan yang baru. Sebaliknya, meski kebosanan juga melelahkan, kebosanan atas apa-apa yang lama mendorong hasrat untuk menciptakan yang baru. Jadi, tak ada nilai inheren di dalam keduanya. Keduanya terikat satu sama lain dalam relasi dialektis. Dan itu bukan sekadar bumbu kehidupan. Itulah realitas objektif psikologi manusia sebagai mahluk biologis sekaligus simbolis. Sebagai yang biologis kehidupan manusia itu konservatif; sekadar reproduktif. Sebagai yang simbolis manusia itu kreatif, akumulatif. Di atas keduanya, manusia itu dapat berpikir rasional. Karena kebosanan dan kegairahan tak bisa mengada tanpa satu sama lain, perlulah kiranya menginsyafinya secara sadar. Yang perlu dilakukan bukanlah mengejar yang satu dan meninggalkan yang lain, tapi menguasainya. Nyaris seperti semua hal, keduanya bersifat kuantitatif. Karenanya, untuk bisa hidup manusiawi diperlukan setakar tertentu untuk sanggup menanggung kebosanan.

Kapitalisme dicirikan oleh antipatinya terhadap hal-hal lama. Ada semacam obsesi akan segala sesuatu yang baru. Kelas dominan di bawah kapitalisme, borjuasi, kata Marx “tak dapat ada tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi”. Di bawah kendalinya, “semua yang padat memuai ke udara”, semua yang lama ditanggalkan, dan semua yang baru-baru segera menjadi lama dan membosankan. Seperti anak kecil, kapitalisme itu sistem yang cepat merasa bosan. Sudah menebar kapital ke tanah di delapan penjuru mata angin lewat kolonialisme, kapital perlu sarana baru untuk membumbungkan dirinya. Sudah Revolusi Industri, kapital mengejar wahana baru penanamannya. Bosan dengan manufaktur yang lambat balik modalnya dibuatlah instrumen investasi finansial. Seperti Raja Midas yang keranjingan emas, pada akhirnya kapital menyentuh dirinya sendiri. Modal dan uang diperjualbelikan. Itu belum selesai. Ketika wahana investasi finansial dianggap terlalu biasa, dikapitalisasilah segala hal. Tak cuma baju, lampu, ikan kerapu yang dijadikan objek jual-beli, tapi juga iklim dan masa depan. Pasar untuk hal-hal yang tak ada dimungkinkan. Meski moralitas borjuasi menghalangi jual-beli manusia, tak sulit kiranya kapital merambah ke pasar baru ini. Bukankah sejak abad ke-18 tenaga kerja manusia sudah kita jadikan barang dagangan? Apa salahnya melangkah sekali lagi untuk menjadikan manusianya sendiri sebagai barang dagangan? Tak patutlah kita halangi kebebasan kapital. Itu sama dengan penindasan. Kebebasan itu mutlak. Terutama jalan bagi arus kapital.

Seperti kanak-kanak yang tak mampu mengendalikan hasrat terus-menerusnya akan hal-hal baru dan melepaskan diri sesegera mungkin dari belenggu kebosanan, kapital tak punya daya mengendalikan hasratnya akan kegairahan abadi. Tak cuma wilayah-wilayah geografis dan batas-batas politik baru, tapi juga segi-segi kehidupan manusia mestilah dibuka sebagai wahana kapital mempergemuk diri sendiri. Seperti kegairahan kanak-kanak, kegairahan kapital itu tertuju pada dirinya sendiri. Kapitalisme menghendari kemerdekaan. Tapi buat dirinya sendiri. Kemerdekaan kita sebagai manusia sekadar efek samping. Apabila kemerdekaan manusia menghalangi, wajarlah bila didepak dari jalannya kapital. Tak perlulah tetek bengek perencanaan sosial. Omong kosong itu sosialisme yang adiluhung. Tak ada yang alamiah dengan pengendalian diri. Semua orang harus bebas menentukan nasib dirinya. Karena itu, kapitalis—sebagai perwujudan sosial dari kapital—juga harus dibebaskan dari halangan mengejawantahkan kepentingan-kepentingannya mengakumulasi kekayaan demi kekayaan itu sendiri.

Obsesi kapitalisme pada kegairahan akan segala yang baru menjadikannya lupa diri bahwa tak ada yang namanya kegairahan abadi. Kata Marx memang, “perevolusian produksi terus-menerus, guncangan semua kondisi sosial tak terputus, ketidakpastian dan agitasi abadi membedakan epos borjuis dari semua cara produksi sebelumnya”. Hasrat akan pasar yang memperluas terus-menerus mendorong borjuasi menjarah ke seluruh permukaan bumi, “ia harus bersarang di mana-mana, tinggal di mana-mana, dan menegakkan kaitan di mana-mana” dengan simpul kapital yang kepentingan satu-satunya hanya mengakumulasi diri sendiri. Kapitalisme hendak menghapus kebosanan dari kehidupan seperti para pecandu naskoba. Tapi tiap kali kegairahan ditemukan, kebosanan baru memerlukan takaran lebih hebat dari sebelumnya. Tiap kali kegairahan dari menjarah wilayah atau sektor baru investasi ditemukan, kebosanan baru memerlukan derajat ekspoitasi yang lebih hebat dari sebelumnya. Eksploitasi tak cuma soal teknologi, tapi juga administratif dan ideologis. Mereka takut pada kebosanan perencanaan sosial yang bertele-tele. Padahal, kebosanan dan kegairahan terpaut dalam relasi dialektis. Begitu pula kebebasan dan perencanaan. Karena obsesi akut akan kegairahan abadi inilah kapitalisme bukanlah sistem yang cocok untuk manusia. Kapitalisme hanya cocok untuk virus.***

Jatinangor, 17 Agustus 2015

Riazanov

$
0
0

LENIN wafat pada 1924. Tampuk pimpinan Republik Sosialis Uni Soviet digantikan Stalin. Satu per satu lembaga yang didirikan sepanjang kekuasaan Lenin diperiksanya. Pada tahun 1927, Stalin sempat berkunjung ke kantor Lembaga Marx-Engels yang didirikan pada 1921. Di ruang direktur, Stalin melihat panjangan potret-potretnya Marx, Engels, dan Lenin. Sambil berkernyit Stalin lantas bertanya pada si direktur yang kebetulan ada di situ: “Di mana potretku?” Si direktur membalas: “Marx dan Engels itu guru-guruku. Lenin itu kawanku. Siapa Anda buat saya?” Buat orang kebanyakan kala itu jelas ini sebuah pertanyaan balik yang kurang ajar dan bisa menghantar penanyanya ke regu penembak.

Si direktur yang kurang ajar itu adalah Riazanov. Seperti halnya Lenin, Stalin, atau Trotsky, Riazanov bukanlah nama asli. Memang sejak sebelum Revolusi 1917, penggunaan nama palsu merupakan kebiasaan di antara para aktivis. Nama asli Riazanov ialah David Borisovich Gol’dendakh. Dialah yang mendirikan Lembaga Marx-Engels dan memulai proyek besar penerbitan Kumpulan Karya Marx-Engels (Marx-Engels Gesamtausgabe/MEGA). Jalan hidupnya penuh dengan ketegangan. Sejak belasan tahun, Riazanov aktif dalam politik revolusioner sebagai anggota serikat buruh. Sebelum Revolusi 1917, ia berulang kali jadi tahanan politik di Rusia dan orang buangan di beberapa negara di Eropa Barat. Pernah ikut dalam Kongres Internasional Kedua yang mempertemukannya dengan para pimpinan partai sosial demokrasi Eropa Barat. Riazanov dikenal lugas bicaranya dan teguh pendirian orangnya. Orang mengenalnya sebagai sejenis manusia yang tak bisa basa-basi dan disiplin hidupnya. Teman satu selnya pernah bilang kalau di penjara Riazanov membawa tiga hal: olahraga rutin tiap pagi, larangan ketat merokok, dan menetapkan jam-jam belajar yang selama itu tak boleh ada seorang pun ribut. Ketiga aturan itu dituruti oleh rekan-rekan sesama tahanan politik. Di bui, Riazanov juga menghabiskan waktunya dengan menerjemahkan karyanya David Ricardo dan memberikan kuliah-kuliah tentang Marx.

Setelah Revolusi 1917, Riazanov yang pernah terpilih sebagai presidium Kongres Kedua Soviet-Soviet, aktif di kementerian pendidikan. Cita-citanya untuk mengumpulkan dan menerbitkan semua tulisan Marx-Engels diwujudkan dalam rupa pendirian Lembaga Marx-Engels. Dia mempekerjakan para sarjana dari berbagai bidang ilmu dan lintas bangsa, tak peduli latar belakang politiknya. Meski kritis terhadapnya, Lenin tetap menganggapnya sebagai tokoh Marxis mumpuni. Karena jasa-jasanya sebelum dan selama Revolusi, Riazanov juga pernah mendapatkan Bintang Lenin pada 1927. Pada 1931 dia dituduh sebagai bagian dari komplotan Mensheviks yang hendak melakukan makar oleh Stalin. Jabatannya di Lembaga Marx-Engels dicopot. Sempat dihukum pengasingan ke pelosok tanpa pengadilan selama tiga tahun, lalu bebas hingga 1938 ketika dia dinyatakan bersalah oleh mahkamah militer dan dihukum tembak. Bertahun-tahun setelahnya, Leon Tortsky mengenangnya sebagai orang yang secara organik tak pernah bisa menjadi pengecut dan tukang basa-basi.

Buat kita di Indonesia, mungkin nama Riazanov tak punya arti apa-apa. Dia tidak semasyur Lenin, Kautsky, Luxemburg, atau Bernstein yang punya banyak karya dan pengikut. Dia bukan sejenis rasul pembawa tafsir kebenaran Marxisme. Tak pernah dia menulis buku seterkenal Negara dan Revolusi atau Akumulasi Kapital atau Sosialisme Evolusioner. Tak pernah sungkan berdebat dengan siapa pun. Sebagai kawan dekat Lenin dia tak pernah tak mengkritiknya bila dianggapnya keliru. Sebagai anggota Partai Bolsheviks (yang kemudian menjadi Partai Komunis), dia tak pernah menjauhi dan sering membela orang-orang Mensheviks. Sebagai Marxis, dia tak pernah menyepelekan kerjanya orang-orang Partai Sosial Revolusioner yang populis. Baginya, partai-partai revolusioner bukan sekadar kawan sekubu seperjuangan yang boleh habis manis sepah dibuang, tapi saudara kandung Revolusi yang tak boleh diberangus hanya karena perbedaan pandangan. Musuh terlalu besar untuk dilawan sendirian. Perdebatan dan perbedaan pendapat di antara Marxis baginya ialah sumbu yang melaluinya bahan bakar menjadi api pencerahan. Buatnya perbedaan pendapat adalah rahmat karena Marxisme bukan agama yang tidak begitu saja selesai ketika Lenin atau siapapun bicara mengatasnamakannya. Caranya mengatasi perbedaan di antara kawan-kawan disalurkan lewat upayanya menerbitkan berbagai karya, termasuk naskah-naskah tulisan tangan Marx-Engels ke khalayak banyak.

Ketika membaca salah satu penggal riwayat Riazanov, saya teringat pada proyek Martin seperti yang ditulisnya di kolom Logika soal ‘menemukan kembali Marxisme kita’. Seperti halnya Riazanov di Rusia, Martin bilang kalau bicara soal Marxisme di Indonesia itu susah. Seperti halnya Martin, menurutnya ada semacam “keruwetan pemahaman soal Marxisme” yang berakar pada “prasangka, baik itu prasangka revolusioner maupun konservatif”. Seperti juga Martin, Riazanov melihat prasangka-prasangka ini “berpangkal pada rendahnya produksi pengetahuan Marxis”. Saking rendahnya, berbagai kelompok yang mendaku diri Marxis mengutip penggalan-penggalan pernyataan Marx-Engels yang itu-itu saja dalam menuduh pihak lain atau membenarkan klaim mereka sendiri. Untuk mengatasi perang kutipan yang tidak produktif jalan keluar satu-satunya ialah “proyek ‘penemuan kembali Marxisme’ mesti segera dimulai”. Dan bagaimanakah proyek menemukan kembali Marxisme itu?

Menurut Martin persoalan ini mesti dimulai dengan meninggalkan kajian teoritis atas Marxis yang “sampai hari ini dibangun melalui model eksegesis: pembacaan atas teks-teks Marx dan penerusnya”. Kalau kita masih di tingkat ini, Marxis tidak akan beranjak jauh dari jalan yang dijejak para juru tafsir Alkitab yang membaca “teks-teks sakral lalu mempelajari tradisi komentar terhadap teks-teks itu”. Jalan ini, menurutnya, ditambah sejumput model agitasi politik a la Perang Dingin, ujung-ujungnya menghantar pada penciptaan Marxisme sebagai sejenis sekte. Satu-satunya yang sah dalam sekte ialah seberapa cocok pernyataan kita dengan sumber-sumber suci. Buat sekte kebenaran sudah baku ada di tangan mereka. Yang lain sudah pasti keliru. Meski tak menampik faedah model eksegesis sebagai pengantar, namun Martin yakin dengan cara ini saja “tradisi teoritis Marxisme sulit terwujud”. Lantas apa yang harus dilakukan? Tak ada cara lain, “kajian teoritis atas Marxisme mensyaratkan rekonstruksi filsafat dalam mendedahkan struktur logis, ontologis, dan epistemologis dari totalitas kenyataan itu sendiri”. Di sinilah mungkin bedanya Martin dengan Riazanov.

Sebagai orang yang ditempa di dalam bidang filsafat, dengan akses yang lebar baik secara teknis maupun pikiran terhadap teks-teks Marxis, selain efek sampingnya yang berbahaya, tentu model eksegesis terlalu sederhana buat Martin. Selain itu Martin mengandaikan semua orang memiliki akses yang sama lebarnya secara teknis maupun pikiran terhadap teks-teks Marxis. Jangankan menjalankan rekonstruksi filsafat, boleh dikata tidak banyak orang yang siap bahkan untuk sekadar melakukan kajian bermodel eksegesis. Di antara generasi Twittter 140 karakter, jangankan Das Kapital 900 halaman, membaca esai 2000 kata saja membosankan. Selain itu, seperti dibilang Martin sendiri, teks-teks Marxis yang ada di sini umumnya ialah hasil terjemahan yang “brutal” kualitasnya. Artinya, tafsir saja sulit dikerjakan dengan baik dengan bahan baku macam begini.

Sebetulnya kondisi yang kita alami sekarang mirip dengan kondisi Rusia di masa Riazanov. Saat itu, tak banyak teks-teks Marx-Engels yang bisa dijadikan bahan baku kajian. Hanya teks-teks yang sudah pernah terbit saja yang tersedia. Itu pun hanya para elite terdidik yang bisa membacanya. Di tengah-tengah iklim serba buru-buru karena agitasi politik Revolusi, teks-teks yang tersedia tak ubahnya Alkitab. Perdebatan tak jauh jatuhnya di soal apa maksud Marx di teks ini atau itu. Kutip-mengutip jadi satu-satunya senjata. Dengan bekal kutipan, saling daku dan saling tuduh menjadi sengit. Seperti skisma gereja, berbagai kelompok Marxis tak ubahnya seperti sekte. Tak ada kebenaran di luar kelompok mereka. Inilah Marxisme yang benar. Inilah jalan lurus menuju cita-cita sosialisme adiluhung. Kami juga punya kutipan-kutipannya lho dari Marx.

Riazanov melihat “sektarianisme baru” menjadi gambaran umum situasi. Karena itu, pasca Revolusi 1917, alih-alih bergiat di agitasi politik yang sudah bersimbah sektarianisme, aktivis serikat buruh sejak usia belasan, anggota presidium soviet-soviet se-Rusia itu, memilih membaktikan hidupnya mengumpulkan, menyunting, dan menerbitkan teks-teks Marx-Engels yang belum pernah diterbitkan sebelumnya. Termasuk teks yang dari kacamata agitasi politik tak punya relevansi seperti Naskah-Naskah Paris 1844 yang kemayu ataupun Naskah-Naskah Matematika yang teknis.

Ada benarnya kata Martin bahwa di bawah kajian Marxisme bermodel eksegesis bergelayut efek samping seberbahaya sektarianisme dengan serba prasangka revolusionernya. Apalagi dikompori oleh agitasi politik identitas a la sekte dengan azas ‘yang penting pelaksanaannya bung!’-nya. Tapi beranjak langsung ke kajian bermodel ‘rekonstruksi filsafat’ juga bukan sesuatu yang semudah menemukan pasir di pantai. Yang perlu dilakukan bukan memilih atau ini atau itu. Yang perlu mungkin ialah mengorganisasi jalan-jalan yang sampai saat bisa kita tempuh. Agitasi teoritis dan produksi pengetahuan berbasis rekonstruksi filsafati tentu perlu dalam konteks menumbuhkan iklim kajian serius sekaligus menemukan kembali Marxis untuk jaman kita. Tapi alangkah baiknya bila itu diiringi juga oleh produksi penerjemahan teks-teks Marx-Engels berkualitas tidak “brutal” dan yang terjangkau oleh banyak orang.

Di tengah mulai merebaknya kecenderungan menjadikan Marxisme sebagai sekte, mungkin kini saat yang tepat untuk sebagian dari kita menjadi Riazanov, yang meski tak menghasilkan karya tapi teguh dan tekun membuka jalan ke arah itu sambil bilang: “saya bukan Bolshevik, bukan Mensheviks, bukan pula Leninis, tapi saya Marxis dan karenanya komunis”.***

Jatinangor, 31 Agustus 2015

Viewing all 163 articles
Browse latest View live